Anda di halaman 1dari 43

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA Ny.S 56 Tahun dengan CA OVARIUM +


ANEMIA+TROMBOSITOPENIA PRO KEMOTERAPI

Untuk Memenuhi Tugas Profesi Departemen Maternitas


Ruang 9 RSUD Dr. Saiful Anwar Malang

Oleh:
EKA ROZIKA
NIM. 201820461011114

PROGRAM STUDI PROFESI NERS FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG

2019
LAPORAN KASUS
ASUHAN KEPERAWATAN PADA Ny.S 56 Tahun dengan CA OVARIUM +
ANEMIA+TROMBOSITOPENIA PRO KEMOTERAPI
DI RUANG 09 RSUD Dr. SAIFUL ANWAR KOTA MALANG

Untuk Memenuhi Tugas Profesi Departemen Maternitas

Telah diperiksa dan disetujui pada :


Hari :
Tanggal :
Disusun oleh :
Mahasiswa

EKA ROZIKA
NIM. 201820461011114

Pembimbing Akademik Pembimbing Lahan


A. KONSEP TEORITIS
1. ANATOMI FISIOLOGI OVARIUM
a. Anatomi Ovarium
Ovarium merupakan organ berbentuk seperti buah badam
(almond) dengan ukuran sekitar 4 cm dan melekat pada uterus
melalui ligamen ligamen ovarii yang berjalan di dalam
mesovarium. Ovarium memiliki 2 hubungan, ligamen
infundibulopelvikum (ligamentum suspensorium ovari) yang
berjalan melewati pembuluh-pembuluh darah ovarium dan limfatik
dari dinding pelvis dan ligamentum ovarii yang melalui kornu
uterus (Ellis, 2006).
Vaskularisasi ovarium didapat dari aorta abdominalis yang
turun sepanjang dinding abdomen posterior .Arteri kemudian
menyilang di pembuluh darah arteri iliaca eksterna dan masuk ke
ligamentum suspensorium. Cabang ascendens arteri uterina yang
merupakan cabang dari arteri iliaca interna berjalan sepanjang
uterus lateral menuju daerah medial ovarium dan tuba. Arteri
ovarica dan arteri uterina ascendens kemudian merupakan cabang
perdarahan terakhir dan kemudian beranatomosis satu sama lainnya
yang memberikan sirkulasi kolateral dari sumber abdominal dan
pelvis ke kedua struktur (Moore & Dalley, 2013).
Inervasi ovarium berasal dari pleksus ovaricus dan sebagian
dari pleksus uterinus (pelvikus). Ovarium dan tuba uterina terletak
intraperitoneal, sehingga berada di atas garis nyeri pelvis. Oleh
karena itu, serat nyeri aferen visceral naik secara retrogard dengan
serat simpatis desendens pleksus ovaricus dan nervus splanchnicus
lumbalis ke badan sel pada ganglia sensorik spinalis T11-L11. Serat
refleks aferen visceral mengikuti serat parasimpatis secara
retrogard melalui pleksus hypogastricus inferior dan uterinus
(pelvikus) dan nervus splanchnicus pelvicus ke badan sel pada
ganglia sensorik spinalis S2-S4 (Moore & Dalley, 2013).

Gambar 1. Anatomi Ovarium (Saladin, 2008)

b. Histologi Ovarium
Ovarium melekat pada ligamentum latum uteri melalui
mesovarium (lipatan peritoneum) dan bagian lainnya melalui
ligamentum ovarii propium (dinding uterus). Permukaan ovarium
dilapisi oleh satu lapisan sel, yaitu epitel germinal dan dibawahnya
terdapat jaringan ikat tunika albuginea. Lapisan berikutnya terdapat
korteks yang cukup tebal dan medulla yang banyak terdapat
pembuluh darah. Korteks dan medulla tidak memiliki batas yang
jelas dan kedua bagian ini tampak menyatu. Ovarium memiliki
korpus luteum yang berasal dari folikel yang mengalami ovulasi
dan korpus albikans saat korpus luteum berdegenerasi. Dalam
tahap perkembangan (primordial, primer, sekunder, dan matur),
folikel ovarium mengalami proses degenerasi yang disebut atresia
dan sel degeneratif atretik ini kemudian akan dimakan oleh
makrofag. Atresia folikel terjadi sebelum lahir dan akan berlanjut
ketika seorang wanita memasuki masa subur (diFiore, 2010).

Gambar 2. Histologi Ovarium (diFiore, 2010)

c. Fisiologi Ovarium
Ovarium mempunyai dua fungsi utama sebagai organ penghasil
ovum dan mengeluarkan hormon seks wanita, estrogen dan
progesteron. Hormon estrogen dan progesteron berperan untuk
mendorong fertilisasi ovum dan mempersiapkan sistem reproduksi
wanita untuk kehamilan. Estrogen berperan untuk pematangan dan
pemeliharaan sistem reproduksi wanita dan membentuk
karakteristik sekunder wanita. Sementara progesteron berperan
dalam mempersiapkan lingkungan yang sesuai untuk memelihara
embrio dan kemudian janin serta berperan dalam kemampuan
payudara untuk menghasilkan susu (Sherwood, 2013).

Gambar 3. Fisiologi Ovarium (Saladin, 2008)

2. DEFINISI KANKER OVARIUM


Kanker ovarium merupakan penyakit heterogen yang dapat
dibedakan menjadi tiga tipe utama, yaitu sex cord stromal tumors,
germ cell tumor, dan epithelial ovarian cancer (EOC). Mayoritas
kanker ovarium yang sering ditemukan adalah tipe EOC dan memiliki
beberapa subtipe, antara lain: mucinous, clear cell, endometroid, low-
grade serous, dan high-grade serous carcinoma (HGSC). Subtipe
HGSC merupakan jenis kanker epitel yang paling banyak dan juga
paling agresif. Hal ini karena banyak wanita didiagnosis telah
memasuki stadium lanjut (stadium III atau IV) dengan nilai 5 tahun
ketahanan hidup (5 years survival rate) antara 20-40% (George et al.,
2016).

3. EPIDEMIOLOGI KANKER OVARIUM


Kanker ovarium epitel merupakan kanker kelima yang sering
menyerang wanita dan merupakan kanker ginekologik penyebab
kematian tertinggi di Inggris. Tiap tahun lebih dari 6.500 wanita
didiagnosis menderita kanker ovarium dan sekitar 4.400 meninggal
akibat penyakit ini. Insidensi di Inggris 20 tahun terakhir menunjukkan
kanker ovarium berada pada status yang wajar dengan penurunan
mortalitas 20% sejak tahun. Akan tetapi harapan hidup wanita dengan
kanker ovarium masih lemah dengan nilai 5 tahun ketahanan hidup
tidak mencapai 45% (Doufekas & Olaitan, 2014).
Tingkat insidensi dan kematian kanker ovarium menempati
urutan ketujuh terbanyak pada wanita di dunia dan merupakan kanker
alat genital ketiga setelah kanker serviks dan kanker korpus uteri.
Berdasarkan data yang dikumpulkan sampai tahun 2012, insidensi
kanker ovarium mencapai 238.719 (3,6%) dan jumlah kematian akibat
kanker ovarium mencapai 151.917 (4,3%) di dunia. Di Indonesia,
terdapat 10.238 (6,4%) insiden kanker ovarium dan angka kematian
akibat penyakit ini mencapai 7.075 (7,7%) (GLOBOCAN, 2012).

4. ETIOLOGI DAN FAKTOR RISIKO KANKER OVARIUM


Pada hipotesis incessant ovulation yang diperkenalkan oleh
Fathalla, menyebutkan bahwa siklus ovulasi yang terjadi terus-
menerus selama masa produktif pada wanita meningkatkan faktor
risiko terjadinya High-Grade Serous Carcinoma (HGSC). Dia
menunjukkan bahwa akibat ovulasi yang terjadi terus-menerus akan
meningkatkan terjadinya inflamasi melalui sekresi sitokin, kemokin,
bradikinin, dan hormon. Hal ini dapat mempengaruhi kerusakan DNA
melalui tekanan oksidatif pada cortical inclusion cysts (CIC) di
ovarium (George et al., 2016).
Selain hipotesis mengenai siklus ovulasi terus-menerus,
terdapat teori lain yang mencoba menjelaskan mengenai etiologi
kanker ovarium. Teori itu antara lain teori gonadotropin, teori
androgen, dan teori progesteron. Hipotesis gonadotropin didasarkan
pada hasil yang didapatkan dari percobaan terhadap hewan rodentia
yang telah terpapar zat karsinogenik. Pada percobaan ini didapatkan
bahwa bila kadar hormon estrogen rendah di perifer maka kadar
hormon gonadotropin akan meningkat. Peningkatan kadar hormon
gonadotropin ternyata berhubungan dengan makin membesarnya
tumor ovarium pada binatang tersebut. Hipotesis androgen didasarkan
pada bukti bahwa pada epitel ovarium terdapat reseptor androgen.
Epitel ovarium yang selalu terpapar oleh steroid dari ovarium itu
sendiri dan dari kelenjar adrenal (androstenedion,
dehidroepiandrosteron, dan testosteron) dapat menstimulasi
pertumbuhan epitel ovarium normal dan sel-sel epitel kanker ovarium.
Berbeda dengan efek dari androgen, pada hipostesis progesteron
terdapat peranan protektif terhadap terjadinya kanker ovarium.
Percobaan yang dilakukan terhadap ayam Gallus domesticus yang
mengalami kanker ovarium terjadi penurunan insidensi kanker
ovarium setelah pemberian pil kontrasepsi progesteron (Prawirohardjo,
2010).

Beberapa faktor risiko yang dapat mempengaruhi terjadinya


kanker ovarium antara lain :

1. Usia
Kanker ovarium jarang ditemukan pada wanita yang memiliki
usia <40 tahun. Angka kejadian meningkat dengan makin
bertambahnya usia. Diperkirakan dari 15-16 per 100.000 orang
pada usia 40-44 tahun meningkat menjadi 57 per 100.000 orang
pada usia 70-74 tahun (Prawirohardjo, 2010).

Berdasarkan data Survey Epidemiology End Result periode


tahun 2004-2008 sekitar 1,2% penderita tumor ovarium
didiagnosis di bawah usia 20 tahun, meningkat menjadi 3,5%
antara usia 20-34 tahun, 7,3 % antara 35-44 tahun, 19,1 %
antara 45-54 tahun, dan mencapai 23,1% antara 55-64 tahun.
Insidensi kemudian menurun menjadi 19,7% antara 65-74 tahun,
18,2% antara 75-84 tahun, dan 8% di ataas usia 85 tahun
(Nurlailiyani, 2013).

2. Jumlah paritas
Jumlah kelahiran janin hidup di luar rahim menentukan
penurunan risiko terjadinya kanker ovarium. Penurunan risiko
kasus ovarium lebih tinggi setelah kelahiran pertama
dibandingkan kelahiran berikutnya, akan tetapi penelitian
lainnya menunjukkan terjadi perlindungan terhadap kanker
ovarium setelah kelahiran kedua. Penelitian terhadap paritas dan
pemberian Air Susu Ibu (ASI) dapat mencegah terjadinya
Ephitelial Ovarian Carcinoma (EOC). Penurunan risiko EOC
hampir sekitar 30% pada kelahiran pertama, meningkat kembali
pada kelahiran kedua, dan sedikit meningkat pada kelahiran
ketiga (Sung et al., 2016). Wanita yang memiliki anak memiliki
faktor risiko 29% lebih rendah bila dibandingkan dengan wanita
nulipara dan semakin angka penurunan risiko tersebut semakin
meningkat setiap kehamilan selanjutnya (Tsilidis.etal.,2011).

3. Indeks Massa Tubuh (IMT)


Studi analisis multivariat terhadap wanita dengan kelebihan
berat badan (IMT:25-29.9), obesitas (IMT:30-39,9), dan
morbidly obese (IMT:>35) memiliki nilai kelangsungan hidup
yang buruk bila dibandingkan dengan wanita dengan imt
normal. Terdapat perbedaan yang signifikan antara kelompok
overweight dengan morbidly obese. Terjadi peningkatan risiko
kematian sebesar 3% pada peningkatan 5 unit IMT di atas 18,5
kg/m² (Nagle et al., 2015).
Secara keseluruhan, risiko invasive serous cancer tidak
berhubungan dengan IMT. Walaupun demikian, tingkatan
berdasarkan stadium tumor menunjukkan hubugan positif antara
seluruh pengukuran IMT dan risiko invasive serous cancer
stadium awal (G1), tetapi tidak terhadap tumor stadium lanjut
(G2-G4) (Kang et al., 2010).

4. Usia Menarche
Insidensi kanker ovarium pada penelitian di RSUP Haji Adam
Malik pada tahun 2008-2011 didapatkan angka yang tinggi pada
kelompok usia menarche 12-14 tahun, yaitu 176 orang dengan
persentase 52,2% (Johari & Siregar 2011).

5. Kontrasepsi hormonal
Pil kontrasepsi oral memiliki hubungan terhadap penurunan
faktor risiko kanker ovarium.Wanita yang pernah menggunakan
kontrasepsi oral memiliki faktor risiko yang lebih rendah
dibandingkan dengan wanita yang tidak menggunakannya
Durasi penggunaan kontrasepsi oral yang lama juga
berhubungan terhadap penurunan faktor risiko kanker ovarium.
Penggunaan kontrasepsi oral lebih dari 10 tahun memiliki 45%
faktor risiko yang lebih rendah jika dibandingkan dengan
penggunaan kurang dari 1 tahun (Tsilidis et al., 2011).

Analisis penelitian di Australia pada tahun 2010 menunjukkan


penggunaan kombinasi pil kontrasepsi oral telah mencegah
1.340 kanker (1.032 endometrial dan 308 ovarium). Sebaliknya,
penggunaan kombinasi pil kontrasepsi oral menyebabkan 157
kasus kanker (105 payudara dan 52 servikal) (Jordan et al.,
2015).

6. Obat fertilitas
Penetapan hubungan antara obat-obat fertilitas dengan risiko
kanker ovarium sangatlah kompleks karena infertilitas saja
sudah dapat meningkatkan risiko kanker. Wanita yang
mengkonsumsi obat fertilitas menunjukkan risiko yang tinggi
akibat kondisi infertil. Berdasarkan tiga studi meta-analisis
besar, dua diantaranya tidak menunjukkan perbedaan risiko
kanker ovarium antara wanita infetil yang diberikan terapi
dengan wanita infertil yang tidak diberikan terapi (Tomao et al.,
2014).

Obat-obat fertilitas mempercepat maturasi folikel dan proses


ovulasi, sehingga menaikkan tingkat gonadotropin. Obat
Clomiphene citrate merupakan reseptor modulator selektif
estrogen yang hamper sama dengan tamoxifen yang digunakan
untuk mengobati infertilitas. Akan tetapi, hasil terbaru dari studi
kasus control di Amerika Serikat menunjukkan bukti bahwa
obat-obat fertilitas tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap
risiko kanker ovarium (Diergaarde & Michelle L. Kurta, 2008).

7. Terapi hormon menopausal


Penggunaan terapi hormon menopausal meningkatkan insidensi
dan kematian pada penderita kanker ovarium. Risiko meningkat
wanita yang hanya menggunakan estrogen dalam waktu yang
lama (≥10 tahun) dibandingkan penggunaan jangka pendek (<10
tahun). Terapi dengan estrogen ditambah progestin berhubungan
dengan peningkatan risiko kanker ovarium dibandingkan
dengan wanita yang belum pernah menggunakan terapi hormone
menopausal. Penggunaan jangka panjang (≥10 tahun) estrogen-
progestin juga berhubungan dengan peningkatan faktor risiko.
Penggunaan jangka pendek pun menunjukkan adanya hubungan
tetapi tidak memberikan nilai yang signifikan (Trabert et al.,
2012).
\

5. PATHWAY CA OVARIUM

Mutagen, makanan,
wanita mandul, Inkusi epitel stroma Kista
primipara tua > 45
tahun, genetik
Rangsangan hormone
estrogen meningkat
Proliferasi kista

Terapi radiasi Maligna Metastase jar sekitar

Efek samping Pembesaran massa Penurunan fungsi


organ

Kerusakan sel sekitar, Kompresi serabut


rambut rontok, penurunan saraf Ketidakefektifan
hemotopoetik, anemia, pola seksualitas
penurunan produksi
eritrosit Nyeri akut

Penurunan motilitas usus Status kesehatan menurun Ketidakefektifan perfusi


jaringan perifer

Peristaltic menurun

Koping individu tidak Gangguan citra tubuh


Konstipasi efektif

6. MANIFESTASI KLINIS

Penyebab kanker ovarium belum diketahui secara pasti. Akan tetapi


banyak teori yang menjelaskan tentang etiologi kanker, diantaranya:

a. Hipotesis incessant ovulation


Teori menyatakan bahwa terjadi kerusakan pada sel-sel epitel ovarium
untuk penyembuhan luka pada saat terjadi ovulasi. Proses
penyembuhan sel-sel epitel yang terganggu dapat menimbulkan proses
transformasi menjadi sel-sel tumor.

b. Hipotesis androgen

Androgen mempunyai pera penting dalam terbentuknya kanker


ovarium. Hal ini didasarkan pada hasil percobaan bahwa epitel
ovarium mengandung reseptor androgen. Dalam percobaan in-vitro,
androgen dapat menstimulasi pertumbuhan epitel ovarium normal dan
sel-sel kanker ovarium.

Stadium kanker ovarium primer menurut FIGO (Federation


International of Ginecologies and Obstetrician) 1987 adalah:

a. Stadium 1 : pertumbuhan terbatas pada ovarium

1) Stadium 1a: pertumbuhan terbatas pada suatu ovarium, tidak


asietas yang berisi sel ganas, tidak ada pertumbuhan di
permukaan luar, kapsul utuh.

2) Stadium 1b: pertumbuhan terbatas pada kedua ovarium, tidak


asietas, berisi sel ganas, tidak ada tumor di permukaan luar,
kapsul intak.

3) Stadium 1c: tumor dengan stadium 1a dan 1b tetapi ada tumor


di permukaan luar atau kedua ovarium atau kapsul pecah atau
dengan asietas berisi sel ganas atau dengan bilasan peritoneum
positif.

b. Stadium 2 : pertumbuhan pada satu atau dua ovarium dengan


perluasan ke panggul.

1) Stadium 2a: perluasan atau metastasis ke uterus dan atau tuba.


2) Stadium 2b: perluasan jaringan pelvis lainnya.

3) Stadium 2c: tumor stadium 2a dan 2b tetapi pada tumor dengan


permukaan satu atau kedua ovarium, kapsul pecah atau dengan
asitas yang mengandung sel ganas dengan bilasan peritoneum
positif.

c. Stadium 3 : tumor mengenai satu atau kedua ovarium dengan


implant di peritoneum di luar pelvis dan atau retroperitoneal
positif. Tumor terbatas dalam pelvis kecil tetapi sel histologi
terbukti meluas ke usus besar atau omentum.

1) Stadium 3a: tumor terbatas di pelvis kecil dengan kelenjar


getah bening negative tetapi secara histologi dan dikonfirmasi
secara mikroskopis terdapat adanya pertumbuhan (seeding) di
permukaan peritoneum abdominal.

2) Stadium 3b: tumor mengenai satu atau kedua ovarium dengan


implant di permukaan peritoneum dan terbukti secara
mikroskopis, diameter melebihi 2 cm, dan kelenjar getah
bening negative.

3) Stadium 3c: implant di abdomen dengan diameter >2 cm dan


atau kelenjar getah bening retroperitoneal atau inguinal positif.

d. Stadium 4 : pertumbuhan mengenai satu atau kedua ovarium


dengan metastasis jauh. Bila efusi pleura dan hasil sitologinya
positif dalam stadium 4, begitu juga metastasis ke permukaan liver.

7. PEMERIKSAAN PENUNJANG

a. Pemeriksaan darah lengkap

b. Pemeriksaan kimia darah

c. Serum HCG
d. Alfa fetoprotein

e. Analisa air kemih

f. Pemeriksaan saluran pencernaan

g. Laparatomi

h. CT Scan atau MRI perut

i. Pemeriksaan panggul

j. USG menggunakan frekuesi tinggi gelombang suara untuk


menghasilkan gambar dari bagian dalam tubuh.

k. Pembedahan untuk mengangkat contoh jaringan untuk pengujian

l. CA 125 tes darah. CA 125 adalah protein yang ditemukan pada


permukaan sel kanker ovarium dan beberapa jaringan sehat.
Banyak wanita dengan kanker ovarium memiliki tingkat abnormal
tinggi CA 125 dalam darah mereka.

8. PENATALAKSANAAN MEDIS

a. Pembedahan

Penatalaksanaan pertama tumor ovarium adalah pembedahan.


Tindakan pembedahan selain bertujuan untuk diagnosis (jinak/ganas,
jenis sel tumor), juga bertujuan untuk terapi yaitu pengangkatan tumor
dan juga penetapan stadium (surgical staging). Prosedur pembedahan
pada tumor ovarium yang curiga keganasan yaitu sebagai berikut:

1) Insisi media

2) Sitology cairan peritoneum atau bilasan rongga peritoneum

3) Eksplorasi rongga peritoneum, biposi daerah yang mencurigakan

4) Salpingooovorektomi (potong beku)


5) Salpingooovorektomi kontralateral

6) Histerektomi totalis

7) Omentektomi totalis

8) Limfadenektomi pelvik kiri-kanan dan para-aorta

9) Biopsy peritoneum (paravesikal, parakolika kiri-kanan,


subdiafraghma, kavum douglas dan daerah perlengketan tumor)

10) Eksisi lesi tumor-tumor metastasis

b. Kemoterapi

Kemoterapi kombinasi diperlukan untuk stadium 1c atau lebih dengan


kombinasi dasar cisplatin dan taxan sebagai kemoterapi primer.
Radioterapi hanya diberikan pada jenis disgerminoma (pengangkatan
ovarium dan tuba fallopi) dan penderita tidak lagi menginginkan anak.

LAPORAN PENDAHULUAN
ANEMIA

A. Definisi Anemia
Anemia merupakan keadaan di mana masa eritrosit dan/atau masa
hemoglobin yang beredar tidak memenuhi fungsinya untuk menyediakan
oksigen bagi jaringan tubuh. Secara laboratories, anemia dijabarkan sebagai
penurunan kadar hemoglobin serta hitung eritrosit dan hematokrit di bawah
normal.
Untuk memenuhi definisi anemia, maka perlu ditetapkan batas
hemoglobin atau hematokrit yang dianggap sudah terjadi anemia. Batas
tersebut sangat dipengaruhi oleh usia, jenis kelamin, dan ketinggian tempat
tinggal dari permukaan laut. Batasan umum yang digunakan adalah kriteria
WHO pada tahun 1968. Dinyatakan sebagai anemia bila terdapat nilai dengan
kriteria sebagai berikut :
 Laki-laki dewasa Hb <13 gr/dL
 Perempuan dewasa tidak hamil Hb <12 gr/dL
 Perempuan hamil Hb <11 gr/dL
 Anak usia 6-14 tahun Hb <12 gr/dL
 Anak usia 6 bulan-6 tahun Hb <11 gr/dL
Untuk kriteria anemia di klinik, rumah sakit, atau praktik klinik pada
umumnya dinyatakn anemia bila tedapat nilai sebagai berikut :

Hb <10 gr/dL

Hematokrit <30%

Eritrosit <2,8 juta/mm3
(Handayani & Haribowo, 2008)

B. Epidemiologi Anemia
Perkiraan prevalensi anemia di Indonesia menurut Husaini, dkk. tergambar
dalam tabel di bawah ini :
Kelompok Populasi Angka Prevalensi

Anak prasekolah 30-40%

Anak usia sekolah 25-35%

Dewasa tidak hamil 30-40%

Hamil 50-70%

Laki-laki dewasa 20-30%


Pekerja berpenghasilan rendah 30-40%

Untuk angka prevalensi anemia di dunia sangat bervariasi, bergantung pada


geografi dan taraf sosial ekonomi masyarakat (Handayani & Haribowo, 2008).

C. Derajat Anemia
Derajat anemia ditentukan oleh kadar Hb. Klasifikasi derajat anemia yang
umum dipakai adalah sebagai berikut :
- Ringan sekali Hb 10 gr/dL-13 gr/dL
- Ringan Hb 8 gr/dL-9,9 gr/dL
- Sedang Hb 6 gr/dL-7,9 gr/dL
- Berat Hb <6 gr/dL
(Handayani & Haribowo, 2008)

D. Manifestasi Klinis Anemia


a. Gejala umum
Gejala umum disebut juga sebagai sindrom anemia atau anemic syndrome.
Gejala umum anemia atau sindrom anemia adalah gejala yang timbul pada
semua jenis anemia pada kadar hemoglobin yang sudah menurun
sedemikian rupa di bawah titik tertentu. Gejala ini timbul karena anoksia
organ target dan mekanisme kompensasi tubuh terhadap penurunan
hemoglobin. Gejala-gejala tersebut apabila diklasifikasikan menurut organ
yang terkena, yaitu sebagai berikut :
1) Sistem kardiovaskular : lesu, cepat lelah, palpitasi, takikardi, sesak
napas saat beraktivitas, angina pectoris, dan gagal jantung.
2) Sistem saraf : sakit kepala, pusing, telinga mendenging, mata
berkunang-kunang, kelemahan otot, iritabilitas, lesu, serta perasaan
dingin pada ekstremitas.
3) Sistem urogenital : gangguan haid dan libido menurun.
4) Epitel : warna pucat pada kulit dan mukosa, elastisitas kulit menurun,
serta rambut tipis dan halus.
b. Gejala khas masing-masing anemia
1) Anemia defisiensi besi : disfagia, atropi papil lidah, stomatitis
angularis.
2) Anemia defisiensi asam folat : lidah merah (buffy tongue).
3) Anemia hemolitik : ikterus dan hepatosplenomegali.
4) Anemia aplastik : perdarahan kulit atau mukosa dan tanda-tanda
infeksi.
c. Gejala akibat penyakit dasar
Gejala penyakit dasar yang menjadi penyebab anemi. Gejala ini timbul
karena penyakit-penyakit yang mendasari anemia tersebut, misalnya
anemia defisiensi besi yang disebabkan oleh infeksi cacing tambang berat
akan menimbulkan gejala seperti pembesaran parotis dan telapak tangan
berwarna kuning seperti jerami.
(Handayani & Haribowo, 2008)

E. Pemeriksaan Diagnostik Anemia


1) Pemeriksaan laboratorium hematologis
Pemeriksaan laboratorium hematologis dilakukan secara bertahap sebagai
berikut :
a. Tes penyaring : tes ini dilakukan pada tahap awal pada setiap kasus
anemia. Dengan pemeriksaan ini, dapat dipastikan adanya anemia dan
bentuk morfologi anemia tersebut. Pemeriksaan ini meliputi pengkajian
pada komponen-komponen berikut ini :
- Kadar hemoglobin
- Indeks eritrosit (MCV, MCH, dan MCHC)
- Apusan darah tepi
b. Pemeriksaan rutin merupakan pemeriksaan untuk mengetahui kelainan
pada sistem leukosit dan trombosit. Pemeriksaan yang dilakukan
meliputi laju endap darah (LED), hitung diferensial, dan hitung
retikulosit.
c. Pemeriksaan sumsum tulang : Pemeriksaan ini harus dilakukan pada
sebagian besar kasus anemia untuk mendapatkan diagnosis definitive
meskipun ada beberapa kasus yang diagnosisnya tidak memerlukan
pemeriksaan sumsum tulang.
d. Pemeriksaan atas indikasi khusus : pemeriksaan ini akan dikerjakan jika
telah mempunyai dugaan diagnosis awal sehingga fungsinya adalah
untuk mengonfirmasi dugaan diagnosis tersebut. Pemeriksaan tersebut
meliputi komponen berkiut ini :
- Anemia defisiensi besi : serum iron, TIBC, saturasi transferin, dan
feritin serum
- Anemia megaloblastik : asam folat darah/eritrosit, vitamin B12
- Anemia hemolitik : hitung retikulosit, tes Coombs, dan
elektroforesis Hb
- Anemia pada leukemia akut biasanya dilakukan pemeriksaan
sitokimia
2) Pemeriksaan laboratorium nonhematologis
- Faal ginjal
- Faal endokrin
- Asam urat
- Faal hati
- Biakan kuman
3) Pemeriksaan penunjang lain
- Biopsi kelenjar yang dilanjutkan dengan pemeriksaan histopatologi
- Radiologi : torak, bone survey, USg, atau limfangiografi
- Pemeriksaan sitogenetik
- Pemeriksaan biologi molekuler (PCR = polymerase chain reaction,
FISH = fluorescence in situ hybridization)
(Handayani & Haribowo, 2008)

F. Penatalaksanaan Medis Anemia


a. Terapi gawat darurat
Pada kasus anema dengan payah jantung atau ancaman payah jantung,
maka harus segera diberikan terapi darurat dengan transfuse sel darah
merah yang dimampatkan (PRC) untuk mencegah perburukan payah
jantung tersebut.
b. Terapi khas untuk masing-masing anemia
Terapi ini bergantung pada jenis anemia yang dijumpai, misalnya preparat
besi untuk anemia defisiensi besi.
c. Terapi kausal
Terapi kausal merupakan terapi untuk mengobati penyakit dasar yang
menjadi penyebab anemia. Misalnya, anemia defisiensi besi yang
disebabkan oleh infeksi cacing tambang harus diberikan obat anti cacing
tambang.
d. Terapi ex-juvantivus (empiris)
Terapi yang terpaksa diberikan sebelum diagnosis dapat dipastikan, jika
terapi ini berhasil, berarti diagnosis dapat dikuatkan. Terapi ini hanya
dilakukan jika tidak tersedia fasilitas diagnosis yang mencukupi. Pada
pemberian terapi jenis ini, penderita harus diawasi dengan ketat. Jika
terdapat respon yang baik, terapi diteruskan, tetapi jika tidak terdapat
respon, maka harus dilakukan evaluasi kembali.

Selain itu, penatalaksanaan anemia juga dilakukan sesuai dengan


klasifikasi atau penyebab terjadinya anemia yaitu sebagai berikut
(Handayani & Haribowo, 2008):
1. Anemia Defisiensi Besi
Kebutuhan Fe dalam makanan sekitar 20 mg sehari, dari jumlah ini hanya
kira-kira 2 mg yang diserap. Jumlah total Fe dalam tubuh berkisar 2-4 g, kira-kira
50 mg/kg BB pada pria dan 35 mg/kg BB pada wanita. Umumnya akan terjadi
anemia dimorfik, karena selain kekurangan Fe juga terdapat kekurangan asam
folat.
Penatalaksanaan :
a. Mengatasi penyebab perdarahan kronik, misalnya pada ankilostomiasis
diberikan antelmintik yang sesuai.
b. Pemberian preparat Fe :
· Fero sulfat 3 x 325 mg secara oral dalam keadaan perut kosong, dapat
dimulai dengan dosis yang rendah dan dinaikkan bertahap. Pada pasien yang
tidak kuat dapat diberikan bersama makanan.
· Fero glukonat 3 x 200 mg secara oral sehabis makan. Bila terdapat
intoleransi terhadap pemberian preparat Fe oral atau gangguan pencernaan
sehingga tidak dapat diberikan oral, maka dapat diberikan secara parenteral
dengan dosis 250 mg Fe ( 3mg/kg BB ) untuk tiap g% penurunan kadar Hb
di bawah normal.
· Iron dekstran mengandung Fe 50 mg/ml, diberikan secara
intramuscular mula-mula 50 mg, kemudian 100-250 mg tiap 1-2 hari sampai
dosis total sesuai perhitungan. Dapat pula diberikan intravena, mula-mula
0,5 ml sebagai dosis percobaan, Bila dalam 3-5 menit tidak mnimbulkan
reaksi, boleh diberikan 250-500 mg.
c. Selain itu, pengobatan anemia defisiensi zat besi biasanya terdiri
dari suplemen makanan dan terapi zat besi. Kekurangan
zat besi dapat diserap dari sayuran, produk biji-bijian, produk susu, dan
telur.

2. Anemia Pernisiosa
Kekurangan vitamin B12 bisa disebabkan oleh factor intrinsic dan factor
ekstrinsik. Kekurangan vitamin B12 akibat factor intrinsic terjadi karena gangguan
absorpsi vitamin yang merupakan penyakit herediter autoimun, sehingga pada
pasien mungkin dijumpai penyakit-penyakit autoimun lainnya. Kekurangan
vitamin B12 karena factor intrinsic ini tidak dijumpai di Indonesia. Yang lebih
sering dijumpai di Indonesia adalah penyebab intrinsic karena kekurangan
masukan vitamin B12 dengan gejala-gejala yang tidak berat. Didapatkan adanya
anoreksia, diare, lidah yang licin, dan pucat. Terjadi gangguan neurologis, seperti
gangguan keseimbangan.
Penatalaksanaan :
Pemberian vitamin B12 1.000 mg/hari secara intramuscular selama 5-7 hari, 1
kali tiap bulan.

3. Anemia Defisiensi Asam Folat


Asam folat terutama terdapat dalam daging, susu, dan daun-daun yang hijau.
Umumnya berhubungan dengan malnutrisi. Penurunan absorpsi asam folat jarang
ditemukan karena absorpsi terjadi di seluruh saluran cerna. Juga berhubungan
dengan sirosis hepatis, akrena terdapat penurunan cadangan asam folat. Dapat
ditemukan gejala-gejala neurologis, seperti gangguan kepribadian dan hilangnya
daya ingat. Selain itu juga perubahan megaloblastik pada mukosa ( anemia
megaloblastik ).
Penatalaksanaan :
Pengobatan terhadap penyebabnya dan dapat dilakukan pula dengan
pemberian / suplementasi asam folat oral 1 mg per hari.

4. Anemia pada Penyakit Kronik


Anemia ini dikenal pula dengan nama sideropenic anemia with
reticuloendothelial siderosis. Anemia pada penyakit kronik merupakan jenis
anemia terbanyak kedua setelah anemia defisiensi yang dapat ditemukan pada
orang dewasa di Amerika Serikat. Penyakit ini banyak dihubungkan dengan
berbagai penyakit infeksi, seperti infeksi ginjal, paru.
Penatalaksanaan :
Pada anemia yang mengancam nyawa, dapat diberikan transfusi darah merah
seperlunya. Pengobatan dengan suplementasi besi tidak diindikasikan. Pemberian
kobalt dan eritropoeitin dikatakan dapat memperbaiki anemia pada penyakit
kronik.

5. Anemia Aplastik
Terjadi karena ketidaksanggupan sumsum tulang untuk membentuk sel-sel
darah. Penyebabnya bisa karena kemoterapi, radioterapi, toksin, seperti benzen,
toluen, insektisida, obat-obat seperti kloramfenikol, sulfonamide, analgesik
( pirazolon ), antiepileptik ( hidantoin ), dan sulfonilurea. Pasien tampak pucat,
lemah, mungkin timbul demam dan perdarahan.
Penatalaksanaan :
· Transfusi darah, sebaiknya diberikan transfusi darah merah. Bila diperlukan
trombosit, berikan darah segar atau platelet concentrate.
· Atasi komplikasi ( infeksi ) dengan antibiotik. Higiene yang baik perlu
untuk mencegah timbulnya infeksi.
· Kortikosteroid, dosis rendah mungkin bermanfaat pada perdarahan akibat
trombositopenia berat.
· Androgen, seperti fluokrimesteron, testosteron, metandrostenolon, dan
nondrolon. Efek samping yang mungkin terjadi, virilisasi, retensi air dan garam,
perubahan hati, dan amenore.
· Imunosupresif, seperti siklosporin, globulin antitimosit. Champlin, dkk
menyarankan penggunaannya pada pasien > 40 tahun yang tidak menjalani
transplantasi sumsum tulang dan pada pasien yang telah mendapat transfusi
berulang.
· Transplantasi sumsum tulang.

6. Anemia Hemolitik
Pada anemia hemolitik terjadi penurunan usia sel darah merah ( normal 120
hari ), baik sementara atau terus-menerus. Anemia terjadi hanya bila sumsum
tulang telah tidak mampu mengatasinya karena usia sel darah merah sangat
pendek, atau bila kemampuannya terganggu oleh sebab lain. Tanda-tanda
hemolisis antara lain ikterus dan splenomegali.
Etiologi anemia hemolitik dibagi sebagai berikut :
· Intrinsik : kelainan membrane, kelainan glikolisis, kelainan enzim, dan
hemoglobinopati.
· Ekstrinsik : gangguan sistem imun, mikroangiopati, infeksi ( akibat
plasmodium, klostridium, borrelia ), hipersplenisme, dan luka bakar.
Penatalaksanaan :
Penatalaksanaan anemia hemolitik disesuaikan dengan penyebabnya. Bila karena
reaksi toksik-imunologik, yang dapat diberikan adalah kortikosteroid
( prednisone, prednisolon ), kalau perlu dilakukan splenektomi. Apabila keduanya
tidak berhasil, dapat diberikan obat-obat sitostatik, seperti klorambusil dan
siklofosfamid.
LAPORAN PENDAHULUAN
TROMBOSITOPENIA

A. Definisi
Trombositopenia adalah istilah medis yang digunakan untuk
penurunan jumlah platelet dalam darah di bawah batas minimal. Takaran
normal platelet adalah 150.000 hingga 450.000 per mikroliter. Platelet yang
sering juga disebut trombosit memiliki fungsi penting dalam tubuh manusia,
yaitu untuk membantu proses pembekuan darah. Ini supaya pendarahan
berlebihan tidak terjadi.
Trombositopenia bisa dialami oleh anak-anak maupun orang dewasa
dan akan menyebabkan penderitanya lebih rentan mengalami pendarahan.
Meski jarang terjadi, trombositopenia yang tidak ditangani dapat memicu
pendarahan dalam yang bahkan bisa berakibat fatal. Terutama jika jumlah
platelet penderita berada di bawah angka 10.000 per mikroliter.
Trombositopenia merupakan suatu kondisi dimana terjadi
kekurangan jumlah trombosit yang merupakan bagain dari pembekuan
darah. Trombositopenia juga didefinisikan jika jumlah trombosit kurang dari
100.000/mm3 dalam sirkulasi darah. Darah biasanya mengandung sekitar
150.000-350.000 trombosit/mL. Jika jumlah trombosit kurang dari
30.000/mL. bisa terjadi perdarahan abnormal meskipun biasanya baru
timbul jika jumlah trombosit mencapai kurang dari 10.000/mL.

B. Etiologi
Banyak hal yang dapat melatarbelakangi terjadinya trombositopenia.
Pada kondisi normal, sumsum tulang akan memproduksi dan menggantikan
platelet yang sudah rusak. Tetapi jika mengalami trombositopenia, jumlah
platelet dalam darah penderita tidak mencukupi angka yang seharusnya.
Kekurangan ini dapat disebabkan oleh produksi platelet yang menurun atau
proses hancurnya platelet lebih cepat dari proses produksi. Kondisi ini dapat
dipicu oleh beberapa faktor yang meliputi:
 Penyakit tertentu, seperti kanker darah, limfoma, atau purpura
trombositopenik trombotik.
 Kelainan darah, contohnya anemia aplastik.
 Konsumsi alkohol yang berlebihan.
 Proses kemoterapi atau radioterapi.
 Infeksi virus, seperti HIV, cacar air, dan hepatitis C.
 Infeksi bakteri dalam darah.
 Obat-obatan tertentu, misalnya heparin, kina, atau obat
antikonvulsan.
 Kondisi autoimun, contohnya lupus.
Trombositopenia juga dapat muncul ketika banyak platelet yang
terperangkap dalam limfa yang membengkak. Ini bisa terjadi pada seorang
wanita selama masa kehamilan. Tetapi kondisi ini akan berangsur-angsur
membaik setelah wanita tersebut melahirkan

C. Epidemiologi
Platelet normal dianggap dalam kisaran 150,000-450,000 per kubik
milimeter (mm 3) darah bagi sebagian besar orang yang sehat. Oleh karena
itu salah satu dapat dianggap thrombocytopenic di bawah rentang tersebut,
meskipun ambang batas untuk diagnosis trombositopenis tidak terikat ke
nomor tertentu.
Insiden trombositopenia diperkirakan kasus baru 50-100 per juta
per tahun, dengan anak-anak akuntansi selama setengah dari jumlah itu.
Setidak-tidaknya 70 persen dari kasus-kasus masa kanak-kanak akan
berakhir di dalam enam bulan pengampunan, apakah diperlakukan atau
tidak. [2] [3] [4] Selain itu, sepertiga dari kasus-kasus kronis yang tersisa
dikirimkan selama masa tindak lanjut pengamatan, dan sepertiga lagi hanya
berakhir dengan trombositopenia ringan (didefinisikan sebagai jumlah
platelet di atas 50.000)

D. Patofisiologi

E. Manifestasi Klinis
 Lelah
 Adanya darah pada urine dan tinja
 Memar-memar pada tubuh
 Bintik-bintik merah keunguan pada kulit
 Pembengkakan limpa
 Sakit kuning
 Perdarahan cerebral terjadi 1-5% pada ITP
 Perdarahan Gastrointestinal
 Menstruasi banyak
 Adanya petekhie pada ekstermitas dan tubuh
 Perdarahan pada mukosa, mulut, hidung, dan gusi
 Muntah darah dan batuk darah

F. Faktor Resiko
 Sistem kekebalan tubuh yang salah dan akibatnya menyerang trombosit
dan menganggapnya sebagai unsur asing yang berasal dari luar tubuh
 Wanita lebih cenderung terkena trombositopenia daripada pria
 Kebanyakan anak yang menderita trombositopenia mengalaminya setelah
terinfeksi virus tertentu, misalnya campak

G. Komplikasi
a. Syok hipovolemik
b.Penurunan curah jantung
c. Purpura
d. Ekimosis
e. Petekie

H. Pemeriksaan Doagnostik
 Pemeriksaan darah lengkap. Sel darah putih dan merah normal. Trombosit
menurun di bawah 100.000 mm3, sering sampai kurang dari 20.000 mm3.
 Bleeding Time memanjang dengan waktu pembekuan normal.
 Pemeriksaan BMP (Bone Marrow Pungion), menunjukan meningkatnyan
megakariositik
 Penurunan produksi trombosit dibuktikan dnegan aspirasi dan biopsy
sumsum tulang, dijumpaipada segala kondisi yang mengganggu atau
menghambat fungsi sumsum tulang. Kondisi ini meliputi anemia aplastic,
mielofinrosis (penggantian unsur-unsur sumsum tulang dnegan jaringan
fibrosa), leukemia akut, dan karsinoma metastik lain yang mengganti
unsur-unsur sumsum tulang.

I. Penatalaksanaan Medis
1. Menjaga jumlah trombosit dapat di tingkatkan, mencegah
terjadinya perdarahan.
2. Pemberian kortikosteroid seperti Prednison.
3. Pemberian immune Globulin, kombinasi dengan plasmapheresis.
4. Splenektomi
5. Mengatasi infeksi
6. Tranfusi trombosit.
7. Kortikosteroid. Obat ini berfungsi meningkatkan jumlah trombosit
dengan cara menekan sistem kekebalan tubuh. Konsumsi obat bisa
dihentikan ketika jumlah trombosit kembali normal, tapi ikuti saran
dokter ketika harus menghentikan konsumsi obat ini. Obat ini
sebaiknya tidak dikonsumsi untuk jangka panjang. Efek samping obat
ini adalah berat badan bertambah, kadar gula darah tinggi, dan
osteoporosis.
8. Thrombopoietin receptor agonist. Obat ini berfungsi meningkatkan
produksi trombosit oleh sumsum tulang.
9. Intravenous immune globulin (IVIG). Obat ini berfungsi untuk
meningkatkan jumlah sel darah sebelum operasi dan menghentikan
pendarahan kritis.
10. Terapi biologis. Contoh obat biologis adalah rituximab. Obat ini
diberikan jika kortikosteroid tidak dapat membantu. Obat ini
berfungsi untuk mengurangi aktivitas sistem kekebalan tubuh.
B. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan

1. Pengkajian Keperawatan

a. Identitas

Nama, jenis kelamin, umur, status perkawinan, agama, suku bangsa,


pendidikan, bahasa yang digunakan, pekerjaan, alamat.

b. Riwayat penyakit

1) Keluhan utama

a) Nyeri (Jenis, Intensitas, waktu, durasi, daerah yang


menyebabkan nyeri bertambah, atau berkurang), hubungan
nyeri dengan menstruasi, seksualitas, fungsi urinaria, dan
gastrointestinal.

b) Perdarahan (pada saat kehamilan, setelah menopause,


karakteristik, faktor pencetus, jumlah, warna, konsistensi).
Pengeluaran cairan/secret melalui vagina (iritasi, gatal, nyeri,
jumlah, warna, konsistensi).

c) Masa (pada mamae, karekterisrik, hubungannya dengan


menstruasi, kekenyalan, ukuran, nyeri dan pembesaran limfe)

2) Keluhan fungsi reproduksi


a) Riwayat penyakit dahulu
Penyakit yang pernah dialamai masa anak-anak, penyakit
kronis pada masa dewasa, riwayat infertilitas, penyakit
gangguan metabolisme/nutrisi, penggunaan obat-obatan radiasi
yang lama, peradangan panggul, rupture appendik peritonitis.
b) Riwayat penyakit sekarang
Pengembangan dari pengkajian PQRST
c) Riwayat penyakit keluarga
DM, kardiovaskuler, kehamilan kembar, kanker, gangguan
genetik, kongenital.
d) Riwayat reproduksi
Siklus haid, durasi haid
e) Riwayat obstetric
Kehamilan, persalinan, nifas, hamil
c. Pemeriksaan fisik
Keadaan umum : Lemah, tekanan darah, nadi, pernapasan
1) Kepala : Dilihat kebersihan, bentuk, adakah oedem atau
tidak.
2) Mata: ada tidaknya anemis anemis, ikterus, reflek cahaya.
3) Hidung: ada tidak ada pernafasan cuping.
4) Mulut: Kebersihan
5) Telinga: ada tidaknya serumen.
6) Leher: ada tidak nya pembesaran kelenjar.
7) Jantung: Denyut jantung
8) Ekstremitas: Adakah luka pada ekstremitas.
9) Integumen
10) Genetalia eksterna : inpeksi dan palpasi dengan posisi litotomi
bertujuan mengkaji kesesuaian umur dengan perkembangan
sistem reproduksi, kondisi rambut pada simpisis pubis dan vulva,
kulit dan mukosa vulva, tanda-tanda peradangan, bengkak dan
pengeluaran cairan vagina.
11) Pemeriksan abdomen : adanya masa abdominopelvic
12) Pelvis : dengan mengunakan spekulum dilakukan inpeksi servik
yaitu warna, bentuk, dilatasi servik, erosi, nodul, masa, cairan
pervaginam, perdarahan, lesi atau luka. Setelah spekulum dilepas
dapat dilakukan pemeriksaan bimanual yaitu : memasukan dua
jari kedalam vagina untuk pemeriksaan dinding posterior vagina
(adanya masa, ukuran, bentuk, konsistensi, mobilitas uterus,
mobilitas ovarium, adneksa).
13) Pemeriksaan rectum dan rekto vagina
d. Riwayat psikososial
1) Oksigenasi
2) Nutrisi dan cairan : kaji frekuensi makan, nafsu makan, jenis
makanan rumah, makanan yang tidak disukai.
3) Eliminasi : kaji pola BAK (frekuensi, warna, keluhan saat BAK),
pola BAB (frekuensi, warna, keluhan saat BAB).
4) Termoregulasi
5) Aktivitas dan latihan
6) Seksualitas
7) Psikososial (stress, koping, dan konsep diri)
8) Rasa aman dan nyaman
9) Spiritual
10) Hygiene : kaji oral hygiene, kebersihan rambut, kebersihan tubuh
11) Istirahat tidur : Kaji lama tidur, kebiasaan sebelum tidur, keluhan
saat tidur.
12) Aktualisasi diri
13) Rekreasi
14) Kebutuhan belajar

e. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan yang biasa dilakukan:
1) Pemeriksan darah lengkap
2) Pemeriksaan kimia darah
3) Serum HCG
4) Alfa fetoprotein
5) Analisa air kemih
6) Pemeriksaan saluran pencernaan
7) Laparatomi
8) CT scan atau MRI perut.
9) Pemeriksaan panggul. Selama pemeriksaan panggul, dokter dengan
hati-hati memeriksa bagian luar alat kelamin terkena (vulva), dan
kemudian memasukkan dua jari dari satu tangan ke dalam vagina
dan sekaligus menekan sisi lain di perut untuk merasakan rahim
dan ovarium. Pemeriksaan ini menggunakan sebuah alat yang
disebut spekulum yang dimasukkan ke dalam vagina. Spekulum
vagina terbuka sehingga dokter secara visual dapat memeriksa
vagina dan leher rahim untuk kelainan.
10) USG menggunakan frekuensi tinggi gelombang suara untuk
menghasilkan gambar dari bagian dalam tubuh. USG membantu
dokter menyelidiki ukuran, bentuk dan konfigurasi ovarium. Untuk
membuat gambar dari ovarium, dokter mungkin memasukkan
penyelidikan USG ke dalam vagina Anda. Prosedur ini disebut
USG transvaginal. Pencitraan USG dapat membuat gambar dari
struktur dekat ovarium, seperti rahim anda.
11) Pembedahan untuk mengangkat contoh jaringan untuk pengujian.
Jika tes lain menyarankan mungkin memiliki kanker ovarium,
dokter dapat merekomendasikan operasi untuk mengkonfirmasi
diagnosis. Selama operasi, seorang ahli onkologi ginekologi
membuat sayatan di perut dan mengesplorasi rongga perut untuk
mendeteksi adanya kanker. Ahli bedah dapat mengumpulkan
sampel cairan perut dan menghapus ovarium untuk pemeriksaan
oleh seorang ahli patologi. Jika kanker ditemukan, ahli bedah
segera mungkin mulai operasi untuk menghapus sebanyak
mungkin kanker. Dalam beberapa kasus, ahli bedah dapat membuat
beberapa sayatan kecil di perut Anda dan masukkan alat-alat bedah
khusus dan sebuah kamera kecil, sehingga prosedur tidak akan
memerlukan sayatan yang lebih besar.
12) CA 125 tes darah. CA 125 adalah protein yang ditemukan pada
permukaan sel kanker ovarium dan beberapa jaringan sehat.
Banyak wanita dengan kanker ovarium memiliki tingkat abnormal
tinggi CA 125 dalam darah mereka. Namun, sejumlah kondisi non-
kanker juga menyebabkan peningkatan kadar CA 125, dan banyak
perempuan dengan stadium awal kanker ovarium yang normal
memiliki kadar CA 125. Untuk alasan ini, tes CA 125 tidak
biasanya digunakan untuk mendiagnosa atau ke layar untuk kanker
ovarium, tetapi dapat digunakan untuk memantau bagaimana
perawatan Anda maju.

2. Diagnose Keperawatan yang Mungkin Muncul (NANDA 2015)


a. Nyeri akut berhubungan dengan penekanan perut bagian bawah akibat
kanker metastasis
b. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan
penurunan produksi darah (anemia)
c. Ansietas berhubungan dengan stres akibat kurangnya pengetahuan
tentang penyakit dan penatalaksanaannya
d. Risiko perdarahan berhubungan dengan penurunan volume darah
(anemia, tromositopeni, kemoterapi)
e. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan pembedahan, terapi
penyakit kanker (terapi radiasi)
f. Konstipasi berhubungan dengan penurunan motilitas traktus
gastrointestinal.

3. Rencana Keperawatan
No. Diagnosa Tujuan (NOC) Intervensi (NIC)
Keperawatan
1. Nyeri akut NOC : NIC :
berhubungan - Comfort level Pain Management
dengan penekanan - Pain control 1. Lak
perut bagian bawah - Pain level ukan pengkajian nyeri
akibat kanker Setelah dilakukan secara komprehensif
metastasis tindakan keperawatan termasuk lokasi,
selama …. nyeri akut karakteristik, durasi,
pasien berkurang dengan frekuensi, kualitas dan
kriteria hasil: faktor presipitasi
2. Kon
1. Tidak ada gangguan
tidur trol lingkungan yang
2. Tidak ada gangguan dapat mempengaruhi
konsentrasi nyeri seperti suhu
3. Tidak ada gangguan ruangan, pencahayaan dan
hubungan kebisingan
interpersonal 3. Ajar
4. Tidak ada ekspresi kan tentang teknik non
menahan nyeri dan farmakologi: napas dala,
ungkapan secara relaksasi, distraksi,
verbal kompres hangat/ dingin
5. Tidak ada tegangan 4. Beri
otot kan analgetik untuk
mengurangi nyeri: ……...
5. Tin
gkatkan istirahat
6. Beri
kan informasi tentang
nyeri seperti penyebab
nyeri, berapa lama nyeri
akan berkurang dan
antisipasi
ketidaknyamanan dari
prosedur
7. Mo
nitor vital sign sebelum
dan sesudah pemberian
analgesik pertama kali
2. Ketidakefektifan NOC : NIC :
perfusi jaringan Circulation status Peripheral Sensation
Prefusion cerebral
perifer Management (Manajemen
berhubungan sensasi perifer)
Setelah dilakukan
dengan penurunan 1. Monitor adanya daerah
tindakan keperawatan
produksi darah tertentu yang hanya peka
selama …. Perfusi
(anemia) terhadap
jaringan perifer pasien
panas/dingin/tajam/tumpu
efektif dengan kriteria
l
hasil : 2. Monitor adanya paretese
3. Instruksikan keluarga
1. Mendemonstrasikan untuk mengobservasi
status sirkulasi yang kulit jika ada lsi atau
ditandai dengan : laserasi
a. Tekanan systole 4. Gunakan sarung tangan
dan diastole untuk proteksi
dalam rentang 5. Batasi gerakan pada
yang diharapkan kepala, leher dan
b. Tidak ada punggung
ortostatik 6. Monitor kemampuan
hipertensi BAB
c. Tidak ada tanda 7. Kolaborasi pemberian
tanda peningkatan analgetik
8. Monitor adanya
tekanan
tromboplebitis
intrakranial (tidak 9. Diskusikan menganai
lebih dari 15 penyebab perubahan
mmHg) sensasi
2. Mendemonstrasikan
kemampuan kognitif
yang ditandai
dengan:
a. Berkomunikasi
dengan jelas dan
sesuai dengan
kemampuan
b. Menunjukkan
perhatian,
konsentrasi dan
orientasi
c. Memproses
informasi
d. Membuat
keputusan dengan
benar
3. Menunjukkan fungsi
sensori motori cranial
yang utuh : tingkat
kesadaran mambaik,
tidak ada gerakan
gerakan involunter
3. Ansietas NOC : NIC :
Anxiety Control Anxiety Reduction
berhubungan
Setelah dilakukan asuhan (penurunan kecemasan)
dengan stres akibat
1. Berikan informasi faktual
selama ……………klien
kurangnya
mengenai diagnosis,
kecemasan teratasi dgn
pengetahuan
tindakan prognosis
kriteria hasil:
tentang penyakit 2. Libatkan keluarga untuk
1. Klien mampu
dan mendampingi klien
mengidentifikasi dan 3. Instruksikan pada pasien
penatalaksanaannya
mengungkapkan untuk menggunakan
gejala cemas tehnik relaksasi.
4. Dengarkan dengan penuh
2. Mengidentifikasi,
perhatian.
mengungkapkan dan
5. Identifikasi tingkat
menunjukkan tehnik
kecemasan.
untuk mengontol 6. Dorong pasien untuk
cemas mengungkapkan
3. Vital sign dalam batas perasaan, ketakutan,
normal persepsi.
4. Postur tubuh, ekspresi
wajah, bahasa tubuh
dan tingkat aktivitas
menunjukkan
berkurangnya
kecemasan

4. Risiko perdarahan NOC : NIC :


berhubungan - Blood lose severity Bleeding precautions
dengan penurunan - Blood koagulation 1. Monitor ketat tanda-tanda
volume darah Setelah dilakukan perdarahan
(anemia, tindakan keperawatan 2. Catat nilai Hb dan HT
tromositopeni, selama …. Tidak ada sebelum dan sesudah
kemoterapi) perdarahan pada pasien terjadinya perdarahan
dengan kriteria hasil: 3. Monitor nilai lab
(koagulasi) yang meliputi
1. Tidak ada hematuria
PT, PTT, Trombosit
dan hemaremesis
4. Monitor TTV ortostatik
2. Tidak ada kehilangan 5. Kolaborasi dalam
darah yang terlihat pemberian produk darah
6. Lindungi pasien dari
3. Tekanan darah dalam
trauma yang dapat
batas normal (sistol
menyebabkan perdarahan
dan diastole)
7. Anjurkan pasien untuk
4. Tidak ada perdarahan meningkatkan intake
pervagina makanan yang banyak
mengandung vitamin K
5. Tidak ada distensi
8. Hindari terjadinya
abdominal
konstipasi dengan
6. Hemoglobin dan menganjurkan untuk
hematocrit dalam mempertahankan intake
batas normal cairan yang adekuat dan
pelembut feses
7. Plasma, PT, PTT
dalam batas normal

5. Gangguan citra NOC : NIC :


tubuh berhubungan Body Image enchancement
- Body Image
dengan - Self esteem 1. Kaji secara verbal dan
pembedahan, terapi non verbal respon klien
Setelah dilakukan asuhan
penyakit kanker terhadap tubuhnya
keperawatan
(terapi radiasi) 2. Monitor frekuensi
selama .......... diharapkan
mengkritik dirinya
pasien tidak mengalami
3. Jelaskan tentang
gangguan citra tubuh
pengobatan, perawatan,
dengan kriteria hasil:
kemajuan dan prognosis
1. Body image positif penyakit
2. Mampu 4. Dorong klien
mengidentifikasi mengungkapkan
kekuatan personal perasaannya
3. Mendeskripsikan
5. Identifikasi arti
secara faktual
pengurangan melalui
perubahan fungsi
pemakaian alat bantu
tubuh
4. Mempertahankan 6. Fasilitasi kontak dengan
interaksi sosial individu lain dalam
kelompok kecil
6. Konstipasi NOC : NIC :
berhubungan - Bowel elimination Constipation/Impaction
dengan penurunan - Hydration Management
motilitas traktus Setelah dilakukan 1.
gastrointestinal tindakan keperawatan Monitor tanda dan gejala
selama …. Pasien tidak konstipasi
mengalami konstipasi 2.
dengan kriteria hasil: Monitor bising usus
3.
1.
Monitor feses, frekuensi,
Mempertahankan bentuk
konsistensi dan volume
feses lunak setiap 1-3
4.
hari
Dukung intake cairan
2. 5.
Bebas dari Kolaborasi pemberian
ketidaknyamanan dan laksatif
konstipasi 6.
Pantau tanda-tanda dan
3.
gejala konstipasi
Mengidentifikasi indicator
untuk mencegah
7.
konstipasi

4.
Feses lunak dan berbentuk
DAFTAR PUSTAKA

Bali Homepetshop. 2013. LP Kanker Ovarium. Dalam


(https://www.scribd.com/doc/137496612/Lp-Kanker-Ovarium). Diakses
tanggal 1 November 2014.

Karunianingrum. 2013. LP CA Ovarium. Dalam (https://www.scribd.com/doc /


188788522/LP-CA-OVARIUM). Diakses tanggal 1 November 2014.

Nanda International. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa


Medis & NANDA NIC- NOC Jilid 1. Jakarata: EGC.

Prisma, Etika. 2010. LP CA Ovarium. Dalam (http://scribd. Com/doc/188788522).


Diakses tanggal 31 Oktober 2014.

Smeltzer. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner dan Suddarth.
Volume 3. Jakarta : EGC

Anda mungkin juga menyukai