Anda di halaman 1dari 15

LAPORAN PROYEK ANATOMI DAN FISIOLOGI HEWAN (BI2103)

HEMATOLOGI TIKUS (RATTUS NORVEGICUS)

Tanggal Praktikum : 2 Oktober 2019


Tanggal Pengumpulan : 9 Oktober 2019

Disusun oleh:
Imaduddien Raihan Budiyanto
10618053
Kelompok 8

Asisten:
Bella Roselliene (10616006)

PROGRAM STUDI BIOLOGI


SEKOLAH ILMU DAN TEKNOLOGI HAYATI
INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG
BANDUNG
2019
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Hematologi merupakan cabang ilmu biologi yamng memepelajari
seluk beluk tentang darah meliputi struktur darah, komponen darah, fungsi
darah dan pembuluh darah. Di bidang medis, hematologi mencakup
pengobatan gangguan darah dan keganasan, termasuk jenis hemofilia,
leukemia, limfoma, dan anemia sel sabit. (Nugraha, 2017). Darah adalah
komponen yang memiliki peran penting pada tubuh makhluk organisme
terutama dalam transport zat – zat yang penting untuk proses metabolisme
tubuh. Apabila darah mengalami gangguan, maka proses metabolisme
tubuh akan mengalami gangguan juga. Darah terdiri atas beberapa
komponen salah satunya adalah eritrosit. Eritrosit adalah sel yang paling
banyak terkandung dalam darah dengan presentase 40%-45% dari volume
darah. Eritrosit meiliki bentuk bulatan bikonkaf dengan bagian tengah yang
rata. Eritrosit tidak memiliki nukelus yang berguna untuk mempermudah
perubahan bentuk pada saat melewati pembuluh darah, namun ini
menjadikan umurnya pendek pada eritrosit yaitu selama 120 hari. Warna
merah pada eritrosit disebabkan oleh adanya hemoglobin.
Hemoglobin adalah zat pengangkut oksigen yang mengandung zat
besi metalloprotein dalam warna merah sel-sel darah (eritrosit) yang
terkandung dalam eritrosit. Komponen selanjutnya adalah Leukosit atau sel
darah putih merupakan unit yang aktif dari sistem pertahanan tubuh.
Leukosit mempunyai bentuk yang tidak tetap (ameboid), tidak berwarna,
memiliki inti, bulat/cekung, jumlahnya pada orang normal kira-kira 6.000-
9.000/mm3 . Fungsi dari leukosit yaitu untuk melindungi tubuh dari infeksi.
Leukosit merupakan sel yang bersifat fagosit. Jika ada kuman atau benda
asing yang masuk ke dalam tubuh, maka leukosit akan mengeluarkan
antibodi dan memakan zat asing tersebut.
1.2 Tujuan
Adapun tujuan dari praktikum ini adalah:
1. Menentukan jenis-jenis darah dari sampel darah tikus.
2. Menentukan nilai parameter hematologi dari darah sampel.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Proses Pembemntukan Eritrosit dan Leukosit


Eritrosit merupakan sel yang paling banyak terdapat pada darah.
Eritrosit tidak memiliki nukleus sehingga umurnya hanya 120 hari. Proses
pembentukan eritrosit disebut eristoblastosis. Pada awal eristoblastosis, calon
sel eritrosit (eritroblas) memiliki sitoplasma basofil yang menyelubungi
nukleus. Namun, seiring bertambahnya sintesis hemoglobin, eritroblas akan
kehilangan sitoplasma basofilnya dan menyisakan nukleus yang kemudian
mengalami perubahan struktural. Setelah nukleus dilepaskan, tersisa organel-
organel seperti ribosom dan eritrosit muda ini kemudian dinamakan sebagai
retikulosit . Retikulosit kemudian mengalami pematangan dengan perubahan
ulang membran plasma dan menjadikan membrannya menjadi tahan lama dan
menjadi highly deformable selayaknya membran dari sel eritrosit (Lee, 2004).
Leukosit atau sel darah putih pada tubuh jumlahnya jauh lebih sedikit dari sel
eritrosit yaitu sebesar 1% dari volume darah. Leukosit berperan dalam
melindungi tubuh dari infeksi yang masuk. Leukosit dibuat dalam sumsum
tulang merah, limfa, dan jaringan retikuloendotelium. Semua sel darah putih
diproduksi dan berasal dari sel multipoten di sumsum tulang yang dikenal
sebagai sel induk hematopoietik
2.2 Faktor yang mempengaruhi sel darah
Jumlah eritrosit dan leukosit dapat dipengaruhi berbagai faktor
seperti jenis kelamin, umur, kondisi tubuh, variasi harian, ketinggian tempat
tinggal, dan keadaan psikologi. Selain itu, terdapat faktor lainnya seperti
nutrisi, kandungan bahan organik (seperti lemak, glukosa, urea), kondisi
lingkungan, dan musim.
Ketinggian tempat tinggal juga menjadi faktor utama. Di dataran
tinggi, kadar oksigen dalam udara menipis dan tekanan udara juga berkurang.
Maka diperlukan eritrosit dan hemoglobin yang lebih banyak karena perlu
usaha ekstra untuk mengikat oksigen dari udara karena kadarnya yang sedikit
(Sjöstrand, 1949).

2.3 Hematokrit, MCH, MCV, dan MCHC


Hematokrit adalah parameter yang mengukur persentase volume sel
darah merah pada darah. Pengukuran tergantung pada jumlah dan ukuran sel
darah merah Biasanya 40,7% hingga 50,3% untuk pria dan 36,1% hingga
44,3% untuk wanita. Hasil ini dapat menjadi parameter kesehatan seseorang.
MCH (Mean Corpuscular Hemoglobin) adalah pengukuran rata-rata
hemoglobin yang ada pada satu eritrosit. Pengukuran MCH dapat salah jika
organisme percobaan mengalami hyperlipidemia yang akan meningkatkan
rata-rata hemoglobin yang terukur dikarena meningkatnya kekeruhan plasma
sehingga pengukuran hemoglobin menjadi meningkat. Hal ini dapat dicegah
dengan melakukan sentrifugasi dan penghitungan manual (Greer, 2009). MCV
(Mean Cospuscular Volume) adalah adalah nilai rata-rata volume eritrosit dan
merupakan parameter yang berguna dalam mengklasifikasikan anemia dan
memberikan informasi mengenai patofisiologi dari penyakit-penyakit pada
eritrosit. Pengukuran MCV dapat salah jika organisme percobaan mempunyai
penyakit yang menyebabkan penggumpalan sel atau mengalami
hyperglycemia yang menyebabkan nilai MCV meningkat (Greer, 2009).
MCHC (Corpuscular Hemoglobin Concentration) merupakan nilai rata-rata
dari konsentrasi hemoglobin terhadap hemaotkrit yang diberikan. Setelah
MCHC diketahui, rasio perbandingan massa hemoglobin dengan hematokrit
akan diketahui. Keakuratan dari nilai MCHC dipengaruhi oleh factor-faktor
yang mempengaruhi pengukuran dari hemoglobin atau hematocrit (Fox &
Barthold, 2007).

2.4 Penyakit
Pada eritrosit dapat terjadi gangguan yaitu anemia apabila
konsentrasinya kurang dari standar, berdasarkan kriteria WHO anemia adalah
kadar hemoglobin di bawah 13 g% pada pria dan di bawah 12 g% pada wanita.
Anemia terbagi atas 3 jenis yaitu anemia makrositik yaitu anemia dengan
karakteristik MCV diatas 100 fL. Anemia ini dapat disebabkan oleh
peningkatan retikulosit, metabolisme abnormal asam nukleat pada prekursor
eritrosit, penggunaan alkohol, penyakit hati, dan hipotiroidisme. Tipe
selanjutnya adalah Anemia mikrositik, yaitu anemia dengan karakteristik sel
darah merah yang kecil (MCV kurang dari 80 fL). Anemia mikrositik biasanya
disertai dengan penurunan hemoglobin dalam eritrosit. Terakhir adalah
Anemia normositik, yaitu anemia dengan MCV normal antara 80 – 100 fL.
Pada sel darah putih dapat juga terjadi kelainan ketika jumlahnya tidak
sesuai standar. Kelainan yang paling populer adalah Leukimia (kanker darah).
Keadaan ini merupakan penyakit di mana pertambahan sel darah putih
meningkat secara tak terkendali sekitar 500.000/mm3 darah. Hal ini akan
mengakibatkan sel darah putih memakan sel darah merah sehingga penderita
praktis akan kekurangan eritrosit dalam jumlah banyak. Penyakit lainnya dapat
terjadi karena kekurangan leukosit dengan tipe tertentu, contohnya netropenia
penyakit ini terjadi ketika tubuh kekurangan neutrofil, lalu limfopenia kelainan
ini terjadi ketika kadar limfosit pada tubuh berada di bawah standar (Harveb,
2012)
BAB III
METODOLOGI

3.1 Metode Kerja


Berikut adalah alat bahan yang digunakan pada praktikum kali ini
Tabel 3.1 Alat dan Bahan
Alat Bahan
Sampel darah tikus (Rattus
Kaca objek
norvegicus)
Pipet Alkohol
Hemocytometer Larutan Giemsa
Alat Ukur Sahli Larutan Hayem
Pipa Kapiler Larutan Turk
Sentrifugator HCl 1 N
Mikroskop cahaya EDTA
Gloves Malam/plastisin
Alkohol
Larutan Giemsa
Larutan Hayem

3.1. Cara kerja


Pada praktikum ini dilakukan beberapa percobaan yaitu sebagai
berikut.
3.1.1. Pembuatan Preparat Apusan Darah (Blood Smear)
Setetes darah ditempatkan di daerah ujung kaca objek. Salah satu
sisi kaca objek lain ditempatkan di atas kaca objek yang telah ditetesi darah
dengan kemiringan 30 – 45o . Kaca objek tersebut digeserkan hingga
menyentuh darah sehingga darah menyebar sepanjang sisi kaca objek yang
bersentuhan. Kaca objek tersebut digeserkan kembali dengan arah yang
berlawanan sehingga terbentuk apusan darah. Apusan darah yang dibentuk
sebaiknya tipis dan terbentuk degradasi warna darah. Selanjutnya
merupakan proses fiksasi. Apusan darah yang telah kering difiksasi dengan
cara dicelupkan ke dalam alkohol selama ±3 detik yang berfungsi untuk
mem-preserve sel, dan menghentikan enzim proteolitik agar tidak
membusukkan sel. Apusan darah yang telah difiksasi diwarnai dengan
meneteskan larutan Giemsa. Setelah apusan darah yang diwarnai kering,
maka pengamatan sel darah dilakukan.
3.1.2. Perhitungan Jumlah Sel Darah Merah
Darah dihisap sampai garis tanda 0,5 tepat, kelebihan darah yang
melekat pada ujung pipet dihapus. Ujung pipet dimasukkan ke dalam larutan
hayem sambil menahan darah pada garis tanda dan larutan hayem dihisap
sampai garis tanda 101. Pipet diangkat dari cairan, pipet dikocok selama 15-
30 detik. Tiga tetes atau empat tetes cairan yang ada didalam batang kapiler
dibuang dan menyentuh ujung pipet dengan sudut 30 derajat pada
permukaan kamar hitung dengan menyinggung pinggir kaca penutup.
Kamar hitung dibiarkan selama 2 atau 3 menit supaya sel darah merah
mengendap. Sel darah merah yang terdapat dalam lima bidang yang
tersusun dari 16 bidang kecil dihitung dengan bantuan mikroskop.
𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑒𝑟𝑖𝑡𝑟𝑜𝑠𝑖𝑡 ×𝑝𝑒𝑛𝑔𝑒𝑛𝑐𝑒𝑟𝑎𝑛
Jumlah eritrosit/mm3 darah = 5 ×0,2 ×0,2 ×0,1
101−0,5
Pengenceran = 𝑣𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝑑𝑎𝑟𝑎ℎ 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖ℎ𝑖𝑠𝑎𝑝

3.1.3. Perhitungan jumlah leukosit


Darah dihisap menggunakan pipet khusus untuk leukosit sampai
skala 1, hindari terperangkapnya gelembung udara. Dengan menggunakan
pipet yang sama, kemudian dihisap larutan Turk sampai skala 11. Pipet
dibolak-balik agar darah dan larutan Turk menjadi homogen. Dengan
menggunakan tisu, beberapa tetes larutan dari ujung pipet dibuang sampai
skala 1. Larutan diteteskan pada sisi kaca tutup hemocytometer. Hindari
penetesan larutan yang berlebihan, sehingga larutan dapat masuk ke pant di
kiri-kanan ruang penghitungan, karena hal ini dapat menyebabkan
kesalahan penghitungan. Leukosit dihitung pada 4 ruang persegi (W)
hemocytometer.
11−1
Pengenceran = = 10
1
𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑙𝑒𝑢𝑘𝑜𝑠𝑖𝑡 ×𝑝𝑒𝑛𝑔𝑒𝑛𝑐𝑒𝑟𝑎𝑛
Jumlah leukosit = 4 ×0,1 ×1×1

3.1.4. Pengukuran konsentrasi Hemoglobin


Darah dihisap menggunakan pipet khusus alat ukur Sahli sampai
skala 20 μl. Darah kemudian diteteskan ke dalam tabung pada alat ukur
Sahli yang sudah diisi dengan satu tetes HCl 1 N, selanjutnya diaduk sampai
homogen. Warna larutan yang terbentuk dibandingkan dengan larutan
standar hemoglobin dalam tabung standar di sebelah tabung sampel.
Larutan sampel ditetesi lagi dengan HCl 1 N dan diaduk agar homogen
hingga warnanya sebanding dengan warna larutan standar. Setelah warna
larutan sampel sebanding dengan warna larutar standar, skala pada tabung
sampe diamati. Untuk menentukan konsentrasi hemoglobin sampel darah
yaitu dalam satuan g/dL.
3.1.5. Pengukuran Volume Hematokrit
Tabung kapiler diisi dengan darah dan ujungnya ditutup dengan
malam. Tabung diletakkan pada alat sentrifuga khusus berkecapatan tinggi
dengan ujung yang tertutup mengarah ke tepi alat sentrifuga. Tabung
disentrifugasi selama 2-5 menit dengan kecepatan 10.000-15.000 rpm.
Volume hematokrit ditentukan dengan menggunakan skala Wintrobe.
Bagian dasar tabung yang berisi eritrosit diletakkan di garis paling bawah
skala. Garis pembatas pada skala antara warna merah eritrosit dengan warna
kekuningan plasma ditentukan sebagai volume (%) hematokrit. Volume
hematokrit yang akurat mengukur massa eritrosit di bawah "buffy coat".
"Buffy coat" terdapat di bagian atas massa eritrosit dan di bagian bawah
plasma.
3.1.6. Mean Corpuscular Volume (MCV)
Mean Corpuscular Volume (MCV) adalah mengukur volume rata-
rata eritrosit. Eritrosit yang baru masuk ke dalam sistem sirkulasi belum
memiliki bentuk bikonkaf, dan masih memiliki hemoglobin tahap fetus atau
tips hemoglobin lainnya. Cara menghitung MCV yaitu :
𝐻𝑒𝑚𝑎𝑡𝑜𝑘𝑟𝑖𝑡
MCV𝜇𝑚3 =
106
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑒𝑟𝑖𝑡𝑟𝑜𝑠𝑖𝑡 ( 𝜇𝐿 )

3.1.7. Mean Corpuscular hemoglobin (MCH)


Mean Corpuscular Hemoglobin (MCH) adalah mengukur berat rata-
rata hemoglobin dalam eritrosit. Perhitungan :
𝑔
𝐻𝑏 ( ) × 10
MCH (pg) = 𝑑𝐿
106
𝐸𝑟𝑖𝑡𝑟𝑜𝑠𝑖𝑡 ( 𝜇𝐿 )

3.1.8. Mean Corpuscular Hemoglobin Concentranion (MCHC)


Mean Corpuscular Hemoglobin Concentration (MCHC) adalah
mengukur rasio hemoglobin terhadap hematokrit. MCHC memberikan basil
pengukuran yang lebih baik karena tidak memerlukan penghitungan jumlah
eritrosit.
𝑔
g 𝐻𝑏 ( ) × 100
MCHC ( ) = 𝑑𝐿
dL 𝐻𝑒𝑚𝑎𝑡𝑜𝑘𝑟𝑖𝑡 (%)
BAB IV

HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Pengamatan


Berikut ini merupakan foto hasil pengukuran hematokrit dengan
skala Wintrobe dari sampel darah tikus (Rattus norvegicus).

Gambar 4.1 Hasil pengukuran hematokrit darah tikus (Rattus norvegicus) dengan
skala Wintrobe

Gambar 4.2 Hasil pengukuran Gambar 4.3 Hasil pengukuran


hemoglobin saat dibandingkan dengan haemoglobin menunjukkan skala 76%
alat ukur Sahli
4.2 Perhitungan
4.2.1 Jumlah Eritrosit
101−1
Pengenceran = = 200
0,5
∑ 𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑒𝑟𝑖𝑡𝑟𝑜𝑠𝑖𝑡 𝑥 𝑃𝑒𝑛𝑔𝑒𝑛𝑐𝑒𝑟𝑎𝑛
Jumlah Eritrosit / mm3 = 𝑉𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝑅𝑢𝑎𝑛𝑔 𝐻𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 𝑝𝑎𝑑𝑎 𝐻𝑒𝑚𝑎𝑐𝑦𝑡𝑜𝑚𝑒𝑡𝑒𝑟
∑ 𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑒𝑟𝑖𝑡𝑟𝑜𝑠𝑖𝑡 𝑥 200 925 𝑥 200
= =
5 𝑥 0.2 𝑥 0.2 𝑥 0.1 0,02

= 9,25 x 106 sel/mm3

4.2.2 Jumlah Leukosit


11−1
Pengenceran = = 10
1
∑ 𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑙𝑒𝑢𝑘𝑜𝑠𝑖𝑡 𝑥 𝑃𝑒𝑛𝑔𝑒𝑛𝑐𝑒𝑟𝑎𝑛
Jumlah Leukosit / mm3 = 𝑉𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝑅𝑢𝑎𝑛𝑔 𝐻𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 𝑝𝑎𝑑𝑎 𝐻𝑒𝑚𝑎𝑐𝑦𝑡𝑜𝑚𝑒𝑡𝑒𝑟
∑ 𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑙𝑒𝑢𝑘𝑜𝑠𝑖𝑡 𝑥 10 8,9 𝑥 10
= =
4 𝑥 1 𝑥 0.1 0,4

= 2225 sel/mm3

4.2.3 Mean Corpuscular Volume (MCV)


ℎ𝑒𝑚𝑎𝑡𝑜𝑘𝑟𝑖𝑡 (%)𝑥 10 30 𝑥 10
𝑀𝐶𝑉 = 𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑒𝑟𝑖𝑡𝑟𝑜𝑠𝑖𝑡 (𝑗𝑢𝑡𝑎/𝑚𝑚3) = = 32,432 fL/sel
9,25

4.2.4 Mean Corpuscular Hemoglobin (MCH)


𝑔
𝑘𝑜𝑛𝑠𝑒𝑛𝑡𝑟𝑎𝑠𝑖 ℎ𝑒𝑚𝑜𝑔𝑙𝑜𝑏𝑖𝑛 ( ) 𝑥 10 76 𝑥 10
𝑑𝐿
𝑀𝐶𝐻 = 𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑒𝑟𝑖𝑡𝑟𝑜𝑠𝑖𝑡 (𝐽𝑢𝑡𝑎/𝑚𝑚3)
= = 82,16 pg/sel
9,25

4.2.5 Mean Corpuscular Hemoglobin Concentration (MCHC)


𝑔
𝑘𝑜𝑛𝑠𝑒𝑛𝑡𝑟𝑎𝑠𝑖 ℎ𝑒𝑚𝑜𝑔𝑙𝑜𝑏𝑖𝑛 ( ) 𝑥 100 76 𝑥 100
𝑑𝐿
𝑀𝐶𝐻𝐶 = ℎ𝑒𝑚𝑎𝑡𝑜𝑘𝑟𝑖𝑡 (%)
= = 253,33 g/dL
30
4.3 Pembahasan
Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan, teramati bahwa
sel darah tikus terusun atas sel darah merah, sel darah putih, dan keping
darah. Sel darah/eritrosit merah berbentuk plat bikonkaf dengan
cekungan ditengahnya. Eritrosit juga tidak memilki inti sel. Pada
leukosit/sel darah putih ditemukan bahwa bentuknya bervariasi.
Strukturnya ada yang bergranula ada yang tidak, berbentuk cenderung
bulat, dan memilki nukleus. Jumlah eritrosit pada sel darah lebih
banyak daripada leukosit.
Pada saat praktikum dilakukan perhitungan komponen-
komponen darah tikus antara lain, jumlah eritrosit dari sampel darah
9,25 juta/mm3, jumah leukosit 2225 sel/mm3, dan konsentrasi
haemoglobin sebesar 76 g/dL. Setelah itu dihitung juga parameter
hemoglobin pada sampel darah. Parameter yang dihitung antara lain
Mean Corpuscular Volume (MCV) atau volume rata-rata eritrosit
sebesar 32,4 dL/sel. Mean Corpuscular Hemoglobin (MCH) atau berat
rata-rata haemoglobin dalam eritrosit sebesar 82, 16 pg/sel dan Mean
Corpuscular Haemoglobin Concentration (MCHC) atau rasio
hamoglobin terhadap hematokrit sebesar 253,33 g/dL
Berdasarkan literatur jumlah eritrosit normal pada tikus jantan
dewasa adalah 7-10 juta/mm3, jumlah leukosit normal 2000-
10000sel/mm3 . Presentase haemoglobin dan hematokrit normal sebesar
10-17 g/dL dan antara 40,1-50,1%. Selanjutnya nilai MCV, MCH, dan
MCHC berturut-turut adalah sebesar 43-44,2 fl/sel, 14,3-14,45 pg/sel,
dan 32,8-33,4 g/dL (Branco et al., 2011). Apabila dibandingkan dengan
literatur jumlah eritrosit dan leukosit berada pada ambang batas normal.
Sedangkan jumlah hemoglobin melebihi batas normal dan jumlah
hematokrit yang didapat lebih kecil dari batas normal.
Faktor yang dapat mempengaruhi keakuratan pengukuran
hematologi pada praktikum kali ini dapat datang dari mecit itu sendiri
seperti adanya faktor nutisi, jenis kelamin, penyakit, dan yang lainnya.
Dapat juga datang dari ketidakakuratan alat dan kelalaian praktikan.
Pada pengukuran hematologi saat praktikan digunakan berbagai
alat yang berbeda dengan tingkat ketelitian yang berbeda pula. Pada
pengamatan eritrosit dan leukosit digunakan pipet khusus yang disedot.
Ketika penyedotan darah dan larutan hayem mapuun turk dapat terjadi
kesalahan jumlah larutan yang diambil oleh praktikan. Jumlah yang
tidak sesuai mungkin akan mempengaruhi keakuratan perhitungan.
Alternatif alat yang dapat digunakan a mikropipet yang memiliki skala
akurat. Selanjutnya pada perhitungan konsentrasi hemoglobin,
digunakan alat ukur Sahli dengan cara menyamakan warna larutan
dengan warna larutan yang ada pada tabung di sisi kanan dan kiri
tabung sampel. Metode ini terlalu subjektif karena ketika
membandingkan warna intrepetasi orang dapat bebeda. Alternatif
metode yang dapat dipakai adalah penggunaan alat yang secara
langsung menunjukkan data kuantitatif tanpa harus menggunakan
indikator yang kualitatif. Terakhir pada pengamatan hematokrit
digunakan pipa kapiler untuk menampung darah, disentrifugasi lalu
hasilnya disesuaikan dengan skala Wintrobe. Kekurangannya, apabila
darah pada pipa kapiler tidak sesuai dengan panjang skala wintrobe
maka hasil pengamatan tidak akan akurat.
BAB V
KESIMPULAN

1. Komponen yang terdapat pada darah tikus (Rattus norvegicus) yaitu sel
darah merah (eritrosit), sel darah putih (leukosit), dan platelet (trombosit).

2. Nilai parameter hematologi dari sampel darah tikus (Rattus norvegicus)


antara lain eritrosit berjumlah 9,25 juta sel/mm3, leukosit berjumlah 2225
sel/mm3, haemoglobin sebesar 76 g/dL, hematokrit sebesar 30%, MCV
sebesar 32,4 fL/sel, MCH sebesar 82,16 pg/sel, dan MCHC sebesar 253,33
g/dL.
Daftar Pustaka

Nugraha, Gilang. 2017. Panduan Pemeriksaan Laboratorium Hematologi Dasar ;


Edisi 2. Jakarta ; Penerbit TIM

Lee, James C.M., et al. 2004. Mechanism of protein sorting during erythroblast
enucleation: role of cytoskeletal connectivity . Blood, Vol.13 : 5.USA

Sjöstrand, T. 1949. The total quantity of hemoglobin in man and its relation to age,
sex, bodyweight and height. Acta Physiologica Scandinavica, 18(4), 324-336.

Fox, J., Barthold, S. 2007. The Muse in Biological Reserach. London: Elsener Edu
Press
Harveb, I. 2012. Veterinarian Hematology. Florida: Elsevier education
Epstein, F. H.; Hsia, C. C. W. 1998. Respiratory Function of Hemoglobin. New
England Journal of Medicine. 338 (4): 239–47.
Branco, A. C. S. C., Diniz, M. F. F. M., Almeida, R. N., Santos, H. B., Oliveira, K.
M., Ramalho, J. A. & Dantas, J. G. 2011. “Parâmetros bioquímicos e
hematológicos de Ratos Wistare Camundongos Swiss do Biotério Professor
Thomas George”. Rev Bras Cienc Saúde. 15(2):209-14.

Anda mungkin juga menyukai