Anda di halaman 1dari 45

KANKER NASOFARING (Ca Nasopharynx)

MAKALAH
UNTUK MEMENUHI TUGAS MATA KULIAH
Epidemiologi Kanker
Yang dibina oleh dr. Erianto Fanani, S. Ked.

Oleh:
Andri Irawati (140612603044)
Sonia Rahma (140612601288)
Yualita Putri P. (140612602707)

UNIVERSITAS NEGERI MALANG


FAKULTAS ILMU KEOLAHRAGAAN
JURUSAN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
Oktober 2016

1
DAFTAR ISI

Halaman Sampul ............................................................................................... 1


Daftar Isi ............................................................................................................ 2
BAB 1 PEMBAHASAN
1.1 Definisi Kanker Nasofaring .......................................................................... 3
1.2 Etiologi Kanker Nasofaring .......................................................................... 4
1.3 Faktor Resiko Kanker Nasofaring................................................................. 5
1.4 Patofisiologi Kanker Nasofaring ................................................................. 13
1.5 Tanda dan Gejala Kanker Nasofaring ......................................................... 16
1.6 Data Epidemiologis Kanker Nasofaring ..................................................... 19
1.6.1 Data Epidemiologis Kanker Nasofaring di dunia ............................. 19
1.6.2 Data Epidemiologis Kanker Nasofaring di Asia Timur .................... 21
1.6.3 Data Epidemiologis Kanker Nasofaring di Cina ............................... 23
1.6.4 Data Epidemiologis Kanker Nasofaring di Jepang ........................... 25
1.6.5 Data Epidemiologis Kanker Nasofaring di Asia Tenggara ............... 27
1.6.6 Data Epidemiologis Kanker Nasofaring di Indonesia ....................... 29
1.6.7 Data Epidemiologis Kanker Nasofaring di Afrika ............................ 31
1.6.8 Data Epidemiologis Kanker Nasofaring di Eropa ............................. 33
1.6.9 Data Epidemiologis Kanker Nasofaring di Amerika ........................ 35
1.6.10 Data Epidemiologis Kanker Nasofaring di Negara dengan high
risk populatian dan low risk population......................................... 37
1.7 Upaya Promotif dan Upaya Preventif Kanker Nasofaring .......................... 39
1.7.1 Upaya Promotif .................................................................................. 39
1.7.2 Upaya Preventif.................................................................................. 39
BAB II PENUTUP
2.1 Kesimpulan ................................................................................................. 41
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 43

2
BAB I PEMBAHASAN
1.1 Definisi Kanker Nasofaring
Nasofaring merupakan suatu rongga dengan dinding kaku di atas,
belakang dan lateral yang secara anatomi termasuk bagian faring. Ke anterior
berhubungan dengan rongga hidung melalui koana dan tepi belakang septum nasi,
sehingga sumbatan hidung merupakan gangguan yang sering timbul. Ke arah
posterior dinding nasofaring melengkung ke supero-anterior dan terletak di bawah
ossfenoid, sedangkan bagian belakang nasofaring berbatasan dengan ruang
retrofaring, fasia prevertebralis dan otot-otot dinding faring. Pada dinding lateral
nasofaring terdapat orifisium tuba eustakius dimana orifisium ini dibatasi superior
dan posterior oleh torus tubarius, sehingga penyebaran tumor ke lateral akan
menyebabkan sumbatan orifisium tuba eustakius dan akan mengganggu
pendengaran. Ke arah posterosuperior dari torus tubarius terdapat fossa
Rosenmuller yang merupakan lokasi tersering karsinoma nasofaring. Pada atap
nasofaring sering terlihat lipatan-lipatan mukosa yang dibentuk oleh jaringan
lunak sub mukosa, dimana pada usia muda dinding postero-superior nasofaring
umumnya tidak rata. Hal ini disebabkan karena adanya jaringan adenoid
(Ballenger dan Farid W dalam Asroel, 2002).
Di nasofaring terdapat banyak saluran getah bening yang terutama
mengalir ke lateral bermuara di kelenjar retrofaring Krause (kelenjar Rouviere)
(Ballenger dan Farid W dalam Asroel, 2002).

Gambar 1.1.1 Daerah nasofaring

3
Karsinoma Nasofaring (KNF) merupakan karsinoma yang muncul pada
daerah nasofaring (area di atas tenggorok dan di belakang hidung), yang
menunjukkan bukti adanya diferensiasi skuamosa mikroskopik ringan atau
ultrastruktur (Chan J dkk dalam Komite Penanggulangan Kanker Nasional,
2015).Riska Adriana (2015) dalam tesisnya menyebutkan bahwa karsinoma
nasofaring merupakan tumor ganas yang berasal dari epitel nasofaring yang
terjadi akibat interaksi antara faktor genetik, infeksi virus Epstein Barr (VEB),
faktor lingkungan,dan faktor makanan.
KNF adalah salah satu kanker kepala leher yang bersifat sangat invasif dan
sangat mudah bermetastasis (menyebar) dibanding kanker kepala leher yang lain
(Ma J dan Tang L dkk dalam Arditawati, 2011) dan merupakan tumor ganas
kepala dan leher yang sering ditemukan di Asia dan Cina bagian selatan, namun
jarang dijumpai di Eropa dan Amerika (Tricia F dkk, 2012). Menurut Faiza S dkk
(2016) KNF merupakan kanker yang mempunyai keunikan dan berbeda dari
tumor ganas di daerah kepala dan leher lainnya dalam hal epidemiologi, spektrum
gambaran histopatologi, karakteristik klinik dan sifat biologi. Hal ini terlihat dari
kejadian KNF yang bersifat endemik di Asia seperti Cina Selatan, Asia Tenggara,
Jepang, dan Timur Tengah.

1.2 Etiologi Kanker Nasofaring


Epstein Barr Virus (EBV) dianggap sebagai penyebab utama dari
karsinoma nasofaring yang merupakan virus herpes onkogenik terkait dengan
berbagai keganasan pada sel T, sel B, dan sel-sel epitel(Serraino D dalam
Abdulamir AS dkk, 2008). Akan tetapi, bukti menunjukkan bahwa infeksi EBV
adalah faktor risiko utama yang berkontribusi dalam terjadinya tumorigenesis
(O’Neil JD dkk, 2008). Disamping itu, rokok dan konsumsi alkohol merupakan
faktor etiologi yang mungkin dapat meningkatkan risiko berkembangnya
karsinoma nasofaring (Zhou X dkk, 2009). Selain itu, pencemaran kimia
lingkungan yang menyebarkan zat-zat karsinogen secara luas sangat sulit untuk
diminimalisir, dimana hal tersebut memberikan efek jangka panjang pada
kesehatan manusia. Meskipun banyak individu yang terkena infeksi EBV, faktor
lingkungan dan atau dengan rokok dan konsumsi alkohol, KNF berkembang

4
hanya pada kelompok kecil dari orang yang terinfeksi, yang menunjukkan bahwa
faktor genetik dari host mungkin berkontribusi pada mekasisme karsinogenik
(Zhou X dkk, 2009).
Kaitan antara virus Epstein-Barr dan konsumsi ikan asin dikatakan sebagai
penyebab utama timbulnya penyakit ini. Virus tersebut dapat masuk ke dalam
tubuh dan tetap tinggal di sana tanpa menyebabkan suatu kelainan dalam jangka
waktu yang lama. Untuk mengaktifkan virus ini dibutuhkan suatu mediator.
Kebiasaan untuk mengkonsumsi ikan asin secara terus menerus mulai dari masa
kanak-kanak, merupakan mediator utama yang dapat mengaktifkan virus ini
sehingga menimbulkan karsinoma nasofaring (Soetjipto D dalam Asroel,2002).
Mediator di bawah ini dianggap berpengaruh untuk timbulnya karsinoma
nasofaring yaitu :
1) Ikan asin, makanan yang diawetkan dan nitrosamin.
2) Keadaan sosio-ekonomi yang rendah, lingkungan dan kebiasaan hidup.
3) Sering kontak dengan zat-zat yang dianggap karsinogen, seperti :
benzopyrenen, benzoanthracene, gas kimia, asap industri, asap kayu,
beberapa ekstrak tumbuhan
4) Ras dan keturunan
5) Radang kronis daerah nasofaring
6) Profil HLA

1.3 Faktor Risiko Kanker Nasofaring


a. Virus Epstein Barr
EBV merupakan faktor risiko mayor karsinoma nasofaring. Sebagian
besar infeksi EBV tidak menimbulkan gejala. EBV menginfeksi dan menetap
secara laten pada 90% populasi dunia. Di Hong Kong, 80% anak terinfeksi pada
umur 6 tahun, hampir 100% mengalami serokonversi pada umur 10 tahun. Infeksi
EBV primer biasanya subklinis. Transmisi utama melalui saliva, biasanya pada
negara berkembang yang kehidupannya padat dan kurang bersih. Limfosit B
adalah target utama EBV, jalur masuk EBV ke sel epitel masih belum jelas,
replikasi EBV dapat terjadi di sel epitel orofaring (Chang ET dkk dalam
Ariwibowo, 2013). Virus Epstein-Barr dapat memasuki sel-sel epitel orofaring,

5
bersifat menetap (persisten), tersembunyi (laten) dan sepanjang masa (life-
long)(Yenita dalam Ariwibowo, 2013). Antibodi Anti-EBV ditemukan lebih
tinggi pada pasien karsinoma nasofaring, pada pasien karsinoma nasofaring terjadi
peningkatan antibodi IgG dan IgA, hal ini dijadikan pedoman tes skrining
karsinoma nasofaring pada populasi dengan risiko tinggi (Chang ET dalam
Ariwibowo, 2013).

Gambar 1.3.1 Perbedaan serum level antibodi EBV IgG melalui


pengukuran ELISA OD pada kelompok HCNA (Head and neck cancer)

Gambar 1.3.2. Perbedaan serum level antibodi EBV IgA melalui


pengukuran ELISA OD pada kelompok HCNA (Head and neck cancer)

b. Ikan asin
Paparan non-viral yang paling konsisten dan berhubungan kuat dengan
risiko karsinoma nasofaring adalah konsumsi ikan asin. Konsumsi ikan asin
meningkatkan risiko 1,7 sampai 7,5 kali lebih tinggi dibanding yang tidak

6
mengkonsumsi. Konsumsi ikan asin lebih dari tiga kali sebulan meningkatkan
risiko karsinoma nasofaring (Ondrey FG dalam Ariwibowo, 2013). Potensi
karsinogenik ikan asin didukung dengan penelitian pada tikus disebabkan proses
pengawetan dengan garam tidak efisien sehingga terjadi akumulasi nitrosamin
yang dikenal karsinogen pada hewan (Chang ET dalam Ariwibowo, 2013).
Nitrosamin adalah suatu molekul yang terdiri dari nitrogen dan oksigen,
molekul tersebut dapat berbentuk senyawa nitrit dan NOx yang terdiri dari
senyawa amino dan senyawa campuran nitroso (Rahman S dkk, 2015). Sumber
utama nitrosamine dapat berasal dari eksogen maupun endogen, nitrosamin
endogen berasal dari sintesis didalam lambung dari prekursor yang berasal dari
makanan yang dicerna, sedangkan nitrosamin eksogen berasal dari makanan,
rokok, emisi industri dan bahan kosmetik yang mengandung nitrosamin itu sendiri
(Rahman S dkk, 2015).
Proses keganasan dapat terjadi akibat metabolisme nitrosamine yang
diaktivasi oleh mekanisme oksidasi sehingga terjadi mutasi DNA. Berdasarkan
penelitian dan sejumlah literatur bahwa ambang dasar paparan nitrosamine pada
manusia antara 2,5 µg/m3- 15 µg/m3 selama periode waktu 10 tahun
berhubungan dengan kejadian keganasan (C.Gaétan,C-Marie,A.G, 2011).
Tingginya konsumsi nitrosamin dan nitrit dari daging, ikan dan sayuran
yang berpengawet selama masa kecil meningkatkan risiko karsinoma nasofaring.
Delapan puluh delapan persen penderita karsinoma nasofaring mempunyai
riwayat konsumsi daging asap secara rutin. (Ariwibowo, 2013). Pada ikan asin
selain mengandung nitrosamin juga mengandung bakteri mutagen dan komponen
yang dapat mengaktivasi virus Epstein Barr (Hsu WL dalam Rahman S dkk,
2015).
Laporan kasus yang dilakukan oleh Putera I dkk (2015) menunjukkan
bahwa tidak ada hubungan antara konsumsi ikan asin dan kejadian KNF di luar
populasi Asia Selatan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa insiden KNF di
Benua Asia relatif tinggi terutama di Asia Selatan dan Asia Tenggara yang
ditunjukkan dengan pengaruh yang signifikan antara konsumsi ikan asin dengan
terjadinya KNF di populasi tersebut. Akan tetapi ada tiga penelitian yang

7
dilakukan di luar Cina Selatan tidak menunjukkan adanya hubungan antara
konsumsi ikan asing dengan KNF (Putera dkk, 2015).
Menurut International Agency for Research on Cancer (IARC), terbagi
dalam versi China dan versi lain. Ikan asin versi china diketahui mengandung N-
Nitrosamin yang tinggi. Tetapi belum ditemukan artikel yang membahas
hubungan antara konsumsi ikan asin versi lain dengan KNF. Ada perbedaan
metode dalam pengolahan ikan asin versi Cina dan versi lain. Ikan asin versi Cina
dibuat dengan membuang organ tenggorokan ikan atau organ perutnya. Kemudian
ikan asin direndam dalam tong yang terbuat dari kayu. Setelah proses selesai, ikan
asin disimpan terlebih dahulu selama 4-5 bulan sebelum dipasarkan. Hal ini
menjelaskan mengapa ikan asin versi Cina mengandung N-Nitrosamin yang tinggi
(Putera I dkk, 2015).

c. Kurang Konsumsi Buah dan Sayuran Segar


Konsumsi buah dan sayuran segar seperti wortel, kobis, sayuran berdaun
segar, produk kedelai segar, jeruk, konsumsi vitamin E atau C, karoten terutama
pada saat anak-anak, menurunkan risiko karsinoma nasofaring. Efek protektif ini
berhubungan dengan efek antioksidan dan pencegahan pembentukan nitrosamin,
serta sebagai antikarsinogenik (Ariwibowo, 2013; Turkoz dkk, 2011).

d. Tembakau
Sejak tahun 1950 sudah dinyatakan bahwa merokok menyebabkan kanker.
Merokok menyebabkan kematian sekitar 4 sampai 5 juta per tahunnya dan
diperkirakan menjadi 10 juta per tahunnya pada 2030 (Viineis P dalam
Ariwibowo, 2013). Rokok mempunyai lebih dari 4000 bahan karsinogenik,
termasuk nitrosamin yang meningkatkan risiko terkena karsinoma nasofaring.
Kebanyakan penelitian menunjukkan merokok meningkatkan risiko
karsinoma nasofaring sebanyak 2 sampai 6 kali. Sekitar 60% karsinoma
nasofaring tipe I berhubungan dengan merokok sedangkan risiko karsinoma
nasofaring tipe II atau III tidak berhubungan dengan merokok. Perokok lebih dari
30 bungkus per tahun mempunyai risiko besar terkena karsinoma nasofaring.
Kebanyakan penderita karsinoma nasofaring merokok selama minimal 15

8
tahun (51%) dan mengkonsumsi tembakau dalam bentuk lain (47%). Merokok
lebih dari 25 tahun meningkatkan risiko karsinoma nasofaring. Merokok lebih
dari 40 tahun meningkatkan 2 kali lipat risiko karsinoma nasofaring (Friborg JT
dalam Ariwibowo, 2013).
Asap rokok yang mengalami aktivasi metabolik menyebabkan
pembentukan DNA adduct, dimana terjadi ikatan metabolit karsinogen dengan
DNA. DNA adduct merupakan proses karsinogen yang absolut. Jika DNA adduct
keluar dari mekanisme repair dan menetap, akan menyebabkan miscoding
permanen. Jika terjadi miscoding pemanen, hal ini dapat menyebabkan mutasi
onkogen dan deaktivasi tumor supressor gen, yang menyebabkan kehilangan
kontrol pertumbuhan yang normal dan terjadilah kanker (Wohan GH dalam
Murdiyo dkk, 2013).

e. Asap lain
Beberapa peneliti menyatakan bahwa insidens karsinoma nasofaring yang
tinggi di Cina Selatan dan Afrika Utara disebabkan karena asap dari pembakaran
kayu bakar. Sembilan puluh tiga persen penderita karsinoma nasofaring tinggal di
rumah dengan ventilasi buruk dan mempunyai riwayat terkena asap hasil bakaran
kayu bakar. Pajanan asap hasil kayu bakar lebih dari 10 tahun meningkatkan 6
kali lipat terkena karsinoma nasofaring (Ondrey FG dalam Ariwibowo, 2013).

f. Pajanan Pekerjaan
Pajanan pekerjaan terhadap fume, asap, debu atau bahan kimia lain
meningkatkan risiko karsinoma nasofaring 2 sampai 6 kali lipat. Peningkatan
risiko karsinoma nasofaring karena pajanan kerja terhadap formaldehid sekitar 2
sampai 4 kali lipat, didukung oleh penelitian pada tikus. Namun sebuah meta-
analisis dari 47 penelitian tidak mendukung hubungan formaldehid dengan
karsinoma nasofaring (Ariwibowo, 2013).

Tabel 1.3.1 Risiko paparan debu kayu dan formaldehid terhadap kejadian
KNF 9
Menurut studi cross sectional yang dilakukan oleh Muna NI (2008) di RS
Dr. Kariadi Semarang dengan 60 sampel pasien diintalasi radiologi, diperoleh
hasil bahwa tidak terdapat hubungan antara paparan debu kayu dan formaldehid
terhadap meningkatnya risiko KNF.
Akan tetapi, menurut Chan ET (dalam Ariwibowo, 2013) stimulasi dan
inflamasi jalan nafas kronik, berkurangnya pembersihan mukosiliar, dan
perubahan sel epitel mengikuti tertumpuknya debu kayu di nasofaring memicu
karsinoma nasofaring, paparan ke pelarut dan pengawet kayu, seperti klorofenol
juga memicu karsinoma nasofaring. Paparan debu katun yang hebat meningkatkan
risiko karsinoma nasofaring karena iritasi dan inflamasi nasofaring langsung atau
melalui endotoksin bakteri. Paparan debu kayu di tempat kerja lebih dari 10 tahun
meningkatkan risiko terkena karsinoma nasofaring (Ariwibowo, 2013).

g. Pajanan Lain
Riwayat infeksi kronik telinga, hidung, tenggorok dan saluran napas
bawah meningkatkan risiko karsinoma nasofaring sebanyak dua kali lipat. Bakteri
yang menginfeksi saluran nafas dapat mengurai nitrat menjadi nitrit, kemudian
dapat membentuk bahan N-nitroso yang karsinogenik. Risiko karsinoma
nasofaring juga meningkat berhubungan dengan makanan berpengawet lain
seperti daging, telur, buah dan sayur terutama di Cina Selatan, Asia Tenggara,
Afrika Utara/Timur Tengah dan penduduk asli Artik (Ariwibowo, 2013).
Sebuah penelitian ekologi di Cina Selatan menemukan 2 sampai 3 kali
lipat kadar nikel di nasi, air minum, dan rambut penduduk yang tinggal di wilayah
yang tinggi insiden karsinoma nasofaringnya. Penelitian lain menyatakan bahwa
kandungan nikel, zinc dan cadmium pada air minum lebih tinggi di wilayah yang
tinggi insiden karsinoma nasofaringnya. Kadar nikel pada air minum, kadar
elemen alkali seperti magnesium, kalsium, strontium yang rendah pada tanah, dan
tingginya kadar radioaktif seperti thorium dan uranium pada tanah berperan pada
mortalitas karsinoma nasofaring, namun masih perlu dibuktikan dengan penelitian
epidemiologi analitik. Risiko karsinoma nasofaring juga meningkat berhubungan
dengan makanan berpengawet lain seperti daging, telur, buah dan sayur terutama

10
di Cina Selatan, Asia Tenggara, Afrika Utara/Timur Tengah dan penduduk asli
Artik (Chang ET dalam Ariwibowo, 2013).

h. Familial Clustering
Kerabat pertama, kedua, ketiga pasien karsinoma nasofaring lebih berisiko
terkena karsinoma nasofaring. Orang yang mempunyai keluarga tingkat pertama
karsinoma nasofaring mempunyai risiko empat sampai sepuluh kali dibanding
yang tidak. Risiko kanker kelenjar air liur dan serviks uterus juga meningkat pada
keluarga dengan kasus karsinoma nasofaring. Faktor risiko lingkungan seperti
ikan asin, merokok dan paparan pada produk kayu meningkatkan level antibodi
antiEBV dan beberapa polimorfasi genetik. Kasus familial biasanya pada tipe II
dan III, sedangkan tipe I non familial (Ariwibowo, 2013).

i. Jenis Kelamin
Karsinoma nasofaring lebih sering terjadi pada pria daripada wanita
(Kemenkes RI, 2015). Ada 44 kasus KNF yang diteliti oleh Faiza dkk (2016) di
RSUP Dr. Djamil Padang, yang terdiri dari 52,27 % penderita adalah laki-laki dan
47,72% adalah perempuan. Hal ini didukung dari penelitian yang dilakukan oleh
Melani dkk (2013) yang menunjukkan bahwa penderita KNFyang berjenis
kelamin laki-laki sebanyak 103 orang (68.2%) dan perempuan sebanyak 48 orang
(31.8%). Adham dkk (dalam Adriana, 2015) mengumpulkan data penderita KNF
di Indonesia dan hasilnya didapatkan 789 laki-laki dan 332 perempuan, dengan
perbandingan 2,4 : 1. Hal tersebut terjadi karena gaya hidup laki-laki dan
perempuan berbeda, seperti kebiasaan merokok dimana jumlah perokok laki-laki
lebih tinggi dari perempuan (Putri EB dkk dan El-Sherbieny E dalam Adriana,
2015). Namun, dari data yang dilaporkan menurut EUROCARE, tidak ada
perbedaan yang signifikan antara laki dan perempuan (Thompson LD, 2007).

j. Usia
Kanker nasofaring dapat terjadi pada semua usia, tetapi paling sering
didiagnosis pada orang dewasa antara usia 30 tahun dan 50 tahun (Kemenkes RI,
2015). Penelitian yang dilakukan oleh Melani (2013) di RSUP Adam Malik

11
Medan tahun 2011, menunjukkan bahwa penderita KNF yang terbanyak pada usia
41-50 tahun berjumlah lima puluh orang (33.1%) dan yang paling rendah pada
usia 71-80 tahun sebanyak empat orang (2.6%). Penelitian ini sesuai dengan
penelitian Henny (2006) mendapatkan insiden KNF tertinggi pada kelompok umr
41-50 tahun 30.4% dari 79 kasus.

Tabel 1.3.2 Distribusi frekuensi penderita karsinoma nasofaring menurut


umur dan jenis kelamin
KNF
Pada penelitian yang dilakukan oleh Faiza dkk (2016) pada pasien RSUP
Dr. M. Djamil Padang, diperoleh data penderita KNF secara keseluruhan
didapatkan kisaran umur antara 17 – 75 tahun. Penderita berumur dibawah 20
tahun tergolong rendah yaitu 4,54%. Penderita terbanyak ditemukan pada dewasa
tua dengan kisaran umur 41-65 tahun sebesar 68,18%, diikuti oleh dewasa muda
dengan kisaran umur 21- < 41 tahun sebesar 24,99%, kemudian remaja dengan
kisaran umur 13- < 21 tahun sebesar 4,54%, dan kisaran umur yang paling sedikit
ditemukan pada manula dengan umur > 65 tahun sebesar 2,27% (Faiza dkk,
2016).
Kebanyakan individu yang memiliki faktor risiko genetik, faktor
lingkungan internal, dan faktor lingkungan eksternal baik rendah, sedang maupun
tinggi akan bermanifestasi menjadi kanker setelah usia >40 tahun. Hal ini sesuai
dengan proses karsinogenesis yang bersifat multistep dan multifaktorial (Kresno
SB dalam Arditawati Y, 2011).

12
k. Perawatan mulut

Tabel 1.3.3. Perbandingan perawatan mulut pada pasien KNF dan


kontrol
Menurut penelitian Turkoz FP (2011), menggosok gigi dan kerusakan gigi
dinilai mempunyai hubungan antara perawatan mulut dan terjadinya KNF. Kedua
faktor tersebut meningkat secara signifikan pada pada risiko KNF (OR 6.17 95%
CI:3.60-10.55; p<0.001 dan OR 2.17 95% CI: 1.28-3.67; p<0.001 ).

1.4 Patofisiologi Kanker Nasofaring


Etiologi pasti dari KNF belum diketahui, namun penelitian secara
epidemiologi dan laboratorik menunjukkan bahwa penyebab keganasan ini
bersifat multi faktor yaitu genetik, infeksi virus Epstein Barr (EBV) dan faktor
lingkungan. Epitel nasofaring yang normal terpapar berbagai macam faktor
karsinogenik sehingga muncul displasia. Displasia merupakan lesi awal yang
dapat terdeksi, yang diperkirakan dipengaruhi oleh beberapa karsinogen
lingkungan. Area displasia ini merupakan asal dari tumor namun belum cukup
untuk menyebabkan perkembangan yang progresif. Pada stadium laten ini, infeksi
EBV dapat mengacu pada perkembangan displasia yang lebih berat. Didapatkan
kerusakan gen pada kromosom 12 dan kehilangan alel pada 11q, 13q dan 16q
dapat memicu terjadinya kanker invasif dan metastasis sering dihubungkan
dengan mutasi p53 dan ekspresi cadherin yang menyimpang (Firdaus & Prijadi,
2011).
Stadium kanker nasofaring berdasarkan atas kesepakatan UICC pada tahun
2002 (Kemenkes, 2015) adalah sebagai berikut:

13
1) Tumor Primer (T)
Tx = Tumor primer tidak dapat dinilai
T0 = Tidak terdapat tumor primer
Tis = Karsinoma in situ
T1 = Tumor terbatas pada nasofaring, atau tumor meluas ke orofaring
dan atau rongga hidung tanpa perluasan ke parafaringeal
T2 = Tumor dengan perluasan ke parafaringeal
T3 = Tumor melibatkan struktur tulang dari basis kranii dan atau
sinus paranasal
T4 = Tumor dengan perluasan intrakranial dan atau keterlibatan saraf
kranial, hipofaring, orbita, atau dengan perluasan ke fossa
infratemporal /masticator space
2) KGB regional (N)
Nx = KGB regional tidak dapat dinilai
N0 = Tidak terdapat metastasis ke KGB regional
N1 = Metastasis unilateral di KGB, 6 cm atau kurang di atas
fossa Supraklavikula
N2 = Metastasis bilateral di KGB, 6 cm atau kurang dalam dimensi terbesar
di atas fosa supraklavikula
N3 = Metastasis di KGB, ukuran > 6 cm
N3a = Ukuran >6 cm
N3b = Perluasan ke fosa supraklavikula
3) Metastasis Jauh (M)
MX = Metastasis jauh tidak dapat dinilai
M0 = Tidak terdapat metastasis jauh
M1 = Terdapat metastasis jauh
Pengelompok stadium
Stadium T N M

Stadium 0 Tis N0 M0

Stadium I T1 N0 M0

14
Stadium II T1 N1 M0

T2 N0-N1 M0

Stadium III T1-T2 N2 M0

T3 N0-N2 M0

Stadium IVA T4 N0-N2 M0

Stadium IVB T1-T4 N3 M0

Stadium IV C T1-T4 N0-N3 M1

Tabel 1.4.1 Pengolompokan Stadium Kanker Nasofaring

National Cancer Institute at the National Institute of Health (2016)


menyederhanakan stadium kanker nasofaring sebagai berikut:
1. Stadium 0 (Carcinoma in Situ)
Pada stadium 0, Sel-sel tidak normal mulai ditemukan pada lapisan
nasofaring. Sel-sel yang abnormal tersebut dapat menjadi kanker dan menyebar ke
jaringan normal sekitarnya. Stadium 0 juga disebut carcinoma in situ.
2. Stadium I
Pada stadium I, kanker telah terbentuk dan kanker ditemukan di nasofaring
saja; atau telah menyebar dari nasofaring ke orofaring (bagian tengah tenggorokan
dan termasuk langit-langit lunak, pangkal lidah, dan tonsil) dan/atau rongga
hidung.
3. Stadium II
Pada stadium II kanker nasofaring ditemukan di nasofaring saja atau telah
menyebar dari nasofaring ke orofaring dan/atau rongga hidung . Selain itu, kanker
juga ditemukan dalam ruang parapharyngeal (jaringan lemak, daerah segitiga
dekat faring, antara dasar tengkorak dan rahang bawah). Kanker mungkin telah
menyebar ke satu atau lebih kelenjar getah bening di salah satu sisi leher dan/atau
ke kelenjar getah bening di belakang faring. Kelenjar getah bening yang terkena
adalah 6 sentimeter atau lebih kecil.

15
4. Stadium III
Pada stadium III kanker nasofaring, kanker:.
● Ditemukan di nasofaring saja atau telah menyebar dari nasofaring ke
orofaring dan/atau hidung rongga. Kanker telah menyebar ke satu atau lebih
kelenjar getah bening pada kedua sisi leher. Kelenjar getah bening yang
terkena adalah 6 sentimeter atau lebih kecil; atau
● ditemukan dalam ruang parapharyngeal. Kanker telah menyebar ke satu atau
lebih kelenjar getah bening pada kedua sisi leher. Kelenjar getah bening yang
terkena adalah 6 sentimeter atau lebih kecil; atau
● telah menyebar ke dekat tulang atau sinus. Kanker mungkin telah menyebar
ke satu atau lebih kelenjar getah bening pada salah satu atau kedua sisi leher
dan / atau ke kelenjar getah bening di belakang faring. Kelenjar getah bening
yang terkena adalah 6 sentimeter atau lebih kecil.
5. Stadium IV
Stadium IV kanker nasofaring dibagi menjadi stadium IVA, IVB, dan IVC
● Stadium IVA: Kanker telah menyebar ke luar nasofaring dan mungkin telah
menyebar ke saraf kranial, hipofaring (bagian bawah tenggorokan), daerah di
dan sekitar sisi tengkorak atau tulang rahang, dan/atau tulang di sekitar mata.
Kanker juga mungkin telah menyebar ke satu atau lebih kelenjar getah
beningpada salah satu atau kedua sisi leher dan / atau ke kelenjar getah
bening di belakang faring. Kelenjar getah bening yang terkena adalah 6
sentimeter atau lebih kecil.
● Stadium IVB: Kanker telah menyebar ke kelenjar getah bening antara tulang
selangka dan bagian atas bahu dan / atau kelenjar getah bening yang terkena
dampak lebih besar dari 6cm.
● Stadium IVC: Kanker telah menyebar ke luar kelenjar getah bening ke bagian
lain dari tubuh.

1.5 Tanda dan Gejala Kanker Nasofaring


Secara umum menurut National Cancer Institute at the National Institute
of Health (2016) tanda-tanda dan gejala kanker nasofaring antara lain:

16
1. Sebuah benjolan di hidung atau leher
2. Sakit tenggorokan
3. Masalah pernapasan atau berbicara
4. Mimisan
5. Masalah pendengaran
6. Nyeri atau denging di telinga
7. Sakit kepala
Gejala dan tanda kanker nasofaring terdiri dari gejala dini, gejala lanjut,
gejala akibat metastasis (Firdaus & Prijadi, 2011)
1. Gejala Dini
Karena KNF bukanlah penyakit yang dapat disembuhkan, maka diagnosis
dan pengobatan yang sedini mungkin memegang peranan penting untuk
mengetahui gejala dini KNF dimana tumor masih terbatas di rongga nasofaring.
Gejala telinga :
a. Sumbatan tuba eutachius / kataralis. Pasien mengeluh rasa penuh di telinga,
rasa berdengung kadang-kadang disertai dengan gangguan pendengaran.
Gejala ini merupakan gejala yang sangat dini.
b. Radang telinga tengah sampai perforasi membrane timpani. Keadaan ini
merupakan kelainan lanjutan yang terjadi akibat penyumbatan muara tuba,
dimana rongga telinga tengah akan terisi cairan. Cairan yang diproduksi
makin lama makin banyak, sehingga akhirnya terjadi perforasi membran
timpani dengan akibat gangguan pendengaran.
Gejala Hidung:
a. Epistaksis
Dinding tumor biasanya rapuh sehingga oleh rangsangan dan sentuhan dapat
terjadi perdarahan hidung atau epistaksis. Keluarnya darah ini biasanya
berulang-ulang, jumlahnya sedikit dan seringkali bercampur dengan ingus,
sehingga berwarna kemerahan.
b. Sumbatan hidung
Sumbatan hidung yang menetap terjadi akibat pertumbuhan tumor ke dalam
rongga hidung dan menutupi koana. Gejala menyerupai pilek kronis, kadang-
kadang disertai dengan gangguan penciuman dan adanya ingus kental.

17
Gejala telinga dan hidung ini bukan merupakan gejala yang khas untuk
penyakit ini, karena juga dijumpai pada infeksi biasa, misalnya pilek kronis,
sinusitis dan lainlainnya. Epistaksis juga sering terjadi pada anak yang sedang
menderita radang. Hal ini menyebabkan keganasan nasofaring sering tidak
terdeteksi pada stadium dini
2. Gejala Lanjut
a. Pembesaran kelenjar limfe leher.
Tidak semua benjolan leher menandakan penyakit ini. Yang khas jika
timbulnya di daerah samping leher, 3-5 cm di bawah daun telinga dan tidak
nyeri. Benjolan biasanya berada di level II-III dan tidak dirasakan nyeri,
karenanya sering diabaikan oleh pasien. Sel-sel kanker dapat berkembang
terus, menembus kelenjar dan mengenai otot di bawahnya. Kelenjarnya
menjadi lekat pada otot dan sulit digerakan. Keadaan ini merupakan gejala
yang lebih lanjut. Pembesaran kelenjar limfe leher merupakan gejala utama
yang mendorong pasien datang ke dokter.
b. Gejala akibat perluasan tumor ke jaringan sekitar
Karena nasofaring berhubungan dengan rongga tengkorak melalui
beberapa lubang, maka gangguan beberapa saraf otak dapat terjadi , seperti
penjalaran tumor melalui foramen laserum akan mengenai saraf otak ke III,
IV, VI dan dapat juga mengenai saraf otak ke-V, sehingga dapat terjadi
penglihatan ganda (diplopia). Proses karsinoma nasofaring yang lanjut akan
mengenai saraf otak ke IX, X, XI, dan XII jika penjalaran melalui foramen
jugulare, yaitu suatu tempat yang relatif jauh dari nasofaring. Gangguan ini
sering disebut dengan sindrom Jackson. Bila sudah mengenai seluruh saraf
otak disebut sindrom unilateral. Dapat juga disertai dengan destruksi tulang
tengkorak dan bila sudah terjadi demikian , biasanya prognosisnya buruk.
3. Gejala akibat metastasis
Sel-sel kanker dapat ikut bersama aliran limfe atau darah, mengenai organ
tubuh yang letaknya jauh dari nasofaring, hal ini yang disebut metastasis jauh.
Yang sering ialah pada tulang, hati dan paru. Jika ini terjadi menandakan suatu
stadium dengan prognosis sangat buruk

18
1.6 Data Epidemiologis Kanker Nasofaring
1.6.1 Data Epidemiologis Kanker Nasofaring di Dunia

Tabel 1.6.1 Estimasi insiden, kematian, dan prevalensi 5 tahun Kanker


Nasofaring di dunia menurut jenis kelamin laki-laki
Sumber: Global Burden Cancer (GLOBOCAN, 2012)

Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa pada tahun 2012, angka
insiden kanker nasofaring di dunia menurut jenis kelamin laki-laki adalah
sebanyak 60.896 kasus atau sebanyak 0,8% dari seluruh kejadian kanker yang
dialami oleh penduduk laki-laki di dunia. Kemudian, angka kematian akibat
kanker nasofaring di dunia menurut jenis kelamin laki-laki adalah sebanyak
35.756 kematian atau sebanyak 0,8% dari seluruh kejadian kanker yang
menyebabkan kematian pada penduduk laki-laki di dunia. Selain itu, angka
prevalensi 5 tahun kanker nasofaring di dunia menurut jenis kelamin laki-laki
adalah sebanyak 161.899 atau 1,1% dari seluruh kejadian kanker yang dialami
oleh penduduk laki-laki di dunia.

19
Tabel 1.6.2. Estimasi insiden, kematian, dan prevalensi 5 tahun Kanker
Nasofaring di dunia menurut jenis kelamin Perempuan
Sumber: Global Burden Cancer (GLOBOCAN, 2012)

Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa pada tahun 2012, angka
insiden kanker nasofaring di dunia menurut jenis kelamin perempuan adalah
sebanyak 25.795 kasus atau sebanyak 0,4% dari seluruh kejadian kanker yang
dialami oleh penduduk perempuan di dunia. Kemudian, angka kematian akibat
kanker nasofaring di dunia menurut jenis kelamin perempuan adalah sebanyak
15.075 kematian atau sebanyak 0,4% dari seluruh kejadian kanker yang
menyebabkan kematian pada penduduk perempuan di dunia. Selain itu, angka
prevalensi 5 tahun kanker nasofaring di dunia menurut jenis kelamin perempuan
adalah sebanyak 66.799 atau 0,4% dari seluruh kejadian kanker yang dialami oleh
penduduk perempuan di dunia.

20
1.6.2 Data Epidemiologis Kanker Nasofaring di Wilayah Asia Timur

Tabel 1.6.3. Estimasi insiden, kematian, dan prevalensi 5 tahun Kanker


Nasofaring di wilayah Asia Timur menurut jenis kelamin laki-laki
Sumber: Global Burden Cancer (GLOBOCAN, 2012)

Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa pada tahun 2012, angka
insiden kanker nasofaring di Asia Timur menurut jenis kelamin laki-laki adalah
sebanyak 25.893 kasus atau sebanyak 1,1% dari seluruh kejadian kanker yang
dialami oleh penduduk laki-laki di Asia Timur. Kemudian, angka kematian akibat
kanker nasofaring di Asia Timur menurut jenis kelamin laki-laki adalah sebanyak
15.898 kematian atau sebanyak 0,9% dari seluruh kejadian kanker yang
menyebabkan kematian pada penduduk laki-laki di Asia Timur. Selain itu, angka
prevalensi 5 tahun kanker nasofaring di Asia Timur menurut jenis kelamin laki-
laki adalah sebanyak 68.295 atau 1,7% dari seluruh kejadian kanker yang dialami
oleh penduduk laki-laki di Asia Timur.

21
Tabel 1.6.4. Estimasi insiden, kematian, dan prevalensi 5 tahun Kanker
Nasofaring di wilayah Asia Timur menurut jenis kelamin perempuan
Sumber: Global Burden Cancer (GLOBOCAN, 2012)

Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa pada tahun 2012, angka
insiden kanker nasofaring di Asia Timur menurut jenis kelamin perempuan adalah
sebanyak 10.527 kasus atau sebanyak 0,6% dari seluruh kejadian kanker yang
dialami oleh penduduk perempuan di Asia Timur. Kemudian, angka kematian
akibat kanker nasofaring di Asia Timur menurut jenis kelamin perempuan adalah
sebanyak 6.119 kematian atau sebanyak 0,6% dari seluruh kejadian kanker yang
menyebabkan kematian pada penduduk perempuan di Asia Timur. Selain itu,
angka prevalensi 5 tahun kanker nasofaring di Asia Timur menurut jenis kelamin
perempuan adalah sebanyak 27.305 atau 0,7% dari seluruh kejadian kanker yang
dialami oleh penduduk perempuan di Asia Timur.

22
1.6.3 Data Epidemiologis Kanker Nasofaring di Cina

Tabel 1.6.5. Estimasi insiden, kematian, dan prevalensi 5 tahun Kanker


Nasofaring di Cina menurut jenis kelamin laki-laki
Sumber: Global Burden Cancer (GLOBOCAN, 2012)

Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa pada tahun 2012, angka
insiden kanker nasofaring di Cina menurut jenis kelamin laki-laki adalah
sebanyak 23.581 kasus atau sebanyak 1,3% dari seluruh kejadian kanker yang
dialami oleh penduduk laki-laki di Cina. Kemudian, angka kematian akibat kanker
nasofaring di Cina menurut jenis kelamin laki-laki adalah sebanyak 14.718
kematian atau sebanyak 1,0% dari seluruh kejadian kanker yang menyebabkan
kematian pada penduduk laki-laki di Cina. Selain itu, angka prevalensi 5 tahun
kanker nasofaring di Cina menurut jenis kelamin laki-laki adalah sebanyak 61.417
atau 2,5% dari seluruh kejadian kanker yang dialami oleh penduduk laki-laki di
Cina.

23
Tabel 1.6.6. Estimasi insiden, kematian, dan prevalensi 5 tahun Kanker
Nasofaring di Cina menurut jenis kelamin perempuan
Sumber: Global Burden Cancer (GLOBOCAN, 2012)

Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa pada tahun 2012, angka
insiden kanker nasofaring di Cina menurut jenis kelamin perempuan adalah
sebanyak 9.617 kasus atau sebanyak 0,8% dari seluruh kejadian kanker yang
dialami oleh penduduk perempuan di Cina. Kemudian, angka kematian akibat
kanker nasofaring di Cina menurut jenis kelamin perempuan adalah sebanyak
5.686 kematian atau sebanyak 0,7% dari seluruh kejadian kanker yang
menyebabkan kematian pada penduduk perempuan di Cina. Selain itu, angka
prevalensi 5 tahun kanker nasofaring di Cina menurut jenis kelamin perempuan
adalah sebanyak 24.618 atau 1,0% dari seluruh kejadian kanker yang dialami oleh
penduduk perempuan di Cina.

24
1.6.4 Data Epidemiologis Kanker Nasofaring di Jepang

Tabel 1.6.7. Estimasi insiden, kematian, dan prevalensi 5 tahun Kanker


Nasofaring di Jepang menurut jenis kelamin laki-laki
Sumber: Global Burden Cancer (GLOBOCAN, 2012)

Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa pada tahun 2012, angka
insiden kanker nasofaring di Jepang menurut jenis kelamin laki-laki adalah
sebanyak 421 kasus atau sebanyak 0,1% dari seluruh kejadian kanker yang
dialami oleh penduduk laki-laki di Jepang. Kemudian, angka kematian akibat
kanker nasofaring di Jepang menurut jenis kelamin laki-laki adalah sebanyak 234
kematian atau sebanyak 0,1% dari seluruh kejadian kanker yang menyebabkan
kematian pada penduduk laki-laki di Jepang. Selain itu, angka prevalensi 5 tahun
kanker nasofaring di Jepang menurut jenis kelamin laki-laki adalah sebanyak
1.273 atau 0,1% dari seluruh kejadian kanker yang dialami oleh penduduk laki-
laki di Jepang.

25
Tabel 1.6.8. Estimasi insiden, kematian, dan prevalensi 5 tahun Kanker
Nasofaring di Jepang menurut jenis kelamin perempuan
Sumber: Global Burden Cancer (GLOBOCAN, 2012)

Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa pada tahun 2012, angka
insiden kanker nasofaring di Jepang menurut jenis kelamin perempuan adalah
sebanyak 132 kasus atau sebanyak 0,0% dari seluruh kejadian kanker yang
dialami oleh penduduk perempuan di Jepang. Kemudian, angka kematian akibat
kanker nasofaring di Jepang menurut jenis kelamin perempuan adalah sebanyak
90 kematian atau sebanyak 0,1% dari seluruh kejadian kanker yang menyebabkan
kematian pada penduduk perempuan di Jepang. Selain itu, angka prevalensi 5
tahun kanker nasofaring di Jepang menurut jenis kelamin perempuan adalah
sebanyak 420 atau 0,0% dari seluruh kejadian kanker yang dialami oleh penduduk
perempuan di Jepang.

26
1.6.5 Data Epidemiologis Kanker Nasofaring di Wilayah Asia Tenggara

Tabel 1.6.9. Estimasi insiden, kematian, dan prevalensi 5 tahun Kanker


Nasofaring di wilayah Asia Tenggara menurut jenis kelamin laki-laki
Sumber: Global Burden Cancer (GLOBOCAN, 2012)

Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa pada tahun 2012, angka
insiden kanker nasofaring di Asia Tenggara menurut jenis kelamin laki-laki
adalah sebanyak 15.232 kasus atau sebanyak 1,9% dari seluruh kejadian kanker
yang dialami oleh penduduk laki-laki di Asia Tenggara. Kemudian, angka
kematian akibat kanker nasofaring di Asia Tenggara menurut jenis kelamin laki-
laki adalah sebanyak 9.228 kematian atau sebanyak 1,5% dari seluruh kejadian
kanker yang menyebabkan kematian pada penduduk laki-laki di Asia Tenggara.
Selain itu, angka prevalensi 5 tahun kanker nasofaring di Asia Tenggara menurut
jenis kelamin laki-laki adalah sebanyak 40.807 atau 3,3% dari seluruh kejadian
kanker yang dialami oleh penduduk laki-laki di Asia Tenggara.

27
Tabel 1.6.10. Estimasi insiden, kematian, dan prevalensi 5 tahun Kanker
Nasofaring di wilayah Asia Tenggara menurut jenis kelamin Perempuan
Sumber: Global Burden Cancer (GLOBOCAN, 2012)

Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa pada tahun 2012, angka
insiden kanker nasofaring di Asia Tenggara menurut jenis kelamin perempuan
adalah sebanyak 5.982 kasus atau sebanyak 0,7% dari seluruh kejadian kanker
yang dialami oleh penduduk perempuan di Asia Tenggara. Kemudian, angka
kematian akibat kanker nasofaring di Asia Tenggara menurut jenis kelamin
perempuan adalah sebanyak 3.630 kematian atau sebanyak 0,7% dari seluruh
kejadian kanker yang menyebabkan kematian pada penduduk perempuan di Asia
Tenggara. Selain itu, angka prevalensi 5 tahun kanker nasofaring di Asia
Tenggara menurut jenis kelamin perempuan adalah sebanyak 15.569 atau 0,8%
dari seluruh kejadian kanker yang dialami oleh penduduk perempuan di Asia
Tenggara.

28
1.6.6 Data Epidemiologis Kanker Nasofaring di Indonesia

Tabel 1.6.11. Estimasi insiden, kematian, dan prevalensi 5 tahun Kanker


Nasofaring di Indonesia menurut jenis kelamin laki-laki
Sumber: Global Burden Cancer (GLOBOCAN, 2012)

Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa pada tahun 2012, angka
insiden kanker nasofaring di Indonesia menurut jenis kelamin laki-laki adalah
sebanyak 9.355 kasus atau sebanyak 6,7% dari seluruh kejadian kanker yang
dialami oleh penduduk laki-laki di Indonesia. Kemudian, angka kematian akibat
kanker nasofaring di Indonesia menurut jenis kelamin laki-laki adalah sebanyak
5.283 kematian atau sebanyak 5,1% dari seluruh kejadian kanker yang
menyebabkan kematian pada penduduk laki-laki di Indonesia. Selain itu, angka
prevalensi 5 tahun kanker nasofaring di Indonesia menurut jenis kelamin laki-laki
adalah sebanyak 25.407 atau 10,8% dari seluruh kejadian kanker yang dialami
oleh penduduk laki-laki di Indonesia.

29
Tabel 1.6.12. Estimasi insiden, kematian, dan prevalensi 5 tahun Kanker
Nasofaring di Indonesia menurut jenis kelamin perempuan
Sumber: Global Burden Cancer (GLOBOCAN, 2012)

Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa pada tahun 2012, angka
insiden kanker nasofaring di Indonesia menurut jenis kelamin perempuan adalah
sebanyak 3.729 kasus atau sebanyak 2,3% dari seluruh kejadian kanker yang
dialami oleh penduduk perempuan di Indonesia. Kemudian, angka kematian
akibat kanker nasofaring di Indonesia menurut jenis kelamin perempuan adalah
sebanyak 2.108 kematian atau sebanyak 2,3% dari seluruh kejadian kanker yang
menyebabkan kematian pada penduduk perempuan di Indonesia. Selain itu, angka
prevalensi 5 tahun kanker nasofaring di Indonesia menurut jenis kelamin
perempuan adalah sebanyak 9.735 atau 2,4% dari seluruh kejadian kanker yang
dialami oleh penduduk perempuan di Indonesia.
Menurut Muhtadi et al, 2012 dalam Pedoman Nasional Pelayanan
Kedokteran Kanker Nasofaring (PNPK-KNF) Kemenkes RI (2015) menyatakan
bahwa dari seluruh kejadian kanker kepala dan leher di Indonesia, kanker
nasofaring menunjukkan entitas yang berbeda secara epidemiologi, manifestasi

30
klinis, marker biologi, faktor risiko, dan faktor prognostik. Prevalensi kanker
nasofaring di Indonesia adalah 6.2/100.000 penduduk, dengan hampir sekitar
13.000 kasus baru, namun itu merupakan bagian kecil yang terdokumentasikan.

1.6.7 Data Epidemiologis Kanker Nasofaring di Benua Afrika

Tabel 1.6.13. Estimasi insiden, kematian, dan prevalensi 5 tahun Kanker


Nasofaring di benua Afrika menurut jenis kelamin laki-laki
Sumber: Global Burden Cancer (GLOBOCAN, 2012)

Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa pada tahun 2012, angka
insiden kanker nasofaring di Afrika menurut jenis kelamin laki-laki adalah
sebanyak 3.819 kasus atau sebanyak 1,4% dari seluruh kejadian kanker yang
dialami oleh penduduk laki-laki di Afrika. Kemudian, angka kematian akibat
kanker nasofaring di Afrika menurut jenis kelamin laki-laki adalah sebanyak
2.588 kematian atau sebanyak 1,3% dari seluruh kejadian kanker yang
menyebabkan kematian pada penduduk laki-laki di Afrika. Selain itu, angka
prevalensi 5 tahun kanker nasofaring di Afrika menurut jenis kelamin laki-laki
adalah sebanyak 9.929 atau 2,1% dari seluruh kejadian kanker yang dialami oleh
penduduk laki-laki di Afrika.

31
Tabel 1.6.14. Estimasi insiden, kematian, dan prevalensi 5 tahun Kanker
Nasofaring di benua Afrika menurut jenis kelamin perempuan
Sumber: Global Burden Cancer (GLOBOCAN, 2012)

Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa pada tahun 2012, angka
insiden kanker nasofaring di Afrika menurut jenis kelamin perempuan adalah
sebanyak 2.344 kasus atau sebanyak 0,6% dari seluruh kejadian kanker yang
dialami oleh penduduk perempuan di Afrika. Kemudian, angka kematian akibat
kanker nasofaring di Afrika menurut jenis kelamin perempuan adalah sebanyak
1.634 kematian atau sebanyak 0,7% dari seluruh kejadian kanker yang
menyebabkan kematian pada penduduk perempuan di Afrika. Selain itu, angka
prevalensi 5 tahun kanker nasofaring di Afrika menurut jenis kelamin perempuan
adalah sebanyak 5.946 atau 0,7% dari seluruh kejadian kanker yang dialami oleh
penduduk perempuan di Afrika.

32
1.6.8 Data Epidemiologis Kanker Nasofaring di Benua Eropa

Tabel 1.6.15. Estimasi insiden, kematian, dan prevalensi 5 tahun Kanker


Nasofaring di benua Eropa menurut jenis kelamin laki-laki
Sumber: Global Burden Cancer (GLOBOCAN, 2012)

Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa pada tahun 2012, angka
insiden kanker nasofaring di Eropa menurut jenis kelamin laki-laki adalah
sebanyak 3.783 kasus atau sebanyak 0,2% dari seluruh kejadian kanker yang
dialami oleh penduduk laki-laki di Eropa. Kemudian, angka kematian akibat
kanker nasofaring di Eropa menurut jenis kelamin laki-laki adalah sebanyak 1.840
kematian atau sebanyak 0,2% dari seluruh kejadian kanker yang menyebabkan
kematian pada penduduk laki-laki di Eropa. Selain itu, angka prevalensi 5 tahun
kanker nasofaring di Eropa menurut jenis kelamin laki-laki adalah sebanyak
10.391 atau 0,2% dari seluruh kejadian kanker yang dialami oleh penduduk laki-
laki di Eropa.

33
Tabel 1.6.16. Estimasi insiden, kematian, dan prevalensi 5 tahun Kanker
Nasofaring di benua Eropa menurut jenis kelamin perempuan
Sumber: Global Burden Cancer (GLOBOCAN, 2012)

Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa pada tahun 2012, angka
insiden kanker nasofaring di Eropa menurut jenis kelamin perempuan adalah
sebanyak 2.364 kasus atau sebanyak 0,2% dari seluruh kejadian kanker yang
dialami oleh penduduk perempuan di Eropa. Kemudian, angka kematian akibat
kanker nasofaring di Eropa menurut jenis kelamin perempuan adalah sebanyak
1.231 kematian atau sebanyak 0,2% dari seluruh kejadian kanker yang
menyebabkan kematian pada penduduk perempuan di Eropa. Selain itu, angka
prevalensi 5 tahun kanker nasofaring di Eropa menurut jenis kelamin perempuan
adalah sebanyak 6.160 atau 0,2% dari seluruh kejadian kanker yang dialami oleh
penduduk perempuan di Eropa.

34
1.6.9 Data Epidemiologis Kanker Nasofaring di Benua Amerika

Tabel 1.6.17. Estimasi insiden, kematian, dan prevalensi 5 tahun Kanker


Nasofaring di benua Amerika menurut jenis kelamin laki-laki
Sumber: Global Burden Cancer (GLOBOCAN, 2012)

Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa pada tahun 2012, angka
insiden kanker nasofaring di Amerika menurut jenis kelamin laki-laki adalah
sebanyak 2.744 kasus atau sebanyak 0,2% dari seluruh kejadian kanker yang
dialami oleh penduduk laki-laki di Amerika. Kemudian, angka kematian akibat
kanker nasofaring di Amerika menurut jenis kelamin laki-laki adalah sebanyak
1.122 kematian atau sebanyak 0,2% dari seluruh kejadian kanker yang
menyebabkan kematian pada penduduk laki-laki di Amerika. Selain itu, angka
prevalensi 5 tahun kanker nasofaring di Amerika menurut jenis kelamin laki-laki
adalah sebanyak 7.727 atau 0,2% dari seluruh kejadian kanker yang dialami oleh
penduduk laki-laki di Amerika.

35
Tabel 1.6.18. Estimasi insiden, kematian, dan prevalensi 5 tahun Kanker
Nasofaring di benua Amerika menurut jenis kelamin perempuan
Sumber: Global Burden Cancer (GLOBOCAN, 2012)

Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa pada tahun 2012, angka
insiden kanker nasofaring di Amerika menurut jenis kelamin perempuan adalah
sebanyak 1.173 kasus atau sebanyak 0,1% dari seluruh kejadian kanker yang
dialami oleh penduduk perempuan di Amerika. Kemudian, angka kematian akibat
kanker nasofaring di Amerika menurut jenis kelamin perempuan adalah sebanyak
528 kematian atau sebanyak 0,1% dari seluruh kejadian kanker yang
menyebabkan kematian pada penduduk perempuan di Amerika. Selain itu, angka
prevalensi 5 tahun kanker nasofaring di Amerika menurut jenis kelamin
perempuan adalah sebanyak 3.200 atau 0,1% dari seluruh kejadian kanker yang
dialami oleh penduduk perempuan di Amerika.

36
1.6.10 Data Epidemiologis Kanker Nasofaring di Negara dengan Low Risk
Population dan Negara dengan High Risk Population
Menurut Devi BC et al, 2004 dalam Tobing (2010) menyatakan bahwa
negara dengan low risk population atau negara dengan risiko populasi kanker
nasofaring terendah ialah Amerika (United States). Berikut ini adalah grafik
frekuensi atau kasus baru kanker naso faring berdasarkan kelompok umur yang
terjadi pada laki-laki dan perempuan berkulit putih di Amerika dari tahun 1992-
2003

Berdasarkan grafik diatas, dapat diketahui bahwa dari tahun 1992-2003


kanker nasofaring banyak terjadi pada laki-laki dengan kelompok umur 65-69
tahun (2,2/100.000 penduduk) dan pada perempuan dengan kelompok umur 70-74
tahun (1,1/100.000 penduduk).
Sedangkan menurut Lee AW et al, 2003 dalam Tobing (2010) menyatakan
bahwa negara dengan high risk population atau negara dengan risiko populasi
kanker nasofaring tertinggi ialah Hongkong. Berikut ini adalah grafik frekuensi
atau kasus baru kanker nasofaring berdasarkan kelompok umur yang terjadi pada
laki-laki dan perempuan di Hongkong dari tahun 1980-1999

37
Berdasarkan grafik diatas, dapat diketahui bahwa dari tahun 1980-1999
kanker nasofaring banyak terjadi pada laki-laki dengan kelompok umur 50-54
tahun (60/100.000 penduduk) dan pada perempuan dengan kelompok umur 60-64
tahun (20/100.000 penduduk).
Berdasarkan seluruh tabel dan grafik mengenai data epidemiologis kanker
nasofaring yang telah disajikan, dapat disimpulkan bahwa kanker nasofaring
merupakan jenis kanker yang unik dengan angka insiden yang bervariasi sesuai
ras dan perbedaan geografi. Di Amerika Serikat, Eropa, dan Jepang insiden
kanker nasofaring sangat jarang. Namun di Afrika dan di Asia khususnya Asia
Timur (Cina, Hongkong) dan di Asia Tenggara (Indonesia) kasus kanker
nasofaring masih banyak ditemukan. Selain itu dapat diketahui bahwa angka
insiden dan angka kematian akibat kanker nasofaring lebih banyak pada laki-laki
daripada perempuan.

38
1.7 Upaya Promotif dan Preventif Kanker Nasofaring
1.7.1 Upaya Promotif
1) Pembentukan Komite Penanggulangan Kanker Nasional (KPKN)
Komite Penanggulangan Kanker Nasional (KPKN) merupakan
Komite yang dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor HK 02.02/MENKES/389/2014 pada 17 Oktober
2014. KPKN bertujuan untuk menurunkan angka kesakitan dan angka
kematian akibat kanker di Indonesia dengan mewujudkan penanggulangan
kanker yang terintegrasi, melibatkan semua unsur pemerintah, swasta, dan
masyarakat. Bertepatan dengan Peringatan Hari Kanker Sedunia Tahun
2015, Menteri Kesehatan mencanangkan Komitmen Penanggulangan
Kanker di Indonesia. Penandatangan komitmen dilakukan bersama-sama
dengan Ketua Komite Penanggulangan Kanker Nasional (KPKN) dan
perwakilan dari organisasi profesi, yaitu Wakil Ketua Umum Yayasan
Kanker Indonesia (YKI) (Kemenkes RI, 2015).
2) Penyebaran informasi melalui media seperti poster, banner, leaflet dan
penyuluhan
Dari kegiatan-kegiatan tersebut di atas diharapkan timbul kesadaran
masyarakat untuk mau melakukan pemeriksaan kesehatan secara dini agar bisa
ditemukan penyakit kanker sedini mungkin. Deteksi dini dapat menurunkan angka
penyakit kanker “stadium lanjut” sehingga angka kesembuhan penyakit kanker
menjadi meningkat (Pusdatin, 2015).
1.7.2 Upaya Preventif
Upaya preventif yang dapat dilakukan adalah dengan menghindari atau
menekan faktor resiko. Preventif atau pencegahan yang dilakukan dalam menekan
kejadian kanker serviks dapat dilakukan dengan berbagai cara.
1) Menghindari polusi udara atau kontak gas kimia seperti asap industry, asap
kayu, asap rokok, asap minyak yang dapat mengaktifkan virus Eipstein barr
(EBV)
2) Menghindari makanan yang diawetkan oleh nitrit, makanan panas atau
merangsang selaput lendir.
3) Mengkonsumsi buah atau sayur yang memiliki aktioksidan tinggi untuk
menghambat penyebaran sel kanker

39
4) Pola hidup dan pola makan yang sehat, dengan tidak mengkonsumsi
minuman beralkohol, tidak merokok dan makan makanan yang segar.
5) Minum delapan gelas air putih setiap hari sebagai detoksivikasi
6) Melakukan skrining guna mengetahui adanya infeksi virus Eipstein barr
atau adanya displasia.
Serologi IgA VCA/IgA EA sebagai tumor marker (penanda tumor)
diambil dari darah tepi dan/atau Brushing Nasofaring (DNA Load Viral).
Pemeriksaan ini tidak berperan dalam penegakkan diagnosis tetapi
dilakukan sebagai skrining dan data dasar untuk evaluasi pengobatan
(Kemenkes 2015).
Skrining yang dilakukan metode skrining deteksi indicator antibodi EVB
termasuk tes VCA/IgA dan EA/IgA menggunakan immune enzymatic
methods atau ELISA (Su-Mei Cao, Simons & Chao-Nan Qian, 2011).
Deteksi NPC dilakukan dengan menggunakan protein dari virus Epstein-
Barr (EBV). Karenanya beberapa protein EBV dapat digunakan sebagai
marker untuk mendeteksi NPC (Ika, 2014)

40
BAB II PENUTUP

2.1 Kesimpulan
1) Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas yang muncul pada daerah
nasofaring (area di atas tenggorok dan di belakang hidung) yang bersifat
sangat invasif dan sangat mudah bermetastasis (menyebar) dibanding
kanker kepala leher yang lain.
2) Epstein Barr Virus (EBV) dianggap sebagai penyebab utama dari karsinoma
nasofaring yang merupakan virus herpes onkogenik terkait dengan berbagai
keganasan pada sel T, sel B, dan sel-sel epitel. Disamping itu, rokok
konsumsi alkohol, dan paparan bahan kimia merupakan faktor etiologi yang
mungkin dapat meningkatkan risiko berkembangnya karsinoma nasofaring.
3) Faktor risiko kanker nasofaring antara lain adalah Epstein Barr Virus
(EBV), konsumsi ikan asin, kurang konsumsi buah dan sayuran segar,
tembakau, paparan asap, pajanan pekerjaan, pajanan lain, familial
clustering, jenis kelamin, usia, dan perawatan mulut.
4) Patofisiologi kanker nasofaring berawal dari sel epitel nasofaring normal
terpapar berbagai macam faktor karsinogenik sehingga muncul displasia.
Displasia merupakan lesi awal yang dapat terdeksi, yang diperkirakan
dipengaruhi oleh beberapa karsinogen lingkungan. Area displasia ini
merupakan asal dari tumor namun belum cukup untuk menyebabkan
perkembangan yang progresif. Pada stadium laten ini, infeksi EBV dapat
mengacu pada perkembangan displasia yang lebih berat. Kanker nasofaring
dibagi menjadi beberapa stadium yaitu stadioum 0, stadium I, stadium II,
stadium III, stadium IVA, stadium IVB, dan stadium IVC.
5) Gejala kanker nasofaring dibagi menjadi 3 yaitu gejala dini (sumbatan
saluran eustachia, radang telinga, epistaksis, sumbatan hidung), gejala lanjut
(pembesaran limfe dan gangguan saraf otak), Gejala metastasis (kanker
menyebar ke organ lain seperti paru dan hati)
6) Kanker nasofaring merupakan jenis kanker yang unik dengan angka insiden
yang bervariasi sesuai ras dan perbedaan geografi. Di Amerika Serikat,
Eropa, dan Jepang insiden kanker nasofaring sangat jarang. Namun di
Afrika dan di Asia khususnya Asia Timur (Cina, Hongkong) dan di Asia

41
Tenggara (Indonesia) kasus kanker nasofaring masih banyak ditemukan.
Selain itu, angka insiden dan angka kematian akibat kanker nasofaring lebih
banyak pada laki-laki daripada perempuan.
7) Upaya promotif kanker nasofaring dapat dilakukan melalui pembentukan
komite penanggulangan kanker nasional (KPKN) dan penyebaran informasi
melalui berbagai media serta penyuluhan. Upaya preventif kanker
nasofaring dapat dilakukan dengan menghindari atau menekan faktor resiko
seperti mengindari polusi udara dan gas kimia, mengkonsumsi buah dan
sayur, menerapkan pola makan yang sehat, rajin mengkonsumsi air putih,
dan melakukan skrinning.

42
DAFTAR PUSTAKA

Abdulamir AS dkk. 2008. The distinctive Profile of Risk Factor of


Nasopharingeal Carcinoma in Comparison with Other Head and Neck
Cancer Types.BMC Public Health Vol 8 No 400. Hal 1-16.
Adriana, Riska. 2015. Kesintasan Penderita Karsinoma Nasofaring dan Faktor
Yang Mempengaruhi Nya Di Rumah Sakit Hasan Sadikin. Tesis.
(Online) diakses dari https://www.kankertht-kepalaleher.info/ pada 5
Oktober 2016.
Arditawati, Yulin. 2011. Analisis Hubungan Antara Faktor Risiko dengan Tipe
Histopatologik Pada Karsinoma Nasofaring. Artikel Karya Tulis Ilmiah.
Universitas Diponegoro Semarang.
Ariwibowo, Hendrawan. 2013. Faktor Risiko Karsinoma Nasofaring. Jurnal
CDK-204. Vol 40 No 5. Hal 348-351.
Asroel, HA. 2002. Penatalaksanaan Radioterapi Pada Karsinoma Nasofaring.
(online) diakses dari http://repository.usu.ac.id// pada 30 September 2016
C.Gaétan dan C-Marie,A.G. 2011. Cancer Risk Assessment For Workers Exposed
To Nitrosamines In A Warehouse Of Finished Rubber Products In The
Eastern Townships (Québec, Canada). Canada: Québec Public Health
Institute.
Faiza S, Sukri Rahman dan Aswiyanti Asri. 2016. Karakteristik Klinis dan
Patologis Karsinoma Nasofaring di Bagian THT-KL RSUP Dr.M.Djamil
Padang. Jurnal Kesehatan Andalas Vol 5 No 1 Hal 90-96.
Firdaus & Prijadi. 2011. Kemoterapi Neoadjuvan Pada Karsinoma Nasofaring.
Artikel Otorhinolaringology Head and Neck Surgery. (Online),
(http://www.tht.fk.unand.ac.id), diakses 4 Oktober 2016
Global Burden Cancer (GLOBOCAN). 2012. Population Fact Sheet. (Online),
(http://globocan.iarc.fr/Pages/fact_sheets_population.aspx)
Ika. 2014. Deteksi Dini Kanker Nasofaring Dengan Cepat, Mudah, dan
Murah,(Online),(https://ugm.ac.id/id/berita/8628deteksi.dini.kanker.nasofa
ring.dengan.cepat.mudah.dan.murah), diakses 7 September 2016

43
Komite Penanggulangan Kanker Nasional. 2015. Panduan Penatalaksanaan
Kanker Nasofaring. Jakarta: Kemeterian Kesehatan RI.
Kemenkes. 2015. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Kanker Nasofaring,
(Online), (http://www.kanker.kemenkes.go.id), diakses 4 Oktober 2016
Lutan, RN 2001. Karsinoma nasofaring. Dalam : Program & abstrak PITIAPI.
Medan : FK USU hal. 9-25Melani W dan Ferryan Sofyan. 2011.
Karakteristik Penderita Kanker Nasofaring di Rumah Sakit H. Adam
Malik Medan Tahun 2011. Jurnal FK-USU Volume 1 No. 1.
Muna NI. 2008. Hubungan Paparan Debu Kayu dan Formaldehid dengan Faktor
Risiko Terjadinya Karsinoma Nasofaring. Artikel Karya Ilmiah.
Semarang: Universitas Diponegoro
Murdiyo MD dkk. 2013. Hubungan Mutasi Gen Ras dan p53 pada Penderita
Karsinoma Nasofaring Dengan Riwayat Merokok. Jurnal ORLI Vol. 43
No.1 Hal 26-37.
National Cancer Institute at the National Institute of Health. 2016. Stages Of
Nasopharyngeal Cancer, (Online), (https://www.cancer.gov), diakses 4
Oktober 2016
National Cancer Institute at the National Institute of Health. 2016. General
Information About Nasopharyngeal Cancer, (Online),
(https://www.cancer.gov), diakses 4 Oktober 2016
O’ Neil JD dkk. 2008. Epstein–Barr Virus-Encoded EBNA1 Modulates The AP-1
Transcription Factor Pathway in Nasopharyngeal Carcinoma Cells and
Enhances Angiogenesis in Vitro. Journal of General Virology Vol 89
Hal: 2833–2842
Pusat Data dan Informasi. 2015. Situasi Penyakit Kanker. Buletin Jendela Data
dan Informasi Kesehatan. Jakarta: Kemenkes RI.
Putera, Ikhwanuliman dkk. 2015. Relationship Between Salted Fish Consumption
and Nasopharyngeal Carcinoma: An Evidence-based Case Report. The
Indonesian Journal of Internal Medicine. Vol 47 No 1 Hal: 72-77.
Rahman S, dkk. 2015. Faktor Risiko Non Viral Pada Karsinoma Nasofaring.
Jurnal Kesehatan Andalas. Vol 4 No 3. Hal: 989-995

44
Su-Mei Cao, Simons & Chao-Nan Qian. 2011. The prevelance and prevention of
nasopharyngeal carcinoma in china. Chin J chancer, 30 (2). (Online),
(http://www.ncbi.nlm.gov), diakses 7 September 2016
Thomson, LD. 2007. Update on Nasopharingeal Carsinoma. Head and Neck
Pathol Vol 1 Hal 81-86.
Tricia F, Pudji R, dan Rus S. 2012. Hubungan Status Nutrisi Penderita
Karsinoma Nasofaring Stadium Lanjut dengan Kejadian Mukositis
Sesudah Radioterapi. Laporan Penelitian. ORLI Vol. 42 No. 1. Hal 53-
63.
Tobing, DL. 2010. Epidemiologi Kanker Nasofaring (KNF) dan Epstein-barr
Virus (EBV). (Online),
(https://id.scribd.com/doc/43598522/Epidemiologi-Kanker-Nasofaring-
KNF-dan-Epstein-Barr-Virus-EBV)
Turkoz, FP. 2011. Risk Factors of Nasopharyngeal Carcinoma in Turkey - an
Epidemiological Survey of the Anatolian Society of Medical Oncology.
Asian Pacific Journal of Cancer Prevention, Vol 12 Hal 3017-3021.
Zhou, X dkk. 2009. GSTM1 And GSTT1 Polymorphisms and Nasopharyngeal
Cancer Risk: an Evidence-Based Meta-Analysis. Journal of Experimental
& Clinical Cancer Research Vol 28 No 46 Hal: 1-8.

45

Anda mungkin juga menyukai