Anda di halaman 1dari 4

DEMOKRASI PADA MASA ORDE BARU

DAN SETELAH REFORMASI

Oleh: Aqil Hardikanasri


195060600111029

Demokrasi adalah suatu bentuk dari pemerintahan rakyat. Maka dalam arti lainnya
Rakyat atau Masyarakat banyak adalah sebagai pemegang kekuasaan penuh pada suatu
pemerintahan. Rakyat mempunyai hak dalam mengatur, mempertahankan dan melindungi diri
mereka dari berupa paksaan oleh wakil-wakil mereka yakni orang-orang atau badan yang
serahkan wewenangnya untuk dapat memerintah.( Hanindita, 1985).

“demokrasi” merupakan kata yang sering terucap di kalangan manapun di negara


demokratis. Namun, semakin dalam dibahas, makin rumit makna yang terkandung dalam kata
demokrasi tersebut. Seluruh negara yang menganut sistem demokrasi juga kesulitan mencari
contoh negara yang memiliki sistem demokrasi secara sempurna. Di Indonesia sendiri,
pencarian terhadap pemimpin yang dapat membuat demokrasi di Indonesia tetap sehat terus
digelar. Demokrasi di Indonesia juga terus mengalami perkembangan seiringan dengan pasang
surutnya keadaan bangsa dari masa ke masa sejak masa kemerdekaan. Secara garis besar,
perkembangan demokrasi di Indonesia terdiri dari demokrasi liberal atau demokrasi parlementer
(1945-1959), demokrasi terpimpin (1959-1965), demokrasi pancasila atau yang demokrasi orde
baru (1965-1998), dan demokrasi reformasi (1998-sekarang). Namun pada tulian ini, hanya
dibahas demokrasi pada masa orde baru dan demokrasi pasca-reformasi.

A. Demokrasi Pancasila Pada Masa Orde Baru


Demokrasi pada masa orde baru ditandai dengan jatuhnya pemerintahan Soekarno yang
selanjutnya digantikan oleh Soeharto pada 1968. Selama 2 tahun Soeharto diberikan tugas
oleh Soekarno untuk menyelesaikan seluk beluk pemberontakan Gerakan 30 September
oleh PKI atas dasar Surat Perintah 11 Maret 1966 atau SUPERSEMAR. Tugas yang
diamanahkan oleh Soekarno kepada Soeharto dapat dibilang mengalami keberhasilan yang
cukup memuaskan untuk menumpas dalang gerakan tersebut, sehingga keberhasilan
Soeharto menimbulkan kepercayaan dari MPR sebagai badan tertinggi perwakilan rakyat
dan mengangkat Soeharto menjadi Presiden Republik Indonesia.
` Salah satu kebijakan pertama yang Soeharto keluarkan saat masa awal jabatannya yaitu
dengan mendaftarkan lagi Indonesia menjadi anggota PBB. Pada 19 September 1966,
negara mengumumkan bahwa Indonesia “bermaksud untuk melanjutkan kerjasama dengan
PBB” dan menjadi anggota PBB kembali pada 28 Desember 1966.
Pada masa awal kepemimpinannya, Soeharto menarik garis yang sangat tegas. Orde
lama atau Orde Baru. Berbagai sanksi ia terapkan baik sanksi kriminal atau dengan
pengucilan politik pada siapapun yang terkait atau pernah berhubungan dengan Partai
Komunis Indonesia. Sanksi kriminal diterapkan oleh Soeharto dengan menggelar
Mahkamah Militer Luar Biasa untuk mengadili pihak-pihak yang terlibat bersama PKI
yang dianggap oleh Soeharto sebagai pemberontak. Pengadilan digelar dan bebagai
hukuman diterapkan, sebagian dari mereka yang terlibat “diasingkan” ke Pulau Buru.
Sanksi nonkriminal juga dilakukan oleh Presiden Soeharto dengan memberlakukan
pengucilan politik melalui pembuatan aturan administratif. Presiden Soeharto memberikan
kebijakan kepada orang-orang yang pernah menjadi anggota atau hanya terlibat PKI
dengan menandai Kartu Tanda Penduduk (KTP) mereka, sehingga mereka mengalami
kesulitan saat beraktifitas seperti mencari pekerjaan, karena trauma yang dialami seluruh
bangsa setelah peristiwa pemberontakan G30S PKI.
Kondisi pemerintahan pada masa orde baru juga terkesan ekslusif. Mereka yang
memiliki jabatan di pemerintahan biasanya mereka berada dari kalangan militer karena
adanya kebijakan dwifungsi ABRI. Hal ini menggambarkan salah satu dari beberapa
contoh kondisi demokrasi di Indonesia pada saat itu yang sangat tidak sehat. Pada masa
pemerintahan orde baru juga marak kasus korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Selain itu, seperti yang kita ketahui, banyak hal-hal yang memang sengaja ditutup-
tutupi oleh pemerintah pada saat itu, namun sudah menjadi rahasia publik. Suara dari
rakyat yang tidak setuju akan hal tersebut juga dibungkam.sudah menjadi rahasia umum
pada saat itu bahwasanya siapapun yang menentang Presiden Soeharto akan diadili dengan
berbagai cara.
pembangunan pada masa Presiden Soeharto memang terbilang baik pada sektor
ekonominya, tetapi semua keuntungan dari eksploitasi sumber daya di Indonesia hanya
dinikmati oleh masyarakat di Jakarta. Oleh karena itu, pembangunan nasional yang terjadi
pada saat itu cenderung bersifat sentralistik. Pembangunan hanya berfokus di ibukota
negara, sedangkan daerah lain yang tereksploitasi sumber dayanya cenderung dibiarkan
begitu saja.
Dapat disimpulkan bahwa kondisi demokrasi pancasila yang terjadi pada masa
pemerintahan orde baru tidak dapat dikatakan baik, dikarenakan banyak hal yang justru
bertentangan dengan prinsip demokrasi itu sendiri, seperti dibungkamnya suara rakyat,
pembangunan yang tidak merata.
B. Demokrasi Pada Era Reformasi
Kepemimpinan Presiden Soeharto yang dinilai sudah tidak sesuai dengan apa yang
diinginkan rakyat akhirnya selesai setelah para mahasiswa dan aktivis 1998 berani
menyuarakan apa yang diinginkan rakyat kepada pemerintah. Perubahan yang dibawa para
aktivis dan mahasiswa membuka lembaran baru di era pembaharuan atau yang dikena;
dengan era reformasi.
Pada masa reformasi, Aspinall (2004) mengatakan bahwa Indonesia sedang mengalami
saat yang demokratis. Inisiatif politik yang dimotori oleh Amien Rais mendorong reformasi
terus bergulir. Reformasi yang gegap gempita tersebut memberikan secercah harapan akan
munculnya tata kehidupan yang benar-benar demokratis, yang ditandai dengan booming
munculnya banyak parpol baru, kebebasan berserikat, kemerdekaan berpendapat,
kebebasan pers, dan sebagainya, yang merupakan ciri-ciri demokrasi. Muncul tuntutan-
tuntutan terhadap reformasi politik karena adanya optimisme perbaikan implementasi
demokrasi.
Ada tiga alasan munculnya optimisme semacam ini (Aspinall, 2004), yaitu: (1)
Meluasnya antusiasme terhadap reformasi; (2) Kedalaman krisis ekonomi yang dipercaya
berakar pada korupsi dan kurangnya pertanggung jawaban yang meresapi sistem politik,
sehingga reformasi demokratis diyakini merupakan solusi; (3) Perpecahan di kalangan elite
politik yang berkuasa. Namun, di balik dinamika reformasi yang penuh akselerasi tinggi,
nampaknya masih belum banyak kekuatan-kekuatan sosial politik yang benar-benar
memiliki kesungguhan untuk menggelindingkan demokrasi. Sekalipun berbagai pranata
bangunan demokrasi kini telah terbentuk, namun di sana sini paradoks demokrasi masih
banyak dijumpai. Demokrasi yang dibangun dan dipahami lebih mengacu pada demokrasi
yang bersifat prosedural kelembagaan ketimbang demokrasi yang mengacu pada tata nilai.
Menurut Suharso (2002) setidaknya tercatat berbagai paradoks demokrasi yang patut
dikritisi saat ini. Pertama, berkembangnya kekerasan politik, anarki, radikalisme,
percekcokan massal yang sering dilanjutkan dengan adu fisik secara kolektif, pemaksaan
kehendak, dan berbagai perilaku menyimpang lainnya yang justru mencerminkan perilaku
anti demokrasi. Politik zero sum game (dan bukan win-win) dalam rangka
menenggelamkan lawan politik menjadi praktek-praktek lazim yang menumbuhkan rasa
takut untuk berbeda. Tumbuh ketakutan politik diam-diam di berbagai kalangan
masyarakat, termasuk mereka yang kritis, hanya karena merasa berbeda dengan kekuatan
politik yang ada. Demokrasi nyaris tidak menjadi sebuah alam pikiran dan kearifan untuk
toleran terhadap perbedaan. Gejala monopoli untuk menang sendiri mulai marak, bahkan
sampai ke bentuk fisik, dengan menggunakan simbul-simbul milik partai, kendati harus
memakai berbagai fasilitas publik. Kedua, berkembangnya konspirasi politik yang sangat
pragmatis dengan mereka yang dulu anti demokrasi, yang diwarnai dengan semangat kental
hanya sekedar demi meraih kemenangan Pemilu tanpa menunjukkan komitmen serius
dalam mengagendakan demokrasi.
Ketiga, demokrasi mulai dimasukkan hanya sekedar sebagai retorika politik ketimbang
sebagai sebuah agenda politik. Ketika keseragaman pada Orde Baru dihujat habis-habisan,
kini sebagian kekuatan demokratik berargumentasi bahwa demokrasi tidak harus selalu
berisi perbedaan tetapi juga kesamaan. Ketika pilihan tunggal ala Orde Lama digugat, kini
juga tumbuh retorika bahwa pilihan tunggal itu juga demokratik. Kesan yang tumbuh ialah
bahwa demokrasi bukan lagi sebagai idealisme dan agenda yang harus diperjuangkan untuk
mencerahkan kehidupan berbangsa dan bernegara, tetapi lebih sebagai alat dan isu untuk
meraih kekuasaan. Keempat, ketika kultus individu yang diperagakan oleh rezim Soeharto
dengan berbagai simbolnya dihujat keras untuk dihabisi, kini sebagian masyarakat politik
malahan memperagakan simbolisasi-simbolisasi figur kepemimpinan yang membawa
warna kultus individu dalam bentuk lain. Simbol-simbol budaya politik Orde Baru bahkan
mulai dibangkitkan kembali, seakan merupakan potret kehidupan politik yang benar.
Berbagai upaya untuk membangun sentralisasi otoritas dengan mobilisasi simbolsimbol
kharisma politik mulai dilakukan, dalam rangka memberikan kesan bahwa telah lahir
sebuah potensi kepemimpinan baru yang sangat layak untuk memimpin Indonesia ke depan.
Tidak jadi soal apakah kharisma politik itu nyata atau semu, yang penting ada pesona yang
ditawarkan sebagai sebuah komoditas politik. Sejumlah ironi atau paradoks demokrasi
yang muncul di permukaan era reformasi ini menunjukkan, betapa terjal jalan yang harus
ditempuh oleh bangsa ini menuju demokrasi yang sesungguhnya. Bahwa, ternyata tidak
mudah untuk mewujudkan demokrasi secara jujur, jernih dan bertanggung jawab, baik
pada tingkat alam pikiran maupun lebih-lebih sebagai politik yang tersistem. Perjuangan
demokrasi akhirnya harus berhadapan dengan godaan-godaan kekuasaan di tengah
sejumlah jerat politik yang sebenarnya adalah anti demokrasi.
Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa demokrasi di Indonesia terus mengalami
perkembangan dari zaman ke zaman. Era yang ada sebelumnya juga belum tentu seburuk
yang diceritakan. Keadaan demokrasi bangsa memiliki kelebihan dan kekurangannya
tersendiri tiap zaman. Keadaan demokrasi yang saat ini kian membaik juga masih memiliki
permasalahan-permasalahannya tersendiri. Tetapi, memang tugas penerus bangsa untuk
terus melakukan perbaikan dan penyesuaian bangsa sesuai dengan kondisi yang dialaminya.

Anda mungkin juga menyukai