A. Konsep Medis. 1. Definisi. Penyakit Ginjal Kronik (PGK) adalah suatu keadaan menurunnya fungsi ginjal yang bersifat kronik, progresif dan menetap berlangsung. Beberapa tahun pada keadaan ini ginjal kehilangan kemampuannya untuk mempertahankan volume dan cairan tubuh dalam keadaan asupan diet normal (Brunner & Suddarth. 2010). Chronic kidney disease (CKD) atau penyakit ginjal kronis didefinisikan sebagai kerusakan ginjal untuk sedikitnya 3 bulan dengan atau tanpa penurunan glomerulus filtration rate (GFR) (Engram dan Barbara, 2010). CKD atau gagal ginjal kronis (GGK) didefinisikan sebagai kondisi dimana ginjal mengalami penurunan fungsi secara lambat, progresif, irreversibel, dan samar (insidius) dimana kemampuan tubuh gagal dalam mempertahankan metabolisme, cairan, dan keseimbangan elektrolit, sehingga terjadi uremia atau azotemia (Smeltze dan Bare, 2013) Gagal Ginjal Kronik (GGK) adalah penurunan fungsi ginjal yang bersifat persisten dan irreversible. Sedangkan gangguan fungsi ginjal yaitu penurunan laju filtrasi glomerulus yang dapat digolongkan dalam kategori ringan, sedang dan berat (Wilkinson, 2011). 2. Etiologi. Gagal ginjal kronik dapat timbul dari hamper semua penyakit. Apapun sebabnya, dapat menimbulkan perburukan fungsi ginjal secara progresif. Dibawah ini terdapat beberapa penyebab gagal ginjal kronik (Brunner & Suddarth. 2010) : a. Tekanan Darah Tinggi. Hipertensi yang berlangsung lama dapat mengakibatkan perubahan – perubahan stuktur pada arteriol diseluruh tubuh, ditandai dengan fibrosis dan hialinisasi (sklerosis) di dinding pembuluh darah. Organ sasaran utama organ ini adalah jantung, otak, ginjal dan mata. Pada ginjal adalah akibat aterosklerosis ginjal akibat hipertensi lama menyebabkan nefrosklerosis begina. Gangguan ini merupakan akibat langsung dari iskemia renal. Ginjal mengecil, biasanya simetris dan permukaan berlubang – lubang dan berglanula. Secara histology lesi yang esensial adalah sklerosis arteri arteri kecil serta arteriol yang paling nyata pada arteriol eferen. Penyumbatan arteri dan arteriol akan menyebabkan kerusakan glomerulus dan atrofi tubulus, sehingga seluruh nefron rusak. b. Glomerulonefritis. Glomerulonefritis terjadi karena adanya peradangan pada glomerulus yang diakibatkan karena adanya pengendapan kompleks antigen antibody. Reaksi peradangan diglomerulus menyebabkan pengaktifan komplemen, sehingga terjadi peningkatan aliran darah dan peningkatan permeabilitas kapiler glomerulus dan filtrasi glomerulus. Protein-protein plasma dan sel darah merah bocor melalui glomerulus. Glomerulonefritis dibagi menjadi dua yaitu: 1) Gomerulonefritis Akut. Glomerulonefritis akut adalah peradangan glomerulus secara mendadak. 2) Glomerulonefritis Kronik. Glomerulonefritis kronik adalah pradangan yang lama dari sel-sel glomerulus. c. Lupus Eritematosus Sistemik (SLE). Nefritis lupus disbabkan oleh kompleks imun dalam sirkulasi yang terperangkap dalam membrane basalis glomerulus dan menimbulkan kerusakan. Perubahan yang paling dini sering kali hanya mengenai sebagian rumbai glomerulus atau hanya mengenai beberapa glomerulus yang tersebar. d. Penyakit Ginjal Polikistik. Penyakit ginjal polikistik (PKD) ditandai dengan kista-kista multiple, bilateral, dan berekspansi yang lambat laun mengganggu dan menghancurkan parenkim ginjal normal akibat penekanan. Semakin lama ginjal tidak mampu mempertahankan fungsi ginjal, sehingga ginjal akan menjadi rusak (GGK). e. Pielonefritis. Pielonefritis adalah infeksi yang terjadi pada ginjal itu sendiri. Pielonefritis itu sendiri dapat bersifat akut atau kronik. Pielonefritis akut juga bias terjadi melalui infeksi hematogen. Pielonefritis kronik dapat terjadi akibat infeksi berulang-ulang dan biasanya dijumpai pada individu yang mengidap batu, obstruksi lain, atau repluks vesikoureter. f. Diabetes Melitus. Diabetes mellitus adalah penyebab tunggal ESRD yang tersering, berjumlah 30% hingga 40% dari semua kasus. Diabetes mellitus menyerang struktur dan fungsi ginjal dalam bentuk. Nefropati diabetic adalah istilah yang mencakup semua lesi yang terjadi diginjal pada diabetes mellitus (Price, 2005:941). Riwayat perjalanan nefropati diabetikum dari awitan hingga ESRD dapat dibagi menjadi lima fase atau stadium: 1) Stadium 1 (fase perubahan fungsional dini) ditandai dengan hifertropi dan hiperfentilasi ginjal, pada stadium ini sering terjadi peningkatan GFR yang disebabkan oleh banyak factor yaitu, kadar gula dalam darah yang tinggi, glucagon yang abnormal hormone pertumbuhan, efek rennin, angiotensin II danprostaglandin. 2) Stadium 2 (fase perubahan struktur dini) ditandai dengan penebalan membrane basalis kapiler glomerulus dan penumpukan sedikit demi sedikit penumpukan matriks mesangial. 3) Stadium 3 (Nefropati insipient). 4) Stadium 4 (nefropati klinis atau menetap). 5) Stadium 5 (Insufisiensi atau gagal ginjal progresif). 3. Patofisiologi. Pada waktu terjadi kegagalan ginjal sebagian nefron (termasuk glomerulus dan tubulus) diduga utuh sedangkan yang lain rusak (hipotesa nefron utuh). Nefron-nefron yang utuh hipertrofi dan memproduksi volume filtrasi yang meningkat disertai reabsorpsi walaupun dalam keadaan penurunan GFR / daya saring. Metode adaptif ini memungkinkan ginjal untuk berfungsi sampai ¾ dari nefron–nefron rusak. Beban bahan yang harus dilarut menjadi lebih besar daripada yang bisa direabsorpsi berakibat diuresis osmotik disertai poliuri dan haus. Selanjutnya karena jumlah nefron yang rusak bertambah banyak oliguri timbul disertai retensi produk sisa. Titik dimana timbulnya gejala-gejala pada pasien menjadi lebih jelas dan muncul gejala-gejala khas kegagalan ginjal bila kira-kira fungsi ginjal telah hilang 80% - 90%. Pada tingkat ini fungsi renal yang demikian nilai kreatinin clearance turun sampai 15 ml/menit atau lebih rendah itu. Fungsi renal menurun, produk akhir metabolisme protein (yang normalnya diekskresikan ke dalam urin) tertimbun dalam darah. Terjadi uremia dan mempengaruhi setiap sistem tubuh. Semakin banyak timbunan produk sampah, akan semakin berat (Engram dan Barbara, 2010). 4. Manifestasi Klinis. Menurut Smeltze dan Bare (2013), manifestasi klinis dari gagal ginjal kronik antara lain yaitu: a. Kardiovaskular. Hipertensi, Pitting edema (kaki, tangan, sakrum), edema periorbital, friction rub perikardial, pembesaran vena leher. b. Integument. Warna kulit abu-abu mengkilat, kulit kering dan bersisik, pruritus, ekimosis, kuku tipis dan rapuh, rambut tipis dan kasar. c. Pulmoner. Krekels, sputum kental dan liat, napas dangkal, Pernapasan kussmaul. d. Gatrointestinal. Napas berbau amonia, ulserasi dan perdarahan pada mulut, anoreksia (mual dan muntah), konstipasi dan diare, perdarahan dari saluran GI. e. Neurologi. Kelemahan dan keletihan, konfusi, disorientasi, kejang, kelemahan pada tungkai, rasa panas,pada telapak kaki, perubahan perilaku. f. Muskuloskeletal. Kram otot, kekuatan otot hilang, fraktur tulang, foot drop. g. Reproduktif. Amenore, atrofi testikuler. 5. Komplikasi. Seperti penyakit kronis dan lama lainnya, penderita CKD akan mengalami beberapa komplikasi. Komplikasi dari CKD menurut Engram dan Barbara (2010) antara lain adalah : a. Hiperkalemi akibat penurunan sekresi asidosis metabolik, kata bolisme, dan masukan diit berlebih. b. Perikarditis, efusi perikardial, dan tamponad jantung akibat retensi produk sampah uremik dan dialisis yang tidak adekuat. c. Hipertensi akibat retensi cairan dan natrium serta malfungsi sistem renin angiotensin aldosteron. d. Anemia akibat penurunan eritropoitin. e. Penyakit tulang serta klasifikasi metabolik akibat retensi fosfat, kadar kalsium serum yang rendah, metabolisme vitamin D yang abnormal dan peningkatan kadar alumunium akibat peningkatan nitrogen dan ion anorganik. f. Uremia akibat peningkatan kadar uream dalam tubuh. g. Gagal jantung akibat peningkatan kerja jantung yang berlebihan. h. Malnutrisi karena anoreksia, mual, dan muntah. i. Hiperparatiroid, Hiperkalemia, dan Hiperfosfatemia. 6. Pemeriksaan Penunjang. Menurut Brunner dan Suddarth (2010), untuk menentukan diagnosa pada CKD dapat dilakukan cara sebagai berikut: a. Laboratorium : 1) Laju Endap Darah : Meninggi yang diperberat oleh adanya anemia, dan hipoalbuminemia. Anemia normositer normokrom, dan jumlah retikulosit yang rendah. 2) Ureum dan kreatini : Meninggi, biasanya perbandingan antara ureum dan kreatinin kurang lebih 20 : 1. Perbandingat meninggi akibat pendarahan saluran cerna, demam, luka bakar luas, pengobatan steroid, dan obstruksi saluran kemih. Perbandingan ini berkurang ketika ureum lebih kecil dari kreatinin, pada diet rendah protein, dan tes Klirens Kreatinin yang menurun. 3) Hiponatremi : Umumnya karena kelebihan cairan. Hiperkalemia : biasanya terjadi pada gagal ginjal lanjut bersama dengan menurunya dieresis 4) Hipokalemia dan hiperfosfatemia: terjadi karena berkurangnya sintesis vitamin D3 pada GGK. 5) Phosphate alkaline : meninggi akibat gangguan metabolisme tulang, terutama isoenzim fosfatase lindi tulang. 6) Hipoalbuminemia dan hipokolesterolemia : umunya disebabkan gangguan metabolisme dan diet rendah protein. 7) Peninggian gula darah, akibat gangguan metabolism karbohidrat pada gagal ginjal ( resistensi terhadap pengaruh insulin pada jaringan perifer ). 8) Hipertrigliserida, akibat gangguan metabolisme lemak, disebabkan peninggian hormone insulin dan menurunnya lipoprotein lipase. 9) Asidosis metabolic dengan kompensasi respirasi menunjukan Ph yang menurun, BE yang menurun, HCO3 yang menurun, PCO2 yang menurun, semuanya disebabkan retensi asam-asam organic pada gagal ginjal. b. Radiologi. Foto polos abdomen untuk menilai bentuk dan besar ginjal ( adanya batu atau adanya suatu obstruksi ). Dehidrasi karena proses diagnostic akan memperburuk keadaan ginjal, oleh sebab itu penderita diharapkan tidak puasa. c. IIntra Vena Pielografi (IVP). Untuk menilai system pelviokalisisdan ureter. d. USG. Untuk menilai besar dan bentuk ginjal, tebal parenkim ginjal, kepadatan parenkim ginjal, anatomi system pelviokalises, ureter proksimal, kandung kemih dan prostat. e. EKG. Untuk melihat kemungkinan hipertropi ventrikel kiri, tanda-tanda perikarditis, aritmia, gangguan elektrolit (hiperkalemia) 7. Penatalaksanaan. Untuk mendukung pemulihan dan kesembuhan pada klien yang mengalami CKD maka penatalaksanaan pada klien CKD terdiri dari penatalaksanan medis/farmakologi, penatalaksanan keperawatan dan penatalaksanaan diet. Dimana tujuan penatalaksaan adalah untuk mempertahankan fungsi ginjal dan homeostasis selama mungkin (Engram dan Barbara, 2010). a. Penatalaksanaan medis 1) Cairan yang diperbolehkan adalah 500 sampai 600 ml untuk 24 jam atau dengan menjumlahkan urine yang keluar dalam 24 jam ditamnbah dengan IWL 500ml, maka air yang masuk harus sesuai dengan penjumlahan tersebut. 2) Pemberian vitamin untuk klien penting karena diet rendah protein tidak cukup memberikan komplemen vitamin yang diperlukan. 3) Hiperfosfatemia dan hipokalemia ditangani dengan antasida mengandung alumunium atau kalsium karbonat, keduanya harus diberikan dengan makanan. 4) Hipertensi ditangani dengan berbagai medikasi antihipertensif dan control volume intravaskuler. 5) Asidosis metabolik pada gagal ginjal kronik biasanya tampa gejala dan tidak memerlukan penanganan, namun demikian suplemen makanan karbonat atau dialisis mungkin diperlukan untuk mengoreksi asidosis metabolic jika kondisi ini memerlukan gejala. 6) Hiperkalemia biasanya dicegah dengan penanganan dialisis yang adekuat disertai pengambilan kalium dan pemantauan yang cermat terhadap kandungan kalium pada seluruh medikasi oral maupun intravena. Pasien harus diet rendah kalium kadang – kadang kayexelate sesuai kebutuhan. 7) Anemia pada gagal ginjal kronis ditangani dengan epogen (eritropoetin manusia rekombinan). Epogen diberikan secara intravena atau subkutan tiga kali seminggu. 8) Transplantasi ginjal. b. Penatalaksanaan Keperawatan. 1) Hitung intake dan output yaitu cairan : 500 cc ditambah urine dan hilangnya cairan dengan cara lain (kasat mata) dalam waktu 24 jam sebelumnya. 2) Elektrolit yang perlu diperhatikan yaitu natrium dan kalium. Natrium dapat diberikan sampai 500 mg dalam waktu 24 jam. c. Penatalaksanaan Diet. 1) Kalori harus cukup : 2000 – 3000 kalori dalam waktu 24 jam. 2) Karbohidrat minimal 200 gr/hari untuk mencegah terjadinya katabolisme protein 3) Lemak diberikan bebas. 4) Diet uremia dengan memberikan vitamin : tiamin, riboflavin, niasin dan asam folat. 5) Diet rendah protein karena urea, asam urat dan asam organik, hasil pemecahan makanan dan protein jaringan akan menumpuk secara cepat dalam darah jika terdapat gagguan pada klirens ginjal. Protein yang diberikan harus yang bernilai biologis tinggi seperti telur, daging sebanyak 0,3 – 0,5 mg/kg/hari. 8. Pencegahan. Pencegahan Penyakit Gagal Ginjal Kronis. Untuk dapat menghindari dan mengurangi resiko gagal ginjal kronis ini, perlu menerapkan beberapa tips berikut ini (Engram dan Barbara, 2010) : a. Jika pengkonsumsi minuman beralkohol, minumah dengan tidak berlebihan. Namun alangkah lebih baik jika anda menghindari minuman tersebut b. Jika menggunakan obat tanpa resep yang dijual bebas, ikutilah petunjuk penggunaan yang tertera pada kemasan. Penggunaan obat dengan dosis yang terlalu tinggi dan berlebihan akan dapat merusak ginjal. Jika mempunyai sejarah keturunan berpenyakit ginjal, konsultasikan pada dokter tentang obat apa yang sesuai. c. Jagalah berat badan dengan selalu berolahraga secara teratur d. Jangan merokok dan jangan pernah berniat untuk mencoba merokok e. Selalu kontrol kondisi medis dengan bantuan dokter ahli untuk mengetahui kemungkinan peningkatan resiko gagal ginjal agar segera diatasi. B. Konsep Proses Keperawatan. 1. Pengkajian. Pengkajian dengan pasien gagal ginjal kronik, meliputi (Wilkinson, 2011) : a. Identitas. Identitas pada klien yang harus diketahui diantaranya: nama, umur, agama, pendidikan, pekerjaan, suku/bangsa, alamat, jenis kelamin, status perkawinan, dan penanggung biaya. b. Keluhan utama. Kapan keluhan mulai berkembang, bagaimana terjadinya, apakah secara tiba-tiba atau berangsur-angsur, apa tindakan yang dilakukan untuk mengurangi keluhan, obat apa yang digunakan. Keluhan utama yang didapat biasanya bervariasi, mulai dari urine output sedikit sampai tidak dapat BAK, gelisah sampai penurunan kesadaran, tidak selera makan (anoreksia), mual, muntah, mulut terasa kering, rasa lelah, napas berbau ( ureum ), dan gatal pada kulit. c. Riwayat penyakit saat ini. Mengkaji keluhan kesehatan yang dirasakan pasien pada saat di anamnesa meliputi palliative, provocative, quality, quantity, region, radiaton, severity scala dan time. Untuk kasus gagal ginjal kronis, kaji onet penurunan urine output, penurunan kesadaran, perubahan pola nafas, kelemahan fisik, adanya perubahan kulit, adanya nafas berbau ammonia, dan perubahan pemenuhan nutrisi. Kaji pula sudah kemana saja klien meminta pertolongan untuk mengatasi masalahnya dan mendapat pengobatn apa. d. Riwayat Penyakit Dahulu. Kaji adanya penyakit gagal ginjal akut, infeksi saluran kemih, payah jantung, penggunaan obat-obat nefrotoksik, Benign prostatic hyperplasia, dan prostektomi. Kaji adanya riwayat penyakit batu saluran kemih, infeksi sistem perkemihan yang berulang, penyakit diabetes mellitus, dan penyakit hipertensi pada masa sebelumnya yang menjadi predisposisi penyebab. Penting untuk dikaji mengenai riwayat pemakaian obat-obatan masa lalu dan adanya riwayat alergi terhadap jenis obat kemudian dokumentasikan. e. Riwayat Penyakit Keluarga. Mengkaji ada atau tidak salah satu keluarga yang mengalami penyakit yang sama. Bagaimana pola hidup yang biasa di terapkan dalam keluarga, ada atau tidaknya riwayat infeksi system perkemihan yang berulang dan riwayat alergi, penyakit hereditas dan penyakit menular pada keluarga. f. Pemeriksaan Fisik ( ROS : Review of System ). 1) Keadaan Umum dan Tanda-Tanda Vital. a) Keadaan umum : Klien lemah dan terlihat sakit berat. b) Tingkat Kesadaran : Menurun sesuai dengan tingkat uremia dimana dapat mempengaruhi system saraf pusat. c) TTV : Sering didapatkan adanya perubahan RR meningkat, tekanan darah terjadi perubahan dari hipertensi ringan sampai berat. 2) Pemeriksaan Fisik : a) Pernafasan B1 (breath) Klien bernafas dengan bau urine (fetor uremik), respon uremia didapatkan adanya pernafasan kussmaul. Pola nafas cepat dan dalam merupakan upaya untuk melakukan pembuangan karbon dioksida yang menumpuk di sirkulasi. b) Kardiovaskuler B2 (blood). Pada kondisi uremia berat tindakan auskultasi akan menemukan adanya friction rub yang merupakan tanda khas efusi pericardial. Didapatkan tanda dan gejala gagal jantung kongestif, TD meningkat, akral dingin, CRT > 3 detik, palpitasi, nyeri dada dan sesak nafas, gangguan irama jantung, edema penurunan perfusiperifer sekunder dari penurunan curah jantungakibat hiperkalemi, dan gangguan kondisi elektrikal otot ventikel. Pada system hematologi sering didapatkan adanya anemia. Anemia sebagai akibat dari penurunan produksi eritropoetin, lesi gastrointestinal uremik, penurunan usia sel darah merah, dan kehilangan darah, biasanya dari saluran GI, kecenderungan mengalami perdarahan sekunder dari trombositopenia. Hipertensi akibat penimbunan cairan dan garam atau peningkatan aktivitas system rennin- angiostensin- aldosteron. Nyeri dada dan sesak nafas akibat perikarditis, efusi pericardial, penyakit jantung koroner akibat aterosklerosis yang timbul dini, dan gagal jantung akibat penimbunan cairan dan hipertensi. c) Persyarafan B3 (brain). Didapatkan penurunan tingkat kesadaran, disfungsi serebral, seperti perubahan proses berfikir dan disorientasi. Klien sering didapatkan adanya kejang, adanya neuropati perifer, burning feet syndrome, restless leg syndrome, kram otot, dan nyeri otot. d) Perkemihan B4 (bladder). Penurunan urine output < 400 ml/ hari sampai anuri, terjadi penurunan libido berat. e) Pencernaan B5 (bowel). Didapatkan adanya mual dan muntah, anoreksia, dan diare sekunder dari bau mulut ammonia, peradangan mukosa mulut, dan ulkus saluran cerna sehingga sering di dapatkan penurunan intake nutrisi dari kebutuhan. f) Musculoskeletal/integument B6 (bone). Di dapatkan adanya nyeri panggul, sakit kepala, kram otot, nyeri kaki (memburuk saat malam hari), kulit gatal, ada/ berulangnya infeksi, pruritus, demam (sepsis, dehidrasi), petekie, area ekimosis pada kulit, fraktur tulang, deposit fosfat kalsium pada kulit jaringan lunak dan sendi, keterbatasan gerak sendi. Didapatkan adanya kelemahan fisik secara umum sekunder dari anemia dan penurunan perfusi perifer dari hipertensi. 2. Diagnosa Keperawatan. Diagnosa keperawatan dengan pasien gagal ginjal kronik, meliputi (Wilkinson, 2011) : a. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan peningkatan bendungan atrium kiri. b. Gangguan rasa nyaman (nyeri) berhubungan dengan Pemasangan Double Lumen Cateter (DLC). c. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan penurunan keluaran urine, diet berlebih dan retensi cairan dan natrium. d. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia, mual, muntah, pembatasan diet dan perubahan membrane mukosa mulut. e. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan suplai oksigen ke jaringan menurun. f. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan otot/ jaringan. g. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan gangguan status metabolic, sirkulasi, sensasi, penurunan turgor kulit, penurunan aktivitas, akumulasi ureum dalam kulit. 3. Intervensi Keperawatan. Intervensi keperawatan dengan pasien gagal ginjal kronik, meliputi (Wilkinson, 2011) : a. Diagnosa Keperawatan 1 Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan peningkatn bendungan atrium kiri. Tujuan dan Kriteria Hasil Setelah diberikan tindakan keperawatan selama 1x24 jam, diharapkan tidak terjadi gangguan pertukaran gas dengan Kriteria Hasil : Pasien dapat bebas dari gejala distress pernafasan dan memperlihatkan ventilasi dan oksigenasi yang adekuat dengan nilai ABGs normal : PH = 7,35 -7,45 PO2 = 80-100 mmHg Saturasi O2 = > 95 % PCO2 = 35-45 mmHg HCO3 = 22-26mEq/L BE (kelebihan basa) = -2 sampai +2 Intervensi Keperawatan 1) Kaji status pernafasan, catat peningkatan respirasi atau perubahan pola nafas. Rasional : Takipneu adalah mekanisme kompensasi untuk hipoksemia dan peningkatan usaha nafas. 2) Catat ada tidaknya suara nafas dan adanya bunyi nafas tambahan seperti crakles, dan wheezing. Rasional : Suara nafas mungkin tidak sama atau tidak ada ditemukan. Crakles terjadi karena peningkatan cairan di permukaan jaringan yang disebabkan oleh peningkatan permeabilitas membran alveoli – kapiler. Wheezing terjadi karena bronchokontriksi atau adanya mukus pada jalan nafas 3) Kaji adanya cyanosis. Rasional : Selalu berarti bila diberikan oksigen (desaturasi 5 gr dari Hb) sebelum cyanosis muncul. Tanda cyanosis dapat dinilai pada mulut, bibir yang indikasi adanya hipoksemia sistemik, cyanosis perifer seperti pada kuku dan ekstremitas adalah vasokontriksi. 4) Observasi adanya somnolen, confusion, apatis, dan ketidakmampuan beristirahat. Rasional : Hipoksemia dapat menyebabkan iritabilitas dari miokardium 5) Berikan istirahat yang cukup dan nyaman. Rasional : Menyimpan tenaga pasien, mengurangi penggunaan oksigen. 6) Berikan humidifier oksigen dengan masker CPAP jika ada indikasi. Rasional : Memaksimalkan pertukaran oksigen secara terus menerus dengan tekanan yang sesuai. 7) Berikan pencegahan IPPB. Rasional : Peningkatan ekspansi paru meningkatkan oksigenasi 8) Review X-ray dada. Rasional : Memperlihatkan kongesti paru yang progresif 9) Berikan obat-obat jika ada indikasi seperti steroids, antibiotik, bronchodilator dan ekspektorant. Rasional : Untuk mencegah gngguan pola napas. b. Diagnosa Keperawatan 2 Gangguan rasa nyaman (nyeri) berhubungan dengan Pemasangan Double Lumen Cateter (DLC). Tujuan dan Kriteria Hasil Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam diharapkan nyeri berkurang atau hilang dengan Kriteria hasil : Pasien menunjukan nyeri hilang, pasien dapat istirahat/tidur, pasien mununjukan tingkat kenyamanan, tidak ada kecemasan, tanda-tanda vital dalam batas normal. Intervensi Keperawatan 1) Kaji tingkat nyeri. Rasional : Untuk mengetahui skala nyeri yang dirasakan klien. 2) Beri penjelasan tentang maksud pemasangan alat. Rasional : Memberikan informasi yang adekuat dan tujuan pemasangan alat. 3) Beri posisi yang nyaman. Rasional: Memberikan dan menetralisir rasa nyeri. 4) Anjurkan klien melakukan teknik relaksasi nafas dalam. Rasional : Teknik relaksasi bisa menghilangkan/ meringankan rasa nyeri. c. Diagnosa Keperawatan 3 Kelebihan volume cairan berhubungan dengan penurunan keluaran urine, diet berlebih dan retensi cairan dan natrium. Tujuan dan Kriteria Hasil Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam diharapkan dapat mempertahankan berat tubuh ideal tanpa kelebihan cairan dengan Kriteria Hasil : Haluaran urine tepat dengan berat jenis/hasil lab mendekati normal, BB stabil, TTV dalam batas normal, Tidak ada edema. Intervensi Keperawatan 1) Timbang BB klien. Rasional : Untuk mengetahui berat badan klien sebelum dilakukan HD. 2) Atur posisi klien senyaman mungkin sesuai kebutuhan. Rasional : Meninggikan kepala dapat melaksanakan proses HD dan memberikan rasa nyaman kepala klien selama HD berlangsung. 3) Observasi Tanda- Tanda Vital. Rasional : Mengetahui keadaan umum klien dan status kesehatan dan klien yang mengalami hipotensi tidak dapat dilakukan HD perlu tindakan untuk menurunkan kembali TD . 4) Pantau cairan masuk dan keluar. Rasional : Mengetahui keseimbangan volume cairan tubuh. 5) Observasi follow up. Rasional : Untuk mengetahui mesin HD bekerja dengan baik tanpa adanya masalah saat dilakukan proses HD 6) Amati perawat dalam melakukan pemberian obat. Rasional : Untuk mengurangi edema pada bagian ekstermitas bawah sebelah kanan. d. Diagnosa Keperawatan 4 Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia, mual, muntah, pembatasan diet dan perubahan membrane mukosa mulut. Tujuan dan Kriteria Hasil Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam diharapkan mampu mempertahankan/ meningkatkan masukan nutrisi yang adekuat dengan Kriteria Hasil : BB meningkat, porsi makan dihabiskan, tidak ada keluhan anoreksia/ nausea, nafsu makan meningkat. Intervensi Keperawatan 1) Kaji/ catat pemasukan diet. Rasional : Membantu dalam mengidentifikasi defisiensi dan kebutuhan diet. 2) Timbang berat badan klien. Rasional : Untuk mengetahui berat badan pasien sebelum dilakukan HD. 3) Anjurkan perawatan mulut/ sering cuci mulut. Rasional : Memberi kesegaran mulut dan meningkatkan selera makan. 4) Anjurkan/ berikan makan sedikit tapi sering. Rasional : Meminimalkan anoreksia dan mual. 5) Anjurkan klien untuk mengkonsumsi makanan diit rendah protein dan rendah garam. Rasional : Diit untuk pasien gagal ginjal. e. Diagnosa Keperawatan 5 Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan suplai oksigen ke jaringan menurun. Tujuan dan Kriteria Hasil Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam diharapkan mampu mempertahankan sirkulasi perifer tetap normal dengan Kriteria Hasil : Denyut nadi perifer teraba kuat dan regular, Warna kulit sekitar luka tidak pucat/sianosis, Kulit sekitar luka teraba hangat, Edema tidak terjadi dan luka tidak bertambah parah. Intervensi Keperawatan 1) Ajarkan pasien untuk melakukan mobilisasi. Rasional : dengan mobilisasi meningkatkan sirkulasi darah. 2) Ajarkan tentang faktor-faktor yang dapat meningkatkan aliran darah : Tinggikan kaki sedikit lebih rendah dari jantung ( posisi elevasi pada waktu istirahat ), hindari penyilangkan kaki, hindari balutan ketat, hindari penggunaan bantal, di belakang lutut dan sebagainya. Rasional : meningkatkan melancarkan aliran darah balik sehingga tidak terjadi edema. 3) Ajarkan tentang modifikasi faktor-faktor resiko berupa : Hindari diet tinggi kolestrol, teknik relaksasi, menghentikan kebiasaan merokok, dan penggunaan obat vasokontriksi. Rasional : kolestrol tinggi dapat mempercepat terjadinya arterosklerosis, merokok dapat menyebabkan terjadinya vasokontriksi pembuluh darah, relaksasi untuk mengurangi efek dari stres. 4) Kerja sama dengan tim kesehatan lain dalam pemberian vasodilator, pemeriksaan gula darah secara rutin dan terapi oksigen ( HBO ). Rasional : Pemberian vasodilator akan meningkatkan dilatasi pembuluh darah sehingga perfusi jaringan dapat diperbaiki, sedangkan pemeriksaan gula darah secara rutin dapat mengetahui perkembangan dan keadaan pasien, HBO untuk memperbaiki oksigenasi daerah ulkus/gangren. f. Diagnosa Keperawatan 6 Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan otot/ jaringan. Tujuan dan Kriteria Hasil Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1x24 jam diharapkan mampu melakukan aktivitas dengan Kriteria Hasil : Mampu melakukan aktivitas sehari - hari ( ADLs) secara mandiri. Intervensi Keperawatan 1) Pantau klien untuk melakukan aktivitas. Rasional : Mengembalikan keefisienan aktivitas. 2) Kaji faktor yang menyebabkan keletihan. Rasional : Untuk mengetahui sejauh mana kemampuan klien untuk dapat melakukan aktivitas fisik. 3) Anjurkan aktivitas alternatif sambil istirahat. Rasional : Mengembalikan kemampuan otot untuk kembali bekerja secara baik (efisien). g. Diagnosa Keperawatan 7 Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan gangguan status metabolic, sirkulasi, sensasi, penurunan turgor kulit, penurunan aktivitas, akumulasi ureum dalam kulit. Tujuan dan Kriteria Hasil Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam diharapkan kerusakan integritas kulit pasien teratasi dengan Kriteria Hasil : Integritas kulit yang baik bias dipertahankan (sensasi, elastisitas, temperatur, hidrasi, pigmentasi). Intervensi Keperawatan 1) Anjurkan pasien untuk menggunakan pakaian yang longgar. Rasional : agar tidak panas. 2) Hindari kerutan pada tempat tidur. Rasional : Kerutan dapat menyebabkan lecet. 3) Jaga kebersihan kulit agar tetap bersih dan lembab. Rasional : kebersihan menghindari infeksi. 4) Mobilisasi pasien (ubah posisi pasien) setiap dua jam sekali. Rasional : menghindari dicubitus. 5) Monitor kulit akan adanya kemerahan. Rasional : kemerahan tanda ada infeksi. 6) Kolaborasi pemberian obat topical. Rasional : untuk membunuh bakteri. 4. Implementasi Keperawatan. Menurut NANDA (2012-2014) implementasi yang dilakukan perawat terdiri dari: a. Do (melakukan) yang dibagi menjadi dependent interventionis dilaksanakan dengan mengikuti order dari pemberi perawatan kesehatan lain dan independent (outonomous) interventions yang dilakukan dengan nursing orders. b. Delegate (mendelegasikan) yaitu pelaksanaan order bisa didelegasikan dengan mencermati tugas dan tanggung jawab komunikasi yang tepat, adanya supervisi atau pengecekan aktifitas yang didelegasikan. c. Record (mencatat) yaitu pencatatan biasa dilakukan dengan berbagai format tergantung dari setiap peminatan antara lain keperawatan anak, keperawatan maternitas, keperawatan medikal bedah, keperawatan komunitas, dan keperawatan jiwa. 5. Evaluasi Evaluasi keperawatan merupakan suatu aktivitas yang direncanakan, terus menerus, aktivitas yang disengaja yaitu klien, keluarga, perawat dan petugas kesehatan lain menentukan kemajuan klien terhadap outcome yang dicapai dari keefektifan dari rencana asuhan keperawatan. Evaluasi dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan SOAP, sebagai pola pikir : S : Respon subjektif pasien terhadap tindakan keperawatan yang telah dilaksanakan dapat diukur dengan memberikan pasien pertanyaan. O : Respon objektif pasien terhadap tindakan keperawatan yang telah dilaksanakan. Dapat diukur dengan mengobservasi perilaku pasien pada saat tindakan dilakukan. A : Analisis ulang atas data subjektif dan objektif untuk menyimpulkan apakah masalah masih tetap atau muncul masalah baru atau ada data yang kontradiksi dengan masalah yang ada. P : Perencanaan atau tindak lanjut berdasarkan hasil analisis pada respon pasien yang terdiri dari tindakan lanjut pasien dan tindakan lanjut oleh perawat. DAFTAR PUSTAKA
Brunner & Suddarth. 2010. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah. Jakarta: