Anda di halaman 1dari 45

LAPORAN PENDAHULUAN

LAPORAN PENDAHULUAN PADA PASIEN CHRONIC KIDNEY


DISEASE (CKD) DENGAN ETIOLOGI DIABETES MELITUS
YANG MENJALANI CUCI DARAH (HEMODIALISA)
DI RUANG INSTALASI HEMODIALISIS
RSD dr. SOEBANDI JEMBER

oleh:
Nila Sa’diyah, S.Kep
NIM 182311101105

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER
JUNI, 2019
KONSEP PENYAKIT CHRONIC KIDNEY DISEASE (CKD) DENGAN
ETIOLOGI DIABETES MELITUS

A. Anatomi Fisiologi Ginjal


1. Struktur Makroskopis Ginjal
Ginjal terletak pada posisi di sebelah lateral vertebra torakalis bawah
beberapa centimeter di sebelah kanan dan kiri garis tengah. Di sebelah
anterior, ginjal dipisahkan dari kavum abdomen dan isinya oleh lapisan
peritonium. Di sebelah posterior organ tersebut dilindungi oleh dinding toraks
bawah. Ginjal pada orang dewasa panjangnya ginjal 11-13 cm, lebarnya 5-7
cm dan tebalnya 2,5-3 cm dengan berat masing-masing ginjal 150 gr. Ginjal
kiri lebih panjang dan tinggi dari ginjal kanan dikarenakan hati berada di atas
ginjal kanan. Ginjal dikelilingi berbagai lapisan jaringan yang melindungi dan
mempertahankan posisi ginjal, lapisan terluar berupa jaringan fibrous yang
disebut kapsula renalis, kapsula renalis ini dikelilingi oleh lapisan lemak
ferirenal dan pacia gerota yang akan melindungi semua bagian ginjal kecuali
hilum, area dimana pembuluh darah keluar dan masuk daerah ini (Smeltzer
dan Bare 2010)
Ginjal dibagi dua daerah yang berbeda yaitu korteks (bagian luar) dan
medula (bagian dalam). Medula dibagi menjadi baji segitiga yang disebut
piramid. Terdapat 12 sampai 18 piramid untuk setiap ginjal. Piramid-piramid
tersebut diselingi oleh bagian korteks yang disebut kolom bertini. Piramid
tampak bercorak karena tersusun oleh segmen-segmen tubulusa dan duktus
pengumpul nefron. Papila atau aspek dari tiap piramid membentuk duktus
papilari belini. Setiap duktus papilaris masuk ke dalam suatu perluasan ujung
pelvis ginjal membentuk cawan yang disebut kaliaks minor. Selanjutnya
bersatu sehingga membentuk pelvis ginjal. Merupakan reservoar utama sistem
pengumpul urine (Sudoyo, 2006).
Gambar 1 Anatomi Potongan Melintang Ginjal
2. Struktur Mikroskopis Ginjal
Menurut Sudoyo., dkk (2006), struktur mikroskopis ginjal terdiri dari
satuan fungsional ginjal dinamakan nefron, mempunyai lebih kurang 1,3 juta
nefron, selama 24 jam dapat menyaring 170 liter darah, arteri renalis
membawa darah murni dari aorta ke ginjal. Lubang-lubang yang terdapat pada
piramid renal masing-masing membentuk simpul satu badan malfigi yang
disebut glomerulus.
a. Glomerulus, bagian ini merupakan gulungan atau anyaman kapiler yang
terletak di dalam kapsula bowman dan menerima darah dari arteriol
aferen dan meneruskan darah ke sistem vena melalui arteriol aferen
natrium secara bebas difiltrasi dalam glomerulus sesuai dengan
konsentrasi.
Kalium juga difiltrasi secara bebas, diperkirakan 10-20% kalium plasma
terikat oleh protein dan tidak bebas difiltrasi sehingga kalium dalam
keadaan normal kapsula bowmen. Ujung buntu tubulus ginjal yang
bentuknya seperti kapsula cekung meliputi glomerulus yang saling
melilitkan diri.
b. Tubulus proksimal konvulta, tubulus ginjal yang langsung dengan
15 mm diameter 55m, bentuknya berkelok-kelok menjalar dari korteks
ke bagian medula dan kembalui ke korteks sekitar 2/3 dari natrium yang
berfiltrasi diabsorbsi secara isotonis bersama klorida. Proses ini
melibatkan transportasi aktif natrium. Peningkatan reabsorbsi natrium
akan mengurangi pengeluaran air dan natrium, hal ini dapat mengganggu
pengenceran dan pemekatan urine yang normal. Kalium diresorbsi lebih
dari 70% kemungkinan dan dengan mekanisme transportasi aktif akan
terpisah dari resporsi natrium.
c. Gelung henle (ansa henle), bentuknya lurus dan tebal diteruskan ke
segmen tipis, selanjutnya ke segmen tebal panjangnya 12 mm, total
panjang ansa henle 2-14 mm. klorida secara aktif diserap kembali pada
cabang asedens gelung henle dan natrium yang bergerak secara pasif
untuk mempertahankan kenetralan listrik. Sekitar 25% natrium yang
difiltrasi diserap kembali karena darah nefron bersifat tidak permeabel
terhadap air. Reabsorbsi klorida dan natrium dipars asendens penting
untuk pemekatan urine karena membantu mempertahankan integritas
gradiens konsentrasi medulla. Kalium terfiltrasi sekitar 20-25%
diabsorbsi pada pars asendens lengkung henle. Proses pasi terjadi karena
gradien elektrokimia yang timbul sebagai akibat dari reabsorbsi aktif
klorida pada segmen nefron ini.
d. Tubulus distal konvulta, bagian ini adalah tubulus ginjal berkelok-kelok
dan letaknya jauh dari kapsula bowman panjang 5 mm. tubulus distal dari
masing-masing nefron bermuara ke duktus koligens yang panjangnya 20
mm. Masing-masing duktus koligens berjalan melalui korteks dan
medulla ginjal yang bersatu membentuk suatu duktus yang berjalan lurus
dan bermuara ke dalam duktus belini, seterusnya menuju kalik minor ke
kalik mayor, dan akhirnya mengosongkan isinya ke dalam pelvis renalis
pada aspeks masing-masing piramid medula ginjal, panjang nefron
keseluruhan ditambah duktus koligens adalah 45-65 mm. nefron yang
berasal dari glomerulus korteks (nefron korteks) mempunyai ansa henle
yang memanjang ke dalam piramid medula.
e. Duktus koligen medula ini saluran yang secara metabolik tidak aktif.
Pengaturan secara halus dari ekskresi natrium urine terjadi di sini dengan
aldosteron yang paling berperan terhadap reabsorbsi natrium. Duktus ini
memiliki kemampuan mereabsorbsi dan mensekresi kalium. Ekskresi
aktif kalium diperhatikan pada duktud koligen kortikal dan mungkin
dikendalikan oleh aldosteron. Reabsorbsi aktif kalium murni terjadi
dalam duktus koligen medula.

Gambar 2. Nefron
3. Fungsi Ginjal
Menurut Smeltzer dan Bare (2010) fungsi ginjal adalah :
a. Ultrafiltrasi yaitu proses ginjal dalam menghasilkan urine,
keseimbangan elektrolit, pemeliharaan keseimbangan asam basa
cairan tubuh, eritropoesis yaitu fungsi ginjal dalam produksi
eritrosit,
b. Regulasi kalsium dan fosfor atau mengatur kalsium serum dan
fosfor
c. Regulasi tekanan darah, ekresi sisa metabolik dan toksin
d. Mempertahankan suasana keseimbangan cairan.
e. Mengeluarkan sisa-sisa metabolisme hasil akhir dari protein
ureum, kreatinin dan amoniak.
f. Mempertahankan keseimbangan garam-garam dan zat-zat lain
dalam tubuh.

4. Pembuluh Darah Ginjal


Arteri Renalis merupakan percabangan dari aorta abdominalis letaknya
kira-kira setinggi vertebra lumbalis dua, karena aorta terletak di sebelah
kiri garis tengah maka arteri renalis kanan lebih panjang dari arteri renalis
kiri. Setiap arteri renalis bercabang waktu masuk ke dalam hilus ginjal.
Vena renalis menyalurkan darah ke dalam vena kava inferior yang terletak
di sebalah kanan garis tengah. Sehingga vena renalis kiri kira-kira dua kali
lebih panjang dari vena renalis kanan. Arteri renalis masuk ke dalam hilus,
kemudian bercabang menjadi arteri interlobaris yang berjalan diantara
piramid selanjutnya membentuk arteri akuarta yang melengkung melintas
basis piramid-piramid tersebut. Arteri arkuarta kemudian membentuk
arteriola interlobularis yang tersusun paralel dalam korteks. Arteriol
interlobularis ini selanjutnya membentuk arteriola aferen. Arteriola aferen
akan berakhir pada rumbai-rumbai kapiler yang disebut glomerulus.
Skematik sirkulasi darah ginjal ditunjukkan berikut ini :
Ginjal mendapatkan darah dari aorta abdominalis  arteri renalis kanan
dan kiri  arteri interlobalis  aorta aferen  glomerolus  arteriol
aferen  vena interlobularis  vena arkuarta  vena interlobaris  vena
renalis  vena kava inferior.
Proses pembentukan kemih dimulai dengan proses filtrasi plasma pada
glomerulus. Proses filtrasi ini dinamakan ultrafiltrasi glomerulus. Aliran
darah ginjal (renal blood flow) adalah sekitar 20-25% dari curah jantung
atau sekitar 1200 ml/menit. Bila hematokrit normal (45%) maka aliran
plasma ginjal (RPF) sama dengan 660 ml/menit, sekitar seperlima dari
plasma atau 125 ml/menit dialirkan melalui glomerulus ke kapsula
bowman atau dikenal dengan istilah GFR (Glomerulus Filtration Rate)
(Smeltzer dan Bare 2010)

B. Definisi Chronic Kidney Disease


Gagal ginjal kronik adalah penurunan fungsi ginjal yang bersifat persisten
dan irreversible. Gangguan fungsi ginjal merupakan penurunan laju filtrasi
glomerulus (glomerolus filtration rate/GFR) yang dapat digolongkan ringan dan
berat (Nauri dan Widayati, 2017). Gagal ginjal kronik adalah satu sindrom klinis
yang disebabkan penurunan fungsi ginjal yang bersifat menahun, berlangsung
progresif dan cukup lanjut (Sudoyo, 2006). Gagal ginjal kronik merupakan
gangguan fungsi renal yang progresif dan irreversible dimana ginjal gagal untuk
mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit,
menyebabkan uremia berupa retensi urea dan sampah lain dalam darah
(Mansjoer., dkk, 2000).
Berdasarkan ketiga pengertian di atas maka dapat disimpulkan bahwa
gagal ginjal kronik adalah suatu keadaan dimana ginjal mengalami kerusakan
sehingga tidak mampu lagi mengeluarkan sisa-sisa metabolisme yang ada di
dalam tubuh dan menyebabkan penumpukan urea dan sampah metabolisme
lainnya serta ketidakseimbangan cairan dan elektrolit.

C. Epidemiologi
Sebanyak 30 juta orang dewasa di Amerika Serikat mengalami CKD, dan
jutaan orang lainnya beresiko CKD (National Kidney Foundation, 2018). CKD
merupakan penyebab kematian urutan ke sembilan di Amerika Serikat. Setiap 24
jam, lebih dari 300 orang memulai perawatan hemodialisis. Diabetes dan tekanan
darah tinggi merupakan penyebab utama CKD (Center for Disease Control and
Prevention, 2018). Perawatan penyakit ginjal di Indonesia menempati ranking
kedua dalam hal pembiayaan terbesar dari BPJS kesehatan setelah penyakit
jantung (Kementerian Kesehatan RI, 2017).
D. Etiologi
Penyebab utama gagal ginjal ginjal kronik sangat bervariasi antara satu
negara dengan negara lain. Penyebab utama gagal ginjal kronik di Amerika
Serikat diantaranya yaitu Diabetes Mellitus (DM) tipe 2 merupakan penyebab
terbesar gagal ginjal kronik sebesar 37% sedangkan tipe 1 7%. (Smeltzer dan
Bare, 2008). Diabetes melitus (DM) ialah sebuah masalah pada tubuh yang
menyebabkan kadar glukosa darah meningkat dari biasanya atau disebut dengan
hiperglikemia (American Diabetes Association [ADA], 2015). Hiperglikemia
adalah kondisi metabolik berupa peningkatan kadar glukosa darah melebihi batas
normal. Hiperglikemia merupakan salah satu tanda khas penyakit Diabetes
Melitus (DM), walaupun juga terdapat pada keadaan lain (PERKENI, 2015).
Diabetes melitus ialah kondisi kronis saat tubuh tidak cukup untuk memproduksi
insulin atau insulin tidak dapat digunakan oleh tubuh, dan terjadi peningkatan
kadar glukosa darah (IDF, 2015).

E. Klasifikasi
Penyakit gagal ginjal kronik umumnya dibagi menjadi 5 stadium,
pembagiannya dilakukan berdasarkan nilai GFR (Glomerular Filtration Rate)
yaitu:
1. Stadium 1
Kerusakan ginjal dengan GFR normal (>90 mL/menit/1,73m2). Kerusakan
pada ginjal dapat dideteksi sebelum GFR mulai menurun. Pada stadium
pertama penyakit ginjal ini, tujuan pengobatan adalah untuk
memperlambat perkembangan gagal ginjal dan mengurangi resiko
penyakit jantung dan pembuluh darah.
2. Stadium 2
Kerusakan ginjal dengan penurunan ringan pada GFR (60-89
mL/menit/1,73m2). Saat fungsi ginjal mulai menurun, dokter akan
memperkirakan perkembangan gagal ginjal yang dilami klien dan
meneruskan pengobatan untuk mengurangi resiko masalah kesehatan lain.
3. Stadium 3
Penurunan lanjut pada GFR (30-59 mL/menit/1,73m2). Saat gagal ginjal
sudah berlanjut pada stadium ini, anemia dan masalah tulang menjadi
semakin umum. Sebaiknya konsultasi dengan dokter untuk mencegah atau
mengobati masalah ini.
4. Stadium 4
Penurunan berat pada GFR (15-29 mL/menit/1,73m2). Teruskan
pengobatan untuk komplikasi gagal ginjal dan belajar semaksimal
mungkin mengenai pengobatan untuk kegagalan ginjal. Masing-masing
pengobatan membutuhkan persiapan. Apabila klien memilih
hemodialisis, maka akan membutuhkan tindakan untuk memperbesar dan
memperkuat pembuluh darah dalam lengan agar siap menerima
pemasukan jarum secara sering. Untuk dialisis peritonea, sebuah kateter
harus ditanam dalam perut atau mungkin klien ingin meminta anggota
keluarga atau teman menyumbang satu ginjal untuk dicangkok.
5. Stadium 5
Kegagalan ginjal (GFR < 15 mL/menit/1,73m2). Saat ginjal tidak bekerja
cukup untuk menahan kehidupan, klien akan membutuhkan dialisis atau
pencangkokan ginjal (Muttaqin Arif, 2012).

F. Patofisiologi
Diabetes melitus terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau
keduanya (PERKENI, 2015). Insulin merupakan hormon yang dikeluarkan oleh
sel beta pankreas dan diibaratkan sebagai kunci yang dapat membuka pintu masuk
glukosa kedalam sel sebagai sumber energi untuk melakukan metabolisme. Jika
insulin tidak ada, maka glukosa tidak bisa masuk kedalam sel dan akan tetap
berada di pembuluh darah sehingga kadar gula darah akan meningkat (Ernawati
2013). Konsentrasi glukosa dalam darah yang tinggi menyebabkan ginjal dapat
menyerap kembali semua glukosa yang tersaring keluar, akibatnya glukosa
tersebut dapat muncul dalam urin (glukosuria). Ketika glukosa yang berlebihan
diekskresikan ke dalam urin, akan terjadi diuresis osmotik, yaitu ekskresi yang
berlebih dari cairan dan elektrolit. Akibat dari kehilangan cairan yang berlebihan,
pasien akan mengalami peningkatann dalam berkemih (poliuria) dan rasa haus
(polidpsia). Defisiensi insulin juga mengganggu metabolisme protein dan lemak
yang menyebabkan penurunan berat badan serta terjadi peningkatan selera makan
(polifagia) akibat menurunnya simpanan kalori (Smeltzer & Bare, 2002).
Peningkatan kadar glukosa yang menahun pada penderita komplikasi
diabetes melitus terhadap membran ginjal dapat menjadi 2 jalur:
1) Jalur metabolisme: hiperfiltrasi merupakan tahap awal dari laju kerusakan
ginjal dari mekanisme patogenik. Glomerulus akan berubah fungsi dan
menjadi hiperfiltrasi, sehingga lambat laun nefron akan menjadi sklerosis.
Hiperglikemia kronik dapat menyebabkan glikasi nonenzimatik asam amino
dan protein. Awalnya secara non-enzimatis glukosa akan berikatan dengan
asam amino menjadi AGE’s (advance glycosilation end-products). AGE’s
sebagai perantara kegiatan seluler yaitu ekspresi adhesi molekul berperan
dalam penarikan sel-sel mononuklear, dan terjadi pada hipertrofi sel. Maka
dengan peningkatan AGE’s akan menimbulkan kerusakan pada glomerulus
ginjal.
2) Jalur hemodinamik: peningkatan kadar glukosa darah dapat menimbulkan
kelainan pada sel endotel pembuluh darah, dengan diawali peningkatan
hormone vasoaktif seperti angiotensin II, yang berperan dalam perjalanan
nefropati diabetik. Angiotensin II berperan baik secara hemodinamik maupun
nonhemodinamik. Peranan tersebut antara lain merangsang vasokontriksi
sistemik, meningkatkan tahanan kapiler arteriol glomerulus, pengurangan luas
permukaan filtrasi, stimulasi protein matriks ekstra selular, serta stimulasi
chemokines yang bersifat fibrogenik (Price, S. A., dan Wilson, 2005).

G. Manifestasi Klinik
Menurut Muttaqin Arif (2012), manifestasi klinis pada pasien gagal ginjal
kronik :
1. Umum : fatique, malaise, gagal tumbuh, debil
2. Kulit : mudah lecet, rapuh, leukonika
3. Kepala dan leher : fetor uremik, lidah kering dan berselaput
4. Mata : fundus hipersensitif, mata merah
5. Kardiovaskuler : hipertensi, kelebihan cairan, gagal jantung, perikarditis
uremik, penyakit vaskuler.
6. Pernafasan : hiperventilasi asidosis, edema paru, efusi pleura
7. Gastrointestinal : anoreksia, nausea, gastritis, ulkus peptikum, kolik uremik,
diare yang disebabkan oleh anti biotik.
8. Kemih : nokturia, poliuria, haus, proteinuria, penyakit ginjal yang
mendasarinya.
9. Reproduksi : penurunan libido, impotensi, amenore, infertilitas,
ginekomastia, galaktore.
10.Syaraf : latergi, malaise, anoreksia, tremor, ngantuk, kebingungan, flap,
mioklonus, kejang, koma.
11.Tulang : hiperparatiroidisme, defisit vitamin D.
12.Sendi : gout, pseudo gout, klasifikasi ekstra tulang
13.Hematologi : anemia, defisit imun, mudah mengalami pendarahan
14.Endokrin : multiple
15.Farmakologi : obat-obatan yang diekskresi oleh ginjal

H. Pemeriksaan Penunjang
Adapun pemeriksaan penunjang untuk gagal ginjal sebagai berikut :
1. Urinalisis
Urinalisis adalah pemeriksaan mikroskopik urine. Prosedur ini memeriksa
sedimen setelah urine disentrifugasi. Urine yang normal hampir tidak
mengandung sedimen (Baradero, dkk, 2008).
2. Darah
Penilaian CKD dengan ganguan yang serius dapat dilakukan dengan
pemerikasaan laboratorium, seperti: kadar serum sodium/natrium dan
potassium/kalium, pH, kadar serum phospor, kadar Hb, hematokrit, kadar
urea nitrogen dalam darah (BUN), serum dan konsentrasi kreatinin urin,
urinalisis. Hb: menurun pada adanya anemia
a. Sedimen: sering menurun mengikuti peningkatan kerapuhan/penurunan
hidup.
b. pH: asidosis metabolik (kurang dari 7,2) dapat terjadi karena penurunan
kemampuan ginjal untuk mengekresikan hidrogen dan hasil akhir
metabolisme
c. BUN/kreatinin: terdapat peningkatan yang tetap dalam BUN, dan laju
peningkatannya bergantung pada tingkat katabolisme (pemecahan
protein), perfusi renal, dan masukkan protein. Serum kreatinin
meningkat pada kerusakan glomerulus. Kadar kreatinin serum
bermanfaat dalam pemantauan fungsi ginjal dan perkembangan
penyakit. Biasanya meningkat pada proporsi rasio 10:1.
d. Osmolalitas serum: labih besar dari 285 mOsm/kg; sering sama dengan
urine.
e. Kalium: meningkat sehubungan dengan retensi seiring dengan
perpindahan seluler (asidosis) atau pengeluaran jaringan (hemolisis sel
darah merah).
f. Natrium: biasanya meningkat, tetapi dapat bervariasi.
g. pH, kalsium dan bikarbonat: menurun.
h. Klorida, fosfat, dan magnesium: meningkat.
i. Protein: penurunan pada kadar serum dapat menunjukkan kehilangan
protein melalui urine, perpindahan cairan, penurunan pemasukan dan
penurunan sintesis karena kekurangan asam amino esensial (Muttaqin
Arif, 2012).
3. Pemeriksaan EKG
Untuk melihat adanya hipertropi ventrikel kiri, tanda perikarditis, aritmia,
dan gangguan elektrolit (hiperkalemi, hipokalsemia). Pemeriksaan ini
menilai besar dan bentuk ginjal, tebal korteks ginjal, kepadatan parenkim
ginjal, anatomi system pelviokalises, ureter proksimal, kandung kemih serta
prostate (Muttaqin Arif, 2012).
4. Pemeriksaan Radiologi
Renogram, Intravenous Pyelography, Retrograde Pyelography, Renal
Aretriografi dan Venografi, CT Scan, MRI, Renal Biopsi, pemeriksaan
rontgen dada, pemeriksaan rontgen tulang, foto polos abdomen. Berberapa
pemeriksaan radiologi yang biasa digunanakan untuk mengetahui gangguan
fungsi ginjal antara lain:
a. Flat-Plat radiografy/Radiographic keadaan ginjal, ureter dan vesika
urinaria untuk mengidentifikasi bentuk, ukuran, posisi, dan kalsifikasi
dari ginjal. Pada gambaran ini akan terlihat bahwa ginjal mengecil yang
mungkin disebabkan karena adanya proses infeksi.
b. Computer Tomography (CT) Scan yang digunakan untuk melihat secara
jelas struktur anatomi ginjal yang penggunaanya dengan memakai
kontras atau tanpa kontras.
c. Intervenous Pyelography (IVP) digunakan untuk mengevaluasi keadaan
fungsi ginjal dengan memakai kontras. IVP biasa digunakan pada kasus
gangguan ginjal yang disebabkan oleh trauma, pembedahan, anomali
kongental, kelainan prostat, calculi ginjal, abses / batu ginjal, serta
obstruksi saluran kencing.
d. Aortorenal Angiography digunakan untuk mengetahui sistem arteri,
vena, dan kepiler pada ginjal dengan menggunakan kontras.
Pemeriksaan ini biasanya dilakukan pada kasus renal arteri stenosis,
aneurisma ginjal, arterovenous fistula, serta beberapa gangguan bentuk
vaskuler.
e. Magnetic Resonance Imaging (MRI) digunakan untuk mengevaluasi
kasus yang disebabkan oleh obstruksi uropathi, ARF, proses infeksi
pada ginjal serta post transplantasi ginjal.
5. Biopsi Ginjal
Biopsi Ginjal untuk mengdiagnosa kelainann ginjal dengan mengambil
jaringan ginjal lalu dianalisa. Biasanya biopsi dilakukan pada kasus
golomerulonepritis, neprotik sindom, penyakit ginjal bawaan, ARF, dan
perencanaan transplantasi ginjal (Price & Wilson, 2005).
6. Gas darah arteri
Gas darah arteri memberikan determinasi objektif tentang oksigenasi darah
arteri, pertukaran gas alveoli, dan keseimbangan asam basa. Dalam
pemeriksaan ini diperlukan sampel darah arteri yang diambil dari arteri
femoralis, radialis, atau brakhialis dengan menggunakan spuit yang telah
diberi heparin untuk mencegah pembekuan darah sebelum dilakukan uji
laboratorium. Pada pemeriksaan gas darah arteri pada penderita gagal ginjal
akan ditemukan hasil yaitu asidosis metabolik dengan nilai PO2
normal,PCO2 rendah, pH rendah, dan defisit basa tinggi (Price & Wilson,
2005).

I. Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan adalah untuk mempertahankan fungsi ginjal dan
homeostasis selama mungkin. Seluruh faktor yang berperan pada CKD dan
faktor yang dapat dipulihkan diidentifikasi dan ditangani (Smeltzer & Bare,
2001). Penatalaksanaan keperawatan pada pasien dengan CKD dibagi tiga yaitu
sebagai berikut.
1. Terapi Konservatif
Tujuan dari terapi konservatif adalah mencegah memburuknya faal ginjal
secara progresif, meringankan keluhan-keluhan akibat akumulasi toksin
azotemia, memperbaiki metabolisme secara optimal dan memelihara
keseimbangan cairan dan elektrolit.
a. Peranan diet
Terapi diet rendah protein (DRP) menguntungkan untuk mencegah atau
mengurangi toksin azotemia, tetapi untuk jangka lama dapat merugikan
terutama gangguan keseimbangan negatif nitrogen.
b. Kebutuhan jumlah kalori
Kebutuhan jumlah kalori (sumber energi) untuk CKD harus adekuat
dengan tujuan utama, yaitu mempertahankan keseimbangan positif
nitrogen, memelihara status nutrisi dan memelihara status gizi.
c. Kebutuhan cairan
Bila ureum serum >150 mg% kebutuhan cairan harus adekuat supaya
jumlah diuresis mencapai 2 L per hari.
d. Kebutuhan elektrolit dan mineral
Kebutuhan jumlah mineral dan elektrolit bersifat individual tergantung
dari GFR dan penyakit ginjal dasar (underlying renal disease).
2. Terapi simtomatik
a. Asidosis metabolic
Asidosis metabolik harus dikoreksi karena meningkatkan serum kalium
(hiperkalemia). Untuk mencegah dan mengobati asidosis metabolik
dapat diberikan suplemen alkali. Terapi alkali (sodium bicarbonat)
harus segera diberikan intravena bila pH ≤ 7,35 atau serum bikarbonat ≤
20 mEq/L.
b. Anemia
Transfusi darah misalnya Packed Red Cell (PRC) merupakan salah satu
pilihan terapi alternatif, murah, dan efektif. Terapi pemberian transfusi
darah harus hati-hati karena dapat menyebabkan kematian mendadak.
c. Keluhan gastrointestinal
Anoreksia, cegukan, mual dan muntah, merupakan keluhan yang sering
dijumpai pada CKD. Keluhan gastrointestinal ini merupakan keluhan
utama (chief complaint) dari CKD. Keluhan gastrointestinal yang lain
adalah ulserasi mukosa mulai dari mulut sampai anus. Tindakan yang
harus dilakukan yaitu program terapi dialisis adekuat dan obat-obatan
simtomatik.
d. Kelainan kulit
Tindakan yang diberikan harus tergantung dengan jenis keluhan kulit.
e. Kelainan neuromuscular
Beberapa terapi pilihan yang dapat dilakukan yaitu terapi hemodialisis
reguler yang adekuat, medikamentosa atau operasi subtotal
paratiroidektomi.
f. Hipertensi
Pemberian obat-obatan anti hipertensi.
g. Kelainan sistem kardiovaskular
Tindakan yang diberikan tergantung dari kelainan kardiovaskular yang
diderita.
3. Terapi pengganti ginjal
Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium 5,
yaitu pada GFR kurang dari 15 ml/menit. Terapi tersebut dapat berupa
hemodialisis, dialisis peritoneal, dan transplantasi ginjal (Price & Wilson, 2005).
a. Hemodialisis
Hemodialisis adalah suatu usaha untuk memperbaiki kelainan biokimiawi
darah yang terjadi akibat terganggunya fungsi ginjal, dilakukan dengan
menggunakan mesin hemodialisis. Hemodialisis merupakan salah satu
bentuk terapi pengganti ginjal (renal replacement therapy/RRT) dan
hanya menggantikan sebagian dari fungsi ekskresi ginjal. Hemodialisis
dilakukan pada klien CKD stadium 5.
b. Dialisis Peritoneal
Dialisis peritoneal merupakan alternatif hemodialisis pada
penanganan gagal ginjal akut dan kronis. Dialisis peritoneal
dilakukan dengan menginfuskan 1-2 L cairan dialisis ke dalam
abdomen melalui kateter. Dialisat tetap berada dalam abdomen untuk
waktu yang berbeda-beda (waktu tinggal) dan kemudian dikeluarkan
melalui gaya gravitasi ke dalam wadah yang terletak di bawah
pasien. Setelah drainase selesai, dialisat yang baru dimasukkan dan
siklus berjalan kembali. Pembuangan zat terlarut dicapai melalui difusi,
sementara ultrafiltrasi dicapai melalui perbedaan tekanan osmotik dan
bukan dari perbedaan tekanan hidrostatik seperti pada hemodialisis
c. Transplantasi Ginjal
Transplantasi ginjal merupakan cara pengobatan yang lebih disukai oleh
pasien gagal ginjal stadium akhir, meskipun sebagian pasien
mungkin tetap memilih dialisis di rumah mereka sendiri sesudah
mendapatkan latihan dari perawat khusus. Tindakan standar dalam
transplantasi ginjal dengan merotasikan ginjal donor dan
meletakannya pada fosa iliaka kontralateral resipien. Ureter
kemudian terletak di sebelah anterior pembuluh darah ginjal ke
dalam kemih resipien. Arteria renalis beranastomosis end-to-end pada
arteri iliaka interna, dan vena renalis beranastomosis dengan vena
iliaka komunis atau eksternal. Pertimbangan program transplantasi ginjal,
yaitu:
1) Cangkok ginjal (kidney transplant) dapat mengambil alih seluruh
(100%) faal ginjal, sedangkan hemodialisis hanya mengambil alih
70-80% faal ginjal alamiah
2) Kualitas hidup normal kembali
3) Komplikasi terutama berhubungan dengan obat imunosupresif untuk
mencegah reaksi penolakan
4) Biaya lebih murah dan dapat dibatasi

J. Konsep Hemodialisa
1. Pengertian
Hemodialisis adalah suatu usaha untuk memperbaiki kelainan biokimiawi
darah yang terjadi akibat terganggunya fungsi ginjal, dilakukan dengan
menggunakan mesin hemodialisis. Hemodialisis merupakan salah satu bentuk
terapi pengganti ginjal (renal replacement therapy/RRT) dan hanya
menggantikan sebagian dari fungsi ekskresi ginjal. Dialisis dilakukan apabila
kadar kreatinin serum diatas 6 mg/100 ml pada laki-laki atau 4 mg/100 ml
pada wanita, dan GFR kurang dari 4 ml/menit. Dialisis dapat digunakan untuk
mempertahankan penderita dalam keadaan klinis yang optimal sampai
tersedia donor ginjal. Hemodialisis dilakukan pada penderita PGK stadium V
dan pada klien dengan AKI (Acute Kidney Injury) yang memerlukan terapi
pengganti ginjal. Hemodialisa merupakan suatu proses yang digunakan pada
pasien dalam keadaan sakit akut dan memerlukan terapi dialisys jangka
pendek (beberapa hari hingga beberapa minggu) atau pasien dengan penyakit
ginjal stadium akhir atau end stage renal disease (ESRD) yang memerlukan
terapi jangka panjang atau permanen. Biasanya dilakukan pada kasus-kasus
emergency, sedangkan dialysis yang bisa dilakukan dimana saja yang tidak
bersifat akut adalah CAPD (Continues Ambulatory Peritonial Dialysis).
Hemodialisa adalah suatu prosedur dimana darah dikeluarkan dari tubuh
penderita dan beredar dalam sebuah mesin di luar tubuh yang disebut
dialyzer. Prosedur ini memerlukan jalan masuk ke aliran darah. Untuk
memenuhi kebutuhan ini, maka dibuat suatu hubungan buatan diantara arteri
dan vena (fistula arteriovenosa) melalui pembedahan. Pada hemodialisa,
darah penderita mengalir melalui suatu selang yang dihubungkan ke fistula
arteriovenosa dan dipompa ke dalam dialyzer. Untuk mencegah pembekuan
darah selama berada dalam dialyzer maka diberikan heparin. Di dalam
dialyzer, suatu selaput buatan yang memiliki pori-pori memisahkan darah dari
suatu cairan (dialisat) yang memiliki komposisi kimia yang menyerupai
cairan tubuh normal. Tekanan di dalam ruang dialisat lebih rendah
dibandingkan dengan tekanan di dalam darah, sehingga cairan, limbah
metabolic, dan zat-zat racun di dalam darah disaring melalui selaput dan
masuk ke dalam dialisat. Tetapi sel darah dan protein yang besar tidak dapat
menembus pori-pori selaput buatan ini. Darah yang telah dicuci lalu
dikembalikan ke dalam tubuh penderita. Dialyzer memiliki ukuran dan
tingkat efisiensi yang berbeda-beda. Mesin yang lebih baru sangat efisien,
darah mengalir lebih cepat dan masa dialisa lebih pendek (2-3 jam),
sedangkan mesin yang lama memerlukan waktu 3-5 jam. Sebagian besar
penderita gagal ginjal kronis perlu menjalani dialisa sebanyak 2 kali/minggu
(Rahardjo, 2014).
Gambar 5. Hemodialisa

Prinsip yang mendasari hemodialisa adalah pada hemodialysis aliran


darah yang penuh dengan toksin dan limbah nitrogen dialihkan dari tubuh
pasien ke dializer tempat darah tersebut dibersihkan dan kemudian
dikembalikan lagi ke tubuh pasien. Sebagian besar dializer merupakan
lempengan rata atau ginjal serat artificial berongga yang berisi ribuan
tubulus selofan yang halus dan bekerja sebagai membran semipermeabel.
Aliran darah akan melewati tubulus tersebut sementara cairan dialisat
bersirkulasi di sekelilingnya. Pertukaran limbah dari darah ke dalam cairan
dialisat akan terjadi melalui membrane semipermeabel tubulus (Brunner &
Suddarth, 2002).
Terdapat tiga prinsip yang mendasari kerja hemodialisa, yaitu difusi,
osmosis, ultrafiltrasi. Toksin dan zat limbah di dalam darah dikeluarkan
melalui proses difusi dengan cara bergerak dari darah yang memiliki
konsentrasi tinggi, ke cairan dialisat dengan konsentrasi yang lebih rendah.
Cairan dialisat tersusun dari semua elektrolit yang penting dengan
konsentrasi ekstrasel yang ideal. Kelebihan cairan dikeluarkan dari dalam
tubuh melalui proses osmosis. Pengeluaran air dapat dikendalikan dengan
menciptakan gradien tekanan, dimana air bergerak dari daerah dengan
tekanan yang lebih tinggi (tubuh pasien) ke tekanan yang lebih rendah
(cairan dialisat). Gradient ini dapat di tingkatkan melalui penambahan
tekanan negative yang dikenal sebagai ultrafiltrasi pada mesin dialisis.
Tekanan negative diterapkan pada alat ini sebagai kekuatan penghisap pada
membran dan memfasilitasi pengeluaran air (Suharayanto dan Madjid,
2009).

2. Tujuan
Tujuan dari hemodialisis yaitu untuk mengeluarkan zat nitrogen yang toksik
di dalam darah dan mengurangi cairan yang berlebihan dari dalam tubuh.
Hemodialisis dapat dilakukan pada saat toksin atau zat racun harus segera
dikeluarkan untuk mencegah kerusakan permanen dan menghindari kematian.
Hemofiltrasi digunakan untuk mengeluarkan cairan yang berlebihan (Smeltzer
dan Bare, 2005).

Gambar 6. Proses Hemodialisa

3. Indikasi Hemodialisis
Indikasi HD dibedakan menjadi HD emergency atau HD segera dan
HD kronik. Hemodialis segera adalah HD yang harus segera dilakukan.
a. Indikasi hemodialisis segera antara lain (Lukman,. dkk, 2013).
1) Kegawatan ginjal
a) Klinis: keadaan uremik berat, overhidrasi
b) Oligouria (produksi urine <200 ml/12 jam)
c) Anuria (produksi urine <50 ml/12 jam)
d) Hiperkalemia (terutama jika terjadi perubahan ECG, biasanya
K >6,5 mmol/l )
e) Asidosis berat ( pH <7,1 atau bikarbonat <12 meq/l)
f) Uremia ( BUN >150 mg/dL)
g) Ensefalopati uremikum
h) Neuropati/miopati uremikum
i) Perikarditis uremikum
j) Disnatremia berat (Na >160 atau <115 mmol/L)
k) Hipertermia

2) Keracunan akut (alkohol, obat-obatan) yang bisa melewati


membran dialisis.
b. Indikasi Hemodialisis Kronik
Hemodialisis kronik adalah hemodialisis yang dikerjakan
berkelanjutan seumur hidup penderita dengan menggunakan mesin
hemodialisis. Menurut K/DOQI dialisis dimulai jika GFR <15 ml/mnt.
Keadaan klien yang mempunyai GFR <15ml/menit tidak selalu sama,
sehingga dialisis dianggap baru perlu dimulai jika dijumpai salah satu dari
hal tersebut di bawah ini
1) GFR <15 ml/menit, tergantung gejala klinis
2) Gejala uremia meliputi; lethargy, anoreksia, nausea, mual dan
muntah.
3) Adanya malnutrisi atau hilangnya massa otot.
4) Hipertensi yang sulit dikontrol dan adanya kelebihan cairan.
5) Komplikasi metabolik yang refrakter (Rahardjo, 2014).

4. Komponen hemodialisa
a. Mesin hemodialisa
Mesin hemodialisa merupakan mesin yang dibuat dengan sistim
komputerisasi yang berfungsi untuk pengaturan dan monitoring yang
penting untuk mencapai adekuasi hemodialisa (Lukman,. dkk, 2013).
b. Dialiser
Dialiser merupakan komponen penting yang merupakan unit
fungsional dan memiliki fungsi seperti nefron ginjal.Berbentuk seperti
tabung yang terdiri dari dua ruang yaitu kompartemen darah dan
kompartemen dialisat yang dipisahkan oleh membran semi permeabel. Di
dalam dialiser cairan dan molekul dapat berpindah dengan cara difusi,
osmosis, ultrafiltrasi, dan konveksi. Dialiser yang mempunyai permebilitas
yang baik mempunyai kemampuan yang tinggi dalam membuang
kelebihan cairan, sehingga akan menghasilkan bersihan yang lebih optimal
(Brunner & Suddarth, 2001; Black, 2005 ).
c. Dialisat
Diasilat merupakan cairan yang komposisinya seperti plasma normal dan
terdiri dari air dan elektrolit, yang dialirkan kedalam dialiser. Dialisat
digunakan untuk membuat perbedaan konsentrasi yang mendukung difusi
dalam proses hemodialisa. Untuk mengalirkan dialisat menuju dan keluar
dari dialiser memerlukan kecepatan aliran dialisat menuju dan keluar dari
dialiser memerlukan kecepatan aliran dialisat yang disebut Quick Of
Dialysate (Qd). Untuk mencapai hemodialisa yang adekuat Qd disarankan
adalah 400-800 mL/menit (Rahardjo, 2014).
d. Akses vascular
Akses vascular merupakan jalan untuk memudahkan pengeluaran
darah dalam proses hemodialisa untuk kemudian dimasukkan lagi kedalam
tubuh klien. Akses yg adekuat akan memudahkan dalam melakukan
penusukan dan memungkinkan aliran darah sebanyak 200-300 mL/menit
untuk mendapat hasil yang optimal. Akses vaskular dapat berupa kanula
atau kateter yang dimasukkan kedalam lumen pembuluh darah seperti sub
clavia, jungularis, atau femoralis. Akses juga dapat berupa pembuluh darah
buatan yang menyambungkan vena dengan arteri yang disebut Arteorio
Venousus Fistula/Cimino (Rahardjo, 2014).
e. Quick of blood
Qb adalah banyaknya darah yang dapat dialirkan dalam satuan menit
dan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi bersihan ureum.
Peningkatan Qb akan meningkatkan peningkatan jumlah ureum yang
dikeluarkan sehingga bersihan ureum juga meningkat. Dasar peningkatan
aliran (Qb) rata rata adalah 4 kali berat badan klien. Qb yang disarankan
untuk klien yang menjalani hemodialisa selama 4 jam adalah 250-400
m/Lmenit (Rahardjo, 2014).
5. Prinsip dan cara kerja hemodialisis
Hemodialisis terdiri dari 3 kompartemen: kompartemen darah,
kompartemen cairan pencuci (dialisat), dan ginjal buatan (dialiser). Darah
dikeluarkan dari pembuluh darah vena dengan kecepatan aliran tertentu,
kemudian masuk ke dalam mesin dengan proses pemompaan. Setelah terjadi
proses dialisis, darah yang telah bersih ini masuk ke pembuluh balik,
selanjutnya beredar didalam tubuh. Proses dialisis (pemurnian) darah terjadi
dalam dialiser (Rahardjo, 2014).
Prinsip kerja hemodialisis adalah komposisi solute (bahan terlarut) suatu
larutan (kompartemen darah) akan berubah dengan cara memaparkan larutan ini
dengan larutan lain (kompartemen dialisat) melalui membran semipermeabel
(dialiser). Perpindahan solute melewati membran disebut sebagai osmosis.
Perpindahan ini terjadi melalui mekanisme difusi dan UF. Difusi adalah
perpindahan solute terjadi akibat gerakan molekulnya secara acak, utrafiltrasi
adalah perpindahan molekul terjadi secara konveksi, artinya solute berukuran
kecil yang larut dalam air ikut berpindah secara bebas bersama molekul air
melewati porus membran. Perpindahan ini disebabkan oleh mekanisme
hidrostatik, akibat perbedaan tekanan air (transmembrane pressure) atau
mekanisme osmotik akibat perbedaan konsentrasi larutan. Pada mekanisme UF
konveksi merupakan proses yang memerlukan gerakan cairan disebabkan oleh
gradient tekanan transmembran (Rahardjo, 2014).
Gambar 7. Skema Mesin Hemodialisis

6. Manfaat hemodialysis
Sebagai terapi pengganti, kegiatan hemodialisa mempunyai tujuan:
a. Membuang produk metabolisme protein seperti urea, kreatinin, dan
asam urat.
b. Membuang kelebihan air.
c. Mempertahankan atau mengembalikan sistem buffer tubuh.

d. Mempertahankan atau mengembalikan kadar elektrolit tubuh.


e. Memperbaiki status kesehatan penderita (Lukman,. dkk, 2013).

7. Pedoman Pelaksanaan Hemodialisa


a. Perawatan sebelum hemodialisa
1) Sambungkan selang air dari mesin hemodialisa.
2) Kran air dibuka.
3) Pastikan selang pembuka air dan mesin hemodialisis sudah masuk
keluar atau saluran pembuangan.
4) Sambungkan kabel mesin hemodialisis ke stop kontak.
5) Hidupkan mesin.
6) Pastikan mesin pada posisi rinse selama 20 menit.
7) Matikan mesin hemodialysis.
8) Masukkan selang dialisat ke dalam jaringan dialisat pekat.
9) Sambungkan slang dialisat dengan konektor yang ada pada mesin
hemodialisis.
10) Hidupkan mesin dengan posisi normal (siap) (Rahardjo, 2014).
b. Menyiapkan sirkulasi darah
1) Bukalah alat-alat dialisat dari setnya.
2) Tempatkan dialiser pada holder (tempatnya) dan posisi ‘inset’
(tanda merah) diatas dan posisi ‘outset’ (tanda biru) dibawah.
3) Hubungkan ujung merah dari ABL dengan ujung ‘inset’ dari
dialiser
4) Hubungkan ujung biru dari UBL dengan ujung ‘outset’ adri dialiser
dan tempatkan buble tap di holder dengan posisi tengah.
5) Set infuse ke botol NaCl 0,9%-500 cc.
6) Hubungkan set infuse ke slang arteri.
7) Bukalah klem NaCl 0,9%. Isi slang arteri sampai keujung selang
lalu klem.
8) Memutarkan letak dialiser dengan posisi ‘inset’ dibawah dan
‘ouset’ diatas, tujuannya agar dialiser bebas dari udara
9) Tutup klem dari selang untuk tekanan arteri, vena, heparin.
10) Buka klem dari infuse set ABL, UBL.
11) Jalankan pompa darah dengan kecepatan mula-mula 100 ml/mnt,
kemudian naikkan secara bertahap sampai 200 ml/mnt.
12) Isi buble tap dengan NaCl 0,9% sampai 3/4 cairan.
13) Memberikan tekanan secara intermitten pada UBL untuk
mengalirkan udara dari dalam dialiser, dilakukan sampai dengan
dialiser bebas udara (tekanan tidak lebih dari 200 mmHg).
14) Melakukan pembilasan dan pencucian dengan NaCl 0,9% sebanyak
500 cc yang terdapat pada botol (kalf). Sisanya ditampung pada
gelas ukur.
15) Ganti kalf NaCl 0,9% yang kosong dengan kalf NaCl 0,9% baru.
16) Sambungkan ujung biru UBL dengan ujung merah ABL dengan
menggunakan konektor.
17) Menghidupkan pompa darah selama 10 menit. Untuk dialiser baru
15-20 menit, untuk dialiser reuse dengan aliran 200-250 ml/mnt.
18) Mengembalikan posisi dialiser ke posisi semula dimana ‘inset’
diatas dan ‘outset’ dibawah.
19) Menghubungkan sirkulasi darah dengan sirkulasi dialisat selama 5-
10 menit siap untuk dihubungkan dengan pasien (soaking)
(Rahardjo, 2014).
c. Persiapan pasien
1) Menimbang BB.
2) Mengatur posisi pasien.
3) Observasi KU.
4) Observasi TTV.
5) Melakukan kamulasi/fungsi untuk menghubungkan sirkulasi,
biasanya mempergunakan salah satu jalan darah/blood akses seperti
dibawah ini:
a). Dengan interval A-V Shunt/fistula simino
b). Dengan eksternal A-V Shunt/schungula
c). Tanpa 1-2 (vena pulmonalis) (Rahardjo, 2014)
8. Komplikasi Hemodialisa
Komplikasi Penyebab
Demam  Bakteri atau zat penyebab demam
(pirogen) di dalam darah
 Dialisat terlalu panas
Reaksi anafilaksis yg  Alergi terhadap zat di dalam mesin
berakibat fatal (anafilaksis)  Tekanan darah rendah
Tekanan darah rendah Terlalu banyak cairan yang dibuang
Gangguan irama jantung Kadar kalium dan zat lainnya yang
abnormal dalam darah
Emboli udara Udara memasuki darah di dalam mesin
Perdarahan usus, otak, mata Penggunaan heparin di dalam mesin untuk
atau perut mencegah pembekuan
(Rahardjo, 2014).
DIABETES

Defisiensi insulin

K. Pathway

Glukagon  Pemakaian glukosa sel 

Glukoneogenesis
Hiperglikemia Nutrisi sel 

Lemak Protein Glycosuria Polyphagi

Ketogenesis BUN  Osmotic diuresis Polyuri


Jantung IMA
Ketonemia Nitrogen urin  Dehidrasi Polydipsi
Cerebral Stroke
pH  Hemokonsentrasi

Makrovaskuler ekstremitas Gangran


asidosis arteriosklerosis

Mual Koma Mikrovaskuler

Muntah Kematian

Retina Ginjal

Retinopati Nefropati

CKD

Ggn. sekresi protein retensi Na sekresi


eritropoitin 
sindrom uremia edema
produksi Hb dan sel
darah merah 
perpospatemia pruritus kelebihan
Kerusakan
volume cairan
Integritas suplai O2  intoleransi aktivitas
urokrom perubahan Kulit
tertimbun di beban jantung naik
warna kulit
kulit Gangguan perfusi

Toksisitas hipertrofi ventrikel kiri


jaringan
Enchepalop Penurunan
ureum di otak
ati kesadaran
payah jantung kiri
Ggn. asam - Mual Ketidakseimbangan
basa nutrisi
Muntah edema paru

alkalosis
Ketidakefektifan pola nafas ggn. pertukaran
respiratorik
gas

intoleransi
aktivitas
L. Konsep Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Identitas Pasien
Identitas meliputi data demografi klien yang terdiri dari nama, umur,
jenis kelamin, agama, pendidikan, alamat, No.RM, pekerjaan, status
perkawinan, tanggal masuk rumah sakit, dan diagnosa medis.
b. Keluhan Utama
Adanya keluhan yang umum dirasakan pasien GGK yang akan
mengalami hemodialisa adalah nyeri pada pinggang, buang air kecil
sedikit, bengkak/edema pada ekstremitas, perut kembung, sesak.
c. Riwayat Kesehatan
Rincian penyakit mulai dari awal sampai saat pertama kali
berhubungan dengan petugas kesehatan. Waktu kejadian, cara
(proses), tempat, suasana, manifestasi masalah, perjalanan
penyakit/masalah (riwayat pengobatan, persepsi tentang penyebab dan
penyakit)
d. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien dengan GGK biasanya akan mengalami bengkak, kesulitan
dalam eliminasi urin nyeri pinggang klonik yang mengganggu
kemudian baru menjangkau tenaga kesehatan, GGK biasanya juga
disertai penyakit penyerta seperti batu ginjal, atau ISK. Informasi
sejak timbulnya keluhan sampai dirawat dirumah sakit. Berkaitan
dengan keluhan utama yang dijabarkan dengan PQRST yang meliputi
hal-hal yang meringankan dan memberatkan. Kualitas dan kuantitas
dari keluhan, penyebaran serta tingkat kegawatan atau skala dan
waktu.
e. Riwayat Penyakit Dahulu
Penyakit yang dapat menjadi faktor utama terjadinya GGK seperti
penyakit infeksi dan non infeksi. Penyakit infeksi seperti ISK.
Penyakit non infeksi berupa penyakit jantung, DM, vaskuler
hipertensif, gangguan saluran penyambung, gangguan kongenital dan
herediter, penyakit metabolik, nefropati toksik dan neropati
obstruktif..
f. Riwayat Penyakit Keluarga
Perlu ditanyakan apakah ada anggota keluarga yang menderita
penyakit herediter seperti hipertensi atau DM, serata penyakit Tb
Paru.
Pengkajian Pola-Pola Fungsi Kesehatan Gordon
a Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat
Bagaimana persepsi dan pendapat klien terkait dengan penyakit yang
dideritanya, serta penanganan pertama dalam mengatasi masalah
kesehatannya.Riwayat merokok, minum alkohol, dan penggunaan
obat-obatan. Kemungkinan pasien GGK memiliki kebiasaan berisiko
seperti minum alkohol dan kurang minum air putih, dan Penggunaan
obat laksatif, diamox, vitamin D, antacid, aspirin dosis tinggi, personal
hygiene kurang, konsumsi toxik, konsumsi makanan tinggi kalsium,
purin, oksalat, fosfat, protein, kebiasaan minum suplemen, control
tekanan darah dan gula darah tidak teratur pada penderita tekanan
darah tinggi dan diabetes mellitus.
b Pola nutrisi dan metabolisme
Bagaimana pola pemenuhan nutrisi setiap harinya. Perawat perlu
melakukan pengukuran tinggi badan dan berat badan untuk
mengetahui status nutrisi pasien. Pasien dengan GGK perlu dikaji
adanya mual, muntah, anoreksia, intake cairan inadekuat, peningkatan
berat badan cepat (edema), penurunan berat badan (malnutrisi), nyeri
ulu hati, rasa metalik tidak sedap pada mulut (pernafasan amonia),
penggunanan diuretik, demam karena sepsis dan dehidrasi.
c Pola eliminasi
Perawat perlu menanyakan mengenai kebiasaan defekasi sebelum dan
sesudah sakit. Penurunan frekuensi urine, oliguria, anuria (gagal tahap
lanjut), abdomen kembung, diare konstipasi, perubahan warna urin.
d Pola aktivitas dan latihan
Perawat perlu untuk terus mengkaji status pernapasan pasien, karena
akibat dari sesak napas. Disamping itu pasien juga akan mengurangi
aktivitasnya akibat adanya nyeri punggung dan untuk memenuhi
kebutuhan ADL nya sebagian kebutuhan pasien dibantu oleh perawat
dan keluarganya. Kemungkinan klien akan mengalami intoleransi
aktivitas. Klien juga akan memiliki masalah fatigue dan malaise.
e Pola tidur dan istirahat
Adanya nyeri pinggang, sesak nafas dan peningkatan suhu tubuh akan
berpengaruh terhadap pemenuhan kebutuhan tidur, istitahat dan sering
terbangun jika nyeri, klien bisa mengalami insomnia, gangguan pola
tidur atau depriviasai tidur.
f Pola hubungan dan peran
Akibat dari sakitnya, secara langsung pasien akan mengalami
perubahan peran, misalkan pasien seorang laki-laki sebagai kepala
rumah tangga, tidak dapat menjalani fungsinya untuk menafkahi istri
dan anaknya. Disamping itu, peran pasien di masyarakat pun juga
mengalami perubahan dan semua itu mempengaruhi hubungan
interpersonal pasien.
g Pola persepsi dan konsep diri
Persepsi pasien terhadap dirinya akan berubah. Pasien yang tadinya
sehat, tiba-tiba mengalami sakit. Sebagai pasien mungkin akan
beranggapan bahwa penyakitnya adalah penyakit mematikan. Dalam
hal ini pasien mungkin akan kehilangan gambaran positif terhadap
dirinya.
h Pola sensori dan kognitif
Rasa panas pada telapak kaki, perubahan tingkah laku, kedutan otot,
perubahan tingkat kesadaran, nyeri panggul, sakit kepala, kram/nyeri
kaki (memburuk pada malam hari), perilaku berhati-hati/distraksi,
gelisah, penglihatan kabur, kejang, sindrom “kaki gelisah”, rasa kebas
pada telapak kaki, kelemahan khusussnya ekstremitas bawah
(neuropati perifer), gangguan status mental, contoh penurunan lapang
perhatian, ketidakmampuan berkonsentrasi, kehilangan memori,
kacau. Gangguan status mental, contoh penurunan lapang perhatian,
ketidakmampuan berkonsentrasi, kehilangan memori, kacau,
penurunan tingkat kesadaran, strupor, koma. Penurunan DTR. Tanda
chvostek dan trosseau positif, kejang, fasikulasi otot, aktivitas kejang,
rambut tipis, kuku rapuh dan tipis.
i Pola reproduksi seksual
Kebutuhan seksual pasien akan terganggu untuk sementara waktu
karena pasien berada di rumah sakit dan kondisi fisiknya masih lemah.
j Pola managemen stress dan koping
Pasien yang tidak mengtahui penyabab dan proses dari penyakitnya
akan mengalami stress dan mungkin pasien akan banyak bertanya
pada perawat dan dokter yang merawatnya atau orang yang mungkin
dianggap lebih tahu mengenai penyakitnya.
k Pola tata nilai dan kepercayaan
Sebagai seorang beragama pasien akan lebih mendekatkan dirinya
kepada Tuhan dan menganggap bahwa penyakitnya ini adalah suatu
cobaan dari Tuhan.
Pengkajian Fisik
Pemeriksaan fisik dinilai keadaan umum dan status nutrisi yang baik,
tanda-tanda vital dalam batas normal. Dikaji status cairan apakah ada
peningkatan BB karena overload, dihitung IDWG (BB kering), adanya
tanda-tanda anemia, fatigue, tonus otot menurun, tanda-tanda adanya
komplikasi pre HD, intra HD dan post HD. Pemeriksaan yang menyeluruh
dilakukan dengan melakukan pengkajian pada status hidrasi, penilaian
keadaan kardiovaskular, penilaian system saraf pusat dan tepi, penilaian
keadaan kulit, tekanan darah, nadi, suhu, dan laju pernafasan, tanda-tanda
uremia, berat badan dan status nutrisi. Adanya gangguan system
gastrointestinal, hematologi, endokrin serta musculoskeletal. Identifikasi
faktor penyebab dari tanda-tanda yang muncul apakah manifestasi yang
muncul terkait dari faktor-faktor ketidakpatuhan pasien terhadap program
terapi. (Smeltzer, 2008).
a Keadaan umum
Pasien tampak sesak nafas
b Tingkat kesadaran: Komposmentis
c TTV
RR: takipnea
N : takikardi
S : bisa hipertermi
TD: bisa hupertensi
d Kepala:
- Inspeksi: Rambut kepala tipis, dan mudah rontok tidak terdapat
masa (benjolan), persebaran rambut rata, tidak terdapat lesi, tidak
terdapat hiperpigmentasi pada kepala, wajah simetris, tidak
terdapat lesi pada wajah.
- Palpasi : tidak ada nyeri tekan dan benjolan
e Mata:
- Inspeksi: konjungtiva anemis, mata merah, berair, penglihatan
kabur, edema periorbital.
- Palpasi: ada nyeri tekan
f Telinga:
- Inspeksi:: Tidak terdapat lesi atau serumen yang keluar dari
telinga. Bentuk daun telinga normal dan simetris, tidak ada nyeri
tekan pada tragus, tidak ada gangguan pendengaran, tidak
menggunakan alat bantu pendengaran, tidak ada benjolan dan
tanda-tanda peradangan, dan tidak terdapat lesi dan kealinan
- Palpasi: tidak ada nyeri tekan dan benjolan
g Hidung:
- Inspeksi:: Bentuk hidung simetris, terdapat pernafasan cuping
hidung, penggunaan oksigen binasal, tidak ada serumen atau
sekret yang keluar dari hidung.
- Palpasi: tidak ada nyeri tekan dan benjolan
h Mulut:
- Inspeksi:: ulserasi dan perdarahan, nafas berbau ammonia,
mual,muntah serta cegukan, peradangan gusi.
- Palpasi: tidak ada nyeri tekan.
i Leher:
- Inspeksi:: pembesaran vena jugularis
- Palpasi: tidak ada nyeri tekan, teraba nadi karotis
j Dada:
- Inspeksi: penggunaan otot bantu pernafasan, pernafasan dangkal
dan kusmaul serta krekels, nafas dangkal, pneumonitis, edema
pulmoner, friction rub perikardial.
- Palpasi: tidak ada nyeri tekan, tidak ada krepitasi/benjolan, ictus
cordis teraba, tidak ada tenderness, vokal vremitus menurun pada
bagian sinistra.
- Perkusi: perkusi paru sonor atau redup atau pekak
- Auskultasi: terdengar suara ronkhi, suara S1 dan S2 tunggal, tidak
ada suara jantung abnormal.
k Abdomen:
- Inspeksi:: nyeri area pinggang, asites
- Auskultasi: peristaltik normal 5-20x/m
- Perkusi: hipertimpani
- Palpasi: ada nyeri tekan area punggung
l Urogenital:
- Kesulitan BAK, warna urine berubah, nyeri saat BAK, atropi
testikuler, amenore.
m Ekstremitas:
- Ekstremitas atas
Pasien dapat menggerakkan ekstremitas atas, terpasang infus pada
bagian tangan sebelah kiri, kekuatan otot(5)
- Ekstremitas bawah
Bentuk ekstremitas bawah normal, simetris, pasie dapat
menggerakkan ekstremitas bawah, kekuatan otot (5)
n. Kulit dan kuku:
- Kulit: ecimosis, kulit kering, bersisik, warnakulit abu-abu,
mengkilat atau hiperpigmentasi, gatal (pruritas), kuku tipis dan
rapuh, memar (purpura), edema
- Kuku: kuku tipis dan rapuh.

2. Diagnosa Keperawatan
a. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan penurunan luaran
urine dan retensi cairan dan natrium.
b. Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan penurunan suplai
O2
c. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
intake inadekuat sekunder terhadap mual, muntah, anoreksia.
d. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan
penurunan suplai O2 dan nutrisi ke jaringan sekunder terhadap
penurunan COP.
e. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan akumulasi toksik
dalam kulit dan gangguan turgor kulit (uremia).
f. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan keletihan, kelelahan otot,
anemia, retensi produk sampah dan prosedur dialisis.
g. Ansietas berhubungan dengan ancaman status terkini (cemas dengan
prognosis penyakit dan tindakan HD).
h. Defisit pengetahuan berhubungan dengan kurangnya paparan
informasi tentang proses HD.
3. Perencanaan
DIAGNOSA NOC NIC
Kelebihan volume Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama ...x... jam Manajemen elektrolit/cairan (2080)
cairan berhubungan klien dapat menunjukkan perubahan ditandai dengan: 1. Jaga pencatatan intake/asupan dan output
dengan penurunan Keseimbangan cairan (0601) yang akurat
luaran urine dan Skor yang ingin 2. pantau adanya tanda dan gejala retensi cairan
Skor
retensi cairan dan No Indikator dicapai 3. batasi cairan yang sesuai
natrium (00026) Awal 1 2 3 4 5 4. siapkan pasien untuk dialisis
1. Tekanan darah √ Monitor cairan ( 4130)
Keseimangan input √ 1. tentukan jumlah dan jenis intake dan output
2. outpur dalam 24 serta kebiasaan eliminasi
jam 2. periksa turgor kulit
3. Berat badan stabil √ 3. monitor berat badan
4. Turgor kulit √ 4. monitor nilai kadar serum dan elektrolit urin
Kelembapan √
5.
membran mukosa
6. Serum elektrolit √
7. Hematokrit √
1: sangat terganggu
2: banyak terganggu
3: cukup terganggu
4: sedikit terganggu
5: tidak terganggu

Skor yang ingin


Skor
No Indikator dicapai
Awal 1 2 3 4 5
1. Kehausan √
2. Kram otot √
3. Pusing √
1: berat
2: cukup berat
3: sedang
4: ringan
5: tidak ada

Ketidakefektifan NOC NIC


pola nafas Status Pernafasan (0415) Monitor Pernafasan (3350)
Tujuan 1. Monitor tingkat, irama kedalaman dan
No. Indikator Awal
1 2 3 4 5 kesulitan bernafas;
1. Frekuensi pernafasan √ 2. Catat pergerakan dada, kesimetrisan, dan
2. Irama pernafasan √ penggunaan otot bantu pernafasan;
3. Kedalaman inspirasi √ 3. Monitor suara nafas tambahan;
Suara auskultasi 4. Monitor pola nafas;
4. √ 5. Auskultasi suara nafas;
nafas
Kepatenan jalan 6. Buka jalan napas;
5. √ 7. Berikan terapi oksigen.
nafas
Penggunaan otot
6. √ Terapi Oksigen (3320)
bantu pernafasan
Pernafasan bibir 1. Pertahankan kepatenan jalan nafas;
7. dengan mulut √ 2. Berikan oksigen seperti yang diperintahkan;
mengerucut 3. Monitor aliran oksigen;
8. Dyspnea saat istiraha √ 4. Periksa perangkat (alat) pemberian oksigen
Dyspnea dengan secara berkala untuk memastikan bahwa
9. √ konsentrasi (yang telah) ditentukan telah
aktivitas ringan
Pernafasan cuping diberikan;
10. √
hidung 5. Monitor peralatan oksigen untuk memastikan
Keterangan: bahwa alat tersebut tidak mengganggu upaya
1. Keluhan ekstrime pasien untuk bernapas.
2. Keluhan berat
3. Keluhan sedang Manajemen Jalan Nafas (3140)
4. Keluhan ringan 1. Posisikan pasien semi fowler;
5. Tidak ada keluhan 2. Motivasi pasien untuk melakukan batuk
efektif;
3. Auskultasi suara nafas, mendengarkan ada
atau tidak ada adanya suara tambahan;
4. Berikan pendidikan kesehatan mengenai
fisioterapi dada.
Ketidakseimbangan Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama ...x... jam Terapi nutrisi (1120)
nutrisi: kurang dari klien dapat menunjukkan perubahan ditandai dengan: 1. Lengkapi pengkajian nutrisi sesuai kebutuhan
kebutuhan tubuh Status nutrisi : Asupan Makanan dan Cairan (1009) 2. Monitor asupan makanan harian
berhubungan dengan Skor yang 3. Motivasi klien untuk mengkonsumsi
Skor
intake inadekuat No Indikator ingin dicapai makanan dan minuman yang bernutrisi, tinggi
sekunder terhadap Awal 1 2 3 4 5 protein, kalori dan mudah dikonsumsi serta
mual, muntah, Asupan makanan √ sesuai kebutuhan
anoreksia (00002) 1. Monitor nutrisi (1160)
secara oral
Asupan cairan √ 1. Timbang berat badan pasien
2. 2. Identifikasi penurunan berat badan terakhir
secara oral
Asupan cairan √ 3. Tentukan pola makan
3. Terapi menelan (1860)
intravena
Keterangan: 1. ediakan/gunakan alat bantu sesuai kebutuhan.
1: Tidak Adekuat 2. Hindari penggunaan sedotan untuk minum.
2: Sedikit Adekuat 3. Bantu pasien untuk berada pada posisi duduk
3: Cukup Adekuat selama 30 menit setelah makan.
4: Sebagian Besar Adekuat 4. Instruksikan klien untuk tidak berbicara
5: Sepenuhnya Adekuat selama makan.
Status Menelan (1010) 5. Sedikan perawatan mulut sesuai kebutuhan.
Skor yang
Skor
No Indikator ingin dicapai
Awal 1 2 3 4 5
Mempertahankan √
1. makanan di
mulut
2. Produksi ludah √
Kem mpuan √
3.
mengunyah
Jumlah menelan √
sesuai dengan
4.
ukuran atau
tekstur bolus
Durasi makan √
sesuai dengan
5.
jumlah yang
dikonsumsi
Keterangan:
1: Tidak Adekuat
2: Sedikit Adekuat
3: Cukup Adekuat
4: Sebagian Besar Adekuat
5: Sepenuhnya Adekuat
Ketidakefektifan Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam NIC: Manejemen sensasi perifer (2660)
perfusi jaringan Pasien dapat menunjukkan perubahan ditandai dengan: 1 Monitor adanya daerah tertentu yang hanya
perifer (00228) peka terhadap panas/dingin/tajam/tumpul
Perfusi jaringan: perifer (0407) 2 Monitor adanya paretese
Skor Skor yang ingin dicapai 3 lnstruksikan keluarga untuk mengobservasi
No Indikator
Awal 1 2 3 4 5 kulit jika ada isi atau laserasi
Pengisian √ 4 Gunakan sarung tangan untuk proteksi
1. 5 Monitor adanya penekanan dari gelang, alat-
kapiler jari
Tekanan √ alat medis, sepatu dan baju
2. 6 Kolaborasi pemberian analgetik
darah sistolik
Tekanan √ 7 Monitor adanya tromboplebitis dan
3. darah tromboemboli pada vena
diastolik 8 Diskusikan menganai penyebab perubahan
4. Edema perifer √ sensasi
5. Kram otot √
Keterangan
1:deviasi berat dari kisaran normal
2: deviasi yang cukup berat dari kisaran normal
3: deviasi sedang dari kisaran normal
4: deviasi ringan dari kisaran normal
5: tidak ada deviasi dari kisaran normal

Tanda tanda vital (0802)


Skor Skor yang ingin dicapai
No Indikator
Awal 1 2 3 4 5
1. Suhu tubuh √
Denyut nadi √
2. radial
Tingkat √
3.
pernafasan
Tekanan √
4.
darah sistolik
Tekanan √
5. darah
diastolik
Keterangan
1:deviasi berat dari kisaran normal
2: deviasi yang cukup berat dari kisaran normal
3: deviasi sedang dari kisaran normal
4: deviasi ringan dari kisaran normal
5: tidak ada deviasi dari kisaran normal

Kerusakan integritas NOC NIC


kulit (00046) Status Kerusakan integritas kulit (00046) Menejemen tekanan
Awa Tujuan 1. Anjurkan pasien untuk menggunakan pakaian
No. Indikator
l 1 2 3 4 5 yang longgar
Suhu, elastisitas 2. Hindari kerutan pada tempat tidur
1. hidrasi dan 3 √ 3. Jaga kebersihan kulit agar tetap bersih dan
sensasi kering
2. Perfusi jaringan 3 √ 4. Mobilisasi pasien (ubah posisi pasien) setiap
3. Keutuhan kulit 3 √ 2 jam sekali
Eritema kulit 5. Monitor kulit akan adanya kemerahan
4. 1 √ 6. Oleskan lotionatau minyak/baby oil pada
sekitar
Luka berbau daerah yang tertekan
5. 3 √
busuk 7. Monitor aktivitas dan mobilisasi pasien
6. Granulasi 2 √ 8. Monitor status nutrisi pasien
Pembentukan 9. Memandikan pasien dengan sabun dan air
7. 4 √ hangat
jaringan parut
8. Penyusutan luka 3 √
Keterangan:
1. Keluhan ekstrime
2. Keluhan berat
3. Keluhan sedang
4. Keluhan ringan
5. Tidak ada keluhan

Intoleransi aktivitas Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam Manajemen energi (0180)
(00094) pasien menunjukkan hasil:
1. Kaji status fisiologis pasien yang
Toleransi terhadap aktivitas (0005)
Skor Skor yang ingin dicapai menyebabkan kelelahan
No Indikator 2. Monitor intake nutrisi untuk mengetahui
Awal 1 2 3 4 5
Frekuensi nadi √ sumber energi yang adekuat
1. ketika 3. Monitor sumber kegiatan olahraga dan
beraktivitas kelelahan emosional yang dialami pasien
Frekuensi √
pernapasan
2. Terapi aktivitas (4310)
ketika
beraktivitas 1. Bantu pasien untuk memilih aktivitas dan
Kemudahan √ pencapauan tujuan dengan kemampuan
3. bernapas ketika
fisik
beraktivitas
Tekanan darah √ 2. Instruksikan pasien dan keluarga untuk
4. sistolik ketika melaksanakan aktivitas yang diinginkan
beraktivitas maupun yang telah ditentukan
Tekanan darah √
5. diastolik ketika
beraktivitas Peningkatan latihan (0200)
6. Warna kulit √ 1. Hargai keyakinan pasien tentang latihan
Kecepatan √
7. fisik
berjalan
Jarak berjalan √ 2. Gali pengalaman individu sebelumnya
8.
Kekuatan tubuh √ mengenai latihan fisik
9. 3. Gali hambatan untuk melakukan aktivitas
bagian atas
Kekuatan tubuh √ 4. Dukung individu untuk memulai latihan
10.
bagian bawah 5. Monitor individu terhadap program latihan
Kemudahan √
dalam
11.
melakukan
ADL

Keterangan:
1: sangat terganggu
2: banyak terganggu
3: cukup terganggu
4: sedikit terganggu
5: tidak terganggu
4. Evaluasi
Merupakan tahap terakhir dari proses keperawatan. Kegiatam evaluasi ini
adalah membandingkan hasil yang telah dicapai setelah implementasi
keperawatan dengan tujuan yang diharapkan dalam perencanaan.
Perawatan mempunyai tiga alternatif dalam menentukan sejauh mana
tujuan tercapai:
a) Berhasil: perilaku pasien sesuai pernyataan tujuan dalam waktu atau
tanggal yang ditetapkan di tujuan
b) Tercapai sebagian: pasien menunjukkan perilaku tetapi tidak sebaik
yang ditentukan dalam pernyataan tujuan
c) Belum tercapai: pasien tidak mampu sama sekali menunjukkan
perilaku yang diharapkan sesuai dengan pernyataan tujuan

M. Disharge Planning
Untuk pencegahan terhadap penyakit ginjal kronik menurut Muttaqin, Arif
(2012), sebaiknya sudah mulai dilakukan pada stadium dini untuk penyakit ginjal
kronik. Berbagai upaya pencegahan yang telah terbukti bermanfaat dalam
mencegah penyakit ginjal dan kardiovaskular adalah
1. Pengobatan hipertensi yaitu makin rendah tekanan darah makin kecil risiko
penurunan fungsi ginjal
2. Pengendalian gula darah, lemak darah, dan anemia
3. Penghentian merokok
4. Peningkatan aktivitas fisik
5. Pengendalian berat badan
6. Obat penghambat sistem renin angiotensin seperti penghambat ACE
(angiotensin converting enzyme) dan penyekat reseptor angiotensin
Jika dalam kondisi normal (sehat) diharapkan dapat melakukan pemeriksaan
kedokter/kontrol/laboratorium. Sedangkan bagi mereka yang dinyatakan
mengalami gangguan ginjal, baik ringan atau sedang diharapkan berhati-hati
dalam mengkonsumsi oabat-obatan seperti obat rematik, antibiotika tertentu dan
apabila terinfeksi segera diobati, hindari kekurangan cairan (muntaber), dan
melakukan kontrol secara periodik.
DAFTAR PUSTAKA

Bulechek, G. M., Butcher, H. K., Dochterman, J. M., Wagner, C. M. 2016.


Nursing Intervention Classification (NIC), 6th Indonesian Edition. United
Kingdom: Elseiver Global Rights.
Chelliah, 2011. Gambaran Tingkat Depresi dan Kualitas Hidup Klien penyakit
Ginjal Kronik Yang menjalani Haemodialisis di RSUP H. Adam Malik
Medan Tahun 2011. Karya Tulis Ilmiah. Medan: Universitas Sumatera Utara
Herdman, T. H. 2018. NANDA-1 Diagnosa Keperawatan: Definisi dan Klasifikasi
2018-2020, Ed. 11. Jakarta: EGC
International Diabetes Federation. 2015. IDF Diabetes Atlas Seventh Edition.
[Serial Online]. www.oedg.at/pdf/1606_IDF_Atlas_2015_UK.pdf
[Diakses pada 18 Juni 2019].
Lukman. Nabila et al. 2013. Hubungan Tindakan Hemodialisa dengan Tingkat
Depresi Klien Penyakit Ginjal Kronik di BLU RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou
Manado. E-Journal Keperawatan (e-Kp). Vol 1. No.1.
Moorhead, S., Johnson, M., Maas, M. L., Swanson, E. 2016. Nursing Outcomes
Classification (NOC), 5th Edition Indonesian Edition. United Kingdom:
Elseiver Global Rights
Muttaqin, Arif. 2012. Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem Perkemihan.
Jakarta : Salemba medika
Nuari, N.A., dan D. Widayati. 2017. Gangguan pada Sistem Perkemihan dan
Penatalaksanaan Keperawatan. Yogyakarta: Deepublish.
Price, S. A., dan Wilson, L. M. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit. Edisi 6 Volume 2. Jakarta: EGC.
Smeltzer, S. C., Bare, B. G. 2010. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Ed.12.
Jakarta : EGC
Sudoyo A, et al. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : FKUI
Rahadjo dkk. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit dalam Hemodialisis. Jakarta :
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI

Anda mungkin juga menyukai