Anda di halaman 1dari 22

LAPORAN PENDAHULUAN

CHRONIC KIDNEY DISEASE (CKD)


A. Konsep Medis.
1. Definisi.
Penyakit Ginjal Kronik (PGK) adalah suatu keadaan menurunnya
fungsi ginjal yang bersifat kronik, progresif dan menetap berlangsung.
Beberapa tahun pada keadaan ini ginjal kehilangan kemampuannya untuk
mempertahankan volume dan cairan tubuh dalam keadaan asupan diet
normal (Brunner & Suddarth. 2010).
Chronic kidney disease (CKD) atau penyakit ginjal kronis
didefinisikan sebagai kerusakan ginjal untuk sedikitnya 3 bulan dengan
atau tanpa penurunan glomerulus filtration rate (GFR) (Engram dan
Barbara, 2010).
CKD atau gagal ginjal kronis (GGK) didefinisikan sebagai kondisi
dimana ginjal mengalami penurunan fungsi secara lambat, progresif,
irreversibel, dan samar (insidius) dimana kemampuan tubuh gagal dalam
mempertahankan metabolisme, cairan, dan keseimbangan elektrolit,
sehingga terjadi uremia atau azotemia (Smeltze dan Bare, 2013)
Gagal Ginjal Kronik (GGK) adalah penurunan fungsi ginjal yang
bersifat persisten dan irreversible. Sedangkan gangguan fungsi ginjal
yaitu penurunan laju filtrasi glomerulus yang dapat digolongkan dalam
kategori ringan, sedang dan berat (Wilkinson, 2011).
2. Etiologi.
Gagal ginjal kronik dapat timbul dari hamper semua penyakit. Apapun
sebabnya, dapat menimbulkan perburukan fungsi ginjal secara progresif.
Dibawah ini terdapat beberapa penyebab gagal ginjal kronik (Brunner &
Suddarth. 2010) :
a. Tekanan Darah Tinggi.
Hipertensi yang berlangsung lama dapat mengakibatkan perubahan –
perubahan stuktur pada arteriol diseluruh tubuh, ditandai dengan
fibrosis dan hialinisasi (sklerosis) di dinding pembuluh darah. Organ
sasaran utama organ ini adalah jantung, otak, ginjal dan mata.
Pada ginjal adalah akibat aterosklerosis ginjal akibat hipertensi
lama menyebabkan nefrosklerosis begina. Gangguan ini merupakan
akibat langsung dari iskemia renal. Ginjal mengecil, biasanya simetris
dan permukaan berlubang – lubang dan berglanula. Secara histology
lesi yang esensial adalah sklerosis arteri arteri kecil serta arteriol yang
paling nyata pada arteriol eferen. Penyumbatan arteri dan arteriol akan
menyebabkan kerusakan glomerulus dan atrofi tubulus, sehingga
seluruh nefron rusak.
b. Glomerulonefritis.
Glomerulonefritis terjadi karena adanya peradangan pada
glomerulus yang diakibatkan karena adanya pengendapan kompleks
antigen antibody. Reaksi peradangan diglomerulus menyebabkan
pengaktifan komplemen, sehingga terjadi peningkatan aliran darah dan
peningkatan permeabilitas kapiler glomerulus dan filtrasi glomerulus.
Protein-protein plasma dan sel darah merah bocor melalui glomerulus.
Glomerulonefritis dibagi menjadi dua yaitu:
1) Gomerulonefritis Akut.
Glomerulonefritis akut adalah peradangan glomerulus secara
mendadak.
2) Glomerulonefritis Kronik.
Glomerulonefritis kronik adalah pradangan yang lama dari sel-sel
glomerulus.
c. Lupus Eritematosus Sistemik (SLE).
Nefritis lupus disbabkan oleh kompleks imun dalam sirkulasi yang
terperangkap dalam membrane basalis glomerulus dan menimbulkan
kerusakan. Perubahan yang paling dini sering kali hanya mengenai
sebagian rumbai glomerulus atau hanya mengenai beberapa
glomerulus yang tersebar.
d. Penyakit Ginjal Polikistik.
Penyakit ginjal polikistik (PKD) ditandai dengan kista-kista multiple,
bilateral, dan berekspansi yang lambat laun mengganggu dan
menghancurkan parenkim ginjal normal akibat penekanan. Semakin
lama ginjal tidak mampu mempertahankan fungsi ginjal, sehingga
ginjal akan menjadi rusak (GGK).
e. Pielonefritis.
Pielonefritis adalah infeksi yang terjadi pada ginjal itu sendiri.
Pielonefritis itu sendiri dapat bersifat akut atau kronik. Pielonefritis
akut juga bias terjadi melalui infeksi hematogen. Pielonefritis kronik
dapat terjadi akibat infeksi berulang-ulang dan biasanya dijumpai pada
individu yang mengidap batu, obstruksi lain, atau repluks vesikoureter.
f. Diabetes Melitus.
Diabetes mellitus adalah penyebab tunggal ESRD yang tersering,
berjumlah 30% hingga 40% dari semua kasus. Diabetes mellitus
menyerang struktur dan fungsi ginjal dalam bentuk. Nefropati diabetic
adalah istilah yang mencakup semua lesi yang terjadi diginjal pada
diabetes mellitus (Price, 2005:941). Riwayat perjalanan nefropati
diabetikum dari awitan hingga ESRD dapat dibagi menjadi lima fase
atau stadium:
1) Stadium 1 (fase perubahan fungsional dini) ditandai dengan
hifertropi dan hiperfentilasi ginjal, pada stadium ini sering terjadi
peningkatan GFR yang disebabkan oleh banyak factor yaitu, kadar
gula dalam darah yang tinggi, glucagon yang abnormal hormone
pertumbuhan, efek rennin, angiotensin II danprostaglandin.
2) Stadium 2 (fase perubahan struktur dini) ditandai dengan
penebalan membrane basalis kapiler glomerulus dan penumpukan
sedikit demi sedikit penumpukan matriks mesangial.
3) Stadium 3 (Nefropati insipient).
4) Stadium 4 (nefropati klinis atau menetap).
5) Stadium 5 (Insufisiensi atau gagal ginjal progresif).
3. Patofisiologi.
Pada waktu terjadi kegagalan ginjal sebagian nefron (termasuk
glomerulus dan tubulus) diduga utuh sedangkan yang lain rusak (hipotesa
nefron utuh). Nefron-nefron yang utuh hipertrofi dan memproduksi
volume filtrasi yang meningkat disertai reabsorpsi walaupun dalam
keadaan penurunan GFR / daya saring.
Metode adaptif ini memungkinkan ginjal untuk berfungsi sampai ¾
dari nefron–nefron rusak. Beban bahan yang harus dilarut menjadi lebih
besar daripada yang bisa direabsorpsi berakibat diuresis osmotik disertai
poliuri dan haus. Selanjutnya karena jumlah nefron yang rusak bertambah
banyak oliguri timbul disertai retensi produk sisa.
Titik dimana timbulnya gejala-gejala pada pasien menjadi lebih jelas
dan muncul gejala-gejala khas kegagalan ginjal bila kira-kira fungsi ginjal
telah hilang 80% - 90%. Pada tingkat ini fungsi renal yang demikian nilai
kreatinin clearance turun sampai 15 ml/menit atau lebih rendah itu.
Fungsi renal menurun, produk akhir metabolisme protein (yang
normalnya diekskresikan ke dalam urin) tertimbun dalam darah. Terjadi
uremia dan mempengaruhi setiap sistem tubuh. Semakin banyak timbunan
produk sampah, akan semakin berat (Engram dan Barbara, 2010).
4. Manifestasi Klinis.
Menurut Smeltze dan Bare (2013), manifestasi klinis dari gagal ginjal
kronik antara lain yaitu:
a. Kardiovaskular.
Hipertensi, Pitting edema (kaki, tangan, sakrum), edema periorbital,
friction rub perikardial, pembesaran vena leher.
b. Integument.
Warna kulit abu-abu mengkilat, kulit kering dan bersisik, pruritus,
ekimosis, kuku tipis dan rapuh, rambut tipis dan kasar.
c. Pulmoner.
Krekels, sputum kental dan liat, napas dangkal, Pernapasan kussmaul.
d. Gatrointestinal.
Napas berbau amonia, ulserasi dan perdarahan pada mulut, anoreksia
(mual dan muntah), konstipasi dan diare, perdarahan dari saluran GI.
e. Neurologi.
Kelemahan dan keletihan, konfusi, disorientasi, kejang, kelemahan
pada tungkai, rasa panas,pada telapak kaki, perubahan perilaku.
f. Muskuloskeletal.
Kram otot, kekuatan otot hilang, fraktur tulang, foot drop.
g. Reproduktif.
Amenore, atrofi testikuler.
5. Komplikasi.
Seperti penyakit kronis dan lama lainnya, penderita CKD akan
mengalami beberapa komplikasi. Komplikasi dari CKD menurut Engram
dan Barbara (2010) antara lain adalah :
a. Hiperkalemi akibat penurunan sekresi asidosis metabolik, kata
bolisme, dan masukan diit berlebih.
b. Perikarditis, efusi perikardial, dan tamponad jantung akibat retensi
produk sampah uremik dan dialisis yang tidak adekuat.
c. Hipertensi akibat retensi cairan dan natrium serta malfungsi sistem
renin angiotensin aldosteron.
d. Anemia akibat penurunan eritropoitin.
e. Penyakit tulang serta klasifikasi metabolik akibat retensi fosfat, kadar
kalsium serum yang rendah, metabolisme vitamin D yang abnormal
dan peningkatan kadar alumunium akibat peningkatan nitrogen dan ion
anorganik.
f. Uremia akibat peningkatan kadar uream dalam tubuh.
g. Gagal jantung akibat peningkatan kerja jantung yang berlebihan.
h. Malnutrisi karena anoreksia, mual, dan muntah.
i. Hiperparatiroid, Hiperkalemia, dan Hiperfosfatemia.
6. Pemeriksaan Penunjang.
Menurut Brunner dan Suddarth (2010), untuk menentukan diagnosa
pada CKD dapat dilakukan cara sebagai berikut:
a. Laboratorium :
1) Laju Endap Darah : Meninggi yang diperberat oleh adanya
anemia, dan hipoalbuminemia. Anemia normositer normokrom,
dan jumlah retikulosit yang rendah.
2) Ureum dan kreatini : Meninggi, biasanya perbandingan antara
ureum dan kreatinin kurang lebih 20 : 1. Perbandingat meninggi
akibat pendarahan saluran cerna, demam, luka bakar luas,
pengobatan steroid, dan obstruksi saluran kemih. Perbandingan ini
berkurang ketika ureum lebih kecil dari kreatinin, pada diet
rendah protein, dan tes Klirens Kreatinin yang menurun.
3) Hiponatremi : Umumnya karena kelebihan cairan. Hiperkalemia :
biasanya terjadi pada gagal ginjal lanjut bersama dengan
menurunya dieresis
4) Hipokalemia dan hiperfosfatemia: terjadi karena berkurangnya
sintesis vitamin D3 pada GGK.
5) Phosphate alkaline : meninggi akibat gangguan metabolisme
tulang, terutama isoenzim fosfatase lindi tulang.
6) Hipoalbuminemia dan hipokolesterolemia : umunya disebabkan
gangguan metabolisme dan diet rendah protein.
7) Peninggian gula darah, akibat gangguan metabolism karbohidrat
pada gagal ginjal ( resistensi terhadap pengaruh insulin pada
jaringan perifer ).
8) Hipertrigliserida, akibat gangguan metabolisme lemak, disebabkan
peninggian hormone insulin dan menurunnya lipoprotein lipase.
9) Asidosis metabolic dengan kompensasi respirasi menunjukan Ph
yang menurun, BE yang menurun, HCO3 yang menurun, PCO2
yang menurun, semuanya disebabkan retensi asam-asam organic
pada gagal ginjal.
b. Radiologi.
Foto polos abdomen untuk menilai bentuk dan besar ginjal ( adanya
batu atau adanya suatu obstruksi ). Dehidrasi karena proses diagnostic
akan memperburuk keadaan ginjal, oleh sebab itu penderita diharapkan
tidak puasa.
c. IIntra Vena Pielografi (IVP).
Untuk menilai system pelviokalisisdan ureter.
d. USG.
Untuk menilai besar dan bentuk ginjal, tebal parenkim ginjal,
kepadatan parenkim ginjal, anatomi system pelviokalises, ureter
proksimal, kandung kemih dan prostat.
e. EKG.
Untuk melihat kemungkinan hipertropi ventrikel kiri, tanda-tanda
perikarditis, aritmia, gangguan elektrolit (hiperkalemia)
7. Penatalaksanaan.
Untuk mendukung pemulihan dan kesembuhan pada klien yang
mengalami CKD maka penatalaksanaan pada klien CKD terdiri dari
penatalaksanan medis/farmakologi, penatalaksanan keperawatan dan
penatalaksanaan diet. Dimana tujuan penatalaksaan adalah untuk
mempertahankan fungsi ginjal dan homeostasis selama mungkin (Engram
dan Barbara, 2010).
a. Penatalaksanaan medis
1) Cairan yang diperbolehkan adalah 500 sampai 600 ml untuk 24
jam atau dengan menjumlahkan urine yang keluar dalam 24 jam
ditamnbah dengan IWL 500ml, maka air yang masuk harus sesuai
dengan penjumlahan tersebut.
2) Pemberian vitamin untuk klien penting karena diet rendah protein
tidak cukup memberikan komplemen vitamin yang diperlukan.
3) Hiperfosfatemia dan hipokalemia ditangani dengan antasida
mengandung alumunium atau kalsium karbonat, keduanya harus
diberikan dengan makanan.
4) Hipertensi ditangani dengan berbagai medikasi antihipertensif dan
control volume intravaskuler.
5) Asidosis metabolik pada gagal ginjal kronik biasanya tampa gejala
dan tidak memerlukan penanganan, namun demikian suplemen
makanan karbonat atau dialisis mungkin diperlukan untuk
mengoreksi asidosis metabolic jika kondisi ini memerlukan gejala.
6) Hiperkalemia biasanya dicegah dengan penanganan dialisis yang
adekuat disertai pengambilan kalium dan pemantauan yang cermat
terhadap kandungan kalium pada seluruh medikasi oral maupun
intravena. Pasien harus diet rendah kalium kadang – kadang
kayexelate sesuai kebutuhan.
7) Anemia pada gagal ginjal kronis ditangani dengan epogen
(eritropoetin manusia rekombinan). Epogen diberikan secara
intravena atau subkutan tiga kali seminggu.
8) Transplantasi ginjal.
b. Penatalaksanaan Keperawatan.
1) Hitung intake dan output yaitu cairan : 500 cc ditambah urine dan
hilangnya cairan dengan cara lain (kasat mata) dalam waktu 24
jam sebelumnya.
2) Elektrolit yang perlu diperhatikan yaitu natrium dan kalium.
Natrium dapat diberikan sampai 500 mg dalam waktu 24 jam.
c. Penatalaksanaan Diet.
1) Kalori harus cukup : 2000 – 3000 kalori dalam waktu 24 jam.
2) Karbohidrat minimal 200 gr/hari untuk mencegah terjadinya
katabolisme protein
3) Lemak diberikan bebas.
4) Diet uremia dengan memberikan vitamin : tiamin, riboflavin,
niasin dan asam folat.
5) Diet rendah protein karena urea, asam urat dan asam organik, hasil
pemecahan makanan dan protein jaringan akan menumpuk secara
cepat dalam darah jika terdapat gagguan pada klirens ginjal.
Protein yang diberikan harus yang bernilai biologis tinggi seperti
telur, daging sebanyak 0,3 – 0,5 mg/kg/hari.
8. Pencegahan.
Pencegahan Penyakit Gagal Ginjal Kronis. Untuk dapat menghindari
dan mengurangi resiko gagal ginjal kronis ini, perlu menerapkan beberapa
tips berikut ini (Engram dan Barbara, 2010) :
a. Jika pengkonsumsi minuman beralkohol, minumah dengan tidak
berlebihan. Namun alangkah lebih baik jika anda menghindari
minuman tersebut
b. Jika menggunakan obat tanpa resep yang dijual bebas, ikutilah
petunjuk penggunaan yang tertera pada kemasan. Penggunaan obat
dengan dosis yang terlalu tinggi dan berlebihan akan dapat merusak
ginjal. Jika mempunyai sejarah keturunan berpenyakit ginjal,
konsultasikan pada dokter tentang obat apa yang sesuai.
c. Jagalah berat badan dengan selalu berolahraga secara teratur
d. Jangan merokok dan jangan pernah berniat untuk mencoba merokok
e. Selalu kontrol kondisi medis dengan bantuan dokter ahli untuk
mengetahui kemungkinan peningkatan resiko gagal ginjal agar segera
diatasi.
B. Konsep Proses Keperawatan.
1. Pengkajian.
Pengkajian dengan pasien gagal ginjal kronik, meliputi (Wilkinson,
2011) :
a. Identitas.
Identitas pada klien yang harus diketahui diantaranya: nama, umur,
agama, pendidikan, pekerjaan, suku/bangsa, alamat, jenis kelamin,
status perkawinan, dan penanggung biaya.
b. Keluhan utama.
Kapan keluhan mulai berkembang, bagaimana terjadinya, apakah
secara tiba-tiba atau berangsur-angsur, apa tindakan yang dilakukan
untuk mengurangi keluhan, obat apa yang digunakan.
Keluhan utama yang didapat biasanya bervariasi, mulai dari
urine output sedikit sampai tidak dapat BAK, gelisah sampai
penurunan kesadaran, tidak selera makan (anoreksia), mual, muntah,
mulut terasa kering, rasa lelah, napas berbau ( ureum ), dan gatal pada
kulit.
c. Riwayat penyakit saat ini.
Mengkaji keluhan kesehatan yang dirasakan pasien pada saat di
anamnesa meliputi palliative, provocative, quality, quantity, region,
radiaton, severity scala dan time.
Untuk kasus gagal ginjal kronis, kaji onet penurunan urine
output, penurunan kesadaran, perubahan pola nafas, kelemahan fisik,
adanya perubahan kulit, adanya nafas berbau ammonia, dan
perubahan pemenuhan nutrisi. Kaji pula sudah kemana saja klien
meminta pertolongan untuk mengatasi masalahnya dan mendapat
pengobatn apa.
d. Riwayat Penyakit Dahulu.
Kaji adanya penyakit gagal ginjal akut, infeksi saluran kemih,
payah jantung, penggunaan obat-obat nefrotoksik, Benign prostatic
hyperplasia, dan prostektomi. Kaji adanya riwayat penyakit batu
saluran kemih, infeksi sistem perkemihan yang berulang, penyakit
diabetes mellitus, dan penyakit hipertensi pada masa sebelumnya
yang menjadi predisposisi penyebab. Penting untuk dikaji mengenai
riwayat pemakaian obat-obatan masa lalu dan adanya riwayat alergi
terhadap jenis obat kemudian dokumentasikan.
e. Riwayat Penyakit Keluarga.
Mengkaji ada atau tidak salah satu keluarga yang mengalami
penyakit yang sama. Bagaimana pola hidup yang biasa di terapkan
dalam keluarga, ada atau tidaknya riwayat infeksi system perkemihan
yang berulang dan riwayat alergi, penyakit hereditas dan penyakit
menular pada keluarga.
f. Pemeriksaan Fisik ( ROS : Review of System ).
1) Keadaan Umum dan Tanda-Tanda Vital.
a) Keadaan umum : Klien lemah dan terlihat sakit berat.
b) Tingkat Kesadaran : Menurun sesuai dengan tingkat uremia
dimana dapat mempengaruhi system saraf pusat.
c) TTV : Sering didapatkan adanya perubahan RR meningkat,
tekanan darah terjadi perubahan dari hipertensi ringan
sampai berat.
2) Pemeriksaan Fisik :
a) Pernafasan B1 (breath)
Klien bernafas dengan bau urine (fetor uremik), respon
uremia didapatkan adanya pernafasan kussmaul. Pola nafas
cepat dan dalam merupakan upaya untuk melakukan
pembuangan karbon dioksida yang menumpuk di sirkulasi.
b) Kardiovaskuler B2 (blood).
Pada kondisi uremia berat tindakan auskultasi akan
menemukan adanya friction rub yang merupakan tanda khas
efusi pericardial. Didapatkan tanda dan gejala gagal jantung
kongestif, TD meningkat, akral dingin, CRT > 3 detik,
palpitasi, nyeri dada dan sesak nafas, gangguan irama
jantung, edema penurunan perfusiperifer sekunder dari
penurunan curah jantungakibat hiperkalemi, dan gangguan
kondisi elektrikal otot ventikel.
Pada system hematologi sering didapatkan adanya
anemia. Anemia sebagai akibat dari penurunan produksi
eritropoetin, lesi gastrointestinal uremik, penurunan usia sel
darah merah, dan kehilangan darah, biasanya dari saluran
GI, kecenderungan mengalami perdarahan sekunder dari
trombositopenia.
Hipertensi akibat penimbunan cairan dan garam atau
peningkatan aktivitas system rennin- angiostensin-
aldosteron. Nyeri dada dan sesak nafas akibat perikarditis,
efusi pericardial, penyakit jantung koroner akibat
aterosklerosis yang timbul dini, dan gagal jantung akibat
penimbunan cairan dan hipertensi.
c) Persyarafan B3 (brain).
Didapatkan penurunan tingkat kesadaran, disfungsi serebral,
seperti perubahan proses berfikir dan disorientasi. Klien
sering didapatkan adanya kejang, adanya neuropati perifer,
burning feet syndrome, restless leg syndrome, kram otot, dan
nyeri otot.
d) Perkemihan B4 (bladder).
Penurunan urine output < 400 ml/ hari sampai anuri, terjadi
penurunan libido berat.
e) Pencernaan B5 (bowel).
Didapatkan adanya mual dan muntah, anoreksia, dan diare
sekunder dari bau mulut ammonia, peradangan mukosa
mulut, dan ulkus saluran cerna sehingga sering di dapatkan
penurunan intake nutrisi dari kebutuhan.
f) Musculoskeletal/integument B6 (bone).
Di dapatkan adanya nyeri panggul, sakit kepala, kram otot,
nyeri kaki (memburuk saat malam hari), kulit gatal, ada/
berulangnya infeksi, pruritus, demam (sepsis, dehidrasi),
petekie, area ekimosis pada kulit, fraktur tulang, deposit
fosfat kalsium pada kulit jaringan lunak dan sendi,
keterbatasan gerak sendi. Didapatkan adanya kelemahan
fisik secara umum sekunder dari anemia dan penurunan
perfusi perifer dari hipertensi.
2. Diagnosa Keperawatan.
Diagnosa keperawatan dengan pasien gagal ginjal kronik, meliputi
(Wilkinson, 2011) :
a. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan peningkatan
bendungan atrium kiri.
b. Gangguan rasa nyaman (nyeri) berhubungan dengan Pemasangan
Double Lumen Cateter (DLC).
c. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan penurunan keluaran
urine, diet berlebih dan retensi cairan dan natrium.
d. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan anoreksia, mual, muntah, pembatasan diet dan perubahan
membrane mukosa mulut.
e. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan suplai
oksigen ke jaringan menurun.
f. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan otot/ jaringan.
g. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan gangguan status
metabolic, sirkulasi, sensasi, penurunan turgor kulit, penurunan
aktivitas, akumulasi ureum dalam kulit.
3. Intervensi Keperawatan.
Intervensi keperawatan dengan pasien gagal ginjal kronik, meliputi
(Wilkinson, 2011) :
a. Diagnosa Keperawatan 1
Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan peningkatn bendungan
atrium kiri.
Tujuan dan Kriteria Hasil
Setelah diberikan tindakan keperawatan selama 1x24 jam, diharapkan
tidak terjadi gangguan pertukaran gas dengan Kriteria Hasil : Pasien
dapat bebas dari gejala distress pernafasan dan memperlihatkan
ventilasi dan oksigenasi yang adekuat dengan nilai ABGs normal :
 PH = 7,35 -7,45
 PO2 = 80-100 mmHg
 Saturasi O2 = > 95 %
 PCO2 = 35-45 mmHg
 HCO3 = 22-26mEq/L
 BE (kelebihan basa) = -2 sampai +2
Intervensi Keperawatan
1) Kaji status pernafasan, catat peningkatan respirasi atau perubahan
pola nafas.
Rasional : Takipneu adalah mekanisme kompensasi untuk
hipoksemia dan peningkatan usaha nafas.
2) Catat ada tidaknya suara nafas dan adanya bunyi nafas tambahan
seperti crakles, dan wheezing.
Rasional : Suara nafas mungkin tidak sama atau tidak ada
ditemukan. Crakles terjadi karena peningkatan cairan di
permukaan jaringan yang disebabkan oleh peningkatan
permeabilitas membran alveoli – kapiler. Wheezing terjadi karena
bronchokontriksi atau adanya mukus pada jalan nafas
3) Kaji adanya cyanosis.
Rasional : Selalu berarti bila diberikan oksigen (desaturasi 5 gr
dari Hb) sebelum cyanosis muncul. Tanda cyanosis dapat dinilai
pada mulut, bibir yang indikasi adanya hipoksemia sistemik,
cyanosis perifer seperti pada kuku dan ekstremitas adalah
vasokontriksi.
4) Observasi adanya somnolen, confusion, apatis, dan
ketidakmampuan beristirahat.
Rasional : Hipoksemia dapat menyebabkan iritabilitas dari
miokardium
5) Berikan istirahat yang cukup dan nyaman.
Rasional : Menyimpan tenaga pasien, mengurangi penggunaan
oksigen.
6) Berikan humidifier oksigen dengan masker CPAP jika ada
indikasi.
Rasional : Memaksimalkan pertukaran oksigen secara terus
menerus dengan tekanan yang sesuai.
7) Berikan pencegahan IPPB.
Rasional : Peningkatan ekspansi paru meningkatkan oksigenasi
8) Review X-ray dada.
Rasional : Memperlihatkan kongesti paru yang progresif
9) Berikan obat-obat jika ada indikasi seperti steroids, antibiotik,
bronchodilator dan ekspektorant.
Rasional : Untuk mencegah gngguan pola napas.
b. Diagnosa Keperawatan 2
Gangguan rasa nyaman (nyeri) berhubungan dengan Pemasangan
Double Lumen Cateter (DLC).
Tujuan dan Kriteria Hasil
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam diharapkan
nyeri berkurang atau hilang dengan Kriteria hasil : Pasien menunjukan
nyeri hilang, pasien dapat istirahat/tidur, pasien mununjukan tingkat
kenyamanan, tidak ada kecemasan, tanda-tanda vital dalam batas
normal.
Intervensi Keperawatan
1) Kaji tingkat nyeri.
Rasional : Untuk mengetahui skala nyeri yang dirasakan klien.
2) Beri penjelasan tentang maksud pemasangan alat.
Rasional : Memberikan informasi yang adekuat dan tujuan
pemasangan alat.
3) Beri posisi yang nyaman.
Rasional: Memberikan dan menetralisir rasa nyeri.
4) Anjurkan klien melakukan teknik relaksasi nafas dalam.
Rasional : Teknik relaksasi bisa menghilangkan/ meringankan rasa
nyeri.
c. Diagnosa Keperawatan 3
Kelebihan volume cairan berhubungan dengan penurunan keluaran
urine, diet berlebih dan retensi cairan dan natrium.
Tujuan dan Kriteria Hasil
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam diharapkan
dapat mempertahankan berat tubuh ideal tanpa kelebihan cairan
dengan Kriteria Hasil : Haluaran urine tepat dengan berat jenis/hasil
lab mendekati normal, BB stabil, TTV dalam batas normal, Tidak ada
edema.
Intervensi Keperawatan
1) Timbang BB klien.
Rasional : Untuk mengetahui berat badan klien sebelum dilakukan
HD.
2) Atur posisi klien senyaman mungkin sesuai kebutuhan.
Rasional : Meninggikan kepala dapat melaksanakan proses HD
dan memberikan rasa nyaman kepala klien selama HD
berlangsung.
3) Observasi Tanda- Tanda Vital.
Rasional : Mengetahui keadaan umum klien dan status kesehatan
dan klien yang mengalami hipotensi tidak dapat dilakukan HD
perlu tindakan untuk menurunkan kembali TD .
4) Pantau cairan masuk dan keluar.
Rasional : Mengetahui keseimbangan volume cairan tubuh.
5) Observasi follow up.
Rasional : Untuk mengetahui mesin HD bekerja dengan baik tanpa
adanya masalah saat dilakukan proses HD
6) Amati perawat dalam melakukan pemberian obat.
Rasional : Untuk mengurangi edema pada bagian ekstermitas
bawah sebelah kanan.
d. Diagnosa Keperawatan 4
Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan anoreksia, mual, muntah, pembatasan diet dan perubahan
membrane mukosa mulut.
Tujuan dan Kriteria Hasil
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam diharapkan
mampu mempertahankan/ meningkatkan masukan nutrisi yang
adekuat dengan Kriteria Hasil : BB meningkat, porsi makan
dihabiskan, tidak ada keluhan anoreksia/ nausea, nafsu makan
meningkat.
Intervensi Keperawatan
1) Kaji/ catat pemasukan diet.
Rasional : Membantu dalam mengidentifikasi defisiensi dan
kebutuhan diet.
2) Timbang berat badan klien.
Rasional : Untuk mengetahui berat badan pasien sebelum
dilakukan HD.
3) Anjurkan perawatan mulut/ sering cuci mulut.
Rasional : Memberi kesegaran mulut dan meningkatkan selera
makan.
4) Anjurkan/ berikan makan sedikit tapi sering.
Rasional : Meminimalkan anoreksia dan mual.
5) Anjurkan klien untuk mengkonsumsi makanan diit rendah protein
dan rendah garam.
Rasional : Diit untuk pasien gagal ginjal.
e. Diagnosa Keperawatan 5
Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan suplai
oksigen ke jaringan menurun.
Tujuan dan Kriteria Hasil
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam diharapkan
mampu mempertahankan sirkulasi perifer tetap normal dengan
Kriteria Hasil : Denyut nadi perifer teraba kuat dan regular, Warna
kulit sekitar luka tidak pucat/sianosis, Kulit sekitar luka teraba hangat,
Edema tidak terjadi dan luka tidak bertambah parah.
Intervensi Keperawatan
1) Ajarkan pasien untuk melakukan mobilisasi.
Rasional : dengan mobilisasi meningkatkan sirkulasi darah.
2) Ajarkan tentang faktor-faktor yang dapat meningkatkan aliran
darah : Tinggikan kaki sedikit lebih rendah dari jantung ( posisi
elevasi pada waktu istirahat ), hindari penyilangkan kaki, hindari
balutan ketat, hindari penggunaan bantal, di belakang lutut dan
sebagainya.
Rasional : meningkatkan melancarkan aliran darah balik sehingga
tidak terjadi edema.
3) Ajarkan tentang modifikasi faktor-faktor resiko berupa : Hindari
diet tinggi kolestrol, teknik relaksasi, menghentikan kebiasaan
merokok, dan penggunaan obat vasokontriksi.
Rasional : kolestrol tinggi dapat mempercepat terjadinya
arterosklerosis, merokok dapat menyebabkan terjadinya
vasokontriksi pembuluh darah, relaksasi untuk mengurangi efek
dari stres.
4) Kerja sama dengan tim kesehatan lain dalam pemberian
vasodilator, pemeriksaan gula darah secara rutin dan terapi
oksigen ( HBO ).
Rasional : Pemberian vasodilator akan meningkatkan dilatasi
pembuluh darah sehingga perfusi jaringan dapat diperbaiki,
sedangkan pemeriksaan gula darah secara rutin dapat mengetahui
perkembangan dan keadaan pasien, HBO untuk memperbaiki
oksigenasi daerah ulkus/gangren.
f. Diagnosa Keperawatan 6
Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan otot/ jaringan.
Tujuan dan Kriteria Hasil
Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1x24 jam diharapkan mampu
melakukan aktivitas dengan Kriteria Hasil : Mampu melakukan
aktivitas sehari - hari ( ADLs) secara mandiri.
Intervensi Keperawatan
1) Pantau klien untuk melakukan aktivitas.
Rasional : Mengembalikan keefisienan aktivitas.
2) Kaji faktor yang menyebabkan keletihan.
Rasional : Untuk mengetahui sejauh mana kemampuan klien untuk
dapat melakukan aktivitas fisik.
3) Anjurkan aktivitas alternatif sambil istirahat.
Rasional : Mengembalikan kemampuan otot untuk kembali
bekerja secara baik (efisien).
g. Diagnosa Keperawatan 7
Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan gangguan status
metabolic, sirkulasi, sensasi, penurunan turgor kulit, penurunan
aktivitas, akumulasi ureum dalam kulit.
Tujuan dan Kriteria Hasil
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam diharapkan
kerusakan integritas kulit pasien teratasi dengan Kriteria Hasil :
Integritas kulit yang baik bias dipertahankan (sensasi, elastisitas,
temperatur, hidrasi, pigmentasi).
Intervensi Keperawatan
1) Anjurkan pasien untuk menggunakan pakaian yang longgar.
Rasional : agar tidak panas.
2) Hindari kerutan pada tempat tidur.
Rasional : Kerutan dapat menyebabkan lecet.
3) Jaga kebersihan kulit agar tetap bersih dan lembab.
Rasional : kebersihan menghindari infeksi.
4) Mobilisasi pasien (ubah posisi pasien) setiap dua jam sekali.
Rasional : menghindari dicubitus.
5) Monitor kulit akan adanya kemerahan.
Rasional : kemerahan tanda ada infeksi.
6) Kolaborasi pemberian obat topical.
Rasional : untuk membunuh bakteri.
4. Implementasi Keperawatan.
Menurut NANDA (2012-2014) implementasi yang dilakukan perawat
terdiri dari:
a. Do (melakukan) yang dibagi menjadi dependent interventionis
dilaksanakan dengan mengikuti order dari pemberi perawatan
kesehatan lain dan independent (outonomous) interventions yang
dilakukan dengan nursing orders.
b. Delegate (mendelegasikan) yaitu pelaksanaan order bisa didelegasikan
dengan mencermati tugas dan tanggung jawab komunikasi yang tepat,
adanya supervisi atau pengecekan aktifitas yang didelegasikan.
c. Record (mencatat) yaitu pencatatan biasa dilakukan dengan berbagai
format tergantung dari setiap peminatan antara lain keperawatan anak,
keperawatan maternitas, keperawatan medikal bedah, keperawatan
komunitas, dan keperawatan jiwa.
5. Evaluasi
Evaluasi keperawatan merupakan suatu aktivitas yang direncanakan,
terus menerus, aktivitas yang disengaja yaitu klien, keluarga, perawat dan
petugas kesehatan lain menentukan kemajuan klien terhadap outcome
yang dicapai dari keefektifan dari rencana asuhan keperawatan.
Evaluasi dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan SOAP,
sebagai pola pikir :
S : Respon subjektif pasien terhadap tindakan keperawatan yang telah
dilaksanakan dapat diukur dengan memberikan pasien pertanyaan.
O : Respon objektif pasien terhadap tindakan keperawatan yang telah
dilaksanakan. Dapat diukur dengan mengobservasi perilaku pasien
pada saat tindakan dilakukan.
A : Analisis ulang atas data subjektif dan objektif untuk menyimpulkan
apakah masalah masih tetap atau muncul masalah baru atau ada data
yang kontradiksi dengan masalah yang ada.
P : Perencanaan atau tindak lanjut berdasarkan hasil analisis pada respon
pasien yang terdiri dari tindakan lanjut pasien dan tindakan lanjut oleh
perawat.
DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddarth. 2010. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah. Jakarta:

EGC

Engram, Barbara. 2010. Rencana Asuhan Keperawatan Medikal-Bedah. Jakarta:

Salemba Medika

Haven & Terra. (2011). Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem Perkemihan.

Jakarta: Penerbit Salemba Medika.

Nurarif & Kusuma. 2015. Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis

dan Nanda NIC NOC. Yogyakarta : Mediaction Publishing

Suzzane C. Smeltze & Brenda G, Bare. 2013. Buku Ajar Keperawatan Medikal

Bedah Brunner & Suddarth. Edisi 8 . Vol 3. Jakarta : EGC

Wilkinson Judith M. 2011. Buku Saku Diagnosis Keperawatan: diagnosis

NANDA, intervensi NIC, kriteria hasil NOC. Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai