Anda di halaman 1dari 9

Kisruh trah Wahid Hasyim dalam percaturan

politik Tanah Air


Merdeka.com - Hiruk pikuk dunia politik Tanah Air tak lepas dari kiprah organisasi massa Nahdlatul Ulama
(NU). Pernah menjadi partai politik, NU akhirnya kembali ke khittahnya untuk kembali sebagai organisasi
massa, bukan partai politik.

Namun peran NU tetap saja besar meskipun NU sudah tidak lagi terjun langsung di dunia politik. Warga NU
tetap saja menyalurkan hak politiknya dengan melalui partai yang sudah ada, seperti Partai Persatuan
Pembangunan (PPP).

Saat era reformasi bergulir, muncul partai baru yang dibidani langsung oleh para tokoh NU, seperti KH
Abdurrahman Wahid (Gus Dur), yakni Partai Kebangkitan Bangsa.

Sejak PKB berdiri, partai ini langsung merebut hati kaum Nahdliyin, hingga mengantarkan Gus Dur sebagai
Presiden RI, menggantikan BJ Habibie. Putra KH Wahid Hasyim yang juga mantan Ketua PBNU ini pun
menjadi kyai pertama yang pernah memimpin bangsa ini.

Seiring berjalannya waktu, PKB tumbuh berkembang menjadi partai yang kian diperhitungkan. Namun seiring
dengan perkembangannya, mulai muncul prahara. Perpecahan pun terjadi dalam internal partai. PKB terpecah
menjadi dua, yakni PKB dengan ketua umumnya Muhaimin Iskandar, dan PKB dengan ketua umumnya KH
Abdurrahman Wahid. Saat itu, kedua kubu sama-sama menggelar muktamar luar biasa. Kubu Imin menggelar
muktamar di Ancol, sementara kubu Gus Dur menggelar muktamar di Parung, Bogor.

Dualisme partai ini akhirnya dimenangkan oleh Muhaimin Iskandar. Pengadilan memutuskan, bahwa PKB
versi Muhaimin Iskandar lah yang sah. Muhaimin, yang tak lain adalah keponakan Gus Dur ini akhirnya
sampai sekarang tetap bertengger menduduki puncak pimpinan partai berlambang bola dunia dikelilingi bintang
sembilan, khas lambang NU tersebut.

Trah Wahid Hasyim terus bersitegang. Muhaimin hingga saat ini pun masih perang urat syaraf dengan putri Gus
Dur, Yenny Wahid. Ketegangan memuncak saat adik kandung Gus Dur, Lily Chodidjah Wahid dipecat oleh
Muhaimin dari keanggotaannya sebagai kader PKB dan anggota DPR belum lama ini. Lily Wahid pun terlunta-
lunta, hingga akhirnya masuk Partai Hanura.

Meskipun baru saja bergabung dengan Hanura, tapi Lily Wahid sudah mempunyai ambisi besar dalam membuat
gebrakan karir politiknya.

"Ibu Lily mau maju jadi caleg tapi satu dapil dengan Muhaimin Iskandar," kata Ketua Bidang Pemenangan
Pemilu Hanura Yuddy Chrisnandi di DPP Hanura, Jakarta, Kamis (28/3) lalu.

Lily menyampaikan keinginannya tersebut kepada Yuddy Chrisnandi untuk berhadapan langsung dengan
Muhaimin Iskandar. Untuk alasannya, dirinya tidak mengetahui pasti. "Dia (Lily) bilang asik aja," ujarnya.

Sementara Muhaimin Iskandar sesumbar dan siap menghadapi tantangan Lily Wahid. Cak Imin mengaku
sudah mengetahui kekuatan politik saudaranya tersebut.

"Enggak ada masalah semua tahulah potensinya (Lily Wahid) seberapa, kita tahu," kata Cak Imin di Kantor
DPP PKB Jakarta, Minggu (7/4) lalu.

Cak Imin dan Lily Wahid kemungkinan akan berebut di Dapil Jawa Timur II wilayah Pasuruan dan
Probolinggo. Alumni Fisipol UGM ini mengaku tidak menyesal mengeluarkan Lily dari PKB. "Enggak ada
masalah, sudah sejak awal dihitung dengan matang," ujarnya enteng.

Sementara, Yenny Wahid yang partai barunya, Partai Kedaulatan Bangsa Indonesia Baru (PKBIB) tak lolos
oleh verivikasi KPU, kini dikabarkan akan bergabung dengan Partai Demokrat. Jika benar Yenny masuk Partai
Demokrat, bisa jadi wanita satu anak tersebut akan kembali bersaing dengan Muhaimin Iskandar dalam
kancah politik Tanah Air, meski lewat partai yang beda.
Akhirnya, trah politik Wahid Hasyim pun terus menghangat. Apakah ketegangan ini juga berimbas pada
hubungan keluarga besar bani Wahid Hasyim, yang notabene putra pendiri NU, KH Hasyim Asy'ari?

Biografi Abdul Wahid Hasyim


Abdul Wahid Hasyim lahir di Jombang Jawa Timur pada 1 Juni 1914, dari pasangan K.H. Hasyim Asy`ari d an Nyai Nafiqah
binti K Ilyas. Ayahnya merupakan pendiri dari organisasi keagamaan Nahdlotul Ulama. Kecerdasan Wahid Hasyim sudah
Nampak sejak usianya masih sangat belia. Pada usia 7 tahun ia sudah khatam Al-Qur`an dengan mendapat bimbingan
langsung dari ayahnya. Pendidikan lainnya ia peroleh di Pesantren Tebu Ireng. Pada usia 15 tahun ia sudah mengenal huruf
latin, menguasai bahasa belanda dan Inggris tanpa pernah mengenyam pendidikan dari sekolah colonial sedikitpun. Pada
Buku Biografi abdul Wahid Hasyim disebutkan bahwa pada usia 18 tahun ia menunaikan ibadah Haji sekaligus bermukim
selama 2 tahun di Makah untuk memperdalam ilmu agama.

Sepulang dari tanah suci, putra kelima dari K.H. Hasyim as`ari ini aktif diorganisasi yang didirikan oleh Ayahnya. Pada tahun
1938 ia menjadi pengurus NU ranting Cukir dan terus menanjak, pada tahun 1940 menjadi pengurus tingkat pusat PBNU
dengan memimpin Departemen Ma`arif yang membidangi pendidikan. Beliau, seorang tokoh agama yang berpikiran luas
jauh kedepan melintasi batas formal keagamaan. Kepemimpinannya terus terasah, dan terbukti dipercayanya beliau untuk
menjadi ketua Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) pada 24 Oktober 1943. Pada bidang pendidikan, belai
mendirikan sekolah Tinggi Islam di jakarta pada tahun 1944 yang pengelolaannya diserahkan kepada KH. A Kahar
Muzakkir. Dalam biografi Abdul Wahid Hasyim tercatat, bahwa menjelang kemerdekaan pada tahun 1945, beliau menjadi
anggota BPUPKI dan PPKI.

Ayah dari mendiang Presiden Republik Indonesia ke 4, K.H. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur ini merupakan seorang
ulama yang dikenal moderat, substantive dan inklusif. Rumusan teks pancasila sila pertama `` Ketuhanan Yang Maha Esa``
merupakan bagian dari buah pemikirannya untuk menggantikan kalimat ``Kewajiban Menjalankan Syariat Islam bagi
Pemeluknya. `Membaca Biografi Abdul Wahid Hasyim, kita akan menemukan betapa pada usia yang masih muda, beliau
memiliki wawasan yang sangat luas mengenai pemikiran agama, Negara, pendidikan, politik, kemasyarakatan dan
tentunya pula tentang pesantren yang menjadi basis dari NU.

Pada Biografi Abdul Wahid Hasyim disebutkan pula, bahwa beliau merupakan anggota termuda dari 62 orang anggota
BPUPKI. Beliau juga tokoh termuda dari Sembilan tokoh nasional yang menandatangani piagam Djakarta, sebuah
kesepakatan yang membidani lahirnya proklamasi dan konstitusi Negara. Setelah kemerdekaan, pada September 1945,
beliau ditunjuk menjadi menteri Negara. Berlanjut pada Kabinet Syahrir pada tahun 1946 beliau juga menjadi Menteri.
Pada tahun 1950 dalam Kabinet Hatta, Natsir dan Sukiman Beliau ditunjuk menjadi Menteri Agama. Perhatiannya pada
pendidikan sangatlah besar dan pada tahun 950 Beliau mengeluarkan peraturan berdirinya Perguruan Tinggi Agama Islam
(PTAIN) yang menjadi cikal bakal IAIN atau UIN.

Pada tahun 1953, tepatnya pada 18 April, Beliau melakukan perjalanan menuju Sumedang untuk menghadiri rapat NU
dengan ditemani puteranya Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Sesampainya di Cimindi, mobil yang ditumpangi selip dan
tidak dapat dikendalikan oleh sopir hingga menabrak truk yang mengakibatkan K.H. Wahid Hasyim terlempar keluar.
Kecelakaan tersebut membuat beliau koma, dan akhirnya wafat pada 19 april 1953 dalam usia yang masih muda 39 tahun.
Jenazahnya dimakamkan di Pesantren Tebu Ireng Jombang. Dalam ulasan Biografi Abdul Wahid Hasyim dijelaskan, beliau
mendapat anugerah sebagai Pahlawan Nasional sesuai darma bakti terbaiknya pada Negara Republik Indonesia.

Putra-putri dari Nyai Nafiqoh


(1) Hannah
(2) Khoiriyah
(3) Aisyah
(4) Azzah
(5) Abdul Wahid atau sering juga dipanggil sebagai Wahid Hasyim
(6) Abdul Hakim (Abdul Kholik)
(7) Abdul Karim
(8) Ubaidillah
(9) Mashuroh
(10) Muhammad Yusuf
Nyai Masruroh, istri ketiga, setelah istri kedua wafat, yaitu putri dari Kyai Hasan, pengasuh pengasuh Pondok
Pesantren Kapurejo, Pagu, Kediri. Dari pernikahan ini, Kyai Hasyim dikarunia 4 orang putra-putri, yaitu:

(1) Abdul Qodir


(2) Fatimah
(3) Khotijah
(4) Muhammad Ya’kub

Khoriyah hasyim

LAHIR tahun 1906, sebagai putri kedua dari ulama besar, KH Hasyim Asy’ari, Khoiriyah Hasyim hidup dalam
naungan tuntunan Islam. Beliau dididik langsung oleh KH Hasyim Asy’ari tanpa membaur dengan santri-santri
KH Hasyim Asy’ari. Terkadang dari balik tabir Nyai Khoiriyah mendengar penjelasan dari KH Hasyim Asy’ari
mengenai agama Islam.[Srimulyani, Eka. 2012. Women from Islamic Education Institutions in Indonesia:
Negotiating Public Spaces. Amsterdam: Amsterdam University Press]

Pada usia 13 tahun ia menikah dengan santri KH Hasyim Asy’ari, yaitu Maksum Ali dari keluarga pesantren
Maskunambang, Gresik. Tahun 1921, Seperti lazimnya dalam dunia pesantren, maka KH Maksum Ali
kemudian membuka Pesantren Seblak, sekitar 200 m dari Tebuireng, di atas tanah yang pernah dibeli oleh KH
Haysim Asy’ari. KH Maksum Ali kemudian memimpin sendiri pesantren tersebut.

Ketika tahun 1933, KH Maksum Ali wafat. Maka diusia yang masih muda, 27 tahun, Nyai Khoiriyah Hasyim
mengambil alih kepemimpinan pesantren tersebut. Selama lima tahun ia memimpin Pesantren Seblak (1933-
1938). Di tahun 1938, ia menikah dengan Kiai Muhaimin. Mengikuti sang suami, ia pun pindah ke Makkah.
Selain untuk menunaikan ibadah haji, kepergian sang suami ke Makkah adalah untuk menuntut ilmu dari para
ulama di Tanah Suci.

Di Tanah Suci, Nyai Khoiriyah tak bisa lepas dari dunia pendidikan. Saat sang suami menjadi kepala Madrasah
Darul Ulum di Makkah, menggantikan ulama besar Nusantara, Syeikh Yasin Al-Fadany, tercetuslah ide untuk
membentuk madrasah putri pertama di Tanah Suci. Pada tahun 1942 rencana tersebut akhirnya terwujud.
Sebuah madrasah khusus perempuan pertama di Tanah Suci akhirnya dibuka. Madrasah tersebut bernama
Madrasah Banat, yang menjadi bagian dari Madrasah Darul Ulum. Hal ini tentu menjadi prestasi tersendiri bagi
umat Islam asal Indonesia yang mampu membuka madrasah perempuan pertama di Makkah.

Kiprah Nyai Khoiriyah tak selamanya di Mekkah. Tahun 1956, suaminya, Kiai Muhamin wafat. Ia pun
akhirnya kembali ke tanah air setelah hampir 20 tahun di Makkah. Kepulangannya ke Indonesia juga untuk
memenuhi ajakan Presiden Soekarno saat itu, untuk mengembangkan pesantren di Indonesia. Ia memang bukan
perempuan biasa. Kedalaman ilmunya diakui banyak pihak. Mantan pemimpin Pesantren Tebuireng, KH Yusuf
Hasyim, menyebutnya Kiai Putri. Dan karena keluasan dan kedalaman ilmu beliau pula, Nyai Khoiriyah
menjadi satu-satunya perempuan yang mampu duduk di jajaran Bahtsul Masail Nadhlatul Ulama. Bersama-
sama dengan Kiai sepuh lain di NU, Bashul Mashail menjadi otoritas di NU yang bertugas membahas masalah-
masalah maudlu’iyah (tematik) dan waqi’iyah (aktual) yang akan menjadi Keputusan Pengurus Besar Nahdlatul
Ulama. Di katakan oleh KH. Yusuf Hasyim, Nyai Khoiriyah mampu untuk berargumen dengan Kiai-Kiai lain di
Ba’htsul Masail NU.

Kapasitas ilmunya memang tak diragukan lagi. Di Pesantren Salafiyah Seblak, Nyai Khoiriyah-lah yang
menguji kemampuan para calon Imam shalat Jumat di sana. Ia menguji bacaan surat Al-Fatihah para calon
imam tersebut. Dan tidak semuanya bisa lolos dari ujian tersebut. Ia pun aktif menulis mengenai Islam ke media
massa. Salah satunya adalah tulisannya yang berjudul “Pokok Tjeramah dan Pengertian Antar Mazahib dan
Toleransinya” yang dimuat di majalah Gema Islam tahun 1962. Dari tahun 1957 hingga tahun 1968, figurnya
tak bisa dilepaskan dari dunia pesantren. Di pesantren Seblak sendiri berdiri Pesantren khusus putri. Lahirnya
Pesantren Seblak khusus putri ini tak lepas dari dukungan KH Haysim Asy’ari.

Adalah putri Nyai Khoiriyah Hasyim, Nyai Abidah dan suaminya Kiai Machfudz Anwar, yang memelopori
berdirinya pesantren putri tersebut, saat Nyai Khoiriyah berada di Makkah. Tak heran jika jiwa pendidik
menurun kepada putrinya, Nyai Abidah. Dengan tangan dingin Nyai Khoiriyah, Nyai Abidah digembleng
dengan pendidikan agama.

Kiprahnya di Nadhlatul Ulama pun amat berpengaruh, terutama di Muslimat NU. Muslimat NU didirikan
bertujuan untuk melaksanakan tujuan NU dikalangan wanita, untuk melaksanakan syariat Islam menurut haluan
Ahlus Sunnah wal Jamaah. Di Nadhlatul Ulama ia menjadi salah satu anggota Badan Syuriah PBNU. Sebuah
posisi yang hanya diiisi oleh Kiai-Kiai senior.[ Baidlowi, Asiyah Hamid. Profil Organisasi Wanita Islam: Studi
Kasus Muslimat NU (Makalah Utama) dalam Wanita Islam Indonesia dalam Kajian Tekstual dan Kontekstual,
Kumpulan Makalah Seminar. Jakarta: INIS]

Hingga akhir hayatnya, hidupnya selalu dipenuhi panggilan berdakwah. Ia mengisi berbagai majelis taklim. Di
pesantren, ia menekankan pada santriwati untuk menuntut aurat. Ia sendiri yang menjadi contoh para santriwati
dalam menutup aurat, dengan mengenalkan Kerudung Rubu.’ Sebuah model kerudung yang menutup aurat, dan
menyerupai jilbab. Namun sayang, Kiprah dan perjuangan Nyai Khoiriyah sebagai ulama perempuan kini
seperti terlupakan.

Kiprahnya sebagai ulama perempuan membuktikan bahwa kehadiran perempuan tetap bermakna besar bagi
pesantren dan pendidikan di Indonesia. Benih ilmu yang ditaburnya merentang dari Jombang hingga Mekkah.
Nyai Khoiriyah hanyalah salah satu dari banyak Muslimah pembawa perubahan di Indonesia. Berbagai
partisipasi dan prestasi Muslimah di Indonesia bertitik tolak bukan dari argumen kesetaraan gender yang
berhawa fenismee. Kiprah mereka, justru bertolak dari kecintaan pada Islam dan tetap berjalan di jalan Islam

han Wahid-Sholichah dikaruniai enam orang putra-putri, yaitu Abdurrahman, Aisyah, Salahuddin, Umar, Lily
Khodijah, dan Muhammad Hasyim.

Tokoh Baru Diprediksi Akan Lahir dari Keluarga


KH Wahid Hasyim
Surabaya (ANTARA News) - Tokoh baru dari keluarga KH A Wahid Hasyim, tokoh Islam terkemuka di
Indonesia dan anak pendiri Nahdlatul Ulama (NU) KH Hasyim Asyari, diprediksi akan muncul ke pentas
nasional.

Prediksi itu disampaikan Ali Yahya, pengarang buku "Sama Tapi Beda, Potret Keluarga Besar KH A Wahid
Hasyim", ketika meluncurkan buku karangannya di Surabaya, Minggu.

Menurut Ali, tokoh baru yang akan muncul tersebut adalah Zannuba Ariffah Chafsoh, putri KH Abdurrahman
Wahid, yang kini menjadi Sekjen PKB, dan Irfan Asy'ari Sudirman, putra Ir Shalahuddin Wahid, yang kini
menjadi anggota Dewan Pakar PKS.

"Peluang putri Gus Dur dan putra Gus Sholah dalam pentas nasional sangat terbuka," ujar alumni Fakultas
Psikologi UI tersebut.

Prediksi Ali Yahya dituangkan dalam salah satu bab bukunya dengan judul "Yenny Wahid : Diakah Politikus
NU Masa Depan" dan "Irfan Asy'ari Sudirman : Mengabdi Lewat Seni".

"Yenny adalah cucu dari KH A Wahid Hasyim yang paling dikenal dan wajahnya cukup familiar bagi publik.
Dia pernah menjadi staf khusus Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam bidang komunikasi politik,"
katanya.

Sedangkan Irfan Asy'ari, Ali Yahya mencatat banyak bergerak di bidang komunikasi dan periklanan yang salah
satu karyanya adalah menciptakan slogan 'PKS bersih dan peduli' untuk kampanye Pemilu legislatif 2004.

Pada kesempatan yang sama, Ali Yahya mengatakan di Indonesia belum ada keluarga yang mempunyai tiga
generasi yang menjadi tokoh semuanya, seperti yang terjadi pada keluarga Wahid Hasyim.

"Keluarga Wahid Hasyim merupakan keluarga yang berbeda tidak hanya inter generasi, namun juga antar
generasi. Manusia memang unik, tidak ada manusia yang persis sama, meskipun kembar sekalipun," katanya.

Keluarga demokratis

Ali mengatakan keluarga Wahid Hasyim merupakan keluarga yang demokratis dan egaliter, yang nampak dari
tingkah laku sehari-hari. "Perbedaaan di antara mereka terjadi karena perbedaan pemikiran," katanya.

Peluncuran buku karya Ali Yahya dihadiri semua keluarga besar KHA Wahid Hasyim dan anak-anaknya
kecuali Hasyim Wahid.

Nampak hadir KH Abdurrahman Wahid, Salahuddin Wahid, Ny Aisyah Baidowi, dr Umar Wahid dan Lily
Chodijah.

Sementara itu sejumlah tokoh yang turut hadir antara lain Menkominfo, Muhammad Nuh, Ketua Umum DPP
PKB, Muhaimin Iskandar, Ketua DPW PKS Jatim, Ja'far Tri Kuswahyono dan Kepala Dinas Pemukiman Jatim,
Ir Chairul Djaelani.

Mantan Ketua DPR Akbar Tanjung dan Prof Dr Mahfud MD yang dijadwalkan hadir berhalangan, sedangkan
pembahas yang nampak hadir adalah KH Muchid Muzadi (kakak KH Hasyim Muzadi), tokoh PPP dai MI,
Aisyah Amini dan dr Muhammad Thohir dari RSI.

Acara juga dihadiri sejumlah politisi dan tokoh masyarakat alumni Pondok Pesantren Tebuireng. (*)

KH Salahuddin Wahid (Gus Sholah) adalah salah seorang tokoh NU yang telah lama dikenal sebagai sosok
yang idealis dan memiliki komitmen tinggi untuk memajukan NU ke depan. Tokoh yang kini dipercaya sebagai
pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng Jombang ini banyak di sebut-sebut sebagai salah satu calon kuat Ketua
Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) pada Muktamar ke-32 NU di Makassar, akhir Bulan ini

Pria kelahiran Jombang, 11 September 1942 ini adalah salah satu tokoh HAM di Indonesia. Dia merupakan adik
kandung dari mantan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Sebagai tokoh agama dia tidak terima dengan
anggapan banyak ustadz yang mengajarkan radikalisme. karena pasti ada ajaran kebaikan yang mereka ajarkan
kepada pengikutnya. Namun dia mengakui, tidak mudah bagi ulama untuk menyadarkan anak-anak muda yang
telah mendapat pemahaman salah tentang jihad.

Selain itu dia memandang NU sebagai ajaran yang bisa bertahan dan compartible dengan perkembangan zaman.
Ini berarti, sebagai ajaran NU tidak ada yang salah. Ajaran bisa dikembangkan menjadi banyak hal seperti fikih,
akidah, tasawuf. Dalam hal ini masing-masing aspek ajaran mengalami banyak tantangan.

Serta NU sebagai organisasi yang perlu ditingkatkan kinerjanya untuk bisa memanfaatkan potensi yang ada,
agar bisa berperan sehebat ketika sekian puluh tahun yang lalu. Sejak lama organisasi NU sudah memberikan
sumbangsih yang sangat besar kepada bangsa Indonesia. Inilah fitrah organisasi NU. Menurut saya, organisasi
NU saat ini sudah mulai melenceng dari jalur fitrahnya. Dan organisasi NU harus dikembalikan kepada
fitrahnya untuk menghadapi tantangan-tantangan ke depan bangsa dan umat agar bisa memberikan sumbangsih
yang sebesar sumbangsih pada masa-masa sekian puluh tahun yang lalu.

Di kancah politik, Gus Sholah pernah menjabat sebagai Wakil Ketua Komnas HAM. Bersama kandidat
presiden Wiranto, dia mencalonkan diri sebagai kandidat wakil presiden pada pemilu presiden 2004.
Langkahnya terhenti pada babak pertama, karena menempati urutan ketiga.

Riset dan analisis oleh Vizcardine Audinovic

PENDIDIKAN

Institut Teknologi Bandung

Umar Sekilas Mengenai Dr. Umar Wahid Sp.P


Apakah anda mengenal sosok Dr Umar Wahid Sp.P? Bisa jadi sebagian dari pembaca belum mengenal beliau karena
memang. Namun bagi seorang dokter saya meyakini pasti mengenal beliau karena memang beliau berkecimpung dan
mengabdikan diri di bidang kedokteran. Beliau adalah sosok yang saya kagumi, oleh karena itulah buku "the Power of
Spiritual Beliefs" yang sudah saya susun, saya mohon perkenan dari beliau untuk memberikan kata pengantarnya.

Kalau saya menanyakan apakah anda kenal dengan KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) Alm?. Saya yakin semua
pembaca mengenalnya. Dr. Umar Wahid. Sp.P adalah adik kandung dari Gus Dur. Ayah mereka adalah KH Wahid Hasyim
Alm sedangkan kakeknya adalah KH. Hasyim Asy'ari Alm pendiri Nahdatul Ulama.

Berdasarkan informais dari http://klikdokter.com, Dr. Umar, sosoknya yang sederhana namun dengan pemikiran yang
kompleks sekaligus menyeluruh merupakan pribadi seutuhnya seorang Umar Wahid. Seorang pria dengan memiliki latar
belakang pendidikan dokter yang memilih terjun ke kancah dunia politik beberapa tahun terakhir ini.

Pria yang gemar berseloroh canda ini dikenal sebagai pria yang bersahaja di kalangan orang-orang terdekatnya. Tidak
heran, setiap orang yang baru berjumpa kenal dengan dirinya kerap kali tidak merasa kesulitan mengenal akrab pria
yang menjabat wakil ketua Komisi IX DPR RI ini dalam waktu singkat.
Adapun alasan Dokter Umar Wahid Sp.P memilih bidang kedokteran seperti yang ditulis oleh www.klik.dokter.com
adalah sbb

"Begini, saya tiga bersaudara dipesankan oleh mendiang ayah saya, KH. Wahid Hasyim untuk memilki varian profesi yang
berbeda-beda. Kakak saya yang paling sulung sukses menjadi Kiai, sebagaimana pesan sang ayahanda. Lalu kakak saya
yang nomor dua, Salahudin Wahid, mengambil profesi sebagai insinyur. Kemudiansaya sendiri, yang memang sudah
jatuh cinta pada profesi dokter dari semasa kecil, memutuskan untuk menggapai cita-cita. Syukur alhamdulillah."

Apa sih inti dari buku "the Power of Spiritual Beliefs?". Buku ini akan mengaduk-aduk jiwa anda dimana pada akhirnya
akan meledakkan keyakinan berbalut iman akan tujuan hidup yang sejati dan hakiki. Kekayaan, kemakmuran,
kebahagiaan dsb hanyalah fadhilah/ efek samping dari tujuan hidup sejati tadi. Buku ini sangat saya rekomendasikan,
karena inilah intisari dari ribuan artikel yang sudah saya susun.

Siapa yang tak kenal KH A Wahid Hasyim. Hampir setiap orang tahu dan mengenalnya. Dia
adalah putra pendiri Nahdlatul Ulama (NU), KH Hasyim Asy’ari. Perjalanan hidupnya singkat,
karena Allah telah memanggilnya ketika usianya belum lagi genap 39 tahun. Meski di usianya
yang relatif muda, ia telah menjadi figur penting dan memiliki pengaruh yang luar biasa di
berbagai kalangan. Kiprahnya sungguh “mencengangkan”.
Menariknya, enam putra-putri mantan Menteri Agama di era Presiden Soekarno ini memiliki
sifat, profesi, dan politik yang berbeda. Semua itu, tentu saja tak terlepas dari sikap sang ayah
yang selalu menanamkan ruh demokrasi dalam lingkungan keluarga. Setiap perbedaan yang ada
tidak pernah menjadi momok yang mematikan. Namun justru menghasilkan variasi yang unik
dalam keluarga yang penuh warna ini.
“Gajah mati meninggalkan gading, manusia mati meninggalkan nama”. Salah seorang pendiri
negara Republik Indonesia ini meninggalkan lima putra-putri—yang ketika itu masih kecil-kecil—
dan jabang bayi yang masih di dalam kandungan ibunya. Dia adalah Solichah Wahid Hasyim.
Putra-putri KH A Wahid Hasyim kemudian tumbuh dan berkembang menjadi tokoh dan
panutan pada waktu, tempat, dan lingkungan yang berbeda-beda. KH Abdurrahman Wahid (Gus
Dur) adalah salah satu mantan presiden RI yang ke-4. Sosoknya penuh kontrovesi. Aisyah Hamid
Baidlowi menjadi politisi Partai Golkar, Salahuddin Wahid (Gus Solah) penjelajah lintas disiplin
ilmu, Dr Umar Wahid seorang profesional murni, Lily Chodidjah Wahid pembangkang yang taat,
serta Hasyim Wahid (Gus Im) dikenal sebagai pemberontak yang unik. Sedangkan dari generasi
cucu, setidaknya telah muncul dua nama. Mereka adalah Yenny Wahid (putri Gus Dur) dan Ipang
Wahid (putra Gus Solah).
Potret keluarga besar KH A Wahid Hasyim ini diuraikan secara gamblang dalam buku ini.
“Sama Tapi Berbeda” karya Ali Yahya, alumnus Psikologi Universitas Indonesia ini mengupas lebih
mendalam sisi-sisi lain keluarga besar KH A Wahid Hasyim mulai A sampai Z. Gaya bahasanya
pun renyah, lugas dan mudah dicerna. Ahmad Syafi’i Ma’arif (mantan Ketua Umum PP
Muhammadiyah)—dalam pengantarnya—mengatakan, gaya penulisan buku ini adalah tuturan
yang mengalir.
Meski demikian, Ali Yahya tidak larut dalam nuansa kekagumannya terhadap sang tokoh.
Meski kekagumannya terhadap keluarga ini sungguh luar biasa, namun dirinya tetap berusaha
obyektif dalam memotret keluarga besar KH A Wahid Hasyim yang cukup fenomenal, tidak hanya
di kalangan NU, tetapi juga di lingkungan masyarakat umum di seluruh Indonesia.
KH A Wahid Hasyim dan ayahnya, KH Hasyim Asy’ari adalah dua tokoh bangsa yang sering
jadi perbincangan berbagai kalangan dalam berbagai kepentingan, terutama untuk riset mengenai
masalah-masalah ke-Islam-an dan ke-Indonesia-an.
Dalam konteks ini, apa yang telah diwariskan KH A Wahid Hasyim adalah mencegah timbulnya
penafsiran-penafsiran keagamaan yang dapat memicu radikalisme dan konflik kekerasan. Aspek
pluralisme dan toleransi yang terbingkai dalam gagasan demokratisasi ini kiranya yang menjadi
landasan perjuangan sang putra, KH Abdurrahman Wahid. Adanya berbagai macam golongan dan
kelompok; besar dan kecil, berbeda suku, ras, agama, keyakinan, kelompok kepentingan serta
pengelompokan dengan dasar lainnya, berhak untuk dipertimbangkan aspirasinya dalam
mengambil keputusan politik.
Sikap inilah yang menjadi ciri khas Gus Dur. Implikasi dari komitmen terhadap asas pluralisme
dan kesetaraan ini adalah penolakannya terhadap ide pembentukan negara Islam sebagai tujuan
politik umat Islam di Indonesia. Menurutnya, Islam harus difungsikan sebagai pandangan hidup
yang mengutamakan kesejahteran masyarakat, apa pun corak, ragam, dan bentuk masyarakat
tersebut.
Tak ada yang membantah, memang, di antara putra-putri KH A Wahid Hasyim yang paling
menonjol adalah Gus Dur. Sekitar dua dekade terakhir, dia adalah tokoh NU—bahkan Islam secara
umum—yang paling banyak menyita perhatian berbagai kalangan. Ketokohannya pun banyak
mendapat sorotan. Mulai pengamat nasional hingga internasional.
Ternyata popularitas generasi ini tak hanya diwakili Gus Dur seorang. Pelan namun pasti,
sosok Salahuddin Wahid merangkak naik ke permukaan. Tokoh ini mulai mendapat perhatian
publik sejak mendapat amanat menjadi salah seorang Ketua PBNU tahun 1999. Ia makin ‘naik
daun’ ketika dipercaya sebagai anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM)
sekaligus Wakil Ketua komisi ini. Dan puncaknya, pada pemilu 2004, ia tampil sebagai calon wakil
presiden mendampingi Wiranto. Popularitasnya pun semakin berkibar. Jika sebelumnya orang
lebih mengenalnya sebagai adik Gus Dur, kini ia menjadi Gus Solah sebagai pribadi, lepas dari
bayang-bayang siapa pun, termasuk sang kakak.
Di luar itu, kita juga mengenal Aisyah Hamid Baidlowi sebagai anak KH A Wahid Hasyim yang
aktif di percaturan politik nasional. Hingga kini, ia telah tiga periode menjadi anggota DPR.
Uniknya, ia lebih suka bernaung di bawah “pohon beringin” ketimbang masuk ke “kandang-
kandang sendiri”. Bagi sebagian orang, fakta ini cukup mengherankan. Tetapi, bagi mereka yang
mengenal serta cukup tahu bagaimana kemandirian dan demokratisasi yang sejak lama terbangun
di lingkungan keluarga, kenyataan ini tidaklah mengejutkan.
Di samping ketiganya, putra-putri KH A Wahid Hasyim yang lain pun cukup dikenal di
komunitasnya masing-masing dengan aktifitas dan independensinya sendiri-sendiri. Umar Wahid
misalnya, dia adalah dokter spesialis paru yang sempat dikenal publik ketika menjadi Ketua Tim
Dokter Kepresidenan di era Gus Dur. Selain itu, dia juga menjadi anggota DPR RI. Dua saudara
yang lain, Lily Chodidjah Wahid dan Hasyim Wahid, meski belum teralu dikenal, namun namanya
tidak asing lagi di kalangan-kalangan tertentu.
Mengamati peri kehidupan anak-anak dan cucu-cucu KH A Wahid Hasyim dalam buku ini,
sungguh akan kita dapatkan keunikan tersendiri. Setidaknya terlihat sejauh mana kesamaan dan
perbedaan di antara mereka masing-masing. Dari sini juga kita dapat mengamati betapa peran
orangtua sangat menentukan arah perjalanan sang anak. Dalam hal ini adalah penanaman nuansa
demokratis sejak dalam keluarga.
Dalam banyak hal, anggota keluarga KH A Wahid Hasyim memang memiliki kesamaan satu
sama lain. Tetapi perbedaan di antara mereka—baik antar maupun inter generasi—pun ternyata
tidak sedikit. Hal inilah yang mungkin belum banyak diketahui orang. Semua itu membentuk ritme
irama tersendiri dalam keluarga. Mereka memang sama tapi berbeda.[*]
BIOGRAFI

Hj. Lili Chodidjah Wahid atau yang akrab dipanggil Lily Wahid ini adalah adalah adik kandung Gus Dur. Dia
lahir Jombang 4 Maret 1948. Dalam kancah politik nasional bisa dibilang dia adalah pendatang baru. Namanya
baru mulai dikenai publik ketika mendukung kepengurusan PKB hasil Muktamar Ancol awal 2008 yang
melahirkan Muhaimin Iskandar dan Lukman Edy, masing-masing sebagai ketua umum dan sekjen.

Kala itu, Lily berseberangan dengan kakaknya, Gus Dur. Karena jasanya itulah Lily Wahid selanjutnya
ditempatkan sebagai Wakil Ketua Dewan Syuro DPP PKB. Dari posisi itu, Lily makin dikenal publik. Dan pada
Pemilu 2009, Lily selanjutnya melenggang ke DPR setelah memenangkan pertarungan di daerah pemilihan
(Dapil) Jawa Timur II.

Di DPR, ibu beranak tiga ini kritis terhadap berbagai kebijakan pemerintah yang dianggap bisa
merugikan masyarakat. Bersama politisi perempuan dari partai lain, Lily menjadi inisiator koalisi politisi
perempuan di parlemen. Saat skandal Bank Century mencuat, Lily bersama delapan anggota DPR dari lintas
fraksi berinisiatif membentuk Tim Sembilan. Tim inilah yang menggagas usulan penggunaan hak angket DPR
untuk mengusut kasus pengucuran dana Rp 6,7 triliun ke Bank Century.

Boleh dikata, langkah Lily ini cukup berani. Sebab saat itu tidak ada satupun politisi PKB yang berani
menyatakan mendukung Pansus Century, apalagi menjadi inisiator. Beberapa elite PKB malah menyesalkan
sepak terjang Lily. Tapi dia yakin dengan apa yang dilakukannya. Bukan hanya di parlemen, di partainya
sekalipun dia kritisi.

Saat masih remaja, dia sudah mengenal politik. Ketika usianya masih sekitar 19 tahun, Lily sempat dicalonkan
menjadi anggota DPR. Namun dia memutuskan membatalkan pencalonan karena sudah banyak anggota
keluarga yang menjadi caleg kala itu. Terlebih dia memang lahir dari keluarga Wahid Hasyim yang dekat
dengan hirup pikuk politik.
Bagi Lily, politik tak identik sebagai upaya perebutan kekuasaan. Menurutnya, makna politik sesungguhnya
adalah cara untuk mencapai kemakmuran rakyat. Untuk mencapai tujuan itu, setiap orang bisa memainkan
perannya masing-masing sesuai kemampuannya . Masyarakat biasa bisa berpartisipasi dalam politik dengan
ikut menyampaikan aspirasinya terhadap situasi perkembangan negara lewat saluran-saluran yang ada. Maka,
dia tidak takut untuk menyuarakan kebenaran. Prinsipnya, katakanlah yang benar meski itu pahit.

Riset dan analisis oleh Vizcardine Audinovic

KARIR

 Wakil Ketua Dewan Syuro DPP PKB


 Anggota DPR RI

Abdul Karim Hasyim, Kiai Sastrawan yang Tak Dikenal


Senin, 21 Desember 2015 12:00Pustaka

Bagikan

Kini, banyak banyak generasi muda yang tidak mengenal siapa guru leluhurnya. Mayoritas dari para remaja sekarang lebih
mengenal akrab dengan nama idolanya mereka masing-masing tanpa tahu siapa orang berjasa dalam kehidupannya.<>

Peran tokoh pesantren dalam melestarikan sebuah ilmu pengetahuan sangat besar sekali. Akan tetapi kebanyakan dari
masyarakat umum tidak mengenalnya. Buku ketiga dari “Serial Tokoh Tebuireng” ini adalah salah satu usaha penulis agar jasa
besar para tokoh pesantren senantiasa dikenang bangsa dan negara.

Buku ini menceritakan tentang biografi sosok KH Abdul Karim Hasyim. Di kalangan pesantren, Kiai Karim terkenal sebagai
ahli bahasa dan sastra Arab. Beliau juga produktif menulis dengan nama samaran Akarhanaf, singkatan dari Abdul Karim-
Hasyim Nafiqoh. Hasyim adalah nama ayahnya, sedangkan Nafiqoh adalah nama sang ibu. Selain menjadi seorang sastrawan,
beliau juga seorang politikus. Dalam dunia perpolitikan beliau mempunyai peran sangat penting. Salah satu yang kontroversial
adalah masuknya beliau ke partai Golkar pada tahun 70-an. Karena kebanyakan dari kalangan pesantren pada saat itu berpartai
Islam. Konon, beliau masuk Golkar karena diajak oleh salah satu pejabat di Jombang, dengan pertimbangan bahwa perjuangan
Islam tidak selamanya hanya di pesantren. Dakwah juga tidak selamanya di partai Islam (hal 4). Menurut beliau itu merupakan
sebuah konsep saling menghargai antar ulama dan umara.

Selain kontroversial dalam berpolitik, di buku ini juga diceritakan tentang perjalanan Kiai Karim ketika menuntut ilmu. Cara
beliau belajar sangat misterius, terutama ketika Mbah Hasyim (ayah beliau) memondokkannya ke Kajen Pati asuhan Kiai
Nawawi. Baru seminggu tinggal di sana, beliau sudah pamit pulang. Ketika ditanya sama Kiai Nawawi tentang siapa yang
mengajar, beliau menggambarkannya dengan sosok orang tua. Mendengar jawaban dari Kiai Karim, Kiai Nawawi hanya diam
menyembunyikan rasa kagetnya. Ternyata beliau diajar ngaji oleh Mbah Mutamakkin yang telah meninggal beberapa tahun
yang lalu. Proses belajar inilah yang banyak dianggap sebagai karomah beliau. Bahkan KH Muchit Muzadi (salah satu murid
Kiai Karim) menunjukkan keheranan beliau dengan kualitas keilmuan Kiai Karim pada saat itu.
“Saya kira salah satu karomah Pak Karim adalah satu, belajar beliau dimana? Kok pada zaman seperti itu beliau bisa menguasai
bahasa, terutama bahasa Arab. Padahal setahu saya beliau hanya belajar di Tebuireng dengan para santri pada saat itu, di
samping itu beliau juga ahli dalam bidang fiqih dsb, hanya beliau nampak di bidang sastranya” (hal 27).

Beliau adalah sosok Kiai yang akrab dengan para santrinya, beliau jarang sekali marah. Dalam mengajar beliau selalu santun
dalam berbahasa, karena beliau adalah ahli tata bahasa Arab dan beliau hafal syair-syair Arab. Tak jarang beliau membacakan
syair atau puisi di sela-sela waktu mengajar.

Itu adalah sedikit ulasan mengenai buku ini. Selain itu, buku ini juga dilengkapi dengan coretan atau memoriam yang ditulis
oleh putra-putri beliau, seperti Karimah Karim, H Hasyim Karim, Cecep Karim Hasyim. Dan juga lampiran dan foto yang
bisa mengingatkan kita pada sosok KH Abdul Karim Hayim. Jadi, buku ini cocok dibaca oleh siapa saja, pelajar, masyarakat
umum, terutama kaum santri yang sedang mengenyam pendidikan di pesantren.

Data buku

Judul : Kiai Sastrawan yang Tak Dikenal


Pengarang : Muhammad Subkhi dan Ahmad Sholihin
Penerbit : Pustaka Tebuireng
Tahun : 2011
Cetakan : Pertama
Jumlah Halaman :122 halaman
Peresensi: Fatikhudin, mahasiswa Ma`had Aly Hasyim Asy`ari Tebuireng semester 3

Kini, banyak banyak generasi muda yang tidak mengenal siapa guru leluhurnya. Mayoritas dari para remaja sekarang lebih
mengenal akrab dengan nama idolanya mereka masing-masing tanpa tahu siapa orang berjasa dalam kehidupannya.<>
Peran tokoh pesantren dalam melestarikan sebuah ilmu pengetahuan sangat besar sekali. Akan tetapi kebanyakan dari
masyarakat umum tidak mengenalnya. Buku ketiga dari “Serial Tokoh Tebuireng” ini adalah salah satu usaha penulis agar jasa
besar para tokoh pesantren senantiasa dikenang bangsa dan negara.

Buku ini menceritakan tentang biografi sosok KH Abdul Karim Hasyim. Di kalangan pesantren, Kiai Karim terkenal sebagai
ahli bahasa dan sastra Arab. Beliau juga produktif menulis dengan nama samaran Akarhanaf, singkatan dari Abdul Karim-
Hasyim Nafiqoh. Hasyim adalah nama ayahnya, sedangkan Nafiqoh adalah nama sang ibu. Selain menjadi seorang sastrawan,
beliau juga seorang politikus. Dalam dunia perpolitikan beliau mempunyai peran sangat penting. Salah satu yang kontroversial
adalah masuknya beliau ke partai Golkar pada tahun 70-an. Karena kebanyakan dari kalangan pesantren pada saat itu berpartai
Islam. Konon, beliau masuk Golkar karena diajak oleh salah satu pejabat di Jombang, dengan pertimbangan bahwa perjuangan
Islam tidak selamanya hanya di pesantren. Dakwah juga tidak selamanya di partai Islam (hal 4). Menurut beliau itu merupakan
sebuah konsep saling menghargai antar ulama dan umara.

Selain kontroversial dalam berpolitik, di buku ini juga diceritakan tentang perjalanan Kiai Karim ketika menuntut ilmu. Cara
beliau belajar sangat misterius, terutama ketika Mbah Hasyim (ayah beliau) memondokkannya ke Kajen Pati asuhan Kiai
Nawawi. Baru seminggu tinggal di sana, beliau sudah pamit pulang. Ketika ditanya sama Kiai Nawawi tentang siapa yang
mengajar, beliau menggambarkannya dengan sosok orang tua. Mendengar jawaban dari Kiai Karim, Kiai Nawawi hanya diam
menyembunyikan rasa kagetnya. Ternyata beliau diajar ngaji oleh Mbah Mutamakkin yang telah meninggal beberapa tahun
yang lalu. Proses belajar inilah yang banyak dianggap sebagai karomah beliau. Bahkan KH Muchit Muzadi (salah satu murid
Kiai Karim) menunjukkan keheranan beliau dengan kualitas keilmuan Kiai Karim pada saat itu.
“Saya kira salah satu karomah Pak Karim adalah satu, belajar beliau dimana? Kok pada zaman seperti itu beliau bisa menguasai
bahasa, terutama bahasa Arab. Padahal setahu saya beliau hanya belajar di Tebuireng dengan para santri pada saat itu, di
samping itu beliau juga ahli dalam bidang fiqih dsb, hanya beliau nampak di bidang sastranya” (hal 27).

Beliau adalah sosok Kiai yang akrab dengan para santrinya, beliau jarang sekali marah. Dalam mengajar beliau selalu santun
dalam berbahasa, karena beliau adalah ahli tata bahasa Arab dan beliau hafal syair-syair Arab. Tak jarang beliau membacakan
syair atau puisi di sela-sela waktu mengajar.

Itu adalah sedikit ulasan mengenai buku ini. Selain itu, buku ini juga dilengkapi dengan coretan atau memoriam yang ditulis
oleh putra-putri beliau, seperti Karimah Karim, H Hasyim Karim, Cecep Karim Hasyim. Dan juga lampiran dan foto yang
bisa mengingatkan kita pada sosok KH Abdul Karim Hayim. Jadi, buku ini cocok dibaca oleh siapa saja, pelajar, masyarakat
umum, terutama kaum santri yang sedang mengenyam pendidikan di pesantren.

Anda mungkin juga menyukai