Anda di halaman 1dari 47

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penyakit yang disebabkan oleh jamur secara umum disebut mikosis.


Mikosis yang paling sering terjadi di Negara beriklim tropis adalah dermatofitosis
(Behzadi 2014, hlm. 50). Dermatofita termasuk kelas fungi imperfecti yang
terbagi dalam genus Microsporum, Trichophyton dan Epidermophyton. Jenis
jamur ini menyerang jaringan yang mengandung keratin seperti kulit, rambut, dan
kuku pada manusia (Singh 2017, hlm.48).
Infeksi jamur menyerang hampir setiap elemen masyarakat. Tinea kruris
dan tinea korporis merupakan dermatofitosis yang paling sering terjadi pada
orang dewasa di India (Shontalia 2014, hlm.171). Kasus tinea kapitis di Amerika
Serikat merupakan infeksi jamur dengan insidensi tertinggi pada anak (Spickler
2013, hlm.4).
Kasus dermatofitosis di Unit Rawat Jalan Kesehatan Kulit dan Kelamin
RSUD Dr. Soetomo Surabaya tahun 2011 sebesar 275 orang, tahun 2012 sebesar
183 orang dan tahun 2013 sebesar 166 orang dengan diagnosis terbanyak adalah
tinea korporis (51%) dan tinea kruris (41%) (Putri 2017, hlm.20). Penelitian yang
dilakukan Singh, 2017 pada 260 penderita infeksi jamur kulit di Muzaffarnagar
Medical College, Muzaffarnagar, Uttar Pradesh, India, ditemukan spesies
terbanyak yang berhasil dikultur adalah Trichophyton rubrum diikuti dengan T.
interdigitale, dan Epidermophyton floccosum (Singh 2017, hlm. 48). Dalam
beberapa dekade terakhir, kasus infeksi jamur meningkat sebanyak 20-25% dari
total populasi dunia (Sharma 2015, hlm.1287).
Pengobatan infeksi jamur saat ini dilakukan secara topikal dan sistemik
menggunakan obat-obatan antifungi yaitu ketokonazol, itrakonazol, dan
terbinafine (Sahoo 2016, hlm. 80). Penggunaan topikal dan sistemik azol efektif
dalam menyembuhkan infeksi jamur tetapi dapat menimbulkan efek samping
seperti iritasi kulit, interaksi dengan berbagai macam obat, meningkatkan
aktivitas enzim hati untuk sementara waktu dan dalam jangka panjang dapat
menyebabkan kerusakan hati (Kelly, 2016).

1
Indonesia sebagai negara yang kaya akan keanekaragaman hayati
memiliki berbagai macam tumbuhan yang dapat dimanfaatkan sebagai obat
tradisional. Obat tradisional yang banyak digunakan masyarakat berasal dari
tumbuhan yang mudah ditemukan di lingkungan sekitar tempat tinggal
(Novitasiah 2014, hlm.10). Salah satu obat tradisional yang sering digunakan
oleh masyarakat adalah tanaman seledri. Tanaman seledri merupakan salah satu
sayuran daun yang memiliki banyak manfaat, antara lain dapat digunakan sebagai
pelengkap masakan dan memiliki khasiat sebagai obat (Kooti 2017, hlm.1029).
Seledri memiliki senyawa aktif flavonoid apigenin, saponin, dan minyak
atsiri yang dinyatakan sebagai antibakteri dan antifungi (Shengmin 2013, hlm.
1326). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Ilyas, 2015 ekstrak seledri
memiliki aktivitas antifungi terhadap pertumbuhan jamur Candida albicans (Ilyas
2015, hlm.20).
Dermatofitosis merupakan infeksi kulit dengan prevalensi cukup tinggi di
Negara beriklim tropis. Spesies Trichophyton rubrum diketahui sebagai penyebab
terbesar terjadinya infeksi jamur superfisial pada kulit (Fitzpatrick 2013,
hlm.2298). Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian uji
efektivitas ekstrak seledri terhadap pertumbuhan Trichophyton rubrum secara in
vitro dengan metode difusi cakram. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
aktivitas ekstrak seledri dalam menghambat pertumbuhan Trichophyton rubrum.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah adalah sebagai
berikut :
Apakah ekstrak seledri dapat menghambat pertumbuhan Trichophyton
rubrum?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum


Mengetahui efektivitas ekstrak seledri sebagai antifungi terhadap
pertumbuhan Trichophyton rubrum.
1.3.2 Tujuan Khusus
a. Mengetahui efektivitas ekstrak seledri terhadap pertumbuhan
Trichophyton rubrum.

2
b. Mengetahui perbedaan efektivitas senyawa antifungi ekstrak
seledri pada konsentrasi 20%, 40%, 60%, 80%, dan 100% terhadap
pertumbuhan Trichophyton rubrum secara in vitro dengan metode
difusi.

1.4 Manfaat Penelitian


1.4.1 Manfaat Teoritis

Secara akademis penelitian ini bermanfaat sebagai bahan kajian dalam


menambah ilmu pengetahuan terutama efektivitas ekstrak seledri sebagai
antifungi. Dapat mengetahui efektivitas ekstrak seledri dalam menghambat
pertumbuhan jamur Trichophyton rubrum.

1.4.2 Manfaat Praktis


a. Masyarakat Umum
Memberikan informasi mengenai pengobatan alternatif dengan bahan
alami yang efektif, aman, dan ekonomis untuk menghambat pertumbuhan
Trichophyton rubrum pada penderita dermatofitosis dengan menggunakan
tanaman seledri.
b. Fakultas Kedokteran UPN “Veteran” Jakarta
Menambah kepustakaan yang telah ada sebelumnya mengenai tanaman
obat di Indonesia khususnya tanaman seledri.
c. Peneliti
1) Menambah pengetahuan dalam bidang Mikologi mengenai
efektivitas ekstrak seledri sebagai antijamur terhadap
pertumbuhan Trichophyton rubrum secara in vitro dengan
metode difusi cakram.
2) Mengaplikasikan ilmu Mikologi yang telah didapat sebelumnya
dan menambah pengalaman melakukan penelitian secara
eksperimental.
3) Memberikan bukti ilmiah tentang efektivitas ekstrak seledri
sebagai antijamur terhadap pertumbuhan Trichophyton rubrum
secara invitro dengan metode difusi cakram.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1. Landasan Teori


II.1.1. Trichophyton rubrum
Trichophyton rubrum merupakan jamur yang paling umum menyebabkan
infeksi jamur kronis pada kulit dan kuku manusia. Pertumbuhan koloni T. rubrum
lambat dan memiliki tekstur seperti kapas (Jawetz 2013, hlm.679).

Gambar 1. Trichophyton rubrum


Sumber : Medical Mycology Library, 2003

II.1.1.1. Taksonomi
Adapun taksonomi dari jamur Trichophyton rubrum adalah (Graser 2019,
hlm.315).
Divisio : Eumycophyta
Kelas : Deuteromycetes
Ordo : Melaneoniales
Familia : Moniliaceae
Genus : Trichophyton
Spesies : Trichophyton rubrum (T.rubrum)

II.1.1.2. Morfologi
Genus Trichophyton terdiri dari 24 spesies. Secara umum morfologi
koloninya berupa bubuk, berbulu, ataupun licin seperti wax. Tipe sporanya adalah
mikrokonidia dengan makrokonidia yang tipis. Makrokonidia T.rubrum berbentuk
cigar-shaped atau seperti pensil berseptat dengan ukuran 8-50 μm × 4-8 μm dan

4
berdinding tipis namun sulit untuk diidentifikasi karena jarang terlihat.
Mikrokonidia T.rubrum berbentuk bulat (2.5 sampai 4 μm) dengan jumlah yang
melimpah (Jawetz 2013, hlm.680). Pertumbuhan Trichophyton rubrum termasuk
lambat dengan morfologi kultur seperti kapas berwarna putih sampai kemerahan
pada permukan agar PDA (Potato Dextrose Agar). Trichophyton rubrum
merupakan dermatofita yang sering menimbulkan klinis infeksi jamur superfisialis
(Sahoo 2016, hlm.80).

II.1.1.3. Struktur
Dermatofita merupakan organisme eukariota, yaitu organisme yang sudah
memiliki membran inti, mitokondria, dan sistem kompleks dalam membran
internal, termasuk retikulum endoplasma dan aparatus golgi (Jawetz 2013,
hlm.671). Lapisan kaku dinding sel jamur mengandung polisakarida kitin dan
glukan. Kitin berfungsi memberi kekuatan struktural untuk dinding sel jamur
(Bhosle 2011, hlm.916).

II.1.1.3.1. Membran Plasma


Membran plasma jamur terdiri dari fosfolipid, protein membran, dan
ergosterol, molekul steroid seperti kolesterol yang ditemukan dalam membran sel
hewan (Blackwell 2016, hlm.261). Membran plasma merupakan membran
semipermeabel tipis yang mengelilingi sitoplasma sel, berfungsi untuk melindungi
integritas bagian dalam sel dengan membiarkan zat tertentu masuk dan menjaga
zat lainnya di luar. Fosfolipid membentuk struktur dasar dari membran sel, yang
disebut lapisan ganda (bilayer) lipid. Protein membran penting untuk mengangkut
zat melintasi membran sel, juga sebagai enzim dan reseptor (Jawetz 2013, hlm.
13).
II.1.1.3.2. Hifa
Hifa merupakan struktur menyerupai benang yang terdiri atas satu atau
banyak sel yang dikelilingi dinding berbentuk pipa. Trichophyton rubrum
memiliki hifa yang bersifat halus, lurus, dan konidia seperti pohon pinus
(Blackwell 2016, hlm.285).

5
II.1.1.4. Biakan
Identifikasi dermatofita memerlukan biakan. Spesimen diinokulasi ke
bagian miring agar Saboroud yang mengandung kloramfenikol untuk menekan
pertumbuhan bakteri, diinkubasi 1-2 minggu pada suhu ruangan, kemudian
diperiksa dalam biakan kaca objek bila diperlukan. Spesies diidentifikasi
berdasarkan morfologi koloni (kecepatan pertumbuhan, tekstur permukaan dan
pigmentasi), morfologi mikroskopik (makrokonidia, mikrokonidia), dan pada
beberapa kasus, kebutuhan nutrisi (Jawetz 2013, hlm.676).

II.1.1.5. Patogenesis
Dermatofita ditularkan melalui kontak langsung dengan kulit dan kuku
manusia atau hewan yang terinfeksi melalui kontak kulit atau rambut dengan
benda yang dihinggapi seperti pakaian, sisir, seprai, selimut, handuk. Kerentanan
terkena infeksi terjadi apabila terdapat cedera pada kulit seperti luka gores, luka
bakar, dan kelembaban tinggi (Hussein 2014, hlm.200).

II.1.1.6 Antifungi
Aktivitas antifungi yang ideal memiliki sifat toksisitas selektif yang berarti
bahwa obat tersebut bahaya bagi mikroba namun tidak membahayakan inangnya.
Berdasarkan sifat toksisitasnya, antifungi dapat bersifat fungistatik (menghambat)
dan fungisid (membunuh) (Ely 2014, hlm.706).

II.1.1.6.1 Jenis Antifungi


a) Berdasarkan sifat (Ely 2014, hlm.706)
1) Fungistatik
Bahan antifungi yang memiliki kemampuan untuk menghambat
pertumbuhan jamur sehingga secara perlahan jamur mati.
2) Fungisidal
Bahan antifungi yang memiliki kemampuan untuk membunuh jamur
secara langsung.
b) Berdasarkan cara penggunaan (Yossela 2015, hlm.106)
1) Antifungi Topikal

6
Antifungi topikal biasanya digunakan untuk pengobatan infeksi
jamur superfisial. Tersedia dalam berbagai bentuk seperti suspense,
krim, salep dan tablet vagina.
2) Antifungi Sistemik
Penggunaan antifungi secara oral atau intravena untuk mengobati
infeksi jamur sistemik. Namun infeksi superfisialis terkadang
memerlukan pengobatan antifungi secara oral.

III.1.1.6.2. Mekanisme Kerja Antifungi


Mekanisme penghambatan dan kerusakan mikroba oleh senyawa
antimikroba berbeda-beda. Penghambatan ini secara umum disebabkan oleh :
a. Gangguan pada komponen dinding sel
Dinding sel fungi mengandung zat seperti kitin, glukosa mannan
yang merupakan polimer komplek dari polisakarida dan polipeptida.
Struktur dinding sel dapat dirusak dengan cara menghambat
perkembangannya atau mengubahnya setelah selesai terbentuk (Prasad
2016, hlm.328).
b. Bereaksi dengan membran sel
Membran sel fungi mempunyai sterol yang dapat dirusak oleh zat
tertentu tanpa merusak sel inangnya. Senyawa ini berikatan kuat
membentuk kompleks dengan ergosterol yang dapat mengakibatkan
perubahan permeabilitas dan kehilangan komponen penyusun sel (Prasad
2016, hlm.328).
c. Penghambatan terhadap sintesa protein dan asam nukleat
Asam nukleat (DNA dan RNA) dan protein memegang peranan
penting dalam proses kehidupan normal sel. Jika terjadi penghambatan
pada zat-zat tersebut dapat mengakibatkan kerusakan pada sel (Prasad
2016, hlm.328).

7
II.1.2. Dermatofitosis
II.1.2.1. Definisi
Dermatofitosis adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh kolonisasi
jamur dermatofit. Dermatofita bersifat keratolitik, yaitu menyerang dan
menginvasi jaringan keratin pada manusia serta memanfaatkan produk degradasi
untuk menjadi sumber nutrisi (Fitzpatrick 2013, hlm.2298).

II.1.2.2. Etiologi

Penyebab utama dermatofitosis adalah Trichopyhton rubrum (90%),


Trichophyton mentagrophytes (4%), dan Trichophyton tonsurans (6%) (Singh
2017, hlm.48). Untuk kepentingan klinis dan epidemiologis, dermatofita yang
menginfeksi manusia dibagi berdasarkan tempat hidupnya, yaitu geofilik untuk
jamur yang berasal dari tanah seperti Microsporum gypseum, golongan zoofilik
yang berasal dari hewan misalnya Microsporum canis, dan antropofilik yaitu
jamur yang bersumber dari manusia misalnya Trichophyton rubrum (Spickler
2013, hlm.13).
II.1.2.3. Klasifikasi
a. Tinea korporis (kurap, tinea glabrosa, tinea sirsinata).
Tinea korporis adalah infeksi dermatofita dangkal yang ditandai oleh tanda
radang maupun luka pada seluruh bagian tubuh, biasanya muncul pada lengan dan
tungkai (Behzadi 2014, hlm.52).

Gambar 2. Tinea Korporis


Sumber : Foto FKUI/RSUPN, 2013

b. Tinea kruris (eczema marginatum, jockey itch, ringworm of the groin).


Tinea kruris adalah mikosis superfisial pada lipat paha, genitalia, daerah
perineum, dan sekitar anus (Hainer 2013, hlm.101). Kelainan ini dapat bersifat
akut atau menahun. Lesi kulit dapat terbatas pada daerah genito-krural atau

8
meluas ke daerah sekitar anus, gluteus dan perut bagian bawah (Shontalia 2017,
hlm.171).

Gambar 3. Tinea kruris


Sumber : Fitzpatrick 2013, hlm.705

c. Tinea pedis (Athlete’s foot, jungle rot, kutu air) dan Tinea manum
Tinea pedis et manum merupakan dermatomikosis pada kaki dan tangan.
Tinea pedis paling sering terjadi di sela-sela jari dan telapak kaki (Hainer 2013,
hlm.106). Gejala klinis tinea pedis adalah ruam bersisik yang menyebabkan gatal,
menyengat dan terbakar (Spickler 2013, hlm.4).

Gambar 4. Tinea pedis


Sumber : Ely, 2014 hlm.705

d. Tinea unguium
Tinea unguium atau dermatophytic onychomycosis merupakan infeksi
jamur pada kuku jari tangan dan kaki (Hainer 2013, hlm.107).

Gambar 5. Tinea Unguium


Sumber : Hainer 2013, hlm.107

9
e. Tinea Kapitis (ringworm of the scalp, tinea tonsurans)
Tinea kapitis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi jamur
superfisial pada kulit kepala dan bulu mata dengan kecenderungan menyerang
tangkai dan folikel-folikel rambut (Ely 2014, hlm.703).

Gambar 6. Tinea kapitis


Sumber : Ely 2014, hlm.703

f. Tinea Barbae
Penderita tinea barbae biasanya mengeluhkan adanya rasa gatal di daerah
jenggot, jambang, dan kumis disertai dengan rambut-rambut di daerah tersebut
yang mudah putus (Spickler 2013, hlm.4).

Gambar 7. Tinea barbae


Sumber : Hainer 2013, hlm.105

II.1.2.4. Epidemiologi
Insidensi dermatofitosis meningkat di daerah dengan iklim hangat, dan
lembab (Hussein 2014, hlm.200). Umumnya terjadi pada orang yang berkeringat
banyak, memakai sepatu tertutup dan pakaian ketat. Tinea korporis terjadi pada
laki-laki dan perempuan dengan angka kejadian tertinggi pada remaja (Ely 2014,
hlm.703).

II.1.2.5. Faktor Resiko


Faktor penting yang berperan dalam penyebaran dermatofita ini adalah
kondisi kebersihan lingkungan yang buruk, daerah pedesaan yang padat, dan
kebiasaan menggunakan pakaian yang ketat atau lembab (Ely 2014, hlm.702).

10
Obesitas dan diabetes melitus juga merupakan faktor resiko tambahan karena
keadaan tersebut menurunkan imunitas untuk melawan infeksi (Spickler 2013,
hlm.3).

II.1.2.6. Patogenesis
Dermatofita menggunakan zat keratin sebagai sumber gizi. Dermatofita
menginvasi keratin pada stratum korneum kulit. Jaringan sekitarnya merupakan
hasil dari respon host alergi atau peradangan terhadap kehadiran jamur (Hainer
2013, hlm.101). Beberapa dari infeksi tersebut menyebabkan lesi melingkar yang
dihasilkan dari reaksi inflamasi. Jalur infeksi yang diduga sebagai tempat
dermatofita menginfeksi pejamu ialah melalui kulit yang terluka seperti luka gores
atau luka bakar (Gupta 2013, hlm.1050). Bagian dari dermatofit yang menginfeksi
ialah atrokonidia atau konidia. Kuman patogen menyerang stratum korneum,
memproduksi exo-enzym keratinase, dan menginduksi reaksi inflamasi pada lokasi
infeksi (Sahoo 2016, hlm.77).
Tanda-tanda inflamasi ialah kemerahan, pembengkakan, panas dan
alopesia pada daerah yang terinfeksi. Perpindahan patogen menyebabkan lesi
seperti cincin (Spickler 2013, hlm.4). Tinea kruris menular secara langsung
melalui kontak langsung dengan penderita atau secara tidak langsung melalui
barang atau benda yang telah terinfeksi (Shontalia 2017, hlm.171).

II.1.2.7. Diagnosis
Dermatofitosis mudah dikenal secara klinis morfologis, kecuali pada
beberapa kasus tertentu. Diagnosis tinea ditegakkan berdasarkan klinis dan
laboratorium (Ely 2014, hlm.703). Pemeriksaan laboratorium untuk dermatofitosis
yang dilakukan secara rutin adalah pemeriksaan mikroskopik langsung dengan
KOH 10-20%. Pemeriksaan mikroskopik langsung untuk mengidentifikasi
struktur jamur merupakan teknik yang cepat, sederhana, dan telah digunakan
secara luas sebagai teknik skrining awal. Teknik ini memiliki sensitivitas hingga
80% dan spesifisitas hingga 70% (Spickler 2013, hlm.5).

11
II.1.2.8. Pengobatan
Pada kebanyakan kasus, dermatofitosis dapat dikelola dengan
pengobatan topikal. Agen topikal memiliki efek menenangkan, yang akan
meringankan gejala lokal. Terapi topikal untuk pengobatan tinea korporis atau
tinea kruris termasuk: terbinafine, butenafine, miconazole, ketoconazole,
klotrimazole, ciclopirox (Gohary 2014, hlm.9). Formulasi topikal dapat
membasmi area yang lebih kecil dari infeksi, tetapi terapi oral diperlukan di mana
wilayah infeksi yang lebih luas yang terlibat atau di mana infeksi kronis atau
berulang (Hussein 2014, hlm.202).
Infeksi dermatofita dengan krim topikal antifungi hingga kulit bersih
biasanya membutuhkan 3 sampai 4 minggu pengobatan dengan azoles, 1 sampai 2
minggu dengan krim terbinafine, dan tambahan 1 minggu hingga secara klinis
kulit bersih (Gohary, 2014 hlm.7). Penatalaksanaan nonmedikamentosa dan
pencegahan kekambuhan penyakit sangat penting, seperti mengurangi faktor
predisposisi, seperti menggunakan pakaian yang menyerap keringat,
mengeringkan tubuh setelah mandi atau berkeringat, dan membersihkan pakaian
yang terkontaminasi (Spickler 2013, hlm.3).

II.1.2.9. Prognosis
Prognosisnya baik bila pengobatan dilakukan menyeluruh, tekun dan
konsisten (Behzadi 2014, hlm.57).

II.1.3 Seledri
Seledri merupakan tanaman yang banyak dimanfaatkan untuk
memperkaya cita rasa sajian dan sebagai sayuran. Secara tradisional, seledri
banyak digunakan sebagai penurun panas tubuh, penurun tekanan darah, penyubur
rambut, mengatasi susah tidur, memperlancar pengeluaran air seni dan mengobati
keputihan. Buahnya merupakan salah satu obat keputihan yang digunakan secara
empiris oleh bangsa Indonesia (Shehata 2012, hlm.212).

12
Gambar 8 : Tanaman seledri
Sumber : Kooti, 2017. Hlm 1071
Seledri (Apium graviolens) termasuk dalam famili Umbelliferae. Tanaman
seledri merupakan komoditas sayuran yang banyak digunakan untuk penyedap
makanan dan penghias hidangan. Biji seledri juga digunakan sebagai bumbu dan
penyedap. Ekstrak minyak bijinya berkhasiat sebagai obat (Bhosle, 2011).

II.1.3.1. Taksonomi
Adapun taksonomi dari tanaman seledri adalah (Urgamal 2012, hlm.36).
Kingdom : Plantarum
Divisi : Spermatophyta
Sub-divisi : Angiospermae
Kelas : Monocotyledoneae
Ordo : Umbelliferales
Famili : Umbelliferae
Genus : Apium
Species : Apium graveolens L.

II.1.3.2. Senyawa aktif


Seledri merupakan tanaman yang mengandung golongan senyawa kimia
flavonoid, apigenin, saponin dan minyak atsiri yang telah terbukti sebagai
senyawa yang efektif dalam menghambat pertumbuhan Candida albicans.
Kandungan senyawa aktif apigenin dalam ekstrak seledri merupakan komponen
flavonoid utama yang termasuk dalam golongan flavon (Kooti 2017, hlm.1030).

13
Gambar 9. Senyawa aktif seledri
Sumber : Kooti 2017, hlm.1030.

Flavonoid merupakan senyawa aktif dalam tumbuhan yang larut dalam air
(Galeotti 2008, hlm.44). Mekanisme antifungi flavonoid yaitu menyebabkan
perubahan integritas membran sel dan mempengaruhi aktivitas metabolik sel
sehingga jamur tidak dapat bertahan hidup (Ghannoum 2015, hlm. 501). Selain itu
terdapat mekanisme penghambatan aktivitas antifungi dengan cara merubah
konformasi bagian hipofilik membran sel. Membran sel kehilangan sifat
permeabilitasnya sehingga sistem transport membran tidak stabil. Akibatnya
terjadi kebocoran sel yang kemudian diikuti kematian jamur (Galeotti 2018,
hlm.44).
Saponin adalah senyawa aktif permukaan yang menimbulkan busa jika
dikocok dalam air. Mula-mula disebut saponin karena sifatnya yang khas
menyerupai sabun. Saponin menghambat pertumbuhan jamur dengan cara
meningkatkan permeabilitas membran sel jamur, mengubah struktur dan fungsi
membran, denaturasi protein membran sehingga membran sel akan rusak dan lisis
(Mesquita 2017, hlm.3).
Tanin menghambat pertumbuhan jamur dengan cara menginaktivasi enzim
serta materi genetik sel. Tanin menginaktivasi protein adhesin dan mengganggu
transport protein dalam sel (Rijayanti 2014, hlm. 12).

14
II.1.4 Uji Aktivitas Antifungi
Aktivitas antifungi dari suatu bahan dapat diketahui dengan meletakkan
sampel bahan tersebut pada fungi dan menilai hambatan pertumbuhan fungi.
Metode uji antimikroba yang digunakan yaitu dengan metode difusi dan delusi.

II.1.4.1 Metode Difusi


Metode yang paling sering digunakan untuk menentukan aktivitas
antimikroba adalah metode difusi agar. Kerjanya dengan cara mengamati daerah
bening, yang mengindikasikan adanya hambatan pada permukaan media agar
(Hudzicki 2016, hlm. 10). Macam-macam metode difusi :
1. Metode Difusi Cakram
Salah satu metode yang tepat untuk menguji aktivitas antifungi
yaitu dengan metode difusi cakram (Eleonor 2015, hlm.14). Metode ini
dilakukan dengan cara meletakkan kertas cakram filter yang mengandung
bahan yang akan diuji dengan konsentrasi tertentu pada permukaan padat
yang telah diinokulasi dengan organisme uji pada permukaannya.
Kemudian media tersebut diinkubasi pada suhu 37°C selama 24-48 jam.
Selanjutnya diameter atau zona hambat inhibisi, yaitu daerah jernih di
sekeliling cakram yang menunjukkan tidak adanya pertumbuhan mikroba,
diamati dan diukur pada masa akhir inkubasi (Hudzicki 2016, hlm. 10).
2. Metode Lempeng Silinder (Pencadang)
Metode ini dilakukan dengan menginokulasikan mikroorganisme
uji yang sesuai dan peka kedalam lempeng agar pada cawan petri. Silinder
besi tahan karat diletakan diatas permukaan media lempeng agar. Larutan
antijamur dimasukkan ke dalam silinder besi tahan karat tersebut dan
diinkubasi. Larutan antifungi akan berdifusi kedalam media dan diinkubasi
selama 18-24 jam. Selanjutnya diamati adanya zona hambat dengan ciri
zona jernih disekitar silinder yang menunjukan pertumbuhan jamur
(Hudzicki 2016, hlm. 10).
3. Metode Perforasi
Agar yang masih cair pada suhu 37°C dicampurkan dengan
suspense jamur pada cawan petri steril, dibiarkan memadat. Setelah agar

15
memadat dibuat lubang -lubang dengan perforator dan kedalaman tersebut
dimasukan zat yang akan diuji aktivitas antijamurnya kemudian diinkubasi
selama 18-24 jam pada suhu 37°C. Aktivitas antijamur dapat dilihat dari
daerah hambat yang terjadi di sekelilingnya berupa daerah bening
(Hudzicki 2016, hlm. 10).

II.1.4.2 Metode Dilusi


Metode dilusi dapat dilakukan pada media padat maupun cair (Mahesh
2017, hlm.773).
1. Metode Dilusi Cair
Metode dilusi cair dapat menentukan Kadar Hambat Minimal (KHM) dan
Kadar Bunuh Maksimal (KBM). Metode ini dilakukan dengan cara membuat satu
seri tabung pengenceran bahan uji kemudian dicampur dengan medium cair dan
ditambahkan dengan jamur uji. Larutan uji tersebut diinkibasi pada suhu 37°C
selama 24-48 jam. Selanjutnya dilihat kekeruhan pada tabung secara kasat mata.
Tabung larutan uji yang terlihat jernih dengan konsentrasi terendah menunjukan
tidak adanya pertumbuhan jamur uji, ditetapkan sebagai KHM. Selanjutnya semua
tabung yang terlihat jernih dikultur ulang pada media cair tanpa penambahan
bahan maupun jamur uji dan diinkubasi pada suhu 37°C selama 24-48 jam. Media
cair yang tetap terlihat jernih ditetapkan sebagai KBM (Mahesh 2017, hlm.773).
2. Metode padat
Metode ini serupa dengan metode dilusi cair namun menggunakan media
padat (Mahesh 2017, hlm.773).

II.1.5 Metode Pengukuran


Efektivitas antifungi ekstrak seledri dapat dilihat dengan adanya zona hambat
yang berupa zona bening di sekeliling kertas cakram yang menunjukkan hambatan
dan kemudian diukur menggunakan jangka sorong (Jawetz 2013, hlm 680).
Kriteria kekuatan daya antifungi diukur berdasarkan tabel berikut :

16
Tabel 1 Kriteria Kekuatan Daya Antifungi

No Diameter Zona Hambat Daya Antifungi


(mm)
1 <5 Lemah
2 5-10 Sedang
3 10-20 Kuat
4 >20 Sangat Kuat

Sumber : Davis and Stout 2009, hlm.667

17
II.2 Kerangka Teori

Ekstrak Seledri

Flavonoid (Apigenin) Tanin Saponin

Membentuk kompleks Disrupsi membran dan


dengan protein dinding sel jamur
membran sel

Denaturasi protein

Perubahan permeabilitas
membran sel

Rusaknya membran plasma


Pertukaran zat terganggu

Hilangnya kandungan isi sel Penurunan fungsi metabolisme

Hambat pertumbuhan Trichophyton rubrum

Bagan 1 Kerangka Teori


Sumber : Jawetz , 2013 hlm.679

18
II.3. Kerangka Konsep
II.3. Kerangka Konsep

Variabel Independen Variabel Dependen

Pemberian larutan ekstrak Diameter daerah hambat


seledri dengan konsentrasi (DDH) pertumbuhan
20%, 40%, 60%, 80%, 100% Trichophyton rubrum di
sekeliling kertas cakram

1. Kepekaan jamur (0,5


McFarland)

2. Waktu pertumbuhan

Variabel Perancu

II.4 Hipotesis Penelitian


H0 : Tidak terdapat perbedaan rata-rata aktivitas antifungi antar konsentrasi
ekstrak seledri terhadap pertumbuhan Trichophyton rubrum secara in vitro dengan
metode difusi
H1 : Terdapat perbedaan rata-rata aktivitas antifungi antar konsentrasi ekstrak
seledri terhadap pertumbuhan Trichophyton rubrum secara in vitro dengan metode
difusi

II.5 Penelitian Terkait

19
Tabel 2 Penelitian Terkait

No Nama dan Judul Variabel, Persamaan, dan Hasil Penelitian


Tahun Perbedaan
Penelitian
1 Ilyas 2015 Uji Ekstrak - Variabel independen : Hasil penelitian
Seledri Dalam Ekstrak seledri didapatkan ekstrak
Menghambat - Variabel dependen : seledri 20 %
Pertumbuhan DDH pertumbuhan mempunyai daya
Candida sp Candida sp hambat minimal
- Persamaan : Penelitian ini terhadap pertumbuhan
menggunakan ekstrak Candida
seledri Albicans.
- Perbedaan : Penelitian ini
menggunakan Candida sp
sebagai jamur uji coba
2 Galuh td Efektivitas - Variabel independen : Hasil penelitian
2010 Ekstrak Seledri Ekstrak Seledri mengenai ekstrak
Terhadap - Variabel Dependen : etanol daun seledri 20
Pertumbuhan DDH pertumbuhan %, 40% dan 80%
Malassezia sp Malassezia sp mempunyai
- Persamaan : Penelitian ini daya antijamur yang
menggunakan ekstrak efektif terhadap
seledri Malassezia sp.
- Perbedaan : Penelitian ini
menggunakan Malassezia
sp sebagai jamur uji coba
3 Ardelia, Aktivitas - Variabel independen : Air perasan daun
2015 Antijamur Air Tanaman seledri seledri mempunyai
Perasan Daun - Variabel dependen : efek antijamur
Seledri Terhadap DDH pertumbuhan terhadap C. albicans
Candida sp Candida sp secara in vitro dan
- Persamaan : Penelitian ini konsentrasi

20
menggunakan ekstrak air perasan daun
seledri seledri 50%
- Perbedaan : Penelitian ini membentuk diameter
menggunakan Candida sp daerah hambat yang
sebagai jamur uji coba dan terbesar terhadap
menggunakan air perasan Candida sp.
seledri secara in vitro

BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

21
III.1 Desain Penelitian
Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian studi eksperimental
laboratoris dengan desain post test only control group. Dimana ada dua kelompok
yang dipilih secara random. Kelompok pertama diberi perlakuan oleh peneliti
kemudian dilakukan pengukuran sedangkan kelompok kedua digunakan sebagai
kelompok pengontrol yang tidak diberi perlakuan tetapi hanya dilakukan
pengukuran saja. Dalam penelitian ini, peneliti melakukan perlakuan dengan
menguji aktivitas antifungi ekstrak seledri terhadap jamur Trichophyton rubrum
kepada satu atau lebih kelompok eksperimen, kemudian hasil dibandingkan
dengan kelompok kontrol pembanding.

III.2 Waktu dan Tempat Penelitian


Penelitian dilakukan di Laboratorium Parasitologi Fakultas Kedokteran
Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jakarta pada bulan Maret 2019.

III.3 Subjek Penelitian


Biakan jamur Trichophyton rubrum pada media SDA (Sabouround
Dextrose Agar) yang tidak terkontaminasi oleh mikroorganisme lain.

III.4 Bahan Uji Penelitian


Ekstrak seledri yang didapatkan dari BALITTRO (Balai Penelitian
Tanaman Rempah dan Obat). Proses pembuatan menggunakan Teknik
maserasi dengan pelarut etanol 70%.

III.5 Jenis Data


Data primer  pertumbuhan Trichophyton rubrum.

III.6 Besar Sampel

22
Jumlah sampel pada penelitian dapat berdasarkan jumlah perlakuan
yang dilakukan. Setiap perlakukan menggunakan pengulangan dengan
rumus Federer.
Rumus Federer = (n-1) (t-1) ≥ 15
Keterangan:
n : Besar sampel
t : Jumlah kelompok
Pada penelitian ini kelompok perlakuan yang digunakan terdiri dari kelompok
kontrol negatif (etanol 70%), kelompok kontrol positif (ketokonazol), dan
kelompok yang diberikan ekstrak seledri dengan pelarut etanol (20%, 40%, 60%,
80%, 100%) sehingga didapatkan t = 7, maka didapatkan jumlah sampel yang
dibutuhkan :
(n-1) (7-1) ≥ 15
(n-1) 6 ≥ 15
6n - 6 ≥ 15
6n ≥9
n ≥ 3,5
Berdasarkan hasil perhitungan dengan rumus Federer, didapatkan jumlah sampel
yang digunakan untuk tiap kelompok adalah 4 sediaan SDA (Sabouroud Dextrose
Agar) yang berisi biakan jamur T. rubrum didiamkan dalam suhu kamar 1-3 hari.
Kemudian diukur zona hambatnya menggunakan jangka sorong.

III.7 Variabel Penelitian


1. Variabel bebas (independen)
Ekstrak seledri dengan konsentrasi (20%, 40%, 60%, 80%, 100%).
2. Variabel tergantung (dependen)
Diameter daerah hambat (DDH) pertumbuhan Trichophyton
rubrum yang terbentuk di sekeliling kertas cakram dalam
millimeter.
3. Variabel pengganggu
Suhu inkubasi 37oC, waktu inkubasi 48 jam, kepekatan jamur 0,5
Mc Farland, dan pH medium = 4,5 - 6,5.

23
III.8 Definisi Operasional
Adapun definisi operasional yang dijadikan didalam penelitian
tercantum pada tabel dibawah ini:
Tabel 3 Definisi operasional
No Variabel Definisi Alat Hasil ukur Skala
operasional ukur ukur
1 Daerah Daerah sekeliling Jangka Diameter daerah Rasio
hambat T. kertas cakram sorong hambat (DDH)
rubrum yang tidak pertumbuhan T.
ditemukan adanya rubrum dalam
pertumbuhan T. milimeter (mm)
rubrum
2 Konsentrasi Banyaknya Spuit Kelompok Rasio
ekstrak milimeter ekstrak konsentrasi ekstrak
seledri seledri yang seledri yang diuji,
(Apium terlarut dalam dikelompokkan
graviolens) etanol menjadi :
1 = 20%
2 = 40%
3 = 60%
4 = 80%
5 = 100%
3 Larutan Larutan kontrol Spuit Jumlah larutan Rasio
kontrol yang berisi sebanyak 10 ml
positif ketokonazol
4 Larutan Larutan kontrol Spuit Jumlah larutan Rasio
kontrol yang berisi etanol sebanyak 10 ml
negatif 70%

III.9 Instrumen Penelitian


III.9.1 Alat
1. Batang Pengaduk
2. Cawan Petri

24
3. Kertas cakram berukuran 5 mm 20 buah
4. Pinset
5. 4 buah Bekker glass 50 ml
6. Spuit 5 ml/10 ml
7. Autoclave
8. Handscoon
9. Lidi Kapas Steril
10. Bunsen burner
11. Tabung Tutup Ulir
12. Rak Tabung Reaksi
13. Alumunium foil
14. Jangka Sorong
III.9.2 Bahan
1. Ekstrak seledri (Apium graviolens) dengan pelarut etanol
2. Suspensi Trichophyton rubrum yang telah dibiakkan di media
SDA (Sabouround Dextrose Agar) selama 24 jam.
3. Media SDA (Sabouround Dextrose Agar) 100 ml yang
dimasukkan dalam 5 cawan petri
4. Aquabides steril 50 ml
5. NaCl steril 10 ml
6. BaCl2 1%
7. H2SO4 1%
8. Sorben Silica gel (SiO2)
9. Ketokonazol 2% 10 ml
10. Etanol 70% 10 ml

III.10 Prosedur Penelitian


1. Cara Pengekstraksian Seledri

Simplisia dijadikan serbuk

25
Serbuk simplisia + pelarut etanol

Diaduk dengan stirer  3 jam

Diamkan endapan selama 24 jam

1 Filtrat Ampas

Diamkan selama
24 jam

Ditambah pelarut

Aduk 1 jam

Saring dengan kertas


saring

2 Filtrat Ampas

Bagan 2. Ekstraksi Seledri

2. Sterilisasi Alat Uji Antifungi


Alat-alat yang akan digunakan disterilisasikan terlebih dahulu sebelum
penelitian menggunakan autoclave suhu 121oC dan tekanan 15 Psi selama
15-20 menit dan sebelum digunakan ditunggu dahulu sampai mencapai
suhu kamar dan kering.
3. Pembuatan Larutan Pereaksi Uji Antifungi
Suspensi standar 0,5 Mc. Farland

26
Sebanyak 0,05 ml BaCl2 1% dicampurkan dengan 9,95 ml H2SO4
1% didalam tabung reaksi setelah itu dihomogenkan dengan suspensi 0,5
Mc. Farland (standar kekeruhan jamur = 108 CFU/ml).
*CFU: Colony Forming Unit
Cara pembuatan:
Campurkan kedua bahan larutan tersebut kemudian dikocok
sampai homogen. Apabila kekeruhan jamur uji sama dengan suspensi
standar, menandakan konsentrasi suspensi jamur adalah 108 CFU/ml.
4. Penyediaan Bahan Penelitian
Bahan penelitian yang diteliti adalah ekstrak seledri yang diperoleh dari
BALITTRO (Balai Penelitian Tanaman Obat dan Rempah).
5. Identifikasi dan Pembuatan Suspensi Jamur Trichophyton rubrum
Dilakukan di Laboratorium Parasitologi Fakultas Kedokteran Universitas
Pembangunan Nasional “Veteran” Jakarta.
6. Pengenceran Jamur Trichophyton rubrum
Disediakan 10 ml NaCl 0,9% steril masing-masing dalam tabung reaksi.
Disuspensikan jamur T. rubrum dengan menggunakan jarum ose dari
biakan jamur pada media SDA (Sabouround Dextrose Agar) ke dalam
NaCl 0,9% steril sampai kekeruhannya sama dengan suspensi standar 0,5
Mc. Farland, menandakan konsentrasi jamur adalah 108 CFU/ml.
7. Pembuatan Variasi Konsentrasi Larutan Ekstrak Seledri dengan pelarut
Aquades Steril.
a. Ekstrak seledri dibagi dalam 5 tabung, masing-masing A= 2 ml, B= 4
ml, C= 6 ml, D= 8 ml, E= 10 ml. Ekstrak seledri diambil sebanyak 30
ml dari tabung.
b. Tambahkan aquades steril dalam tabung masing-masing A= 8 ml, B= 6
ml, C=4 ml, D= 2 ml kemudian larutan dihomogenkan dengan
menggunakan vortex selama  5 menit.
c. Didapatkan larutan ekstrak seledri dengan pelarut aquabides steril
sebagai berikut :
Tabung A  Larutan ekstrak seledri dengan aquabides steril
konsentrasi 20%

27
Tabung B  Larutan ekstrak seledri dengan aquabides steril
konsentrasi 40%
Tabung C  Larutan ekstrak seledri dengan aquabides steril
konsentrasi 60%
Tabung D  Larutan ekstrak seledri dengan aquabides steril
konsentrasi 80%
Tabung E  Larutan ekstrak seledri 100%
8. Penyiapan Larutan Ekstrak Seledri serta kontrol.
a. Disiapkan 7 buah tabung reaksi (A, B, C, D, E, kontrol negatif dan
kontrol positif )
b. Tabung A berisi larutan ekstrak seledri dengan pelarut aquabides steril
konsentrasi 20%.
c. Tabung B berisi larutan ekstrak seledri dengan pelarut aquabides steril
konsentrasi 40%.
d. Tabung C berisi larutan ekstrak seledri dengan pelarut aquabides steril
konsentrasi 60%.
e. Tabung D berisi larutan ekstrak seledri dengan pelarut aquabides steril
konsentrasi 80%.
f. Tabung E berisi larutan ekstrak seledri konsentrasi 100%.
g. Tabung kontrol negatif berisi etanol 70% 10 ml.
h. Tabung kontrol positif berisi ketokonazol 2% 10 ml.
9. Uji Aktivitas Antijamur Ekstrak Seledri Terhadap Trichophyton rubrum
Secara In Vitro dengan Metode Difusi Cakram
a. Persiapan alat yang telah disterilisasi, ekstrak seledri dengan berbagai
konsentrasi yang telah ditentukan, larutan kontrol positif dan kontrol
negatif, media SDA dan suspense T. rubrum.
b. Kertas cakram dengan diameter 5 mm yang telah disterilisasi
dimasukkan ke dalam seluruh beaker glass yang berisi larutan ekstrak
seledri, larutan kontrol positif dan larutan kontrol negatif dengan
menggunakan pinset steril. Rendam selama beberapa menit hingga
larutan tersebut terhisap sempurna oleh kertas cakram.

28
c. Ambil suspense jamur T. rubrum dalam NaCl steril 0,9% dengan
kepekatan sesuai standar Mc Farland yang telah dibuat sebelumnya,
dengan menggunakan cotton bud.
d. Sebarkan suspense T. rubrum di permukaan media SDA kemudian
diratakan.
e. Kertas cakram dalam larutan ekstrak seledri, larutan kontrol positif,
dan larutan kontrol negatif diambil dengan menggunakan pinset
kemudian disusun pada cawan petri yang berisi SDA yang sebelumnya
ditanami T. rubrum. Dalam satu cawan petri terdapat variasi
konsentrasi ekstrak seledri 20%, 40%, 60%, 80%, 100%.
f. Letakkan semua cawan petri dalam suhu ruang selama 48 jam.
g. 48 jam kemudian, lakukan pengamatan pada cawan petri, apakah
terbentuk daerah jernih di sekeliling kertas cakram yang merupakan
daerah hambat pertumbuhan T. rubrum.
h. Lakukan pengukuran DDH yang terbentuk di sekeliling kertas cakram
dengan menggunakan jangka sorong, daerah hambat diukur dari tepi
ke tepi melewati kertas cakram
i. Ulangi percobaan sebanyak tiga kali.

III.11 Teknik Analisa Data


Dari kelompok perlakuan akan didapatkan zona bening yang merupakan
daerah hambat ekstrak seledri terhadap jamur Trichophyton rubrum yang akan
dianalisis secara statistik dengan uji One Way ANOVA. Syarat uji ini adalah data
harus terdistribusi normal dan varians data homogen. Langkah pertama yang
dilakukan adalah melakukan uji normalitas dengan dengan menggunakan
Saphiro-Wilk karena sampel ≤50 dengan nilai signifikansi >0,05 untuk nilai data
terdistribusi normal. Jika nilai kemaknaan (p) <0,05 maka data tidak terdistribusi
normal dan harus dilakukan uji alternatif yaitu uji Kruskal-Wallis. Apabila data
sudah terdistribusi normal, lakukan uji varians. Apabila nilai p > 0,05 maka data
tersebut memiliki varians data yang homogen, sedangkan jika nilai p < 0,05 maka
varians data tidak homogen alternatifnya dipilih uji Kruskal-Wallis. Jika pada uji

29
Annova atau Kruskal-Wallis sudah didapatkan p < 0,05 maka dilakukan analisis
Post Hoc untuk mengetahui perbedaan setiap kelompok (Dahlan 2016, hlm 110).

Persiapan Alat

Sterilisasi Alat

Pembuatan larutan kontrol negatif, kontrol


positif dan larutan ekstrak seledri (20%, 40%,
60%, 80%, 100%)

Perendaman kertas cakram 5 mm


sebanyak 5 buah di masing-masing
larutan untuk 4 kali pengulangan

Pembuatan suspense standar 0,5 Mc.


farland

Sebarkan jamur secara merata di


permukaan cawan petri

Letakkan kertas cakram di atas permukaan


cawan petri yang telah diolesi jamur

Tutupi cawan petri dengan alumunium foil

Diamkan pada suhu kamar selama 48 jam

Periksa apakah ada zona bening

Ukur zona bening dengan jangka sorong

Bagan 3. Prosedur Penelitian

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

30
IV.1. Hasil Penelitian
IV.1.1 Efektivitas Antifungi Ekstrak Seledri terhadap Trichophyton rubrum
Jangka waktu penelitian uji efektivitas ekstrak seledri terhadap
Trichophyton rubrum dilakukan selama 48 jam. Efektivitas antifungi terlihat
dengan terbentuknya zona hambatan berupa zona bening di daerah sekitar kertas
cakram, zona hambatan kemudian diukur dengan menggunakan jangka sorong.
Hasil pengukuran dapat diamati pada tabel 4 di bawah ini.

Tabel 4 Hasil Pengukuran Diameter Zona Hambat yang Dihasilkan oleh


Ekstrak Seledri terhadap Trichophyton rubrum
Percobaan Kontrol Kontrol 20% 40% 60% 80% 100%
+ -
1 10,13 0 2,8 2,8 3,8 3,9 5,5
2 10,17 0 2,2 3,4 3,5 3,5 3,9
3 9,28 0 2,3 2,8 3,2 3,2 4,4
4 9,68 0 1,9 2,4 2,6 3,1 4,9
Mean 9,8 0 2.3 3,1 3,3 3,4 4,6
Sumber : Data primer, 2019

Berdasarkan hasil penelitian, tabel 4 menunjukkan bahwa kelompok


ekstrak seledri dengan konsentrasi 20%, 40%, 60%, 80%, 100% dan kontrol
positif terlihat menghasilkan zona hambat. Ekstrak seledri pada penelitian yang
dilakukan memiliki efektivitas dalam menghambat pertumbuhan Trichophyton
rubrum. Kelompok kontrol negatif tidak memberikan pengaruh dalam
menghambat pertumbuhan Trichophyton rubrum. Hal ini membuktikan bahwa
daya hambat Trichophyton rubrum disebabkan karena pengaruh ekstrak seledri
bukan disebabkan oleh variabel pengganggu lain.

IV.1.2. Fitokimia Ekstrak Seledri dengan Etanol

Hasil uji fitokimia ekstrak seledri dapat dilihat pada tabel 5


Tabel 5 Uji Fitokimia Ekstrak Seledri

31
Jenis Jenis Pengujian Hasil Metode
Pengujian Pengujian
Ekstrak seledri Uji Fitokimia : + Kualitatif
- Alkaloid +
- Saponin +
- Tanin +
- Fenolik +
- Flavonoid +
- Triterpenoid +
- Steroid +
- Glikosida +
Sumber : Data primer, 2019

Senyawa-senyawa yang terdapat dalam ekstrak seledri diduga memiliki


efek antifungi yang dapat menghambat pertumbuhan Trichophyton rubrum.
Ekstrak seledri mengandung senyawa flavonoid, saponin, dan tanin yang dapat
meningkatkan permeabilitas membran sel, akibatnya terjadi kebocoran sel yang
diikuti kematian jamur (Galeotti 2018, hlm.44).

IV.2.1. Analisis Data


Setelah dilakukan penelitian dan diperoleh hasil dari data tersebut,
selanjutnya dilakukan uji statistik pada hasil data tersebut. Uji statistik dilakukan
dengan menggunakan Uji One-Way ANOVA dengan syarat data harus berdistribusi
normal dan memiliki varians data yang sama. Untuk itu terlebih dahulu dilakukan
Uji Normalitas dan Uji Varians pada hasil data tersebut.

IV.2.2. Analisis Data Ekstrak Seledri terhadap Trichophyton rubrum


Data hasil penelitian dilakukan uji normalitas sebagai syarat untuk
melakukan Uji One-Way ANOVA.Hipotesis dalam melakukan Uji Normalitas
adalah sebagai berikut
H0 : Data zona hambatan oleh ekstrak seledri berdistribusi normal
H1 : Data zona hambatan oleh ekstrak seledri tidak berdistribusi normal
Keputusan terhadap hipotesis tersebut adalah sebagai berikut :

32
Terima H0 jika hasil signifikansi lebih besar dari 0,05 ( >0,05), sehingga bila
signifikasi kurang dari 0,05 ( <0,05 ) maka tolak H0 dan terima H1.

Tabel 6 Uji Normalitas Shapiro-Wilk pada Zona Hambat Ekstrak Seledri


Konsentrasi Uji Shapiro-Wilk (Sig.)
Kontrol positif 0,409
20% 0,783
40% 0,728
60% 0,745
80% 0,753
100% 0,786

Dapat dilihat pada hasil Uji Normalitas pada tabel 6 bahwa pada statistik
Uji Normalitas Shapiro-Wilk didapatkan varians data pada setiap konsentrasi
memiliki signifikansi ( p> 0,05 ), hasil ini menunjukkan bahwa distribusi kelima
data tersebut adalah normal.
Sebagai syarat kedua untuk melakukan Uji One-Way ANOVA, maka
dilakukan Uji Varians untuk mengetahui varians data tersebut sama atau tidak.
Hipotesis dalam melakukan Uji Varians adalah sebagai berikut :
H0 : Data zona hambat oleh ekstrak seledri memiliki varians yang sama.
H1 : Data zona hambat oleh ekstrak seledri memiliki varians yang tidak sama.
Keputusan terhadap hipotesis tersebut adalah sebagai berikut :
Terima H0 jika hasil signifikansi lebih besar dari 0,05 ( >0,05 ), sehingga bila
signifikansi kurang dari 0,05 ( <0,05 ) maka tolak H0 dan terima H1.

Tabel 7 Uji Varians Zona Hambat Ekstrak Seledri


Uji Varians Ekstrak Seledri
Asymp. Sig. 0,70

Dari hasil Uji Varians Tabel 7 dapat dilihat bahwa nilai signifikansi yang
diperoleh adalah 0,70, dimana nilai signifikansi tersebut lebih besar dari 0,05
( >0,05 ) sehingga dari hasil Uji Varians ini disimpulkan terima H0 yang berarti
varians antara kelompok data yang dibandingkan adalah sama.

33
Data ekstrak seledri telah memenuhi syarat Uji One-Way ANOVA. Untuk
membandingkan kelompok perlakuan dengan kelompok lainnya, dilakukan Uji
One-Way ANOVA dan kemudian dianalisis dengan Post Hoc.
Hipotesis dalam melakukan Uji One-Way ANOVA adalah sebagai berikut :
H0 : Tidak terdapat perbedaan hasil perlakuan antara ekstrak seledri terhadap
Trichophyton rubrum pada kelompok konsentrasi.
H1 : Terdapat perbedaan hasil perlakuan antara ekstrak seledri terhadap
Trichophyton rubrum pada kelompok konsentrasi.
Keputusan terhadap hipotesis tersebut adalah sebagai berikut : Terima H0
jika hasil signifikasi lebih besar dari 0,05 ( >0,05 ), sehingga bila signifikansi
kurang dari 0,05 ( <0,05 ) maka tolak H0.

Tabel 8 Uji One-Way ANOVA Kelompok Perlakuan Ekstrak Seledri


Uji One-Way Anova Ekstrak Seledri
Asymp. Sig. 0,000

Dari hasil Uji One-Way ANOVA pada tabel 8 dapat dilihat bahwa nilai
signifikansi yang diperoleh adalah 0,000, dimana nilai signifikansi tersebut lebih
kecil atau kurang dari 0,05 ( <0,05 ) sehingga hasil dari Uji Varians ini
disimpulkan tolak H0 dan terima H1 yang berarti terdapat perbedaan hasil
perlakuan antara ekstrak seledri terhadap Trichophyton rubrum pada kelompok
konsentrasi.
Untuk mengetahui kelompok perlakuan yang memiliki perbedaan
bermakna tersebut, maka dilakukan analisis Post Hoc.

Tabel 9 Uji Analisis Data Post Hoc Ekstrak Seledri terhadap Trichophyton
rubrum
Ekstrak seledri Ekstrak seledri Sig. Rata-rata beda
(a) (b) (a-b)
Kontrol negatif Kontrol positif 0,000 -9,83750
20% 0,000 -2,30000
40% 0,000 -3.00000
60% 0,000 -2,77500

34
80% 0,000 -3.05000
100% 0,000 -4,30000
Kontrol positif Kontrol negatif 0,000 9,83750
20% 0,000 7,53750
40% 0,000 6,83750
60% 0,000 7,06250
80% 0,000 6,78750
100% 0,000 5,53750
20% Kontrol negatif 0,000 2,30000
Kontrol positif 0,000 -7,53750
40% 1,000 -0,70000
60% 1,000 -0,47500
80% 0,889 -0,75000
100% 0,000 -2,00000
40% Kontrol negatif 0,000 3.00000
Kontrol positif 0,000 -6,83750
20% 1,000 0,70000
60% 1,000 0,22500
80% 1,000 -0,05000
100% 0,025 -1,30000
60% Kontrol negatif 0,000 2,77500
Kontrol positif 0,000 -7,06250
20% 1,000 0,47500
40% 1,000 -0,22500
80% 1,000 -0,27500
100% 0,035 1,52500
80% Kontrol negatif 0,000 3,05000
Kontrol positif 0,000 -6,78750
20% 0,889 0,75000
40% 1,000 0,05000
60% 1,000 0,27500
100% 0,035 -1,25000
100% Kontrol negatif 0,000 4,30000
Kontrol positif 0,000 -5,53750

35
20% 0,000 2,00000
40% 0,025 1,30000
60% 0,005 1,52500
80% 0,035 1,25000

Dari tabel 9 dapat dilihat bahwa hasil dari analisis Post Hoc menunjukkan
terdapat beberapa kelompok ekstrak dengan nilai p > 0,005, sehingga
menunjukkan tidak terdapat perbedaan hasil perlakuan antara ekstrak seledri
terhadap Trichophyton rubrum pada kelompok konsentrasi. Kelompok konsentrasi
tersebut yaitu :
Ekstrak seledri 20% dengan 40% didapatkan p = 1,000
Ekstrak seledri 40% dengan 60% didapatkan p = 1,000
Ekstrak seledri 60% dengan 80% didapatkan p = 1,000
Untuk kelompok ekstrak lainnya menghasilkan nilai p < 0,005, sehingga
menunjukkan terdapat perbedaan hasil perlakuan antara ekstrak seledri terhadap
Trichophyton rubrum pada kelompok konsentrasi. Kelompok konsentrasi tersebut
yaitu :
Ekstrak seledri kontrol ( - ) dengan 20% didapatkan p =0,000
Ekstrak seledri kontrol ( - ) dengan 40% didapatkan p = 0,000
Ekstrak seledri kontrol ( - ) dengan 60% didapatkan p = 0,000
Ekstrak seledri kontrol ( - ) dengan 80% didapatkan p = 0,000
Ekstrak seledri kontrol ( - ) dengan 100% didapatkan p = 0,000
Ekstrak seledri kontrol ( + ) dengan 20% didapatkan p = 0,000
Ekstrak seledri kontrol (+ ) dengan 40% didapatkan p = 0,000
Ekstrak seledri kontrol (+ ) dengan 60% didapatkan p = 0,000
Ekstrak seledri kontrol (+ ) dengan 80% didapatkan p = 0,000
Ekstrak seledri kontrol (+ ) dengan 100% didapatkan p = 0,000
Ekstrak seledri 20% dengan 40% didapatkan p = 1,000
Ekstrak seledri 20% dengan 60% didapatkan p = 1,000
Ekstrak seledri 20% dengan 80% didapatkan p = 0,889
Ekstrak seledri 20% dengan 100% didapatkan p = 0,000
Ekstrak seledri 40% dengan 80% didapatkan p = 1,000
Ekstrak seledri 40% dengan 100% didapatkan p = 0,000

36
Ekstrak seledri 60% dengan 100% didapatkan p = 0,000
Ekstrak seledri 80% dengan 100% didapatkan p = 0,035

IV.3. Pembahasan
Penelitian ini menggunakan sampel ekstrak seledri (Apium graviolens)
dari hasil maserasi menggunakan pelarut etanol 70%. Metode maserasi
merupakan proses perendaman sampel menggunakan pelarut organik yang
bertujuan untuk menarik zat-zat aktif yang terdapat dalam sampel (Prasad 2016,
hlm. 15). Maserasi dipilih karena kandungan senyawa dalam ekstrak seledri
mudah rusak dengan pemanasan (Susanty 2016, hlm.88).
Media pertumbuhan jamur menggunakan Saboroud Dextrose Agar. SDA
merupakan media selektif yang memiliki pH rendah (5,0) sehingga menghambat
pertumbuhan bakteri dan memungkinkan pertumbuhan jamur (Eleonor 2014,
hlm.15).
Hasil penelitian yang telah dilakukan tentang efektivitas ekstrak seledri
terhadap pertumbuhan Trichophyton rubrum dengan konsentrasi 20%, 40%, 60%,
80% dan 100% dan pengulangan sebanyak empat kali didapatkan daya hambat
pertumbuhan Trichophyton rubrum pada konsentrasi 20% yaitu 2,3 mm dengan
kriteria kekuatan daya antifungi lemah, konsentrasi 40% daya hambat 3,1 mm
dengan kriteria kekuatan daya antifungi lemah, konsentrasi 60% daya hambat 3,3
mm dengan kriteria kekuatan daya antifungi lemah, konsentrasi 80% daya hambat
3,4 mm dengan kriteria kekuatan daya antifungi lemah, dan konsentrasi tertinggi
100% daya hambat 5,5 mm dengan kriteria kekuatan daya antifungi sedang.
Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Rachmawati (2014)
yang mendapatkan hasil potensi ekstrak seledri semakin meningkat seiring dengan
peningkatan konsentrasi. Semakin tinggi konsentrasi ekstrak yang diuji, semakin
banyak zat aktif yang terkandung di dalamnya sehingga efektivitas dalam
menghambat pertumbuhan Trichophyton rubrum akan semakin tinggi.
Daya hambat ekstrak seledri terhadap Trichophyton rubrum dapat terjadi
karena adanya senyawa aktif flavonoid, saponin dan tannin yang memiliki sifat
antifungi. Flavonoid dapat membentuk kompleks dengan protein ekstraseluler dan

37
menghambat ikatan enzim ATPase sehingga merusak merusak dinding sel
(Galeotti 2018, hlm.25).
Saponin memiliki sifat antifungi karena mengganggu membran sitoplasma
dengan cara menurunkan tegangan permukaan dinding sel jamur dan kestabilan
dinding sel sehingga menyebabkan kebocoran sel dan mengeluarkan protein dan
enzim dari dalam sel (Rijayanti 2014, hlm.13).
Tanin menghambat pertumbuhan jamur dengan cara menginaktivasi enzim
serta materi genetik sel. Tanin menginaktivasi protein adhesin dan mengganggu
transport protein dalam sel (Rijayanti 2014, hlm. 12).
Penelitian yang dilakukan Helaly (2015) di Universitas “Karbala” Irak,
mendukung penelitian peneliti. Hasil penelitiannya melaporkan efektivitas ekstrak
seledri (Apium graviolens) terhadap pertumbuhan Pityrosporum ovale
menggunakan metode difusi selama 48 jam memiliki daya hambat sebesar 5-10
mm (Helaly 2015, hlm.15). Hal ini ditunjukkan dengan hasil penelitian yang
dilakukan pada konsentrasi tertinggi 100% memiliki zona hambat sebesar 5,5 mm.
Konsentrasi yang efektif dapat diketahui pada tabel 4 menunjukkan bahwa
konsentrasi terendah dari ekstrak seledri (Apium graviolens) memiliki daya
antifungi lemah (< 5 mm ) dan konsentrasi tertinggi memiliki daya antifungi
sedang (5 - 10 mm) dalam waktu pengamatan 48 jam setelah paparan. Hal
tersebut menunjukkan bahwa terdapat korelasi yang nyata antara konsentrasi
ekstrak seledri dengan daya hambat pertumbuhan Trichophyton rubrum.
Adanya efektivitas daya hambat ekstrak seledri terhadap pertumbuhan
jamur didukung oleh penelitian Chandra (2015, hlm.20) menyatakan bahwa
ekstrak etanol seledri memiliki efek antifungi terhadap Candida albicans dengan
daya hambat pada konsentrasi.
Dari hasil di atas, dapat disimpulkan ekstrak seledri ini efektif
menghambat pertumbuhan jamur Trichophyton rubrum sebesar 2,8 mm – 5,5 mm.
Berdasarkan hasil uji statistik One-Way ANOVA terdapat perbedaan
efektivitas ekstrak seledri terhadap pertumbuhan jamur Trichophyton rubrum.
Untuk mengetahui kelompok konsentrasi yang memiliki perbedaan bermakna
maka dilakukan analisis Post Hoc dengan uji Bonferroni.

38
Berdasarkan hasil uji statistik Post Hoc Bonferroni didapatkan perbedaan
bermakna antara setiap konsentrasi terhadap kontrol negatif dan kontrol positif.
Daya hambat pertumbuhan Trichophyton rubrum mulai terjadi pada konsentrasi
20% dengan kriteria daya antifungi lemah, sementara daya hambat tertinggi
terdapat pada konsentrasi 100% dengan kriteria daya antifungi sedang ( 5 – 10
mm ), maka dapat disimpulkan bahwa daya hambat pertumbuhan Trichophyton
rubrum berbanding lurus dengan peningkatan konsentrasi.

IV.4. Keterbatasan Penelitian


Keterbatasan dalam penelitian ini adalah :
a. Pada penelitian ini hanya menggunakan metode difusi secara in vitro
sehingga perlu dilakukan penelitian lanjutan mengenai daya hambat
antifungi ekstrak seledri (Apium graviolens) dengan metode uji antifungi
yang berbeda.
b. Pada penelitian ini metode ekstraksi yang digunakan adalah maserasi
dengan menggunakan pelarut etanol 70%. Kelemahan penggunaan pelarut
etanol adalah etanol larut dalam air, dan juga melarutkan komponen lain
seperti karbohidrat dan resin. Larutnya komponen ini mengakibatkan
berkurangnya tingkat kemurnian zat aktif yang terkandung dalam seledri
(Apium graviolens).

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

V.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan terhadap hasil penelitian yang
diperoleh, dapat diambil keputusan sebagai berikut :
1. Ekstrak seledri menunjukkan aktivitas antifungi terhadap pertumbuhan
Trichophyton rubrum secara in vitro dengan metode difusi.

2. Ekstrak seledri konsentrasi 20%, 40%, 60%, 80%, dan 100% memiliki
perbedaan efektivitas senyawa antifungi pertumbuhan Trichophyton
rubrum secara in vitro dengan metode difusi.

39
V.2. Saran
Berdasarkan penelitian ini dapat disarankan bahwa :
1. Dapat dilakukan pengujian aktivitas antifungi ekstrak seledri terhadap
jenis jamur lain dengan metode yang lain.
2. Dapat dilakukan ekstraksi seledri dengan teknik sokletasi supaya
tingkat kemurnian senyawa aktif yang didapatkan lebih maksimal.
3. Dapat dilakukan uji aktivitas antifungi ekstrak seledri terhadap
Trichophyton rubrum secara in vivo.
4. Penelitian ini dapat dimanfaatkan untuk masyarakat pada umumnya
dan tenaga kesehatan pada khususnya.
5. Mahasiswa diharapkan dapat melakukan penelitian eksperimental
lainnya

DAFTAR PUSTAKA

Behzadi, Payam. 2014. Dermatophyte fungi: Infections, Diagnosis and Treatment.


Iran : Islamic Azad University, Shahr-e-Qods Branch, Faculty of Basic
Sciences, Microbiology department.

Bhosle, Shekhar. 2011. Ergosterol content of Several Wood Decaying Fungi Using
a Modified Method. India : Science and Technology Park, Pune, India.

Chandra, Rudi. 2015. Aktivitas Antifungi Ektrak Herba Seledri (Apium


graviolens) In Vitro Terhadap Candida Albicans. Jakarta : Universitas
Kristen Maranatha, Fakultas Kedokteran, Program Studi Sarjana
Kedokteran.

Eleonor. Tendencia. 2014. Disk diffusion method. Aquaculture Department


Southeast Asian Fisheries Development Center, Philippines.

40
Ely, John. 2014. Diagnosis and Management of Tinea Infections. Iowa :
University of Iowa Carver College of Medicine, Iowa City, Iowa.

Fitzpatrick, Wolf, Goldsmiths, Katz 2013. Dematology In General Medicine.


McGraw-Hill Education, USA.

Galeotti, Fransesco. 2018. Flavonoids from Carnation (Dianthus caryophyllus and


Their Antifungal Activity. Dipartimento di Valorizzazione e Protezione delle
Risorse Agroforestali, Università di Torino, Via L. Da Vinci 44, 10095
Grugliasco, Torino, Italy

Ghannoum. Mahmoud. 2015. Antifungal Agents: Mode of Action, Mechanisms of


Resistance, and Correlation of These Mechanisms with Bacterial
Resistance. Center for Medical Mycology, Department of Dermatology,
University Hospitals of Cleveland, 11100 Euclid Ave., Lakeside 5028,
Cleveland, Ohio.

Gohary, El. 2014. Topical antifungal treatments for tinea cruris and tinea corporis.
Primary Care and Population Sciences, Faculty of Medicine, Aldermoor
Health Centre, University of Southampton, Southampton, UK.

Graser. Yvonne. 2019. Molecular taxonomy of Trichophyton rubrum and T.


tonsurans. Institute of Microbiology and Hygiene, Department of
Parasitology, Humboldt University, Berlin, Germany.

Gupta, Aditya. 2016. Dermatophytes: Diagnosis and treatment. Canada :


Sunnybrook and Women’s College Health Sciences Center (Sunnybrook
site) and the University of Toronto, Department of Medicine, Division of
Dermatology.

Hainer, Barry. 2013. Dermatophyte Infections. South Carolina : Medical


University of South Carolina, Charleston, South Carolina.

Helaly, Al-Din. 2015. Phytochemical Analysis of Some Celery Accessions against


Pityrosporum ovale sp. Egypt : Al-Azhar University, Faculty of Agriculture,
Nasr City.

Hudzicki. Jan. 2016. Kirby-Bauer Disk Diffusion Susceptibility Test Protocol.


American Society for Microbiology.

41
Hussein, Ali. 2014. Dermatophytosis: Causes, clinical features, signs and
treatment. Iraq : University of Karbala, Department of Clinical Laboratories,
College of Applied Medical Sciences.

Jawetz, Melnick, Adelberg 2013. Medical Microbiology Twenty Sixth Edition,


McGraw-Hill Education, USA.

Kelly, Brendan. 2016. Pediatrics in Review : Superficial Fungal InfectionsTufts


University School of Medicine, Bayside Children’s Hospital, Springfield,
Massachusetts.

Kooti, Wesam. 2017. A Review of the Antioxidant Activity of Celery (Apium


graveolens L). Department of Immunology, Faculty of Medicine, Ahvaz
Jundishapur University of Medical Sciences, Ahvaz, Iran.

Megahed, Sobhi. 2017. Celery (Apium graveolens) Extract as Corrosion Inhibitor


for carbon steel in 1 M HCl. Egypt: Benha University, Faculty of Science,
Department of Chemistry.

Mesquita, Antifungal activity of the extracts and saponins from Sapindus


saponaria. Departamento de Farmácia e Farmacologia, Universidade
Estadual de Maringá, Av. Colombo, 5790 87020-090 Maringá, PR, Brasil.

Nazzaro, Filomena. 2017. Essential Oils and Antifungal Activity. Department of


Pharmacy, University of Salerno, Via Giovanni Paolo II, Fisciano (SA),
Italy.

Novitasiah, Rusdwi. 2014. Inventory of Invasive Plant Species along the corridor
of Kawah Ijen Nature Tourism Park, Banyuwangi, East Java. Malang :
University of Brawijaya, Faculty of Mathematic and Natural Sciences,
Magister Program in Biology, Malang, East Java, Indonesia.

Prasad, 2016. Antifungals: Mechanism of Action and Drug Resistance


Chapter in Advances in Experimental Medicine and Biology. Membrane
Biology Laboratory, School of Life Sciences, Jawaharlal Nehru University,
New Delhi 110067, India

Rachmawati, Ika. 2014. Pengaruh Konsentrasi Ekstrak Etanol Daun Seledri


Terhadap Hambatan Pertumbuhan Candida albicans In Vitro. Surakarta:
Universitas Muhammadiyah Surakarta, Fakultas Kedokteran Gigi, Program
Studi Sarjana Kedokteran Gigi.

42
Sahoo, Kumar. 2016. Management of tinea corporis, tinea cruris, and tinea pedis:
A comprehensive review. India : Postgraduate Institute of Medical
Education and Research, Department of Dermatology and Venereology.

Sharma, Vishnu. 2015. Diagnosis of dermatophytosis and its treatment. India :


JECRC University, Department of Biotechnology.

Shehata, Sahar. 2012. The Effects of Purslane and Celery on


Hypercholesterolemic Mice. Department of Food Science, Faculty of
Agriculture, Zagazig University, Zagazig, Egypt.

Singh, Avneet. 2017. Tinea cruris and Tinea genitalis: Clinical manifestations and
diagnostic challenges, India : Muzaffarnagar Medical College.

Sonthalia, Sidharth. 2014. Tinea Cruris and Tinea Corporis Masquerading as Tinea
Indecisiva. India: The Skin Clinic & Research Centre, Gurgaon.

Spickler, Anna. 2013. Dermatophytosis. Iowa : Iowa State University, College of


Veterinary Medicine.

Urgamal, Magsar. 2012. Classification of the celery family Apiaceae in Mongolia.


Institute of Botany, Mongolian Academy of Sciences, Ulaanbaatar-21051,
Mongolia.
Lampiran

Hasil Analisis Data

Uji Normalitas Ekstrak Seledri (Apium graviolens) terhadap jamur


Trichophyton rubrum

Tests of Normalitya

Kolmogorov-Smirnovb Shapiro-Wilk

ektrak_seledri Statistic df Sig. Statistic df Sig.

diameter_daerah_hambat kontrol positif .270 4 . .896 4 .409

20% .250 4 . .961 4 .783

40% .227 4 . .952 4 .726

60% .218 4 . .920 4 .745

80% .293 4 . .918 4 .753

43
100% .206 4 . .963 4 .796

a. diameter_daerah_hambat is constant when ektrak_seledri = kontrol negatif. It has been omitted.


b. Lilliefors Significance Correction

Uji Varians Ekstrak Seledri (Apium graviolens) terhadap jamur Trichophyton


rubrum

Test of Homogeneity of Variances


diameter_daerah_hambat

Levene Statistic df1 df2 Sig.

2.326 6 21 .070

Uji Anova Ekstrak Seledri (Apium graviolens) terhadap jamur Trichophyton


rubrum

ANOVA
diameter_daerah_hambat

Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Between Groups 221.556 6 36.926 153.421 .000


Within Groups 5.054 21 .241
Total 226.610 27
Uji Post Hoc Ekstrak Seledri (Apium graviolens) terhadap jamur
Trichophyton rubrum

Multiple Comparisons
Dependent Variable: diameter_daerah_hambat

95% Confidence

(I) (J) Mean Interval

ektrak_seledr ektrak_seledr Difference Std. Lower Upper


i i (I-J) Error Sig. Bound Bound

Bonferroni kontrol kontrol positif -9.83750* .34690 .000 -11.0354 -8.6396


negatif 20% -2.30000 *
.34690 .000 -3.4979 -1.1021

40% -3.00000* .34690 .000 -4.1979 -1.8021


*
60% -2.77500 .34690 .000 -3.9729 -1.5771

80% -3.05000* .34690 .000 -4.2479 -1.8521

44
100% -4.30000* .34690 .000 -5.4979 -3.1021

kontrol positif kontrol


9.83750* .34690 .000 8.6396 11.0354
negatif

20% 7.53750* .34690 .000 6.3396 8.7354


*
40% 6.83750 .34690 .000 5.6396 8.0354

60% 7.06250* .34690 .000 5.8646 8.2604


*
80% 6.78750 .34690 .000 5.5896 7.9854

100% 5.53750* .34690 .000 4.3396 6.7354

20% kontrol
2.30000* .34690 .000 1.1021 3.4979
negatif

kontrol positif -7.53750* .34690 .000 -8.7354 -6.3396

40% -.70000 .34690 1.000 -1.8979 .4979

60% -.47500 .34690 1.000 -1.6729 .7229


80% -.75000 .34690 .889 -1.9479 .4479

100% -2.00000* .34690 .000 -3.1979 -.8021

40% kontrol
3.00000* .34690 .000 1.8021 4.1979
negatif

kontrol positif -6.83750* .34690 .000 -8.0354 -5.6396

20% .70000 .34690 1.000 -.4979 1.8979

60% .22500 .34690 1.000 -.9729 1.4229

80% -.05000 .34690 1.000 -1.2479 1.1479

100% -1.30000* .34690 .025 -2.4979 -.1021

60% kontrol
2.77500* .34690 .000 1.5771 3.9729
negatif

kontrol positif -7.06250* .34690 .000 -8.2604 -5.8646

20% .47500 .34690 1.000 -.7229 1.6729

40% -.22500 .34690 1.000 -1.4229 .9729

80% -.27500 .34690 1.000 -1.4729 .9229

100% -1.52500* .34690 .005 -2.7229 -.3271

80% kontrol
3.05000* .34690 .000 1.8521 4.2479
negatif

kontrol positif -6.78750* .34690 .000 -7.9854 -5.5896

20% .75000 .34690 .889 -.4479 1.9479

40% .05000 .34690 1.000 -1.1479 1.2479

60% .27500 .34690 1.000 -.9229 1.4729

100% -1.25000* .34690 .035 -2.4479 -.0521

45
100% kontrol
4.30000* .34690 .000 3.1021 5.4979
negatif

kontrol positif -5.53750* .34690 .000 -6.7354 -4.3396

20% 2.00000* .34690 .000 .8021 3.1979


*
40% 1.30000 .34690 .025 .1021 2.4979

60% 1.52500* .34690 .005 .3271 2.7229


*
80% 1.25000 .34690 .035 .0521 2.4479
Games- kontrol kontrol positif -9.83750* .21152 .000 -11.1056 -8.5694
Howell negatif 20% -2.30000 *
.18708 .007 -3.4216 -1.1784

40% -3.00000* .24833 .007 -4.4887 -1.5113


*
60% -2.77500 .15478 .002 -3.7029 -1.8471

80% -3.05000* .23274 .005 -4.4453 -1.6547


*
100% -4.30000 .44907 .013 -6.9922 -1.6078
kontrol positif kontrol
9.83750* .21152 .000 8.5694 11.1056
negatif

20% 7.53750* .28238 .000 6.3541 8.7209

40% 6.83750* .32620 .000 5.4655 8.2095


*
60% 7.06250 .26210 .000 5.9339 8.1911

80% 6.78750* .31449 .000 5.4723 8.1027


*
100% 5.53750 .49639 .002 3.1453 7.9297

20% kontrol
2.30000* .18708 .007 1.1784 3.4216
negatif

kontrol positif -7.53750* .28238 .000 -8.7209 -6.3541

40% -.70000 .31091 .393 -2.0315 .6315

60% -.47500 .24281 .516 -1.4998 .5498

80% -.75000 .29861 .300 -2.0153 .5153

100% -2.00000 .48648 .093 -4.4225 .4225

40% kontrol
3.00000* .24833 .007 1.5113 4.4887
negatif

kontrol positif -6.83750* .32620 .000 -8.2095 -5.4655

20% .70000 .31091 .393 -.6315 2.0315

60% .22500 .29262 .979 -1.0819 1.5319

80% -.05000 .34034 1.000 -1.4709 1.3709

100% -1.30000 .51316 .316 -3.6659 1.0659

60% kontrol
2.77500* .15478 .002 1.8471 3.7029
negatif

kontrol positif -7.06250* .26210 .000 -8.1911 -5.9339

46
20% .47500 .24281 .516 -.5498 1.4998

40% -.22500 .29262 .979 -1.5319 1.0819

80% -.27500 .27951 .939 -1.5037 .9537

100% -1.52500 .47500 .201 -4.0000 .9500

80% kontrol
3.05000* .23274 .005 1.6547 4.4453
negatif

kontrol positif -6.78750* .31449 .000 -8.1027 -5.4723

20% .75000 .29861 .300 -.5153 2.0153

40% .05000 .34034 1.000 -1.3709 1.4709

60% .27500 .27951 .939 -.9537 1.5037

100% -1.25000 .50580 .339 -3.6240 1.1240

100% kontrol
4.30000* .44907 .013 1.6078 6.9922
negatif
kontrol positif -5.53750* .49639 .002 -7.9297 -3.1453

20% 2.00000 .48648 .093 -.4225 4.4225

40% 1.30000 .51316 .316 -1.0659 3.6659

60% 1.52500 .47500 .201 -.9500 4.0000

80% 1.25000 .50580 .339 -1.1240 3.6240

*. The mean difference is significant at the 0.05 level.

47

Anda mungkin juga menyukai