Efektivitas Ekstrak Etanol Seledri Terhadap Pertumbuhan Trichophyton Rubrum
Efektivitas Ekstrak Etanol Seledri Terhadap Pertumbuhan Trichophyton Rubrum
PENDAHULUAN
1
Indonesia sebagai negara yang kaya akan keanekaragaman hayati
memiliki berbagai macam tumbuhan yang dapat dimanfaatkan sebagai obat
tradisional. Obat tradisional yang banyak digunakan masyarakat berasal dari
tumbuhan yang mudah ditemukan di lingkungan sekitar tempat tinggal
(Novitasiah 2014, hlm.10). Salah satu obat tradisional yang sering digunakan
oleh masyarakat adalah tanaman seledri. Tanaman seledri merupakan salah satu
sayuran daun yang memiliki banyak manfaat, antara lain dapat digunakan sebagai
pelengkap masakan dan memiliki khasiat sebagai obat (Kooti 2017, hlm.1029).
Seledri memiliki senyawa aktif flavonoid apigenin, saponin, dan minyak
atsiri yang dinyatakan sebagai antibakteri dan antifungi (Shengmin 2013, hlm.
1326). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Ilyas, 2015 ekstrak seledri
memiliki aktivitas antifungi terhadap pertumbuhan jamur Candida albicans (Ilyas
2015, hlm.20).
Dermatofitosis merupakan infeksi kulit dengan prevalensi cukup tinggi di
Negara beriklim tropis. Spesies Trichophyton rubrum diketahui sebagai penyebab
terbesar terjadinya infeksi jamur superfisial pada kulit (Fitzpatrick 2013,
hlm.2298). Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian uji
efektivitas ekstrak seledri terhadap pertumbuhan Trichophyton rubrum secara in
vitro dengan metode difusi cakram. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
aktivitas ekstrak seledri dalam menghambat pertumbuhan Trichophyton rubrum.
2
b. Mengetahui perbedaan efektivitas senyawa antifungi ekstrak
seledri pada konsentrasi 20%, 40%, 60%, 80%, dan 100% terhadap
pertumbuhan Trichophyton rubrum secara in vitro dengan metode
difusi.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1.1.1. Taksonomi
Adapun taksonomi dari jamur Trichophyton rubrum adalah (Graser 2019,
hlm.315).
Divisio : Eumycophyta
Kelas : Deuteromycetes
Ordo : Melaneoniales
Familia : Moniliaceae
Genus : Trichophyton
Spesies : Trichophyton rubrum (T.rubrum)
II.1.1.2. Morfologi
Genus Trichophyton terdiri dari 24 spesies. Secara umum morfologi
koloninya berupa bubuk, berbulu, ataupun licin seperti wax. Tipe sporanya adalah
mikrokonidia dengan makrokonidia yang tipis. Makrokonidia T.rubrum berbentuk
cigar-shaped atau seperti pensil berseptat dengan ukuran 8-50 μm × 4-8 μm dan
4
berdinding tipis namun sulit untuk diidentifikasi karena jarang terlihat.
Mikrokonidia T.rubrum berbentuk bulat (2.5 sampai 4 μm) dengan jumlah yang
melimpah (Jawetz 2013, hlm.680). Pertumbuhan Trichophyton rubrum termasuk
lambat dengan morfologi kultur seperti kapas berwarna putih sampai kemerahan
pada permukan agar PDA (Potato Dextrose Agar). Trichophyton rubrum
merupakan dermatofita yang sering menimbulkan klinis infeksi jamur superfisialis
(Sahoo 2016, hlm.80).
II.1.1.3. Struktur
Dermatofita merupakan organisme eukariota, yaitu organisme yang sudah
memiliki membran inti, mitokondria, dan sistem kompleks dalam membran
internal, termasuk retikulum endoplasma dan aparatus golgi (Jawetz 2013,
hlm.671). Lapisan kaku dinding sel jamur mengandung polisakarida kitin dan
glukan. Kitin berfungsi memberi kekuatan struktural untuk dinding sel jamur
(Bhosle 2011, hlm.916).
5
II.1.1.4. Biakan
Identifikasi dermatofita memerlukan biakan. Spesimen diinokulasi ke
bagian miring agar Saboroud yang mengandung kloramfenikol untuk menekan
pertumbuhan bakteri, diinkubasi 1-2 minggu pada suhu ruangan, kemudian
diperiksa dalam biakan kaca objek bila diperlukan. Spesies diidentifikasi
berdasarkan morfologi koloni (kecepatan pertumbuhan, tekstur permukaan dan
pigmentasi), morfologi mikroskopik (makrokonidia, mikrokonidia), dan pada
beberapa kasus, kebutuhan nutrisi (Jawetz 2013, hlm.676).
II.1.1.5. Patogenesis
Dermatofita ditularkan melalui kontak langsung dengan kulit dan kuku
manusia atau hewan yang terinfeksi melalui kontak kulit atau rambut dengan
benda yang dihinggapi seperti pakaian, sisir, seprai, selimut, handuk. Kerentanan
terkena infeksi terjadi apabila terdapat cedera pada kulit seperti luka gores, luka
bakar, dan kelembaban tinggi (Hussein 2014, hlm.200).
II.1.1.6 Antifungi
Aktivitas antifungi yang ideal memiliki sifat toksisitas selektif yang berarti
bahwa obat tersebut bahaya bagi mikroba namun tidak membahayakan inangnya.
Berdasarkan sifat toksisitasnya, antifungi dapat bersifat fungistatik (menghambat)
dan fungisid (membunuh) (Ely 2014, hlm.706).
6
Antifungi topikal biasanya digunakan untuk pengobatan infeksi
jamur superfisial. Tersedia dalam berbagai bentuk seperti suspense,
krim, salep dan tablet vagina.
2) Antifungi Sistemik
Penggunaan antifungi secara oral atau intravena untuk mengobati
infeksi jamur sistemik. Namun infeksi superfisialis terkadang
memerlukan pengobatan antifungi secara oral.
7
II.1.2. Dermatofitosis
II.1.2.1. Definisi
Dermatofitosis adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh kolonisasi
jamur dermatofit. Dermatofita bersifat keratolitik, yaitu menyerang dan
menginvasi jaringan keratin pada manusia serta memanfaatkan produk degradasi
untuk menjadi sumber nutrisi (Fitzpatrick 2013, hlm.2298).
II.1.2.2. Etiologi
8
meluas ke daerah sekitar anus, gluteus dan perut bagian bawah (Shontalia 2017,
hlm.171).
c. Tinea pedis (Athlete’s foot, jungle rot, kutu air) dan Tinea manum
Tinea pedis et manum merupakan dermatomikosis pada kaki dan tangan.
Tinea pedis paling sering terjadi di sela-sela jari dan telapak kaki (Hainer 2013,
hlm.106). Gejala klinis tinea pedis adalah ruam bersisik yang menyebabkan gatal,
menyengat dan terbakar (Spickler 2013, hlm.4).
d. Tinea unguium
Tinea unguium atau dermatophytic onychomycosis merupakan infeksi
jamur pada kuku jari tangan dan kaki (Hainer 2013, hlm.107).
9
e. Tinea Kapitis (ringworm of the scalp, tinea tonsurans)
Tinea kapitis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi jamur
superfisial pada kulit kepala dan bulu mata dengan kecenderungan menyerang
tangkai dan folikel-folikel rambut (Ely 2014, hlm.703).
f. Tinea Barbae
Penderita tinea barbae biasanya mengeluhkan adanya rasa gatal di daerah
jenggot, jambang, dan kumis disertai dengan rambut-rambut di daerah tersebut
yang mudah putus (Spickler 2013, hlm.4).
II.1.2.4. Epidemiologi
Insidensi dermatofitosis meningkat di daerah dengan iklim hangat, dan
lembab (Hussein 2014, hlm.200). Umumnya terjadi pada orang yang berkeringat
banyak, memakai sepatu tertutup dan pakaian ketat. Tinea korporis terjadi pada
laki-laki dan perempuan dengan angka kejadian tertinggi pada remaja (Ely 2014,
hlm.703).
10
Obesitas dan diabetes melitus juga merupakan faktor resiko tambahan karena
keadaan tersebut menurunkan imunitas untuk melawan infeksi (Spickler 2013,
hlm.3).
II.1.2.6. Patogenesis
Dermatofita menggunakan zat keratin sebagai sumber gizi. Dermatofita
menginvasi keratin pada stratum korneum kulit. Jaringan sekitarnya merupakan
hasil dari respon host alergi atau peradangan terhadap kehadiran jamur (Hainer
2013, hlm.101). Beberapa dari infeksi tersebut menyebabkan lesi melingkar yang
dihasilkan dari reaksi inflamasi. Jalur infeksi yang diduga sebagai tempat
dermatofita menginfeksi pejamu ialah melalui kulit yang terluka seperti luka gores
atau luka bakar (Gupta 2013, hlm.1050). Bagian dari dermatofit yang menginfeksi
ialah atrokonidia atau konidia. Kuman patogen menyerang stratum korneum,
memproduksi exo-enzym keratinase, dan menginduksi reaksi inflamasi pada lokasi
infeksi (Sahoo 2016, hlm.77).
Tanda-tanda inflamasi ialah kemerahan, pembengkakan, panas dan
alopesia pada daerah yang terinfeksi. Perpindahan patogen menyebabkan lesi
seperti cincin (Spickler 2013, hlm.4). Tinea kruris menular secara langsung
melalui kontak langsung dengan penderita atau secara tidak langsung melalui
barang atau benda yang telah terinfeksi (Shontalia 2017, hlm.171).
II.1.2.7. Diagnosis
Dermatofitosis mudah dikenal secara klinis morfologis, kecuali pada
beberapa kasus tertentu. Diagnosis tinea ditegakkan berdasarkan klinis dan
laboratorium (Ely 2014, hlm.703). Pemeriksaan laboratorium untuk dermatofitosis
yang dilakukan secara rutin adalah pemeriksaan mikroskopik langsung dengan
KOH 10-20%. Pemeriksaan mikroskopik langsung untuk mengidentifikasi
struktur jamur merupakan teknik yang cepat, sederhana, dan telah digunakan
secara luas sebagai teknik skrining awal. Teknik ini memiliki sensitivitas hingga
80% dan spesifisitas hingga 70% (Spickler 2013, hlm.5).
11
II.1.2.8. Pengobatan
Pada kebanyakan kasus, dermatofitosis dapat dikelola dengan
pengobatan topikal. Agen topikal memiliki efek menenangkan, yang akan
meringankan gejala lokal. Terapi topikal untuk pengobatan tinea korporis atau
tinea kruris termasuk: terbinafine, butenafine, miconazole, ketoconazole,
klotrimazole, ciclopirox (Gohary 2014, hlm.9). Formulasi topikal dapat
membasmi area yang lebih kecil dari infeksi, tetapi terapi oral diperlukan di mana
wilayah infeksi yang lebih luas yang terlibat atau di mana infeksi kronis atau
berulang (Hussein 2014, hlm.202).
Infeksi dermatofita dengan krim topikal antifungi hingga kulit bersih
biasanya membutuhkan 3 sampai 4 minggu pengobatan dengan azoles, 1 sampai 2
minggu dengan krim terbinafine, dan tambahan 1 minggu hingga secara klinis
kulit bersih (Gohary, 2014 hlm.7). Penatalaksanaan nonmedikamentosa dan
pencegahan kekambuhan penyakit sangat penting, seperti mengurangi faktor
predisposisi, seperti menggunakan pakaian yang menyerap keringat,
mengeringkan tubuh setelah mandi atau berkeringat, dan membersihkan pakaian
yang terkontaminasi (Spickler 2013, hlm.3).
II.1.2.9. Prognosis
Prognosisnya baik bila pengobatan dilakukan menyeluruh, tekun dan
konsisten (Behzadi 2014, hlm.57).
II.1.3 Seledri
Seledri merupakan tanaman yang banyak dimanfaatkan untuk
memperkaya cita rasa sajian dan sebagai sayuran. Secara tradisional, seledri
banyak digunakan sebagai penurun panas tubuh, penurun tekanan darah, penyubur
rambut, mengatasi susah tidur, memperlancar pengeluaran air seni dan mengobati
keputihan. Buahnya merupakan salah satu obat keputihan yang digunakan secara
empiris oleh bangsa Indonesia (Shehata 2012, hlm.212).
12
Gambar 8 : Tanaman seledri
Sumber : Kooti, 2017. Hlm 1071
Seledri (Apium graviolens) termasuk dalam famili Umbelliferae. Tanaman
seledri merupakan komoditas sayuran yang banyak digunakan untuk penyedap
makanan dan penghias hidangan. Biji seledri juga digunakan sebagai bumbu dan
penyedap. Ekstrak minyak bijinya berkhasiat sebagai obat (Bhosle, 2011).
II.1.3.1. Taksonomi
Adapun taksonomi dari tanaman seledri adalah (Urgamal 2012, hlm.36).
Kingdom : Plantarum
Divisi : Spermatophyta
Sub-divisi : Angiospermae
Kelas : Monocotyledoneae
Ordo : Umbelliferales
Famili : Umbelliferae
Genus : Apium
Species : Apium graveolens L.
13
Gambar 9. Senyawa aktif seledri
Sumber : Kooti 2017, hlm.1030.
Flavonoid merupakan senyawa aktif dalam tumbuhan yang larut dalam air
(Galeotti 2008, hlm.44). Mekanisme antifungi flavonoid yaitu menyebabkan
perubahan integritas membran sel dan mempengaruhi aktivitas metabolik sel
sehingga jamur tidak dapat bertahan hidup (Ghannoum 2015, hlm. 501). Selain itu
terdapat mekanisme penghambatan aktivitas antifungi dengan cara merubah
konformasi bagian hipofilik membran sel. Membran sel kehilangan sifat
permeabilitasnya sehingga sistem transport membran tidak stabil. Akibatnya
terjadi kebocoran sel yang kemudian diikuti kematian jamur (Galeotti 2018,
hlm.44).
Saponin adalah senyawa aktif permukaan yang menimbulkan busa jika
dikocok dalam air. Mula-mula disebut saponin karena sifatnya yang khas
menyerupai sabun. Saponin menghambat pertumbuhan jamur dengan cara
meningkatkan permeabilitas membran sel jamur, mengubah struktur dan fungsi
membran, denaturasi protein membran sehingga membran sel akan rusak dan lisis
(Mesquita 2017, hlm.3).
Tanin menghambat pertumbuhan jamur dengan cara menginaktivasi enzim
serta materi genetik sel. Tanin menginaktivasi protein adhesin dan mengganggu
transport protein dalam sel (Rijayanti 2014, hlm. 12).
14
II.1.4 Uji Aktivitas Antifungi
Aktivitas antifungi dari suatu bahan dapat diketahui dengan meletakkan
sampel bahan tersebut pada fungi dan menilai hambatan pertumbuhan fungi.
Metode uji antimikroba yang digunakan yaitu dengan metode difusi dan delusi.
15
memadat dibuat lubang -lubang dengan perforator dan kedalaman tersebut
dimasukan zat yang akan diuji aktivitas antijamurnya kemudian diinkubasi
selama 18-24 jam pada suhu 37°C. Aktivitas antijamur dapat dilihat dari
daerah hambat yang terjadi di sekelilingnya berupa daerah bening
(Hudzicki 2016, hlm. 10).
16
Tabel 1 Kriteria Kekuatan Daya Antifungi
17
II.2 Kerangka Teori
Ekstrak Seledri
Denaturasi protein
Perubahan permeabilitas
membran sel
18
II.3. Kerangka Konsep
II.3. Kerangka Konsep
2. Waktu pertumbuhan
Variabel Perancu
19
Tabel 2 Penelitian Terkait
20
menggunakan ekstrak air perasan daun
seledri seledri 50%
- Perbedaan : Penelitian ini membentuk diameter
menggunakan Candida sp daerah hambat yang
sebagai jamur uji coba dan terbesar terhadap
menggunakan air perasan Candida sp.
seledri secara in vitro
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
21
III.1 Desain Penelitian
Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian studi eksperimental
laboratoris dengan desain post test only control group. Dimana ada dua kelompok
yang dipilih secara random. Kelompok pertama diberi perlakuan oleh peneliti
kemudian dilakukan pengukuran sedangkan kelompok kedua digunakan sebagai
kelompok pengontrol yang tidak diberi perlakuan tetapi hanya dilakukan
pengukuran saja. Dalam penelitian ini, peneliti melakukan perlakuan dengan
menguji aktivitas antifungi ekstrak seledri terhadap jamur Trichophyton rubrum
kepada satu atau lebih kelompok eksperimen, kemudian hasil dibandingkan
dengan kelompok kontrol pembanding.
22
Jumlah sampel pada penelitian dapat berdasarkan jumlah perlakuan
yang dilakukan. Setiap perlakukan menggunakan pengulangan dengan
rumus Federer.
Rumus Federer = (n-1) (t-1) ≥ 15
Keterangan:
n : Besar sampel
t : Jumlah kelompok
Pada penelitian ini kelompok perlakuan yang digunakan terdiri dari kelompok
kontrol negatif (etanol 70%), kelompok kontrol positif (ketokonazol), dan
kelompok yang diberikan ekstrak seledri dengan pelarut etanol (20%, 40%, 60%,
80%, 100%) sehingga didapatkan t = 7, maka didapatkan jumlah sampel yang
dibutuhkan :
(n-1) (7-1) ≥ 15
(n-1) 6 ≥ 15
6n - 6 ≥ 15
6n ≥9
n ≥ 3,5
Berdasarkan hasil perhitungan dengan rumus Federer, didapatkan jumlah sampel
yang digunakan untuk tiap kelompok adalah 4 sediaan SDA (Sabouroud Dextrose
Agar) yang berisi biakan jamur T. rubrum didiamkan dalam suhu kamar 1-3 hari.
Kemudian diukur zona hambatnya menggunakan jangka sorong.
23
III.8 Definisi Operasional
Adapun definisi operasional yang dijadikan didalam penelitian
tercantum pada tabel dibawah ini:
Tabel 3 Definisi operasional
No Variabel Definisi Alat Hasil ukur Skala
operasional ukur ukur
1 Daerah Daerah sekeliling Jangka Diameter daerah Rasio
hambat T. kertas cakram sorong hambat (DDH)
rubrum yang tidak pertumbuhan T.
ditemukan adanya rubrum dalam
pertumbuhan T. milimeter (mm)
rubrum
2 Konsentrasi Banyaknya Spuit Kelompok Rasio
ekstrak milimeter ekstrak konsentrasi ekstrak
seledri seledri yang seledri yang diuji,
(Apium terlarut dalam dikelompokkan
graviolens) etanol menjadi :
1 = 20%
2 = 40%
3 = 60%
4 = 80%
5 = 100%
3 Larutan Larutan kontrol Spuit Jumlah larutan Rasio
kontrol yang berisi sebanyak 10 ml
positif ketokonazol
4 Larutan Larutan kontrol Spuit Jumlah larutan Rasio
kontrol yang berisi etanol sebanyak 10 ml
negatif 70%
24
3. Kertas cakram berukuran 5 mm 20 buah
4. Pinset
5. 4 buah Bekker glass 50 ml
6. Spuit 5 ml/10 ml
7. Autoclave
8. Handscoon
9. Lidi Kapas Steril
10. Bunsen burner
11. Tabung Tutup Ulir
12. Rak Tabung Reaksi
13. Alumunium foil
14. Jangka Sorong
III.9.2 Bahan
1. Ekstrak seledri (Apium graviolens) dengan pelarut etanol
2. Suspensi Trichophyton rubrum yang telah dibiakkan di media
SDA (Sabouround Dextrose Agar) selama 24 jam.
3. Media SDA (Sabouround Dextrose Agar) 100 ml yang
dimasukkan dalam 5 cawan petri
4. Aquabides steril 50 ml
5. NaCl steril 10 ml
6. BaCl2 1%
7. H2SO4 1%
8. Sorben Silica gel (SiO2)
9. Ketokonazol 2% 10 ml
10. Etanol 70% 10 ml
25
Serbuk simplisia + pelarut etanol
1 Filtrat Ampas
Diamkan selama
24 jam
Ditambah pelarut
Aduk 1 jam
2 Filtrat Ampas
26
Sebanyak 0,05 ml BaCl2 1% dicampurkan dengan 9,95 ml H2SO4
1% didalam tabung reaksi setelah itu dihomogenkan dengan suspensi 0,5
Mc. Farland (standar kekeruhan jamur = 108 CFU/ml).
*CFU: Colony Forming Unit
Cara pembuatan:
Campurkan kedua bahan larutan tersebut kemudian dikocok
sampai homogen. Apabila kekeruhan jamur uji sama dengan suspensi
standar, menandakan konsentrasi suspensi jamur adalah 108 CFU/ml.
4. Penyediaan Bahan Penelitian
Bahan penelitian yang diteliti adalah ekstrak seledri yang diperoleh dari
BALITTRO (Balai Penelitian Tanaman Obat dan Rempah).
5. Identifikasi dan Pembuatan Suspensi Jamur Trichophyton rubrum
Dilakukan di Laboratorium Parasitologi Fakultas Kedokteran Universitas
Pembangunan Nasional “Veteran” Jakarta.
6. Pengenceran Jamur Trichophyton rubrum
Disediakan 10 ml NaCl 0,9% steril masing-masing dalam tabung reaksi.
Disuspensikan jamur T. rubrum dengan menggunakan jarum ose dari
biakan jamur pada media SDA (Sabouround Dextrose Agar) ke dalam
NaCl 0,9% steril sampai kekeruhannya sama dengan suspensi standar 0,5
Mc. Farland, menandakan konsentrasi jamur adalah 108 CFU/ml.
7. Pembuatan Variasi Konsentrasi Larutan Ekstrak Seledri dengan pelarut
Aquades Steril.
a. Ekstrak seledri dibagi dalam 5 tabung, masing-masing A= 2 ml, B= 4
ml, C= 6 ml, D= 8 ml, E= 10 ml. Ekstrak seledri diambil sebanyak 30
ml dari tabung.
b. Tambahkan aquades steril dalam tabung masing-masing A= 8 ml, B= 6
ml, C=4 ml, D= 2 ml kemudian larutan dihomogenkan dengan
menggunakan vortex selama 5 menit.
c. Didapatkan larutan ekstrak seledri dengan pelarut aquabides steril
sebagai berikut :
Tabung A Larutan ekstrak seledri dengan aquabides steril
konsentrasi 20%
27
Tabung B Larutan ekstrak seledri dengan aquabides steril
konsentrasi 40%
Tabung C Larutan ekstrak seledri dengan aquabides steril
konsentrasi 60%
Tabung D Larutan ekstrak seledri dengan aquabides steril
konsentrasi 80%
Tabung E Larutan ekstrak seledri 100%
8. Penyiapan Larutan Ekstrak Seledri serta kontrol.
a. Disiapkan 7 buah tabung reaksi (A, B, C, D, E, kontrol negatif dan
kontrol positif )
b. Tabung A berisi larutan ekstrak seledri dengan pelarut aquabides steril
konsentrasi 20%.
c. Tabung B berisi larutan ekstrak seledri dengan pelarut aquabides steril
konsentrasi 40%.
d. Tabung C berisi larutan ekstrak seledri dengan pelarut aquabides steril
konsentrasi 60%.
e. Tabung D berisi larutan ekstrak seledri dengan pelarut aquabides steril
konsentrasi 80%.
f. Tabung E berisi larutan ekstrak seledri konsentrasi 100%.
g. Tabung kontrol negatif berisi etanol 70% 10 ml.
h. Tabung kontrol positif berisi ketokonazol 2% 10 ml.
9. Uji Aktivitas Antijamur Ekstrak Seledri Terhadap Trichophyton rubrum
Secara In Vitro dengan Metode Difusi Cakram
a. Persiapan alat yang telah disterilisasi, ekstrak seledri dengan berbagai
konsentrasi yang telah ditentukan, larutan kontrol positif dan kontrol
negatif, media SDA dan suspense T. rubrum.
b. Kertas cakram dengan diameter 5 mm yang telah disterilisasi
dimasukkan ke dalam seluruh beaker glass yang berisi larutan ekstrak
seledri, larutan kontrol positif dan larutan kontrol negatif dengan
menggunakan pinset steril. Rendam selama beberapa menit hingga
larutan tersebut terhisap sempurna oleh kertas cakram.
28
c. Ambil suspense jamur T. rubrum dalam NaCl steril 0,9% dengan
kepekatan sesuai standar Mc Farland yang telah dibuat sebelumnya,
dengan menggunakan cotton bud.
d. Sebarkan suspense T. rubrum di permukaan media SDA kemudian
diratakan.
e. Kertas cakram dalam larutan ekstrak seledri, larutan kontrol positif,
dan larutan kontrol negatif diambil dengan menggunakan pinset
kemudian disusun pada cawan petri yang berisi SDA yang sebelumnya
ditanami T. rubrum. Dalam satu cawan petri terdapat variasi
konsentrasi ekstrak seledri 20%, 40%, 60%, 80%, 100%.
f. Letakkan semua cawan petri dalam suhu ruang selama 48 jam.
g. 48 jam kemudian, lakukan pengamatan pada cawan petri, apakah
terbentuk daerah jernih di sekeliling kertas cakram yang merupakan
daerah hambat pertumbuhan T. rubrum.
h. Lakukan pengukuran DDH yang terbentuk di sekeliling kertas cakram
dengan menggunakan jangka sorong, daerah hambat diukur dari tepi
ke tepi melewati kertas cakram
i. Ulangi percobaan sebanyak tiga kali.
29
Annova atau Kruskal-Wallis sudah didapatkan p < 0,05 maka dilakukan analisis
Post Hoc untuk mengetahui perbedaan setiap kelompok (Dahlan 2016, hlm 110).
Persiapan Alat
Sterilisasi Alat
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
30
IV.1. Hasil Penelitian
IV.1.1 Efektivitas Antifungi Ekstrak Seledri terhadap Trichophyton rubrum
Jangka waktu penelitian uji efektivitas ekstrak seledri terhadap
Trichophyton rubrum dilakukan selama 48 jam. Efektivitas antifungi terlihat
dengan terbentuknya zona hambatan berupa zona bening di daerah sekitar kertas
cakram, zona hambatan kemudian diukur dengan menggunakan jangka sorong.
Hasil pengukuran dapat diamati pada tabel 4 di bawah ini.
31
Jenis Jenis Pengujian Hasil Metode
Pengujian Pengujian
Ekstrak seledri Uji Fitokimia : + Kualitatif
- Alkaloid +
- Saponin +
- Tanin +
- Fenolik +
- Flavonoid +
- Triterpenoid +
- Steroid +
- Glikosida +
Sumber : Data primer, 2019
32
Terima H0 jika hasil signifikansi lebih besar dari 0,05 ( >0,05), sehingga bila
signifikasi kurang dari 0,05 ( <0,05 ) maka tolak H0 dan terima H1.
Dapat dilihat pada hasil Uji Normalitas pada tabel 6 bahwa pada statistik
Uji Normalitas Shapiro-Wilk didapatkan varians data pada setiap konsentrasi
memiliki signifikansi ( p> 0,05 ), hasil ini menunjukkan bahwa distribusi kelima
data tersebut adalah normal.
Sebagai syarat kedua untuk melakukan Uji One-Way ANOVA, maka
dilakukan Uji Varians untuk mengetahui varians data tersebut sama atau tidak.
Hipotesis dalam melakukan Uji Varians adalah sebagai berikut :
H0 : Data zona hambat oleh ekstrak seledri memiliki varians yang sama.
H1 : Data zona hambat oleh ekstrak seledri memiliki varians yang tidak sama.
Keputusan terhadap hipotesis tersebut adalah sebagai berikut :
Terima H0 jika hasil signifikansi lebih besar dari 0,05 ( >0,05 ), sehingga bila
signifikansi kurang dari 0,05 ( <0,05 ) maka tolak H0 dan terima H1.
Dari hasil Uji Varians Tabel 7 dapat dilihat bahwa nilai signifikansi yang
diperoleh adalah 0,70, dimana nilai signifikansi tersebut lebih besar dari 0,05
( >0,05 ) sehingga dari hasil Uji Varians ini disimpulkan terima H0 yang berarti
varians antara kelompok data yang dibandingkan adalah sama.
33
Data ekstrak seledri telah memenuhi syarat Uji One-Way ANOVA. Untuk
membandingkan kelompok perlakuan dengan kelompok lainnya, dilakukan Uji
One-Way ANOVA dan kemudian dianalisis dengan Post Hoc.
Hipotesis dalam melakukan Uji One-Way ANOVA adalah sebagai berikut :
H0 : Tidak terdapat perbedaan hasil perlakuan antara ekstrak seledri terhadap
Trichophyton rubrum pada kelompok konsentrasi.
H1 : Terdapat perbedaan hasil perlakuan antara ekstrak seledri terhadap
Trichophyton rubrum pada kelompok konsentrasi.
Keputusan terhadap hipotesis tersebut adalah sebagai berikut : Terima H0
jika hasil signifikasi lebih besar dari 0,05 ( >0,05 ), sehingga bila signifikansi
kurang dari 0,05 ( <0,05 ) maka tolak H0.
Dari hasil Uji One-Way ANOVA pada tabel 8 dapat dilihat bahwa nilai
signifikansi yang diperoleh adalah 0,000, dimana nilai signifikansi tersebut lebih
kecil atau kurang dari 0,05 ( <0,05 ) sehingga hasil dari Uji Varians ini
disimpulkan tolak H0 dan terima H1 yang berarti terdapat perbedaan hasil
perlakuan antara ekstrak seledri terhadap Trichophyton rubrum pada kelompok
konsentrasi.
Untuk mengetahui kelompok perlakuan yang memiliki perbedaan
bermakna tersebut, maka dilakukan analisis Post Hoc.
Tabel 9 Uji Analisis Data Post Hoc Ekstrak Seledri terhadap Trichophyton
rubrum
Ekstrak seledri Ekstrak seledri Sig. Rata-rata beda
(a) (b) (a-b)
Kontrol negatif Kontrol positif 0,000 -9,83750
20% 0,000 -2,30000
40% 0,000 -3.00000
60% 0,000 -2,77500
34
80% 0,000 -3.05000
100% 0,000 -4,30000
Kontrol positif Kontrol negatif 0,000 9,83750
20% 0,000 7,53750
40% 0,000 6,83750
60% 0,000 7,06250
80% 0,000 6,78750
100% 0,000 5,53750
20% Kontrol negatif 0,000 2,30000
Kontrol positif 0,000 -7,53750
40% 1,000 -0,70000
60% 1,000 -0,47500
80% 0,889 -0,75000
100% 0,000 -2,00000
40% Kontrol negatif 0,000 3.00000
Kontrol positif 0,000 -6,83750
20% 1,000 0,70000
60% 1,000 0,22500
80% 1,000 -0,05000
100% 0,025 -1,30000
60% Kontrol negatif 0,000 2,77500
Kontrol positif 0,000 -7,06250
20% 1,000 0,47500
40% 1,000 -0,22500
80% 1,000 -0,27500
100% 0,035 1,52500
80% Kontrol negatif 0,000 3,05000
Kontrol positif 0,000 -6,78750
20% 0,889 0,75000
40% 1,000 0,05000
60% 1,000 0,27500
100% 0,035 -1,25000
100% Kontrol negatif 0,000 4,30000
Kontrol positif 0,000 -5,53750
35
20% 0,000 2,00000
40% 0,025 1,30000
60% 0,005 1,52500
80% 0,035 1,25000
Dari tabel 9 dapat dilihat bahwa hasil dari analisis Post Hoc menunjukkan
terdapat beberapa kelompok ekstrak dengan nilai p > 0,005, sehingga
menunjukkan tidak terdapat perbedaan hasil perlakuan antara ekstrak seledri
terhadap Trichophyton rubrum pada kelompok konsentrasi. Kelompok konsentrasi
tersebut yaitu :
Ekstrak seledri 20% dengan 40% didapatkan p = 1,000
Ekstrak seledri 40% dengan 60% didapatkan p = 1,000
Ekstrak seledri 60% dengan 80% didapatkan p = 1,000
Untuk kelompok ekstrak lainnya menghasilkan nilai p < 0,005, sehingga
menunjukkan terdapat perbedaan hasil perlakuan antara ekstrak seledri terhadap
Trichophyton rubrum pada kelompok konsentrasi. Kelompok konsentrasi tersebut
yaitu :
Ekstrak seledri kontrol ( - ) dengan 20% didapatkan p =0,000
Ekstrak seledri kontrol ( - ) dengan 40% didapatkan p = 0,000
Ekstrak seledri kontrol ( - ) dengan 60% didapatkan p = 0,000
Ekstrak seledri kontrol ( - ) dengan 80% didapatkan p = 0,000
Ekstrak seledri kontrol ( - ) dengan 100% didapatkan p = 0,000
Ekstrak seledri kontrol ( + ) dengan 20% didapatkan p = 0,000
Ekstrak seledri kontrol (+ ) dengan 40% didapatkan p = 0,000
Ekstrak seledri kontrol (+ ) dengan 60% didapatkan p = 0,000
Ekstrak seledri kontrol (+ ) dengan 80% didapatkan p = 0,000
Ekstrak seledri kontrol (+ ) dengan 100% didapatkan p = 0,000
Ekstrak seledri 20% dengan 40% didapatkan p = 1,000
Ekstrak seledri 20% dengan 60% didapatkan p = 1,000
Ekstrak seledri 20% dengan 80% didapatkan p = 0,889
Ekstrak seledri 20% dengan 100% didapatkan p = 0,000
Ekstrak seledri 40% dengan 80% didapatkan p = 1,000
Ekstrak seledri 40% dengan 100% didapatkan p = 0,000
36
Ekstrak seledri 60% dengan 100% didapatkan p = 0,000
Ekstrak seledri 80% dengan 100% didapatkan p = 0,035
IV.3. Pembahasan
Penelitian ini menggunakan sampel ekstrak seledri (Apium graviolens)
dari hasil maserasi menggunakan pelarut etanol 70%. Metode maserasi
merupakan proses perendaman sampel menggunakan pelarut organik yang
bertujuan untuk menarik zat-zat aktif yang terdapat dalam sampel (Prasad 2016,
hlm. 15). Maserasi dipilih karena kandungan senyawa dalam ekstrak seledri
mudah rusak dengan pemanasan (Susanty 2016, hlm.88).
Media pertumbuhan jamur menggunakan Saboroud Dextrose Agar. SDA
merupakan media selektif yang memiliki pH rendah (5,0) sehingga menghambat
pertumbuhan bakteri dan memungkinkan pertumbuhan jamur (Eleonor 2014,
hlm.15).
Hasil penelitian yang telah dilakukan tentang efektivitas ekstrak seledri
terhadap pertumbuhan Trichophyton rubrum dengan konsentrasi 20%, 40%, 60%,
80% dan 100% dan pengulangan sebanyak empat kali didapatkan daya hambat
pertumbuhan Trichophyton rubrum pada konsentrasi 20% yaitu 2,3 mm dengan
kriteria kekuatan daya antifungi lemah, konsentrasi 40% daya hambat 3,1 mm
dengan kriteria kekuatan daya antifungi lemah, konsentrasi 60% daya hambat 3,3
mm dengan kriteria kekuatan daya antifungi lemah, konsentrasi 80% daya hambat
3,4 mm dengan kriteria kekuatan daya antifungi lemah, dan konsentrasi tertinggi
100% daya hambat 5,5 mm dengan kriteria kekuatan daya antifungi sedang.
Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Rachmawati (2014)
yang mendapatkan hasil potensi ekstrak seledri semakin meningkat seiring dengan
peningkatan konsentrasi. Semakin tinggi konsentrasi ekstrak yang diuji, semakin
banyak zat aktif yang terkandung di dalamnya sehingga efektivitas dalam
menghambat pertumbuhan Trichophyton rubrum akan semakin tinggi.
Daya hambat ekstrak seledri terhadap Trichophyton rubrum dapat terjadi
karena adanya senyawa aktif flavonoid, saponin dan tannin yang memiliki sifat
antifungi. Flavonoid dapat membentuk kompleks dengan protein ekstraseluler dan
37
menghambat ikatan enzim ATPase sehingga merusak merusak dinding sel
(Galeotti 2018, hlm.25).
Saponin memiliki sifat antifungi karena mengganggu membran sitoplasma
dengan cara menurunkan tegangan permukaan dinding sel jamur dan kestabilan
dinding sel sehingga menyebabkan kebocoran sel dan mengeluarkan protein dan
enzim dari dalam sel (Rijayanti 2014, hlm.13).
Tanin menghambat pertumbuhan jamur dengan cara menginaktivasi enzim
serta materi genetik sel. Tanin menginaktivasi protein adhesin dan mengganggu
transport protein dalam sel (Rijayanti 2014, hlm. 12).
Penelitian yang dilakukan Helaly (2015) di Universitas “Karbala” Irak,
mendukung penelitian peneliti. Hasil penelitiannya melaporkan efektivitas ekstrak
seledri (Apium graviolens) terhadap pertumbuhan Pityrosporum ovale
menggunakan metode difusi selama 48 jam memiliki daya hambat sebesar 5-10
mm (Helaly 2015, hlm.15). Hal ini ditunjukkan dengan hasil penelitian yang
dilakukan pada konsentrasi tertinggi 100% memiliki zona hambat sebesar 5,5 mm.
Konsentrasi yang efektif dapat diketahui pada tabel 4 menunjukkan bahwa
konsentrasi terendah dari ekstrak seledri (Apium graviolens) memiliki daya
antifungi lemah (< 5 mm ) dan konsentrasi tertinggi memiliki daya antifungi
sedang (5 - 10 mm) dalam waktu pengamatan 48 jam setelah paparan. Hal
tersebut menunjukkan bahwa terdapat korelasi yang nyata antara konsentrasi
ekstrak seledri dengan daya hambat pertumbuhan Trichophyton rubrum.
Adanya efektivitas daya hambat ekstrak seledri terhadap pertumbuhan
jamur didukung oleh penelitian Chandra (2015, hlm.20) menyatakan bahwa
ekstrak etanol seledri memiliki efek antifungi terhadap Candida albicans dengan
daya hambat pada konsentrasi.
Dari hasil di atas, dapat disimpulkan ekstrak seledri ini efektif
menghambat pertumbuhan jamur Trichophyton rubrum sebesar 2,8 mm – 5,5 mm.
Berdasarkan hasil uji statistik One-Way ANOVA terdapat perbedaan
efektivitas ekstrak seledri terhadap pertumbuhan jamur Trichophyton rubrum.
Untuk mengetahui kelompok konsentrasi yang memiliki perbedaan bermakna
maka dilakukan analisis Post Hoc dengan uji Bonferroni.
38
Berdasarkan hasil uji statistik Post Hoc Bonferroni didapatkan perbedaan
bermakna antara setiap konsentrasi terhadap kontrol negatif dan kontrol positif.
Daya hambat pertumbuhan Trichophyton rubrum mulai terjadi pada konsentrasi
20% dengan kriteria daya antifungi lemah, sementara daya hambat tertinggi
terdapat pada konsentrasi 100% dengan kriteria daya antifungi sedang ( 5 – 10
mm ), maka dapat disimpulkan bahwa daya hambat pertumbuhan Trichophyton
rubrum berbanding lurus dengan peningkatan konsentrasi.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
V.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan terhadap hasil penelitian yang
diperoleh, dapat diambil keputusan sebagai berikut :
1. Ekstrak seledri menunjukkan aktivitas antifungi terhadap pertumbuhan
Trichophyton rubrum secara in vitro dengan metode difusi.
2. Ekstrak seledri konsentrasi 20%, 40%, 60%, 80%, dan 100% memiliki
perbedaan efektivitas senyawa antifungi pertumbuhan Trichophyton
rubrum secara in vitro dengan metode difusi.
39
V.2. Saran
Berdasarkan penelitian ini dapat disarankan bahwa :
1. Dapat dilakukan pengujian aktivitas antifungi ekstrak seledri terhadap
jenis jamur lain dengan metode yang lain.
2. Dapat dilakukan ekstraksi seledri dengan teknik sokletasi supaya
tingkat kemurnian senyawa aktif yang didapatkan lebih maksimal.
3. Dapat dilakukan uji aktivitas antifungi ekstrak seledri terhadap
Trichophyton rubrum secara in vivo.
4. Penelitian ini dapat dimanfaatkan untuk masyarakat pada umumnya
dan tenaga kesehatan pada khususnya.
5. Mahasiswa diharapkan dapat melakukan penelitian eksperimental
lainnya
DAFTAR PUSTAKA
Bhosle, Shekhar. 2011. Ergosterol content of Several Wood Decaying Fungi Using
a Modified Method. India : Science and Technology Park, Pune, India.
40
Ely, John. 2014. Diagnosis and Management of Tinea Infections. Iowa :
University of Iowa Carver College of Medicine, Iowa City, Iowa.
Gohary, El. 2014. Topical antifungal treatments for tinea cruris and tinea corporis.
Primary Care and Population Sciences, Faculty of Medicine, Aldermoor
Health Centre, University of Southampton, Southampton, UK.
41
Hussein, Ali. 2014. Dermatophytosis: Causes, clinical features, signs and
treatment. Iraq : University of Karbala, Department of Clinical Laboratories,
College of Applied Medical Sciences.
Novitasiah, Rusdwi. 2014. Inventory of Invasive Plant Species along the corridor
of Kawah Ijen Nature Tourism Park, Banyuwangi, East Java. Malang :
University of Brawijaya, Faculty of Mathematic and Natural Sciences,
Magister Program in Biology, Malang, East Java, Indonesia.
42
Sahoo, Kumar. 2016. Management of tinea corporis, tinea cruris, and tinea pedis:
A comprehensive review. India : Postgraduate Institute of Medical
Education and Research, Department of Dermatology and Venereology.
Singh, Avneet. 2017. Tinea cruris and Tinea genitalis: Clinical manifestations and
diagnostic challenges, India : Muzaffarnagar Medical College.
Sonthalia, Sidharth. 2014. Tinea Cruris and Tinea Corporis Masquerading as Tinea
Indecisiva. India: The Skin Clinic & Research Centre, Gurgaon.
Tests of Normalitya
Kolmogorov-Smirnovb Shapiro-Wilk
43
100% .206 4 . .963 4 .796
2.326 6 21 .070
ANOVA
diameter_daerah_hambat
Multiple Comparisons
Dependent Variable: diameter_daerah_hambat
95% Confidence
44
100% -4.30000* .34690 .000 -5.4979 -3.1021
20% kontrol
2.30000* .34690 .000 1.1021 3.4979
negatif
40% kontrol
3.00000* .34690 .000 1.8021 4.1979
negatif
60% kontrol
2.77500* .34690 .000 1.5771 3.9729
negatif
80% kontrol
3.05000* .34690 .000 1.8521 4.2479
negatif
45
100% kontrol
4.30000* .34690 .000 3.1021 5.4979
negatif
20% kontrol
2.30000* .18708 .007 1.1784 3.4216
negatif
40% kontrol
3.00000* .24833 .007 1.5113 4.4887
negatif
60% kontrol
2.77500* .15478 .002 1.8471 3.7029
negatif
46
20% .47500 .24281 .516 -.5498 1.4998
80% kontrol
3.05000* .23274 .005 1.6547 4.4453
negatif
100% kontrol
4.30000* .44907 .013 1.6078 6.9922
negatif
kontrol positif -5.53750* .49639 .002 -7.9297 -3.1453
47