Anda di halaman 1dari 7

Antonie van Leeuwenhoek

Omikroskop amatir berkebangsaan Belanda.[2] Pada tahun 1684, Antonie van


Leeuwenhoek menggunakan rang pertama yang melihat bakteri adalah Antonie
van Leeuwenhoek (1632-1723), seorang pembuat mikroskop yang sangat kecil
hasil karyanya sendiri untuk mengamati berbagai mikroorganisme dalam bahan
alam.[2] Mikroskop yang digunakan Leeuwenhoek pada saat itu berupa kaca
pembesar tunggal berbentuk bikonveks dengan spesimen yang diletakkan di
antara sudut apertura kecil pada penahan logam.[3] Alat itu dipegang dekat
dengan mata dan objek yang ada di sisi lain lensa disesuaikan untuk mendapatkan
fokus[3]. Dengan alat itulah, Leewenhoek mendapatkan kontras yang sesuai antara
bakteri yang mengambang dengan latar belakang sehingga dapat dilihat dan
dibedakan dengan jelas[3]. Dia menemukan bakteri pada tahun 1676 saat
mempelajari infusi lada dan air (pepper-water infusion).[2] Van Leeuwenhoek
melaporkan temuannya itu lewat surat pada Royal Society of London, yang
dipublikasikan dalam bahasa Inggris pada tahun 1684.[2] Ilustrasi van Leewenhoek
tentang mikroorganisme temuannya dikenal dengan nama "wee animalcules".[2]

Francesco Redi

Meskipun hidup di era yang penuh ajaran Aristoteles, pemikiran Redi


dipengaruhi oleh teori Galileo serta Bruno dan Kepler. Selain itu, Redi
juga membaca tulisan Giuseppe Aromatari dari Assisi dan William
Harvey yang membantah teori generasi spontan (abiogenesis).
Aromatari dan Harvey mengemukakan teori yang menyatakan bahwa
serangga, cacing, dan katak tumbuh dari benih atau telur yang terlalu
kecil untuk dilihat. Pada masa itu, belatung dipercaya muncul dari
daging busuk sesuai teori generasi sponatan yang dipengaruhi oleh
ajaran Aristoteles. Redi tertarik untuk mencari tahu tentang kebenaran
hal tersebut, dia menyimpan berbagai macam daging ke dalam tabung
satu per satu dan mengamati belatung yang memakan daging busuk dan
menemukan bahwa belatung tersebut berkembang menjadi lalat.
Sebelum belatung muncul, dia mengamati bahwa lalat terlebih dahulu
mengerumuni daging busuk tersebut dan dari sana, ditarik kesimpulan
bahwa ada sesuatu yang menyebabkan terjadi produksi belatung.[2]

Percobaan yang dilakukan Francesco Redi.

Pada tahun 1688, Redi mempublikasikan hasil penelitiannya yang


berjudul "Percobaan pada asal usul serangga".[3] Eksperimen dalam buku
tersebut berhasil mematahkan teori abiogenesis (kehidupan berasal dari
materi mati) dan memunculkan teori biogenesis.[3] Pernyataan Omne
vivum ex ovo (Semua kehidupan berasal dari telur) dicetuskan
berdasarkan percobaan yang dilakukan Redi.[3] Teori biogenesis
mengemukakan bahwa kehidupan berasal dari kehidupan sebelumnya.
Dalam percobaanya, dia menggunakan dua wadah berisi daging, yang
pertama dibiarkan terbuka, sedangkan yang lainnya ditutup.[4] Pada
wadah yang terbuka, belatung tumbuh pada daging sedangkan pada
wadah lainnya tidak ada pertumbuhan belatung.[4] Konsep biogenesis
tersebut belum sepenuhnya dapat diterima hingga muncul percobaan
yang dilakukan oleh Louis Pasteur pada tahun 1859.[2]

Semasa hidupnya, Redi juga mematahkan kesalahpahaman dan


kepercayaan tentang ular berbisa. Eksperimen yang dilakukannya
menunjukkan bahwa empedu ular berbisa tidak beracun, menelan bisa
atau gigi ular tidak berbahaya, namun apabila bisa tersebut masuk
melalui luka terbuka atau diinjeksikan ke bawah kulit maka akan
berakibat fatal. Selain itu, redi juga menyatakan bahwa bisa ular adalah
cairan kuning yang diproduksi oleh kelenjar pada bagian kepala ular dan
diinjeksikan hanya melalui dua gigi, bukan diproduksi oleh roh liar. Dia
juga mematahkan mitos yang menyatakan bahwa kekuatan bisa ular
dipengaruhi oleh makanannya, ular meminum anggur, dan beberapa
mitos yang salah lainnya. Namun, pemikirannya tidak sepenuhnya
diterima hingga publikasi yang dilakukan oleh Felice Fontana pada
tahun 1781, dimana kesimpulan Redi dapat diterima sepenuhnya.

Lazzaro Spallanzani

(lahir 10 Januari 1729 – meninggal 12 Februari 1799 pada umur 70


tahun) adalah seorang imam, ahli fisiologi, dan ilmuwan asal Italia.[1]
Dia lahir dari pasangan Gianniccolò, seorang pengacara, dan Lucia
Zigliani.[1] Pada tahun 1753, Spallanzani mendapatkan gelar doktor di
bidang filosofi dan lima tahun kemudian ditahbiskan menjadi imam.
Saat menjadi imam, penelitiannya tentang fenomena alam tetap berjalan
dan didanai oleh Gereja.[1] Salah satu penelitiannya yang penting di
dalam ilmu Biologi adalah teori generasi spontan (Spontaneous
Generation).[2] Dia mengemukakan bahwa pemanasan dapat
mensterilisasi (membunuh mikroorganisme) di dalam kaldu yang
digunakan, namun apabila pemanasan hanya dilakukan beberapa menit
maka tidak akan membunuh semua mikroorganisme yang ada di
dalamnya.[2] Hal lain yang dibuktikan oleh Spallanzani adalah
mikroorganisme yang ada di udara dapat masuk ke kaldu menyebabkan
pembusukan atau kerusakan kaldu.[2] Pada tahun 1755, Spallanzani
menjadi pengajar logika, metafisik, dan bahasa Yunani di Perguruan
Tinggi Regio, Lombardy.[1] Laporan terakhir yang ditulis oleh
Spallanzani muncul pada tahun 1978 mengenai pengamatan tanaman
yang disimpan dalam air dan sinar matahari memberikan oksigen dan
menyerap karbon dioksida. Spallanzani meninggal akibat koma uremik
pada 12 Februari 1799.[1]
Louis Pasteur

(lahir di Dole, Jura, Franche-Comté, Perancis, 27 Desember 1822 –


meninggal di Marnes-la-Coquette, Hauts-de-Seine, Perancis, 28
September 1895 pada umur 72 tahun) adalah ilmuwan kelahiran
Perancis. Sebagai ilmuwan, ia berhasil menemukan cara mencegah
pembusukan makanan hingga beberapa waktu lamanya dengan proses
pemanasan yang biasa disebut pasteurisasi. Louis Pasteur memulai
kariernya sebagai ahli fisika di sebuah sekolah lanjutan atas. Pada usia
26 tahun ia sudah menjadi profesor di Universitas Strasbourg, kemudian
ia pindah ke Universitas Lille dan di sana pada tahun 1856 ia melakukan
penemuan yang berarti sangat besar bagi bidang kedokteran. Penemuan
awalnya adalah pasteurisasi yaitu mematikan bakteri yang ada di susu
dengan pemanasan.

Louis Pasteur ilmuwan pendukung teori Biogenesis terkenal dengan


teori "Omne ovum ex vivo omne vivum ex ovo"

Pasteur juga membuat obat untuk pencegah penyakit antraks dan


suntikan melawan penyakit anjing gila rabies. Pada waktu itu orang yang
digigit oleh anjing gila akan menderita penyakit yang disebut hidrofobia.
Suntikan rabies Pasteur tidak hanya mencegah tetapi juga mengobati
penyakit tersebut. Pada hari ulang tahunnya yang ke 70 para dokter dan
ilmuwan dari seluruh dunia berkunjung ke Paris untuk menghormatinya.
Sejak tahun 1888 karya Pasteur dilanjutkan di Institut Pasteur di Paris.
Kini institut itu mempunyai cabang di 60 negara. Makamnya terdapat di
bawah Institut tersebut, jenazahnya dimasukkan ke dalam peti mati
terbuat dari marmer dan grani

Ferdinand Cohn
Hasil penemuan Ferdinand Cohn banyak berkisar tentang bakteri yang resisten
terhadap panas. Ketertarikannya pada kelompok bakteri ini mengarahkannya
pada penemuan kelompok bakteri penghasil endospora yang resisten terhadap
suhu tinggi.

Ferdinand Cohn juga berhasil menjelaskan siklus hidup bakteri Bacillus yang
sekaligus menjelaskan mengapa bakteri ini bersifat tahan panas. Selanjutnya, ia
juga membuat dasar klasifikasi bakteri sederhana dan mengembangkan beberapa
metode untuk mencegah kontaminasi pada kultur bakteri, seperti penggunaan
kapas sebagai penutup pada labu takar, erlenmeyer, dan tabung reaksi. Metode
ini kemudian digunakan oleh ilmuwan lain, Robert Koch.

Cohn adalah orang pertama yang mengklasifikasikan ganggang sebagai tanaman,


dan untuk menentukan apa yang membedakan mereka dari tanaman hijau.
Klasifikasinya bakteri ke dalam empat kelompok berdasarkan bentuk (sphericals,
batang pendek, benang, dan spiral) masih digunakan sampai sekarang. Antara lain
Cohn dikenang untuk menjadi yang pertama untuk menunjukkan bahwa Bacillus
dapat berubah dari keadaan vegetatif ke kondisi endospora ketika mengalami
suatu lingkungan merusak kondisi vegetatif.

Standar Penulis singkatan Cohn digunakan untuk menunjukkan individu ini


sebagai penulis ketika mengutip sebuah nama botani

. Robert Koch
terhadap antraks dimulai ketika antraks menjadi penyakit hewan dengan
prevalensi paling tinggi pada masa itu. Dengan berbekal sebuah mikroskop
sederhana dalam laboratorium di ruangan rumahnya, Koch mencoba
membuktikan secara ilmiah mengenai bacillus yang menyebabkan antraks. Hal itu
dilakukan dengan menyuntikkan Bacillus anthracis ke dalam tubuh sejumlah tikus.
Koch mendapatkan Bacillus anthracis tersebut dari limpa hewan ternak yang mati
karena antraks.
Hasilnya, semua tikus yang telah disuntik oleh Bacillus anthracis ditemukan dalam
keadaan mati. Sementara itu, tikus yang suntik oleh darah yang berasal dari limpa
hewan sehat ditemukan dalam keadaan masih hidup. Melalui percobaannya ini,
Koch memperkuat hasil penelitian ilmuwan lain yang menyatakan, penyakit ini
dapat menular melalui darah dari hewan yang menderita antraks.

Setelah berhasil melakukan percobaan pertamanya, rasa keingintahuan Koch


terhadap antraks semakin besar. Casimir Davaine merupakan ilmuwan yang
membuktikan penularan langsung Bacillus anthracis di antara beberapa ekor sapi.
Namun, Koch ingin mengetahui apakah Bacillus anthracis yang tidak pernah
kontak dengan segala jenis hewan dapat menyebabkan timbulnya penyakit.
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, Koch menemukan metode dalam
pemurnian bacillus dari sampel darah untuk kemudian dikembangbiakkan.

Melalui metode tersebut Koch mampu mengidentifikasi, mempelajari, dan


mengambil gambar bacillus yang sedang dikembangbiakkan. Setelah itu dapat
disimpulkan, jika Bacillus anthracis berada dalam lingkungan yang tidak
disukainya dan berada di luar inang (host), bakteri tersebut akan memproduksi
spora untuk melawan lingkungan yang tidak cocok baginya. Kondisi seperti ini
dapat bertahan dalam waktu yang sangat lama. Ketika kondisi lingkungan telah
kembali cocok dan normal, spora akan memicu berkembangnya kembali bacillus.
Jika spora tersebut tertanam dalam tanah, maka akan menyebabkan penyebaran
antraks secara spontan (spontaneous outbreak).

Dari percobaan keduanya tersebut, Koch menyimpulkan, meskipun bacillus tidak


kontak dengan segala jenis hewan, namun mereka tetap dapat menyebabkan
timbulnya antraks. Hasil penemuan tersebut didemonstrasikan oleh Koch di
hadapan dua orang profesor yang bernama Ferdinand Cohn dan Cohnheim.
Kedua orang profesor itu sangat terkesan dengan penemuan Koch.

Pada tahun 1876 Ferdinand Cohn mempublikasikan penemuan Koch dalam


sebuah jurnal. Tidak lama setelah itu, Koch menjadi cukup terkenal dan dirinya
diberi penghargaan berupa sebuah pekerjaan di Kantor Kesehatan Kekaisaran
(Imperial Health Office) pada tahun 1880 di Berlin.

Popularitas dan penghargaan tidak membuat Koch cepat berpuas diri. Di tempat
kerjanya yang baru, Koch mendapat fasilitas berupa laboratorium yang lebih baik
dari sebelumnya. Koch kemudian menemukan metode penanaman kultur bakteri
dalam media padat seperti kentang. Koch pun mengembangkan metode baru
dalam mengidentifikasi bakteri dengan zat warna (staining) agar lebih mudah
terlihat.

Berbagai metode yang ditemukan oleh Koch tersebut dapat membuat bakteri
patogen lebih mudah didapatkan dalam kultur murni (pure culture). Padahal
sebelumnya, bakteri patogen sangat sulit didapatkan karena tercampur dengan
organisme lain yang dapat ikut teridentifikasi. Dengan alasan tersebut, Koch
memberikan rumusan berupa sejumlah kondisi yang harus dipenuhi sebelum
bakteri dianggap sebagai penyebab penyakit. Rumusan tersebut dikenal dengan
Postulat-postulat Koch (Koch’s Postulates).

Dalam Postulat-postulat Koch disebutkan, untuk menetapkan suatu organisme


sebagai penyebab penyakit, maka organisme tersebut harus memenuhi sejumlah
syarat yakni:
Ditemukan pada semua kasus dari penyakit yang telah diperiksa.
Telah diolah dan dipelihara dalam kultur murni (pure culture).
Mampu membuat infeksi asli (original infection), meskipun sudah beberapa
generasi berada dalam kultur.
Dapat diperoleh kembali dari hewan yang telah diinokulasi dan dapat dikulturkan
kembali.

Anda mungkin juga menyukai