PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kanker serviks adalah keganasan yang mengenai leher rahim yang
merupakan bagian bawah rahim yang menonjol ke puncak liang senggama
(vagina) (Kemenkes, 2015). Kanker serviks adalah kanker primer dari serviks
yang berasal dari metaplasia epitel di daerah sambungan skuamo kolumnar
(SSK) yaitu daerah peralihan mukosa vagina dan mukosa kanalis servikalis.
Penyebabnya adalah virus yang menyerang leher rahim atau sebutan bahasa
Latin Human Pappilloma Virus (HPV). Infeksi HPV yang sering menyerang
kaum perempuan umumnya berusia di atas 40 tahun, meski tidak menutup
kemungkinan usia di bawah 40 tahun dapat juga terserang dan kadang tidak
disadari oleh kaum perempuan (Yayasan Kanker Indonesia, 2014). Kanker
leher rahim (Ca Cervix) merupakan penyakit kanker kedua terbanyak yang
dialami oleh wanita di seluruh dunia. Kanker seviks biasanya menyerang
wanita berusia 35-55 tahun (WHO, 2016).
IARC (International Agency For Research On Cancer) pada tahun 2012
menyebutkan prevalensi kejadian kanker leher rahim / serviks sebesar 26 per
100.000 wanita. Angka prevalensi kejadian untuk kanker serviks tahun 2012
ada 528.000 kasus dengan angka kematian 266.000 kasus. Kanker ginekologi
yang sering terjadi pada wanita di Indonesia sebanyak 20.928 jiwa dengan
mortalitas 10,3% ialah kanker serviks (Cancer Country Profiles Indonesia,
2014). Data peserta Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan
Nasional tahun 2016, jumlah kasus kanker serviks di pelayanan Rawat Jalan
Tingkat Lanjutan (RJTL) mencapai 12.820 kasus sedangkan di Rawat Inap
Tingkat Lanjutan (RITL) tercatat ada 6.938 kasus.
Data yang di dapat di RSUP M. Djamil padang, tahun 2010 merupakan
angka kejadian kanker serviks tertinggi selama 3 tahun terakhir, yang
menunjukkan angka kejadian kanker serviks sebanyak 231 kasus (rawat jalan),
58 kasus (rawat inap), jumlah keseluruhan kejadian kanker serviks tahun 2010
adalah 289 kasus, dan dari kasus tersebut 61 orang meninggal dunia.
Berdasarkan data tahun 2011 angka kejadian kanker serviks sebanyak 206
kasus (rawat jalan), 58 kasus (rawat inap), jumlah keseluruhan kejadian
kanker serviks tahun 2011 adalah 264 kasus, dan dari kasus tersebut 5 orang
meninggal dunia. Berdasarkan tahun 2012 angka kejadian kanker serviks
menurun menjadi 43 kasus (rawat jalan), 42 kasus (rawat inap), jumlah
keseluruhan kejadian kanker serviks adalah 85 kasus, dan dari kasus tersebut
11 orang meninggal dunia.
Kanker serviks di Indonesia menjadi masalah besar dalam pelayanan
kesehatan karena kebanyakan pasien datang pada stadium lanjut. keluhan yang
sering timbul seperti perdarahan dan nyeri di area sekitar rahim. Pasien
menyatakan tidak mengetahui cara mengatasi permasalahan nyeri. Nyeri yang
dirasakan oleh individu dapat disebabkan oleh beberapa kondisi seperti proses
pembedahan, atau trauma yang dapat mengakibatkan nyeri akut, atau nyeri
kronis. Nyeri akut yang disebabkan oleh proses pembedahan merupakan efek
yang tidak dapat dihindari. Nyeri post operasi termasuk nyeri akut,
didefinisikan sebagai nyeri dengan durasi kurang dari 6 bulan, nyeri tersebut
biasanya berasal dari cedera atau pasca operasi yang berfungsi sebagai alarm
karena terjadi kerusakan jaringan. Nyeri dapat menimbulkan kinesiopobi,
ketegangan otot dan hilangnya perasaan nyaman untuk melakukan gerakkan
yang bila hal ini dibiarkan berlanjut akan berdampak pada aktivitas berkurang
(Fitriani, 2019). Oleh karena itu diharapkan perawat memiliki keterampilan
dan pengetahuan yang cukup dalam memberikan asuhan keperawatan pada
pasien dengan kanker serviks.
Proses penerapan asuhan keperawatan yang tepat memegang kendali
peranan yang sangat penting dalam proses penyembuhan dan pencegahan.
Perawat menyiapkan serta memposisikan pasien untuk tindakan dan
memberikan dukungan sepanjang proses asuhan keperawatan yang dilakukan.
Asuhan keperawatan yang diberikan dengan memperhatikan kebutuhan dasar
pasien kanker serviks melalui pemberian pelayanan kesehatan dengan
menggunakan proses keperawatan serta memberikan berbagai informasi untuk
menambah tingkat pengetahuan pasien terhadap kanker serviks. Sehingga
diharapkan terjadi perubahan perilaku pasien setelah mendapatkan pendidikan
(Ismail, 2012).
Penatalaksaan yang dapat diberikan pada pasien dengan kanker serviks ini
baik secara farmakologi maupun nonfarmakologi. Secara farmakologi dapat
diberikan pengobatan melalui obat-obatan untuk mengurangi nyeri yang
dirasakan pasien, sedangkan secara nonfarmakologi intervensi keperawatan
yang dapat diberikan pada klien dengan nyeri adalah terapi individu seperti
terapi hipnotis, terapi tarik nafas dalam, Progressive Muscle Relaxation
(PMR) dan terapi dengan menggunakan bahan – bahan herbal (Stuart, 2009).
Salah satu intervensi yang di berikan untuk mengatasi nyeri berupa terapi
Progressive Muscle Relaxation (PMR) merupakan bentuk terapi keperawatan
spesialis yang dapat diberikan pada klien kanker serviks untuk mengurangi
nyeri, ansietas, harga diri rendah, ketidakberdayaan, keputusasaan dan isolasi
sosial. Menurut Praptini, dkk (2015) bahwa secara fisiologis, latihan relaksasi
akan membalikkan efek stres yang melibatkan bagian parasimpatetik dari
sistem saraf pusat. Relaksasi akan menghambat peningkatan saraf simpatetik,
sehingga hormone penyebab disregulasi tubuh dapat dikurangi jumlahnya.
Sistem saraf parasimpatetik, yang memiliki fungsi kerja yang berlawanan
dengan saraf simpatetik, akan memperlambat atau memperlemah kerja alat-
alat internal tubuh. Akibatnya, terjadi penurunan detak jantung, irama nafas,
tekanan darah, ketegangan otot, tingkat metabolisme, dan produksi hormon
penyebab stres. Seiring dengan penurunan tingkat hormone penyebab stres,
maka seluruh badan mulai berfungsi pada tingkat lebih sehat dengan lebih
banyak energi untuk penyembuhan (healing), penguatan (restoring), dan
peremajaan (rejuvenation).
Saat ini angka kejadian kanker serviks di RS semakin meningkat. Selama
pemantauan 3 hari mahasiswa dinas di Ruang Rawat Inap Kebidanan bagian
Ginekologi RSUP dr. M. Djamil Padang di dapatkan pasien yang menderita
penyakit kanker serviks sebanyak 4 orang. Berdasarkan data ini rata-rata
pasien mengatakan nyeri, cemas dan takut akan pengobatan yang di berikan.
Penulis telah melakukan pengkajian dan observasi pada salah satu pasien di
dapatkan data pasien mengeluh nyeri pada daerah luka operasi. pasien
mengeluh cemas akan pengobatan yang di berikan, pasien juga mengatakan
takut terhadap penyembuhan luka yang lama. Dilihat dari hasil observasi klien
mengatakan belum ada perawat yang memberikan latihan seperti PMR untuk
menghilangkan nyeri dan cemas pada pasien. Pasien mengatakan perawat
hanya memberikan dukungan melalui ucapan.
Berdasarkan uraian diatas, maka penulis tertarik untuk mengambil kasus
dan menyusun “Asuhan Keperawatan Pada Ny. E dengan kanker serviks di
ruang Rawat Inap Kebidanan kelas 3 bagian Ginekoli RSUP DR. M. Djamil
Padang” dan menerapkan evidence based nursing berupa terapi Progressive
Muscle Relaxation pada pasien penderita kanker serviks.
B. Tujuan
1. Tujuan umum
Diharapkan perawat mengetahui penerapan asuhan keperawatan pada
klien dengan kanker serviks berdasarkan data dan keluhan- keluhan yang
di dapat dari pasien di Ruang Kebidanan bagian Ginekologi RSUP DR.
M. Djamil Padang.
2. Tujuan khusus
a. Dapat mengetahui konsep dasar tentang kanker serviks.
b. Melakukan pengkajian pada Ny E dengan kanker serviks di Ruang
Kebidanan bagian Ginekologi RSUP DR. M. Djamil Padang.
c. Merumuskan dan menegakkan diagnosa keperawatan pada Ny E
dengan kanker serviks di Ruang Kebidanan bagian Ginekologi RSUP
DR. M. Djamil Padang.
d. Menyusun intervensi keperawatan pada Ny E dengan kanker serviks
di Ruang Kebidanan bagian Ginekologi RSUP DR. M. Djamil Pa-
dang.
e. Melakukan implementasi keperawatan pada Ny E dengan kanker
serviks di Ruang Kebidanan bagian Ginekologi RSUP DR. M. Djamil
Padang.
f. Melakukan evaluasi pada Ny E dengan kanker serviks di Ruang Ke-
bidanan bagian Ginekologi RSUP DR. M. Djamil Padang.
g. Mendokumentasikan proses keperawatan yang di berikan pada Ny E
dengan kanker serviks di Ruang Kebidanan bagian Ginekologi RSUP
DR. M. Djamil Padang.
C. Manfaat
1. Manfaat keilmuan
Hasil studi ini dapat memberikan wawasan tentang kanker serviks dengan
menggunakan asuhan keperawatan maternitas.
2. Bagi Institusi Akademik
Sebagai bahan bacaan di perpustakaan dan bahan acuan serta
pertimbangan pada keperawatan khususnya kasus keperawatan maternitas
dengan kanker serviks
3. Bagi peneliti selanjutnya
Untuk mengetahui lebih luas dan dalam tentang tata cara penanganan
pada pasien yang mengalami kanker serviks.
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
A. Ca Cervixs
1. Pengertian
Kanker serviks adalah penyakit kanker yang terjadi pada daerah
leher rahim, yaitu daerah pada organ reproduksi wanita yang merupakan
pintu masuk ke arah rahim, letaknya antara rahim (uterus) dengan liang
senggama wanita (vagina) (Wijaya, 2010).
Kanker serviks stadium 4 adalah salah satu fase tertinggi dari
kategori kanker serviks. Kondisi kanker seviks ini sudah masuk dalam
tahap stadium lanjut. Kanker pada kondisi ini sudah menyebar ke berbagai
organ lain dalam tubuh bahkan diluar bagian leher rahim. Kondisi kanker
yang sudah menyebar ke bagian kandung kemih hingga rektum masuk
dalam stadium 4A. Jika kanker telah masuk ke organ lain seperti paru-paru
maka akan masuk dalam stadium 4B (KNPK, 2015).
Kanker leher rahim biasanya menyerang wanita berusia 35-55 tahun.
Sebanyak 90% dari kanker leher rahim berasal dari sel skuamosa yang
melapisi serviks dan 10% sisanya berasal dari sel kelenjar penghasil lendir
pada saluran servikal yang menuju ke rahim.
2. Epidemiologi
Kanker serviks menduduki urutan tertinggi di negara berkembang,
dan urutan ke 10 di negara maju atau urutan ke-5 secara global. Di
Indonesia ia menduduki urutan kedua dari 10 kanker terbanyak berdasar
data dari Patologi Anatomi tahun 2010 dengan insidens sebesar 20%.
Menurut perkiraan Departemen Kesehatan RI saat ini, jumlah wanita
penderita baru kanker serviks berkisar 90-100 kasus per 100.000 penduduk
dan setiap tahun terjadi 40 ribu kasus kanker serviks (KNPK, 2015).
Penyebab utama tingginya angka kejadian kanker serviks di negara
berkembang karena tidak adanya program skrining (deteksi dini) yang
efektif bagi wanita dengan sosial ekonomi rendah. Di Indonesia hambatan
test skrining cukup besar, terutama karena belum menjadi program wajib
pelayanan kesehatan (Emilia, 2010).
Penyebab primer kanker leher rahim adalah infeksi kronik leher
rahim oleh satu atau lebih virus HPV (Human Papiloma Virus) tipe
onkogenik yang berisiko tinggi menyebabkan kanker leher rahim,
ditularkan melalui hubungan seksual (sexually transmitted disease).
Menurut Depkes RI (2010), Wanita biasanya terinfeksi virus ini saat usia
belasan tahun sampai tiga puluhan, walaupun kankernya sendiri baru akan
muncul 10-20 tahun sesudahnya. Sebelum terjadinya kanker didahului
oleh perubahan keadaan yang disebut lesi prakanker atau neoplasia
intraepitel serviks (NIS) (Sulistiowati & Sirait, 2014).
Setiap hari di Indonesia ada 40 orang wanita terdiagnosa dan 20
wanita meninggal karena kanker serviks. Karena kanker serviks
merupakan penyakit yang telah diketahui penyebabnya dan telah diketahui
perjalanan penyakitnya. Ditambah juga sudah ada metode deteksi dini
kanker serviks dan adanya pencegahan dengan vaksinasi, seharusnya
angka kejadian dan kematian akibat kanker serviks dapat diturun.
Banyaknya kasus kanker serviks di Indonesia disebabkan pengetahuan
tentang kanker serviks yang kurang sehingga kesadaran masyarakat untuk
deteksi dini pun masih rendah.
3. Etiologi
Penyebab kanker serviks belum diketahui, tetapi penelitian akhir
mengatakan bahwa virus HPV (Human PapillomaVirus) menyebabkan
faktor resiko seorang wanita untuk terkena kanker serviks meningkat
tajam. Sekitar 90-99 persen jenis kanker serviks disebabkan oleh human
papilloma virus (HPV). Virus ini bisa di transfer melalui hubungan seksual
dan bisa hadir dalam berbagai variasi. Gejalanya tidak terlalu kelihatan
pada stadium dini, menurut hasil studi National Institute of Allergy and In-
fectious Diseases, pada tahap pra kanker atau displasia sampai stadium I,
praktis tidak ada keluhan yang dirasakan. Baru menginjak stadium 1A-3B
terdapat keluhan. Namun beberapa gejala bisa diamati meski tidak selalu
memberi petunjuk infeksi HPV, keputihan atau mengeluarkan sedikit
darah setelah melakukan hubungan intim (Diananda, 2009).
Adanya cairan kekuningan yang berbau di area genital juga bisa
menjadi petunjuk infeksi HPV (Human Papillo Virus). Virus ini dapat
menular dari seorang penderita kepada orang lain dan menginfeksi orang
tersebut. Penularan dapat terjadi karena kontak langsung dan karena hub-
ungan seks. Jika ditemukan keputihan kemungkinan kanker serviks perlu
diwaspadai walaupun gejala tersebut bukanlah gejala khas dari kanker
serviks dan pada keadaan lanjut dapat ditemukan perdarahan pasca
senggama, jika lebih berat lagi dapat terjadi perdarahan yang tidak teratur
(methorhagia) serta pengeluaran cairan kekuningan kadang-kadang
bercampur darah dan berbau busuk dari liang senggama. Muka penderita
nampak pucat karena terjadi perdarahan dalam waktu yang lama. Anemia
yang sering ditemukan akibat perdarahan pervagina dan akibat penyakit,
berat badan baru menurun biasanya pada stadium klinik III.
Rasa nyeri di daerah bagian pinggul atau di ulu hati dapat disebab-
kan oleh tumor yang terinfeksi atau radang panggul. Rasa nyeri di daerah
pinggang dan punggung dapat terjadi karena terbendungnya saluran kemih
sehingga ginjal jadi membengkak (hidronefrosis) atau karena penyebaran
tumor kelenjar getah bening di sepanjang tulang belakang. Juga pada sta-
dium lanjut dapat timbul rasa nyeri di daerah panggul, disebabkan penyeb-
aran tumor ke kelenjar getah bening dinding panggul. Timbulnya perdara-
han dari saluran kemih dan perdarahan dari dubur dapat disebabkan oleh
penyebaran tumor ke kandung kemih dan ke rectum. Semakin lanjut dan
bertambah parahnya penyakit, penderita kanker serviks akan menjadi ku-
rus, anemia, malaise, nafsu makan hilang (anoreksia), gejala uremia, syok
dan dapat sampai meninggal dunia (Rasyidi, 2007 dalam Pandiangan,
2014)
4. Faktor Resiko Kanker Serviks
Beberapa hal yang dapat meningkatkan risiko seorang perempuan terkena
kanker serviks sebagaimana pembahasan dibawah ini :
a. Hubungan seksual pertama usia muda
Hubungan seks pada usia muda atau pernikahan pada usia muda meru-
pakan faktor risiko utama. Semakin muda seorang perempuan
melakukan hubungan seks, semakin besar risiko terkena kanker
serviks. Berdasarkan penelitian para ahli, perempuan yang melakukan
hubungan seks pada usia kurang dari 17 tahun mempunyai risiko 3 kali
lebih besar daripada yang menikah pada usia lebih dari 20 tahun (Gant,
2010).
b. Usia
Perempuan yang rawan mengidap kanker serviks adalah mereka yang
berusia antara 35-50 tahun, terutama anda yang telah aktif secara
seksual sebelum usia 16 tahun. Hubungan seksual pada usia terlalu dini
bisa meningkatkan risiko terserang kanker leher rahim sebesar 2 kali
dibandingkan perempuan yang melakukan hubungan seksual setelah
usia 20 tahun (Arisusilo, 2012)
c. Merokok
Merokok dapat menurunkan daya tahan tubuh. Ada banyak penelitian
yang menyatakan hubungan antara kebiasaan merokok dengan
meningkatnya risiko seseorang terjangkit penyakit kanker serviks.
Salah satunya adalah penelitian yang dilakukan di Karolinska Institute
di Swedia dan dipublikasikan di British Journal of Cancer pada tahun
2001. Menurut Joakam Dillner, M.D., peneliti yang memimpin riset
tersebut, zat nikotin serta “racun” lain yang masuk ke dalam darah
melalui asap rokok mampu meningkatkan kemungkinan terjadinya
kondisi cervical neoplasia atau tumbuhnya sel-sel abnormal pada
rahim. Dimana Cervical neoplasia adalah kondisi awal berkembangnya
kanker serviks di dalam tubuh seseorang (Arisusilo, 2012).
d. Trauma kronis pada serviks
Hal ini berhubungan dengan status perkawinan seorang wanita. Kanker
serviks jarang dijumpai pada perawan, insiden lebih tinggi pada mere-
ka yang kawin daripada yang tidak kawin. Insiden meningkat dengan
tingginya paritas, jarak persalinan yang terlampau dekat. Diperkirakan
risiko 3-5 kali lebih besar pada wanita yang sering partus untuk terjadi
kanker serviks. Robekan pada bagian leher rahim yang tipis kemung-
kinan dapat menyebabkan timbulnya suatu peradangan dan selanjutnya
berubah menjadi kanker.
e. Paritas
Paritas merupakan keadaan dimana seorang wanita pernah melahirkan.
Paritas yang berbahaya adalah dengan memiliki jumlah anak lebih dari
2 orang atau jarak persalinan terlampau dekat. Sebab dapat men-
imbulkan perubahan sel-sel abnormal pada mulut rahim dan dapat
berkembang menjadi keganasan (Bertiani, 2009).
f. Kontrasepsi
Penggunaan kontrasepsi oral menunjukkan peningkatan risiko walau-
pun diketahui bahwa manfaat penggunaan kontrasepsi oral lebih mem-
berikan banyak manfaat daripada kemungkinan risikonya. Lama
penggunaan kontrasepsi hormonal akan meningkatkan risiko terjadinya
kanker serviks, dan penggunaan 10 tahun meningkatkan risiko sampai
dua kali (Laila, 2008).
g. Tingkat sosial ekonomi rendah
Kemiskinan merupakan salah satu faktor resiko terjadinya kanker
serviks, karena pada wanita dengan tingkat pendapatan yang rendah
akan mengalami kesulitan untuk melaksanakan pelayanan kesehatan
yang adekuat termasuk didalamnya melakukan Pap Smear. Hal ini
menyebabkan wanita-wanita dari golongan ini tidak terscreening dan
tentunya tidak dapat dideteksi dini maupun mendapatkan terapi dini
apabila terserang kanker serviks (ACA, 2011).
h. Jumlah Perkawinan - sering berganti-ganti pasangan (multipatner sex)
Semakin banyak berganti-ganti pasangan maka tertularnya infeksi
HPV juga semakin tinggi. Hal ini disebabkan terpaparnya sel-sel mulut
rahim yang mempunyai pH tertentu dengan sperma-sperma yang
mempunyai pH yang berbeda-beda pada multipatner, sehingga dapat
merangsang terjadinya perubahan kearah displasia. (ACA, 2011).
5. Manifestasi Klinis
Gejala awal kondisi pra kanker umumnya ditandai dengan ditemukannya
sel-sel abnormal. Sering kali pula kanker serviks tidak menimbulkan
gejala. Namun bila sel-sel abnormal ini berkembang menjadi kanker
serviks barulah muncul gejala-gejala kanker serviks sebagai berikut :
a. Munculnya rasa sakit dan perdarahan saat berhubungan seksual
(contact bleeding)
b. Perdarahan vagina yang tidak normal, seperti perdarahan di luar silkus
menstruasi, perdarahan di antara periode menstruasi yang regular,
periode menstruasi yang lebih lama dan lebih banyak dari biasanya,
dan perdarahan setelah menopause.
c. Keputihan yang berlebihan dan tidak normal.
d. Penurunan berat badan secara drastis
e. Apabila kanker sudah menyebar ke panggul, maka pasien akan
menderita keluhan nyeri panggul, hambatan dalam berkemih, serta
pembesaran ginjal (Wijaya, 2010).
f. Kecemasan akan penyakit yang dialaminya.
Stadium II, kanker berada dibagian dekat serviks tapi bukan diluar
panggul.
- Stadium IIa : kanker meluas sampai ke atas vagina, tapi belum me-
nyebar ke jaringan yang lebih dalam dari vagina.
- Stadium IIb : kanker telah menyebar ke jaringan sekitar vagina dan
serviks, namun belum sampai ke dinding panggul.
8. Pemeriksaan Diagnostik
Kanker serviks sering terjadi pada usia diatas 40 tahun, displasia pal-
ing banyak terjadi pada perempuan usia sekitar 35 tahun. Oleh karena itu,
pada tempat dengan sumber daya terbatas, deteksi dini semestinya
difokuskan pada perempuan usia 30-40 tahun (Emilia, 2010). Dianjurkan
sekali setahun secara teratur seumur hidup. Bila pemeriksaan tahunan 3x
berturut-turut hasilnya normal, pemeriksaan selanjutnya dapat dilakukan
setiap 3 tahun (Widyastuti, 2009).
Bila hasil pemeriksaan pap smear ditemukan adanya sel-sel epithel
serviks yang bentuknya abnormal (displasia), harus dilakukan pemeriksaan
lebih lanjut. Pada wanita dengan risiko tinggi, pemeriksaan harus dil-
akukan sekali setahun atau sesuai petunjuk dokter ( Widyastuti, 2009).
Ada beberapa metode untuk deteksi dini terhadap infeksi HPV (Hu-
man Pappiloma Virus) dan kanker serviks seperti berikut :
1. IVA (Inspeksi Visual dengan Asam asetat)
Metode pemeriksaan dengan mengoles serviks atau leher rahim dengan
asam asetat, kemudian diamati apakah ada kelainan seperti area
berwarna putih. Jika tidak ada perubahan warna, maka dapat dianggap
tidak ada infeksi pada serviks.
2. Pemeriksaan pap smear
Pap smear adalah suatu metode dimana dilakukan pengambilan sel dari
mulut rahim kemudian diperiksa dibawah mikroskop. Metode test Pap
smear yang umum yaitu dokter menggunakan pengerik atau sikat un-
tuk mengambil sedikit sampel sel-sel serviks atau leher rahim.
Kemudian sel-sel tersebut akan di analisa di laboratorium. Tes itu
dapat menyingkap apakah ada infeksi, radang atau sel-sel abnormal.
Menurut laporan sedunia, dengan secara teratur melaukan test Pap
smear telah mengurangi jumlah kematian akibat kanker serviks. Setiap
wanita yang telah berumur 18 tahun atau wanita yang telah aktif secara
seksual selayaknya mulai memeriksakan pap smear.Pemeriksaan ini
sebaiknya dilakukan setiap tahun walaupun tidak ada gejala kanker.
Pemeriksaan dilakukan lebih dari setahun jika sudah mencapai usia 65
tahun atau tiga pemeriksaan sebelumnya menunjukkkan hasil normal
(Bustan, 2008).
3. Biopsi
Biopsi dilakukan jika pada pemeriksaan panggul tampak suatu
pertumbuhan atau luka pada serviks, atau jika hasil pemeriksaan pap
smear menunjukkan suatu abnormalitas atau kanker. Biopsi ini
dilakukan untuk melengkapi hasil pap smear. Teknik yang biasa
dilakukan adalah punch biopsy yang tidak memerlukan anestesi dan
teknik cone biopsy yang menggunakan anestesi. Biopsi dilakukan
untuk mengetahui kelainan yang ada pada serviks. Jaringan yang
diambil dari daerah bawah kanal servikal. Hasil biopsi akan
memperjelas apakah yang terjadi itu kanker invasif atau hanya tumor
saja.
4. Kolposkopi (pemeriksaan serviks dengan lensa pembesar)
Jika semua hasil test pada metode sebelumnya menunjukkan adanya
infeksi atau kejanggalan, prosedur kolposkopiakan dilakukan dengan
menggunakan alat yang dilengkapi lensa pembesar untuk mengamati
bagian yang terinfeksi. Tujuannya untuk menentukan apakah ada lesi
atau jaringan yang tidak normal pada serviks atau leher rahim. Jika ada
yang tidak normal, biopsy (pengambilan sejumlah kecil jaringan dari
tubuh) dapat dilakukan. Kolposkopi dapat berperan sebagai alat deteksi
awal, namun ketersediaan alat ini tidak mudah, karena mahal maka alat
ini lebih sering digunakan sebagai prosedur pemeriksaan lanjut dari
hasil test Pap abnormal.
5. Tes Schiller
Pada pemeriksaan ini serviks diolesi dengan larutan yodium. Pada
serviks normal akan membentuk bayangan yang terjadi pada sel epitel
serviks karena adanya glikogen. Sedangkan pada sel epitel serviks
yang mengandung kanker akan menunjukkan warna yang tidak
berubah karena tidak ada glikogen.
6. Radiologi
a) Pelvik limphangiografi, yang dapat menunjukkan adanya gangguan
pada saluran pelvik atau peroartik limfe
b) Pemeriksaan intravena urografi, yang dilakukan pada kanker
serviks tahap lanjut, yang dapat menunjukkan adanya obstruksi
pada ureter terminal. Pemeriksaan radiologi direkomendasikan
untuk mengevaluasi kandung kemih dan rektum yang meliputi
sitoskopi, pielogram intravena (IVP), enema barium, dan
sigmoidoskopi. Magnetic Resonance Imaging (MRI) atau scan CT
abdomen / pelvis digunakan untuk menilai penyebaran lokal dari
tumor dan / atau terkenanya nodus limpa regional.
9. Pencegahan
Untuk mengurangi morbiditas dan mortalitaskanker serviks perlu
upaya- upaya pencegahan. Pencegahan terdiri dari beberapa tahap yaitu:
a. Pencegahan primer
Pencegahan primer adalah pencegahan awal kanker yang utama. Hal
ini untuk menghindarai faktor risiko yang dapat dikontrol. Cara-cara
pencegahan primer adalah sebagai berikut (Dalimartha, 2004 ) :
1) Tundalah berhubungan seksual sampai batas usia di atas remaja
2) Hubungan seks idealnya dilakukan setelah seorang perempuan
benar-benar matang. Ukuran kematangan bukan hanya dilihat dari
ia sudah menstruasi atau belum, tetapi juga tergantung pada kema-
tangan sel-sel mukosa yang terdapat di selaput kulit bagian dalam
rongga tubuh. Umumnya sel-sel mukosa baru matang setelah per-
empuan berusia 20 tahun ke atas. Terutama untuk perempuan yang
masih di bawah 16 tahun memiliki risiko yang sangat tinggi terke-
na kanker serviks bila telah melakukan hubungan seks.
3) Batasi jumlah pasangan
4) Risiko terkena kanker serviks lebih tinggi pada perempuan yang
berganti-ganti pasangan seks daripada dengan yang tidak. Hal ini
terkait dengan kemungkinan tertularnya penyakit kelamin, salah
satunya Human Papiloma Virus (HPV).
5) Melakukan vaksinasi HPV
6) Vaksinasi dapat dilakukan sebelum remaja. Bisa diberikan pada
wanita usia 12-14 tahun, melalui suntikan sebanyak tiga kali ber-
turut-turut tiap 2 bulan sekali dan dilakukan pengulangan satu kali
lagi pada sepuluh tahun kemudian. Hal ini dilakukan agar
terhindardari kanker yang mematikan ini. Untuk itu telah dikem-
bangkan vaksin HPV yang dapat memberikan manfaat yang besar
dalam pencegahan penyakit ini.
7) Hindarilah rokok
8) Zat yang terkandung dalam nikotin yang ada pada rokok akan
mempermudah selaput sel lendir tubuh bereaksi. Sedangkan isi
daerah serviksadalah lendir. Dengan begitu risiko untuk berkem-
bangnya sel yang abnormal akan semakin mudah. Wanita perokok
berisiko 2 kali lebih besar terkena kanker serviks dibandingkan
dengan wanita yang bukan perokok.
9) Makanlah makanan yang mengandung vitamin C, Beta Karoten
dan Asam Folat Vitamin C, beta karoten dan asam folat dapat
memperbaiki atau memperkuat mukosa serviks. Kekurangan vita-
min C, beta karoten dan asam folat bisa menyebabkan timbulnya
kanker serviks.
10) Penggunaan kondom
11) Para ahli sebenarnya sudah lama meyakininya, tetapi kini mereka
punya bukti pendukung bahwa kondom benar-benar mengurangi
risiko penularan virus penyebab kutil kelamin (genital warts) dan
banyak kasus kanker leher rahim. Hasil pengkajian atas 82 orang
yang dipublikasikan di New England Journal of Medicine memper-
lihatkan bahwa wanita yang mengaku pasangannya selalu
menggunakan kondom saatberhubungan seksual kemungkinannya
70 persen lebih kecil untuk terkena infeksi human papilloma-
virus(HPV) dibanding wanita yang pasangannya sangat jarang (tak
sampai 5 persen dari seluruh jumlah hubungan seks) menggunakan
kondom. Hasil penelitian memperlihatkan efektivitas penggunaan
kondom di Indonesia masih tergolong rendah.
12) Sirkumsisi pada pria
13) Sebuah studi menunjukkan bahwa sirkumsisi pada pria berhub-
ungan dengan penurunan risiko infeksi HPV pada penis dan pada
kasus seorang pria dengan riwayat multiple sexual partners, terjadi
penurunan risiko kanker serviks pada pasangan wanita mereka
yang sekarang.
b. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder adalah upaya yang dilakukan untuk
menentukan kasus-kasus dini sehingga kemungkinan penyembuhan
dapat ditingkatkan, termasuk deteksi dini dan pengobatan. Deteksi dini
kanker serviks dapat memperoleh keuntungan yaitu, memperbaiki
prognosis pada sebagian penderita sehingga terhindar dari kematian
akibat kanker, tidak diperlukan pengobatan radikal untuk mencapai
kesembuhan, adanya perasaan tentram bagi mereka yang menunjukkan
hasil negatif dan penghematan biaya karena pengobatan yang relatif
mahal.
c. Pencegahan Tertier
Pengobatan untuk mencegah komplikasi klinik dan kematian awal
dengan cara :
1) Operasi sederhana dilakukan pada stadium awal (stadium 0 hingga
1A), dan pada stadium 1B sampai 2B dilakukan histrektomi, se-
luruh Rahim diangkat berikut sepertiga vagina.
2) Pengobatan dengan cara radiasi atau penyinaran dengan sinar x dil-
akukan pada stadium 2B keatas (stadium lanjut).
3) Pengobatan dengan cara kemoterapi karena radiasi sudah tidak
memungkinkan lagi.
10. Penatalaksanaan
1. Medis
Terapi karsinoma serviks dilakukan bila mana diagnosis telah
dipastikan secara histologik dan sesudah dikerjakan perencanaan yang
matang oleh tim yang sanggup melakukan rehabilitasi dan pengamatan
lanjutan (tim kanker / tim onkologi). Pemilihan pengobatan kanker
leher rahim tergantung pada lokasi dan ukuran tumor, stadium
penyakit, usia, keadaan umum penderita, dan rencana penderita untuk
hamil lagi. Lesi tingkat rendah biasanya tidak memerlukan pengobatan
lebih lanjut, terutama jika daerah yang abnormal seluruhnya telah
diangkat pada waktu pemeriksaan biopsi. Pengobatan pada lesi
prekanker bisa berupa kriosurgeri (pembekuan), kauterisasi
(pembakaran, juga disebut diatermi), pembedahan laser untuk
menghancurkan sel-sel yang abnormal tanpa melukai jaringan yang
sehat di sekitarnya dan LEEP (loop electrosurgical excision procedure)
atau konisasi.
a. Pembedahan
Pada karsinoma in situ (kanker yang terbatas pada lapisan
serviks paling luar), seluruh kanker sering kali dapat diangkat dengan
bantuan pisau bedah ataupun melalui LEEP (loop electrosurgical
excision procedure) atau konisasi. Dengan pengobatan tersebut,
penderita masih bisa memiliki anak. Karena kanker bisa kembali
kambuh, dianjurkan untuk menjalani pemeriksaan ulang dan Pap smear
setiap 3 bulan selama 1 tahun pertama dan selanjutnya setiap 6 bulan.
Jika penderita tidak memiliki rencana untuk hamil lagi, dianjurkan
untuk menjalani histerektomi. Pembedahan merupakan salah satu
terapi yang bersifat kuratif maupun paliatif. Kuratif adalah tindakan
yang langsung menghilangkan penyebabnya sehingga manifestasi
klinik yang ditimbulkan dapat dihilangkan. Sedangkan tindakan
paliatif adalah tindakan yang berarti memperbaiki keadaan penderita.
Histerektomi adalah suatu tindakan pembedahan yang bertujuan untuk
mengangkat uterus dan serviks (total) ataupun salah satunya (subtotal).
Biasanya dilakukan pada stadium klinik IA sampai IIA (klasifikasi
FIGO). Umur pasien sebaiknya sebelum menopause, atau bila keadaan
umum baik, dapat juga pada pasien yang berumur kurang dari 65
tahun. Pasien juga harus bebas dari penyakit umum (resiko tinggi)
seperti penyakit jantung, ginjal dan hepar.
b. Terapi penyinaran (radioterapi)
Terapi radiasi bertujuan untuk merusak sel tumor pada serviks
serta mematikan parametrial dan nodus limpa pada pelvik. Kanker
serviks stadium II B, III, IV sebaiknya diobati dengan radiasi. Metoda
radioterapi disesuaikan dengan tujuannya yaitu tujuan pengobatan
kuratif atau paliatif. Pengobatan kuratif ialah mematikan sel kanker
serta sel yang telah menjalar ke sekitarnya atau bermetastasis ke
kelenjar getah bening panggul, dengan tetap mempertahankan
sebanyak mungkin kebutuhan jaringan sehat di sekitar seperti rektum,
vesika urinaria, usus halus, ureter. Radioterapi dengan dosis kuratif
hanya akan diberikan pada stadium I sampai III B. Apabila sel kanker
sudah keluar ke rongga panggul, maka radioterapi hanya bersifat
paliatif yang diberikan secara selektif pada stadium IV A. Terapi
penyinaran efektif untuk mengobati kanker invasif yang masih terbatas
pada daerah panggul. Pada radioterapi digunakan sinar berenergi tinggi
untuk merusak sel-sel kanker dan menghentikan pertumbuhannya. Ada
dua jenis radioterapi yaitu radiasi eksternal yaitu sinar berasal dari
sebuah mesin besar dan penderita tidak perlu dirawat di rumah sakit,
penyinaran biasanya dilakukan sebanyak 5 hari/minggu selama 5-6
minggu. Keduannya adalah melalui radiasi internal yaitu zat radioaktif
terdapat di dalam sebuah kapsul dimasukkan langsung ke dalam
serviks. Kapsul ini dibiarkan selama 1-3 hari dan selama itu penderita
dirawat di rumah sakit. Pengobatan ini bisa diulang beberapa kali
selama 1-2 minggu. Efek samping dari terapi penyinaran adalah iritasi
rektum dan vagina, kerusakan kandung kemih dan rektum dan ovarium
berhenti berfungsi.
c. Kemoterapi
Kemoterapi adalah penatalaksanaan kanker dengan pemberian
obat melalui infus, tablet, atau intramuskuler. Obat kemoterapi
digunakan utamanya untuk membunuh sel kanker dan menghambat
perkembangannya. Tujuan pengobatan kemoterapi tegantung pada
jenis kanker dan fasenya saat didiag nosis. Beberapa kanker
mempunyai penyembuhan yang dapat diperkirakan atau dapat sembuh
dengan pengobatan kemoterapi. Dalam hal lain, pengobatan mungkin
hanya diberikan untuk mencegah kanker yang kambuh, ini disebut
pengobatan adjuvant. Dalam beberapa kasus, kemoterapi diberikan
untuk mengontrol penyakit dalam periode waktu yang lama walaupun
tidak mungkin sembuh. Jika kanker menyebar luas dan dalam fase
akhir, kemoterapi digunakan sebagai paliatif untuk memberikan
kualitas hidup yang lebih baik. Kemoterapi secara kombinasi telah
digunakan untuk penyakit metastase karena terapi dengan agen-agen
dosis tunggal belum memberikan keuntungan yang memuaskan.
Contoh obat yang digunakan pada kasus kanker serviks antara lain
CAP (Cyclophopamide Adrem ycin Platamin), PVB (Platamin Veble
Bleomycin) dan lain-lain.
STADIUM PENATALAKSANAAN
Biopsi kerucut
0 Histerektomi transvaginal
Biopsi kerucut
Ia
Histerektomi transvaginal
Histerektomi radikal dengan limfadenektomi panggul dan
Ib,Iia evaluasi kelenjar limfe paraaorta (bila terdapat metastasis
dilakukan radioterapi pasca pembedahan
IIb, III, IV Histerektomi transvaginal
IVa, Ivb Radioterapi
Radiasi paliatif
Kemoterapi
2. Keperawatan
Perawat sebagai bagian dari pemberi layanan kesehatan mempu-
nyai peranan penting untuk mendukung pasien dalam proses adaptasi
dan membantu pasien dan keluarganya dalam mengatai stress fisik dan
psikologis melalui intervendi keperawatan mandiri. Intervensi yang
dapat dilakukan antara lain teknik relaksasi yang dapat menimbulkan
respon relaksasi yang menjadi antithesis terhadap respon stress.
Jacobson mengemukakan teori bahwa ansietas dan stress me-
nyebabkan ketegangan otot yang pada akhirnya meningkatkan
perasaan ansietas. Ketika tubuh dalam keadaan rileks, maka hanya ter-
dapat sedikit otot yang tegang sehingga menurunkan perasaan cemas (
Ankrom, 2008).
Penelitian sebelumnya yang pernah dilakukan oleh Tobing (2012)
bahwa efektifitas latihan relaksasi progresif adalaj salh satu bentuk self
control coping skill. Hal tersebut sesuai dengan pendapat videbeck
(2009) bahwa individu yang memiliki koping adaptif berada pada
ansietas yang ringan.,sebaliknya bila individu memiliki koping
maladaptif, maka individu masuk dalam rentang ansietas berat atau
panik.
Dari penelitian yang dilaukan oleh Brem dan Kumar (2011)
menyatakan PMR adalah suatu bentuk terapi relaksasi yang dapay
diberikan pada klien kanker untuk mengurangi ansietas dan depresi.
11. Komplikasi
Komplikasi berkaitan dengan intervensi pembedahan sudah sangat
menurun yang berhubungan dengan peningkatan teknik-teknik
pembedahan tersebut. Komplikasi tersebut meliputi: fistula uretra,
disfungsi kandung kemih, emboli pulmonal, limfosit, infeksi pelvis,
obstruksi usus besar dan fistula rektovaginal. Komplikasi yang dialami
segera saat terapi radiasi adalah reaksi kulit, sistitis radiasi dan enteritis.
Komplikasi berkaitan pada kemoterapi tergantung pada kombinasi obat
yang digunakan. Masalah efek sampingyang sering terjadi adalah supresi
sumsum tulang, mual dan muntah karena penggunaan kemoterapi yang
mengandung sisplatin.
Memurut National Cancer Institute (2010) kondisi penderita kanker
serviks stadium 4 pada umumnya sudah masuk dalam kondisi yang lebih
lanjut. Tindakan pengobatan akan dilakukan dengan melihat kondisi
umum penderita, termasuk kemungkinan munculnya beberapa jenis
penyakit komplikasi. Berikut ini beberapa jenis komplikasi yang paling
sering ditemukan.
a. Gagal Ginjal
Gagal ginjal pada penderita kanker serviks stadium 4
disebabkan karena pertumbuhan kanker yang telah menekan saluran
ureter . gangguan ini akan menyebabkan ginjal tidak bisa bekerja
dengan baik. Gejala yang dapat ditemukan dengan komplikasi ini
adalah penderita akan terus merasa lelah, sakit pada bagian panggul
bawah, ada pendarahan dalam urin dan pembengkakan pada kaki atau
tangan.
b. Penggumpalan darah
Penggumpalan darah pada penderita kanker serviks stadium 4
biasanya disebabkan oleh pertumbuhan kanker yang telah menekan
bagian pembuluh darah yang berada di area panggul. Akibatnya maka
darah tidak bisa mengalir dengan lancar. Gejala komplikasi ini adalah
seperti pembengkakan pada kaki, timbul bercak merah pada kulit, dan
kulit pada area penggumpalan darah akan terasa lebih panas.
c. Pendarahan
Pendarahan yang sangat hebat bisa terjadi pada penderita
kanker serviks stadium 4. Pendarahan ini disebabkan karena
munculnya kanker yang telah menyerang organ vagina bagian dalam,
kandung kemih dan usus. Pendarahan yang terjadi pada penderita
bisa melewati vagina maupun dubur.
12. WOC
(Terlampir)
B. Nyeri
1. Definisi Nyeri
The International Association for the Study of Pain (IASP) mendefin-
isikan nyeri sebagai berikut nyeri merupakan pengalaman sensorik dan
emosional yang tidak menyenangkan akibat adanya kerusakan atau an-
caman kerusakan jaringan. Berdasarkan definisi tersebut nyeri merupakan
suatu gabungan dari komponen objektif (aspek fisiologi sensorik nyeri)
dan komponen subjektif (aspek emosional dan psikologis). Sedangkan
nyeri akut disebabkan oleh stimulasi noxious akibat trauma, proses suatu
penyakit atau akibat fungsi otot atau viseral yang terganggu. Nyeri tipe ini
berkaitan dengan stress neuroendokrin yang sebanding dengan intensit-
asnya. Nyeri akut akan disertai hiperaktifitas saraf otonom dan umumnya
mereda dan hilang sesuai dengan laju proses penyembuhan.
2. Klasifikasi Nyeri
Berdasarkan sumber nyeri, maka nyeri dibagi menjadi:
a. Nyeri somatik luar
Nyeri yang stimulusnya berasal dari kulit, jaringan subkutan dan
membran mukosa. Nyeri biasanya dirasakan seperti terbakar, jatam dan
terlokalisasi.
Klasifikasi yang dikembangkan oleh IASP didasarkan pada lima aksis yai-
tu:
a. Aksis I : regio atau lokasi anatomi nyeri
b. Aksis II : sistem organ primer di tubuh yang berhubungan dengan
timbulnya nyeri
c. Aksis III : karekteristik nyeri atau pola timbulnya nyeri (tunggal,
reguler, kontinyu) Aksis IV : awitan terjadinya nyeri
d. Aksis V : etiologi nyeri
29
lain. Serat saraf afferent A delta dan C adalah serat-serat saraf sensorik
yang mempunyai fungsi meneruskan sensorik nyeri dari perifir ke sentral
ke susunan saraf pusat. Interaksi antara zat algesik dengan reseptor nyeri
menyebabkan terbentuknya impuls nyeri.
b. Transmisi
Adalah proses perambatan impuls nyeri melalui A-delta dan C serabut
yang menyusul proses tranduksi. Oleh serat afferent A-delta dan C impuls
nyeri diteruskan ke sentral, yaitu ke medulla spinalis, ke sel neuron di
kornua dorsalis. Serat aferent A-delta dan C yang berfungsi meneruskan
impuls nyeri mempunyai perbedaan ukuran diameter. Serat A- delta
mempunyai diameter lebih besar dibanding dengan serat C. Serat A-delta
menghantarkan impuls lebih cepat (12-30 m/dtk) dibandingkan dengan se-
rat C (0.5-5 m/dtk). Sel-sel neuron di medulla spinalis kornua dorsalis
yang berfungsi dalam fisiologi nyeri ini disebut sel-sel neuron nosisepsi.
Pada nyeri akut, sebagian dari impuls nyeri tadi oleh serat aferent A-delta
dan C diteruskan langsung ke sel-sel neuron yang berada di kornua antero-
lateral dan sebagian lagi ke sel-sel neuron yang berada di kornua anterior
medulla spinalis. Aktifasi sel-sel neuron di kornua antero-lateral akan
menimbulkan peningkatan tonus sistem saraf otonum simpatis dengan
segala efek yang dapat ditimbulkannya. Sedangkan aktifasi sel-sel neuron
di kornua anterior medulla spinalis akan menimbulkan peningkatan tonus
otot skelet di daerah cedera dengan segala akibatnya.
c. Modulasi
Merupakan interaksi antara sistem analgesik endogen (endorfin, NA,
5HT) dengan input nyeri yang masuk ke kornu posterior. Impuls nyeri
yang diteruskan oleh serat-serat A-delta dan C ke sel-sel neuron nosisepsi
di kornua dorsalis medulla spinalis tidak semuanya diteruskan ke sentral
lewat traktus spinotalamikus. Didaerah ini akan terjadi interaksi antara im-
puls yang masuk dengan sistem inhibisi, baik sistem inhibisi endogen
maupun sistem inhibisi eksogen. Tergantung mana yang lebih dominan.
Bila impuls yang masuk lebih dominan, maka penderita akan merasakan
sensibel nyeri. Sedangkan bila efek sistem inhibisi yang lebih kuat, maka
30
penderita tidak akan merasakan sensibel nyeri.
d. Persepsi
Impuls yang diteruskan ke kortex sensorik akan mengalami proses
yang sangat kompleks, termasuk proses interpretasi dan persepsi yang
akhirnya menghasilkan sensibel nyeri.
PERCEPTION
MODULATI
ON
TRANSMISSI
ON
TRANSDUCTI
ON
Ada 2 saraf yang peka terhadap suatu stimulus noksius yakni serabut
saraf A yang bermielin (konduksi cepat) dan serabut saraf C yang tidak
bermielin (konduksi lambat). Serat A delta mempunyai diameter lebih besar
dibanding dengan serat C. Serat A delta menghantarkan impuls lebih cepat (12-
30 m/dtk) dibandingkan dengan serat C (0.5-5 m/dtk). Walaupun keduanya
peka terhadap rangsang noksius, namun keduanya memiliki perbedaan, baik
reseptor maupun neurotransmiter yang dilepaskan pada presinaps di kornu pos-
terior. Reseptor (nosiseptor) serabut A hanya peka terhadap stimulus mekanik
dan termal, sedangkan serabut C peka terhadap berbagai stimulus noksius,
meliputi mekanik, termal dan kimiawi. Oleh karena itu reseptor serabut C
disebut juga sebagai polymodal nociceptors. Demikian pula neurotransmiter
yang dilepaskan oleh serabut A di presinaps adalah asam glutamat, sedangkan
serabut C selain melepaskan asam glutamat juga substansi P (neurokinin) yang
merupakan polipeptida.
31
Sensitisasi Perifer. Kerusakan jaringan akibat suatu trauma selain akan
menyebabkan terlepasnya zat-zat dalam sel juga akan menginduksi terlepasnya
mediator inflamasi dari sel mast, makrofag dan limfosit. Lebih dari itu terjadi
impuls balik dari saraf aferen yang melepaskan mediator kimia yang berakibat
terjadinya vasodilatasi serta peningkatan permeabilitas kapiler sehingga terjadi
ekstravasasi protein plasma Tissue Inflammation Sympathetic. Sensitizing
SOUP
Interaksi ini akan menyebabkan terlepasnya mediator-mediator inflamasi
seperti ion kalium, hidrogen, serotonin, bradikinin, substansi P, histamin dan
produk-produk siklooksigenase dan lipoksigenase dari metabolisme asam
arakidonat yang menghasilkan prostaglandin. Mediator kimia inilah yang me-
nyebabkan sensitisasi dari kedua nosiseptor tersebut di atas. Akibat dari sensi-
tisasi ini, rangsang lemah yang normal tidak menyebabkan nyeri sekarang tera-
sa nyeri. Peristiwa ini disebut sebagai sensitisasi perifer yang ditandai dengan
meningkatnya respon terhadap stimulasi termal/suhu pada daerah jaringan
yang rusak. Dengan kata lain sensitisasi perifer diinduksi oleh adanya peru-
bahan neurohumoral pada daerah jaringan yang rusak maupun sekitarnya. Jika
kita ingin menekan fenomena sensitisasi perifer ini, maka dibutuhkan upaya
menekan efek mediator kimia tersebut. Upaya demikian merupakan dasar
penggunaan obat-obat anti inflamasi non-steroid (AINS) yang merupakan anti
enzim siklooksigenase.
Sensitisasi Sentral. Suatu stimulus noksius yang berkepanjangan sebagai aki-
bat pembedahan/inflamasi, akan mengubah respon saraf pada kornu dorsalis
medulla spinalis. Aktivitas sel kornu dorsalis akan meningkat seirama dengan
lamanya stimulus tersebut. Neuron kornu dorsalis berperan sangat penting da-
lam proses transmisi dan modulasi suatu stimulus noksius. Neuron kornu dor-
salis terdiri atas first-order neuron yang merupakan akhir dari serabut aferen
pertama dan second-order neuron sebagai neuron penerima dari
32
nuron pertama. Second-order neuron-lah yang memainkan peran modulasi
yang dapat memfasilitasi atau menghambat suatu stimulus noksius. Nosiseptif
second-order neuron di kornu dorsalis terdiri atas dua jenis, yakni pertama,
nociceptive-specific neuron (NS) yang secara eksklusif responsif terhadap
impuls dari serabut Aδ dan serabut C. Neuron kedua disebut wide-dynamic
range neuron (WDR) yang responsif terhadap baik stimulus noksius maupun
stimulus non-noksius yang menyebabkan menurunnya respon treshold serta
meningkatnya reseptive field, sehingga terjadi peningkatan signal transmisi ke
otak menyebabkan meningkatnya persepsi nyeri.
Perubahan-perubahan ini diyakini sebagai akibat terjadinya perubahan
pada kornu dorsalis menyusul suatu kerusakan jaringan/inflamasi. Perubahan
ini disebut sebagai sensitisasi sentral atau wind up. “Wind-up” ini dapat me-
nyebabkan neuron-neuron tersebut menjadi lebih sensitif terhadap stimulus lain
dan menjadi bagian dari sensitisasi sentral. Ini menunjukkan bahwa susunan
saraf pusat tidak bisa diibaratkan sebagai “hard wired” yang kaku tetapi seper-
ti plastik , artinya dapat berubah sifatnya akibat adanya kerusakan jaringan atau
inflamasi.
Penemuan ini telah memberikan banyak perubahan pada konsep nyeri.
Dewasa ini telah diketahui bahwa suatu stimulus noksius yang berkepanjangan
pada serabut C dari serabut aferen primer akan menyebabkan perubahan mor-
fologi dan biokimia pada kornu dorsalis yang sulit untuk dipulihkan. Hal ini
menjadi dasar terjadinya nyeri kronik yang sulit disembuhkan.
Perubahan-perubahan yang terjadi pada kornu dorsalis sehubungan
dengan sensitisasi sentral adalah: pertama, terjadi perluasan reseptor field size
sehingga neuron spinalis akan berespon terhadap stimulus yang normalnya tid-
ak merupakan stimulus nosiseptif. Kedua, terjadi peningkatan besaran dan
durasi respon terhadap stimulus yang lebih dari potensial ambang. Dan yang
terakhir, terjadi pengurangan ambang batas sehingga stimulus yang secara
normal tidak bersifat nosiseptif akan mentransmisikan informasi nosiseptif. Pe-
rubahan-perubahan ini penting pada keadaan nyeri akut seperti nyeri pas-
cabedah dan perkembangan terjadinya nyeri kronik. Perubahan ini bermanifes-
tasi sebagai hyperalgesia, allodynia dan meluasnya daerah nyeri di sekitar per-
33
lukaan.
Suatu jejas saraf akibat pembedahan juga akan mengakibatkan perubahan
pada kornu dorsalis. Telah dibuktikan bahwa setelah terjadi jejas saraf perifer
pada ujung terminal aferen yang bermielin, terjadi perluasan perubahan pada
daerah sekitar kornu dorsalis. Ini berarti bahwa serabut saraf yang biasanya
tidak menghantarkan nyeri ke daerah kornudorsalis yang superfisial telah ber-
fungsi sebagai relay pada transmisi nyeri.Jika secara fungsional dilakukan
hubungan antara terminal-terminal yang normalnya menghantarkan informasi
non-noxious dengan neuron-neuron yang secara normal menerima input
nosiseptif maka akan terbentuk suatu pola nyeri dan hipersensitivitas terhadap
sentuhan ringan sebagaimana yang Telah dikenal sejumlah besar tipe reseptor
yang terlibat dalam transmisi nyeri. Reseptor-reseptor ini berada di pre dan
postsinaps dari terminal serabut aferen primer. Beberapa dari reseptor ini telah
menjadi target penelitian untuk mencari alternatif pengobatan baru. Reseptor
N-methyl-D-Aspartat (NMDA) banyak mendapat perhatian khusus. Diketahui
bahwa reseptor non NMDA dapat memediasi proses fisiologis dari informasi
sensoris, namun bukti yang kuat menunjukkan peranan reseptor NMDA pada
perubahan patofisiologis seperti pada mekanisme “wind-up” dan perubahan-
perubahan lain termasuk proses fasilitasi, sensitisasi sentral dan perubahan dae-
rah reseptor perifer. Dengan demikian antargonis NMDA tentunya dapat
menekan respon ini. Ketamin, penyekat reseptor NMDA, dengan jelas dapat
mengurangi kebutuhan opiat bila diberikan sebelum operasi. Dekstrometorfan,
obat penekan batuk, dapat menjadi alternatif lain karena penelitian menunjuk-
kan bahwa dekrtrometorfan juga merupakan penyekat reseptor NMDA.
Dewasa ini perhatian selanjutnya juga tertuju pada NO dan peranannya
dalam proses biologik. Sejumlah bukti telah menunjukkan peranan NO pada
proses nosiseptif. Produksi NO terjadi secara sekunder dari aktivasi reseptor
NMDA dan influks Ca. Ca intraseluler akan bergabung dengan calmodulin
menjadi Ca-calmodulin yang selanjutnya akan mengaktivasi enzim NOS (Ni-
tric Oxide Synthase) yang dapat mengubah arginin menghasilkan sitrulin dan
NO (Nitric Oxide) dengan bantuan NADPH sebagai co-factor.
Dalam keadaan normal, NO dibutuhkan untuk mempertahankan fungsi
34
normal sel. Namun, dalam jumlah yang berlebihan, NO dapat bersifat neuroto-
ksik yang akan merusak sel saraf itu sendiri. Perubahan yang digambarkan di
atas, terjadi seiring dengan aktivasi reseptor NMDA yang berkelanjutan.
Dengan demikian, obat-obat yang dapat menghambat produksi dari NO akan
mempunyai peranan yang penting dalam pencegahan dan penanganan nyeri.
Fenomena “wind-up” merupakan dasar dari analgesia pre-emptif, di-
mana memberikan analgesik sebelum terjadinya nyeri. Dengan menekan re-
spon nyeri akut sedini mungkin, analgesia pre-emptif dapat mencegah atau
setidaknya mengurangi kemungkinan terjadinya “wind-up”. Idealnya, pem-
berian analgesik telah dimulai sebelum pembedahan.
Berbagai upaya telah dicoba untuk memanfaatkan informasi yang di-
peroleh dari hasil penelitian farmakologik dan fisiologik dalam penerapan
strategi penanganan nyeri. Percobaan difokuskan pada dua pendekatan. Per-
tama, penelitian tentang bahan-bahan yang pada tingkat spinal berefek ter-
hadap opiat, adrenoreseptor alfa dan reseptor NMDA. Kedua, perhatian di-
tujukan pada usaha mencoba mengurangi fenomena sensitisasi sentral. Konsep
analgesia pre-emptif telah mendunia sebagai hasil dari penemuan ini dan men-
jadi sebuah usaha dalam mencegah atau mengurangi perubahan-perubahan
yang terjadi pada proses nyeri.
Dari uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa karakteristik nyeri
trauma adalah terjadinya sensitisasi perifer dan sensitisasi sentral. Oleh karena
itu prinsip dasar pengelolaan nyeri adalah mencegah atau meminimalisasi ter-
jadinya sensitisasi perifer dengan pemberian obat-obat NSAID (COX, atau
COX2), sedangkan untuk menekan atau mencegah terjadinya sensitisasi sentral
dapat dilakukan dengan pemberian opiat atau anestetik lokal utamanya jika
diberikan secara sentral.
35
1. Sistem Inhibisi Terhadap Nyeri
Tidak semua stimulus nyeri akan menghasilkan sensibel nyeri. Hal ini
dapat terjadi karena ada suatu proses modulasi di kornua dorsalis medulla spi-
nalis. Ini dimungkinkan karena ada sistem inhibisi. Inhibisi terjadi melalui be-
berapa mekanisme, seperti :
a. Stimulasi serat afferent yang mempunyai diameter besar.
Stimulasi serat afferent ini dapat menghasilkan suatu efek berupa aktifasi
interneuron inhibisi di kornua dorsalis. Stimulasi halus berulang serat A
betha atau menggunakan alat TENS dapat menghambat transmisi nyeri.
b. Serat inhibisi desendens.
Ada 3 lintasan dari midbrain ke kornua dorsalis medulla spinalis, yaitu :
1) Lintasan I : Berawal dari nukleus raphe magnus.
2) Lintasan II : Berawal dari nukleus lokus seruleus
3) Lintasan III : Berawal dari nucleus Edinger Wesphal
Ketiga lintasan ini turun menuju dan menimbulkan hambatan fungsi respon
nyeri neuron nosisepsi di kornu dorsalis medulla spinalis. Bila diaktifkan,
ketiga lintasan ini akan melepaskan serotonin, norepinefrin dan cholecys-
tokinin. Periaquaductal gray (PAG) mempunyai hubungan dengan ketiga
lintasan ini. PAG kaya dengan reseptor opioid. Bila reseptor ini diaktifkan,
PAG akan mengaktifkan ketiga lintasan ini. Reseptor opioid PAG dapat di-
aktifkan oleh endorphin yang dilepaskan secara endogen dan opioid yang
diberikan secara eksogen. Pelepasan endorphin dapat dipicu oleh nyeri dan
stres.
c. Betha endorphin.
Diproduksi di hipotalamus dan disalurkan ke ventrikulus tertius. Oleh liq-
uor zat ini dibawa ke medulla spinalis menimbulkan efek depresi konduksi
nyeri di substansia gelatinosa.
d. Opioid
PAG kaya dengen reseptor nyeri. Substansia gelatinosa kornua dorsalis
medulla sinalis juga kaya dengan reseptor opioid.
Opioid bekerja dengan mengaktifkan sistem inhibisi desendens atau
mengaktifkan reseptor opioid di substansia gelatinosa.
36
2. Respon Tubuh Terhadap Stres Nyeri.
Nyeri akut akan menimbulkan perubahan-perubahan didalam tubuh. Im-
puls nyeri oleh serat afferent selain diteruskan ke sel-sel neuron nosisepsi di
kornu dorsalis medulla spinalis, juga akan diteruskan ke sel-sel neuron di kor-
nu anterolateral dan kornu anterior medulla spinalis.
Nyeri akut pada dasarnya berhubungan dengan respon stres sistem neuro-
endokrin yang sesuai dengan intensitas nyeri yang ditimbulkan. Mekanisme
timbulnya nyeri melalui serat saraf afferent diteruskan melalui sel-sel neuron
nosisepsi di kornu dorsalis medulla spinalis dan juga diteruskan melalui sel-sel
dikornu anterolateral dan kornu anterior medulla spinalis memberikan respon
segmental seperti peningkatan muscle spasm (hipoventilasi dan penurunan ak-
tivitas), vasospasm (hipertensi), dan menginhibisi fungsi organ visera (distensi
abdomen, gangguan saluran pencernaan, hipoventilasi). Nyeri juga
mempengaruhi respon suprasegmental yang meliputi kompleks hormonal,
metabolik dan imunologi yang menimbulkan stimulasi yang noxious. Nyeri ju-
ga berespon terjadap psikologis pasien seperti interpretasi nyeri, marah dan
takut.
37
Impuls yang diteruskan ke sel-sel neuron di kornua antero-lateral akan
mengaktifkan sistem simpatis. Akibatnya, organ-organ yang diinervasi oleh
sistem simpatis akan teraktifkan. Nyeri akut baik yang ringan sampai yang be-
rat akan memberikan efek pada tubuh seperti :
a. Sistem respirasi
Karena pengaruh dari peningkatan laju metabolisme, pengaruh reflek
segmental, dan hormon seperti bradikinin dan prostaglandin menyebabkan
peningkatan kebutuhan oksigen tubuh dan produksi karbondioksida
mengharuskan terjadinya peningkatan ventilasi permenit sehingga
meningkatkan kerja pernafasan. Hal ini menyebabkan peningkatan kerja
sistem pernafasan, khususnya pada pasien dengan penyakit paru.
Penurunan gerakan dinding thoraks menurunkan volume tidal dan
kapasitas residu fungsional. Hal ini mengarah pada terjadinya atelektasis,
intrapulmonary shunting, hipoksemia, dan terkadang dapat terjadi
hipoventilasi.
b. Sistem kardiovaskuler
Pembuluh darah akan mengalami vasokonstriksi. Terjadi gangguan
perfusi, hipoksia jaringan akibat dari efek nyeri akut terhadap
kardiovaskuler berupa peningkatan produksi katekolamin, angiotensin II,
dan anti deuretik hormon (ADH) sehingga mempengaruhi hemodinamik
tubuh seperti hipertensi, takikardi dan peningkatan resistensi pembuluh
darah secara sistemik. Pada orang normal cardiac output akan meningkat
tetapi pada pasien dengan kelainan fungsi jantung akan mengalami
penurunan cardiac output dan hal ini akan lebih memperburuk keadaanya.
Karena nyeri menyebabkan peningkatan kebutuhan oksigen myocard,
sehingga nyeri dapat menyebabkan terjadinya iskemia myocardial.
c. Sistem gastrointestinal
Perangsangan saraf simpatis meningkatkan tahanan sfinkter dan
menurunkan motilitas saluran cerna yang menyebabkan ileus. Hipersekresi
asam lambung akan menyebabkan ulkus dan bersamaan dengan penurunan
motilitas usus, potensial menyebabkan pasien mengalami pneumonia
aspirasi. Mual, muntah, dan konstipasi sering terjadi. Distensi abdomen
38
memperberat hilangnya volume paru dan pulmonary dysfunction.
d. Sistem urogenital
Perangsangan saraf simpatis meningkatkan tahanan sfinkter saluran kemih
dan menurunkan motilitas saluran cerna yang menyebabkan retensi urin.
e. Sistem metabolisme dan endokrin
Kelenjar simpatis menjadi aktif, sehingga terjadi pelepasan ketekolamin.
Metabolisme otot jantung meningkat sehingga kebutuhan oksigen
meningkat. Respon hormonal terhadap nyeri meningkatkan hormon-
hormon katabolik seperti katekolamin, kortisol dan glukagon dan
menyebabkan penurunan hormon anabolik seperti insulin dan testosteron.
Peningkatan kadar katekolamin dalam darah mempunyai pengaruh pada
kerja insulin. Efektifitas insulin menurun, menimbulkan gangguan
metabolisme glukosa. Kadar gula darah meningkat. Hal ini mendorong
pelepasan glukagon. Glukagon memicu peningkatan proses
glukoneogenesis. Pasien yang mengalami nyeri akan menimbulkan
keseimbangan negative nitrogen, intoleransi karbohidrat, dan
meningkatkan lipolisis. Peningkatan hormon kortisol bersamaan dengan
peningkatan renin, aldosteron, angiotensin, dan hormon antidiuretik yang
menyebabkan retensi natrium, retensi air, dan ekspansi sekunder dari
ruangan ekstraseluler.
f. Sistem hematologi
Nyeri menyebabkan peningkatan adhesi platelet, meningkatkan
fibrinolisis, dan hiperkoagulopati.
g. Sistem imunitas
Nyeri merangsang produksi leukosit dengan lympopenia dan nyeri dapat
mendepresi sistem retikuloendotelial. Yang pada akhirnya menyebabkan
pasien beresiko menjadi mudah terinfeksi.
h. Efek psikologis
Reaksi yang umumnya terjadi pada nyeri akut berupa kecemasan (anxiety),
ketakutan, agitasi, dan dapat menyebabkan gangguan tidur. Jika nyeri
berkepanjangan dapat menyebabkan depresi.
i. Homeostasis cairan dan elektrolit
39
Efek yang ditimbulkan akibat dari peningkatan pelepasan hormon
aldosterom berupa retensi natrium. Efek akibat peningkatan produksi ADH
berupa retensi cairan dan penurunan produksi urine. Hormon katekolamin
dan kortisol menyebabkan berkurangnya kalium, magnesium dan elektrolit
lainnya.
40
3. Pengukuran Intensitas Nyeri
Nyeri merupakan masalah yang sangat subjektif yang dipengaruhi oleh
psikologis, kebudayaan dan hal lainnya, sehingga mengukur intensitas nyeri
merupakan masalah yang relatif sulit.
Ada beberapa metoda yang umumnya digunakan untuk menilai intensitas
nyeri, antara lain :
a. Verbal Rating Scale (VRSs)
Metoda ini menggunakan suatu word list untuk mendiskripsikan nyeri yang
dirasakan. Pasien disuruh memilih kata-kata atau kalimat yang menggam-
barkan karakteristik nyeri yang dirasakan dari word list yang ada. Metoda
ini dapat digunakan untuk mengetahui intensitas nyeri dari saat pertama
kali muncul sampai tahap penyembuhan. Penilaian ini menjadi beberapa
kategori nyeri yaitu:
1) tidak nyeri (none)
2) nyeri ringan (mild)
3) nyeri sedang (moderate)
4) nyeri berat (severe)
5) nyeri sangat berat (very severe)
41
c. Visual Analogue Scale (VASs)
Metoda ini paling sering digunakan untuk mengukur intensitas nyeri.
Metoda ini menggunakan garis sepanjang 10 cm yang menggambarkan
keadaan tidak nyeri sampai nyeri yang sangat hebat. Pasien menandai ang-
ka pada garis yang menggambarkan intensitas nyeri yang dirasakan. Keun-
tungan menggunakan metoda ini adalah sensitif untuk mengetahui peru-
bahan intensitas nyeri, mudah dimengerti dan dikerjakan, dan dapat
digunakan dalam berbagai kondisi klinis. Kerugiannya adalah tidak dapat
digunakan pada anak-anak dibawah 8 tahun dan mungkin sukar diterapkan
jika pasien sedang berada dalam nyeri hebat.
42
C. Nyeri CA Serviks
Nyeri CA Serviks
1. Rasa nyeri saat berhubungan seksual, kesulitan atau nyeri dalam berkemih,
nyeri di daerah di sekitar panggul.
2. Bila kanker sudah mencapai stadium III ke atas, maka akan terjadi
pembengkakan di berbagai anggota tubuh seperti betis, paha, dan
sebagainya.
Menurut Ricci (2009), tersangka kanker serviks stadium lanjut antara lain
1. Nyeri panggul,
2. Nyeri pinggul,
3. Nyeri kaki,
4. Penurunan berat badan,
5. Anoreksia,
6. Kelemahan dan kelelahan,
(Dedeh Sri Rahayu,2015)
43
b. Mengurangi distritmia jantung, kebutuhan oksigen.
c. Meningkatkan gelombang alfa otak yang terjadi ketika klien sadar dan
tidak memfokus perhatian seperti relaks.
d. Meningkatkan rasa kebugaran, konsentrasi.
e. Memperbaiki kemampuan untuk mengatasi stres.
f. Mengatasi insomnia, depresi, kelelahan, iritabilitas, spasme otot, fobia
ringan, gagap ringan, dan
g. Membangun emosi positif dari emosi negatif.
44
1) Gerakan 1 : Ditunjukan untuk melatih otot tangan.
a) Genggam tangan kiri sambil membuat suatu kepalan.
b) Buat kepalan semakin kuat sambil merasakan
sensasi ketegangan yang terjadi.
c) Pada saat kepalan dilepaskan, rasakan relaksasi selama 10
detik.
d) Gerakan pada tangan kiri ini dilakukan dua kali sehingga dapat
membedakan perbedaan antara ketegangan otot dan keadaan
relaks yang dialami.
e) Lakukan gerakan yang sama pada tangan kanan.
2) Gerakan 2 : Ditunjukan untuk melatih otot tangan bagian belakang.
a) Tekuk kedua lengan ke belakang pada peregalangan tangan
sehingga otot di tangan bagian belakang dan lengan bawah
menegang.
b) Jari-jari menghadap ke langit-langit.
Gambar gerakan 1 dan 2
45
Gambar gerakan 3
46
sekitar mata dan otot-otot yang mengendalikan gerakan mata.
47
sehingga dapat merasakan ketegangan di daerah leher bagian
muka.
10) Gerakan 11 : Ditujukan untuk melatih otot punggung
a) Angkat tubuh dari sandaran kursi.
b) Punggung dilengkungkan
c) Busungkan dada, tahan kondisi tegang selama 10 detik,
kemudian relaks.
d) Saat relaks, letakkan tubuh kembali ke kursi sambil
membiarkan otot menjadi lurus.
11) Gerakan 12 : Ditujukan untuk melemaskan otot dada.
a) Tarik napas panjang untuk mengisi paru-paru dengan udara
sebanyak-banyaknya.
b) Ditahan selama beberapa saat, sambil merasakan ketegangan di
bagian dada sampai turun ke perut, kemudian dilepas.
c) Saat tegangan dilepas, lakukan napas normal dengan lega.
d) Ulangi sekali lagi sehingga dapat dirasakan perbedaan antara
kondisi tegang dan relaks.
Gambar 9, 10, 11, 12
48
E. ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian Fokus
a. Identitas pasien
Biasanya meliputi berbagai data pasien yaitu nama, umur, alamat,
No. MR, jenis kelamin, pekerjaan, agama, alamat, tanggal masuk.
b. Data Kesehatan umum
1) Riwayat kesehatan sekarang
(a) Keluhan
Biasanya pasien datang dengan keluhan intra servikal dan disertai
keputihan menyerupai air.
(b) Factor pencetus
Biasanya klien mengalami perdarahan, keputihan dan rasa nyeri
intra servikal.
(c) Lama keluhan
Biasanya klien pada stadium awal tidak merasakan keluhan yang
mengganggu, baru pada stadium akhir yaitu stadium 3 dan 4.
2) Riwayat kesehatan dahulu
Biasanya ada riwayat abortus, infeksi pasca abortus, infeksi masa nifas,
riwayat operasi kandungan, serta adanya tumor.
3) Riwayat kesehatan keluarga
Biasanya kanker serviks ini juga bisa disebabkan karena faktor genetik
dan keturunan, jadi kaji juga apakah ada anggota keluarga yang
memiliki riwayat ca serviks.
4) Riwayat menstruasi
Biasanya dikaji untuk mengetahui siklus haid, banyaknya , keluhan saat
haid, mengetahui HPHT untuk menentukan TP.
5) Riwayat perkawinan
Biasanya umur saat menikah <20 tahun atau >35 tahun.
6) Riwayat keluarga berencana
Biasanya memiliki riwayat memakai alat kontrasepsi.
c. Pola nutrisi
1) BB : menurun
2) Frekuensi : 2-3x/hari
3) Nafsu makan : menurun
4) Perubahan BB dalam 3 bulan terakhir :
d. Pola eleminasi
1) BAB
Waktu : 1-2 x/hari
Frekuensi : jarang
Konsistensi : padat
Penggunaan pencahar :
2) BAK
Waktu : 4-5x/hari
Warna : kuning
Bau : pesing
e. Pola tidur dan istirahat
1) Waktu tidur : teragnggu
2) Lama tidur/hari : kurang dari 6 jam/hari
3) Perubahan yang dirasakan selama sakit
f. Pola aktivitas dan latihan
g. Pola bekerja
1) Jenis pekerjaan : kurang gerak
2) Lama bekerja : lama terapar dengan polusi, kimia, atau radiasi
h. Riwayat keluarga (genogram)
i. Riwayat lingkungan
1) Kebersihan
Sosial ekonomi rendah dan personal higine kurang
j. Askep psikososial
1) Persepsi diri
a) Hal yang amat dipikirkan saat ini
b) Harapan setelah menjalani perawatan
2) Pertahanan koping
3) System nilai dan kepercayaaan
k. Pemeriksaan Fisik
1) Tanda-tanda vital
TD : TD rendah
Suhu : meningkat
Pernafasan : cepat
Nadi : cepat
2) Kepala
Inspeksi bentuk kepala, kebersihan rambut, perhatikan apakah terlihat
adanya ketombe, rambut berminyak, serta lakukan palpasi diarea kulit
kepala sambil menarik secara lembut rambut ibu untuk melihat apakah
rambut modah rontok atau tidak.
3) Mata
Konjungtiva yang anemis menunjukan adanya anemia kerena perdarahan
saat persalinan. Lakukan juga pemeriksaan sklera, dan reflek pupil ibu,
serta inspeksi kebersihan mata ibu.
4) Mulut
Inspeksi membran mukosa bibir ibu serta warnanya, perhatikan apakah
bibir ibu kering atau pucat. Setelah itu lakukan inspeksi pada gusi dan
gigi ibu untuk melihat adanya terdapat somatitis dan caries dentis. Gigi
yang berlubang dapat menjadi pintu masuk bagi mikroorganisme dan
bisa beredar secara sistemik
5) Pernafasan
Inspeksi : pergerakan rongga dada ibu saat pernafas, perhatikan
apakah simetris antara paru-paru kiri dan kanan
Palpasi : fremitus paru-paru ibu dengan menyuru ibu
mengucapkan angka 77, rasakan getaran antara paru-paru kiri dan kanan
Perkusi : seluruh area lapang paru
Auskultasi : bunyi pernafasan, dengarkan apakah bunyi
pernafasan ibu normal atau tidak.
6) Jantung
Inspeksi : apeks jantung ibu di titik LMCS
Palpasi : apek jantung ibu lalu hitung denyutannya
Perkusi : area jantung ibu
Auskultasi : bunyi jantung ibu di RIC 2 kanan dan kiri, RIC 3, 4 dan 5
7) Abdomen
Saat dipalpasi terasa adanya distensi abdomen.
8) Reproduksi
Vagina biasanya akan didapatkan hasil pada vagina terlihat adanya
keputihan berbau, warna merah, perdarahan merah tua, berbau dan kental
Serviks – biasanya ditemukan adanya nodul
9) Neurologi
10) Musculoskeletal
l. Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium
HB menurun, Leukosit meningkat, Trombosit meningkat
Patologi Anatomi
Untuk memeriksa keganasan
Pemeriksaan Diagnostik
Pap smear, kalposkopi, biopsy kerucut, MRI atau CT- Scan abdomen
ataupun pelvis.
2. Diagnosa Keperawatan
a. Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d keengganan untuk makan,
anoreksia
b. Nyeri kronik b.d inflamasi penyakit, metastase kanker
c. Intoleransi aktivitas b.d kelemahan umum (anemia)
d. Anxietas b.d penyakit kronis progresif (mis. Kanker, penyakit autoimun)
No NANDA NOC NIC
6. Pola Tidur
a. Waktu tidur : Malam hari
b. Lama tidur/hari : 7-8 jam
c. Perubahan yang dirasakan saat sakit: Merasa lemah dan aktivitasnya ada
yang dibantu
7. Pola Kognitif-Persepsi
Ketidaknyamanan/Nyeri: Ada
Pre Operasi
Klien mengatakan nyeri
a. P : Pada daerah Pinggang dan menjalar ke punggung
b. Q : Terbakar
c. R : Hilang Timbul
d. S : 5
e. T : Saat berakvitas dan sedikit hilang saat istirahat
Post Operasi
Klien mengeluh nyeri pada luka operasi
a. P : Nyeri pada daerah luka operasi
b. Q : Tertusuk-tusuk
c. R : Hilang timbul
d. S : Skala nyeri 5
e. T : Timbul saat begerak dan berkurang saat istirahat
1 1
x x
/ /
h h
a a
r r
i i
1 1 1 1 1
x x x x x
/ / / / /
h h h h h
a 1 1 a 1 a a a
r x x r x r r r
i / / i / i i i
h h h
a a a
r r r
Keterangan : i i i
: laki-laki
A. 1
: xperempuan
----- : /tinggal serumah
h
: pasien
a
: rmeninggal
i
11. Riwayat Lingkungan
a. Kebersihan
Klien tinggal dikomplek perumahan yang bersih serta jauh dari tempat
sampah umum
b. Bahaya
Klien mengatakan bahwa lingkungan rumahnya aman dan tidak berbahaya
c. Polusi
Klien mengatakan bahwa rumahnya tidak terlalu dekat dengan jalan raya
dan cukup jauh dari polusi
12. Askep Psikososial
a. Persepsi diri
1) Hal yang amat dipikirkan saat ini
Pre Op :
Klien memikirkan tentang penyakitnya apakah dapat sembuh total
atau tidak, Klien juga mengatakan takut dan memikirkan apakah
operasinya nanti dapat berjalan lancar.
Post Op :
Klien mengatakan takut dengan luka operasinya bisa robek kembali
dan berapa lama penyembuhan pada luka operasinya. Klien juga
mengatakan cemas penyakit dapat berlanjut ke stadium selanjutnya.
2) Harapan setelah menjalani perawatan
Klien berharap dapat sembuh total dan tidak masuk rumah sakit lagi
dengan penyakit yang sama.
b. Pertahanan koping
Klien mengatakan bahwa ia cemas dengan keadaan saat ini, Klien tampak
sering melamun seperti memikirkan sesuatu.
c. Sistem nilai dan kepercayaan
Klien seorang muslim dan percaya pada Tuhan Yang Maha Esa
13. Pemeriksaan Fisik Pre Op
a. Tanda-Tanda Vital
TD : 130/90 mmHg
Suhu : 36,5 oC
RR : 22 x/i
Nadi : 89 x/i
b. Kepala
Inspeksi : kepala tampak bersih, tidak ada ketombe, persebaran rambut
tidak merata dan rontok.
Palpasi : Rambut mudah rontok, tidak ada massa dan nyeri tekan.
c. Mata
Inspeksi :simetris kiri dan kanan, konjungtiva anemis, sklera tidak
ikterik, ransangan cahaya +/+
d. Mulut
Mukosa Bibir lembab, pucat, tidak ada stomatitis, lidah tampak kasar, gigi
terdapat caries, mulut berbau.
e. Dada
Inspeksi : Pengembangan dada simetris saat inspirasi dan ekspirasi,
bentuk dada normal, tidak ada retraksi dinding data dan tidak
ada lesi
Palpasi : Fremitus kiri dan kanan
Perkusi : Sonor kiri dan kanan
Auskultasi : Vesikuler
f. Sirkulasi
Pernapasan normal dan oksigenasi terpenuhi
g. Abdomen
Inspeksi : tidak ada asites, tidak ada lesi
Palpasi : Teraba massa pada abdomen kuadran kiri bawah.
Perkusi : Thympani
Auskultasi : Bising usus (+) 20x/i
h. Ginetelia
Inspeksi : terdapat pendarahan per vagina 100 cc serta menggunakan
pempers dan terpasang kateter
Palpasi : ada nyeri tekan
i. Ektremitas
Inspeksi : Terpasang infus tangan kiri tidak ada edema
Palpasi : tidak ada nyeri tekan
j. Neurologi
Tidak ada gangguan
k. Musculoskeletal
Tidak ada keluhan
14. Pemeriksaan fisik post op
a. Tanda-Tanda Vital
TD : 150/90 mmHg
Suhu : 37 oC
RR : 20 x/i
Nadi : 90 x/i
l. Kepala
Inspeksi : kepala tampak bersih, tidak ada ketombe, persebaran rambut
tidak merata dan rontok.
Palpasi : Rambut mudah rontok, tidak ada massa dan nyeri tekan.
m. Mata
Inspeksi : simetris kiri dan kanan, konjungtiva anemis, sklera tidak
ikterik, ransangan cahaya +/+
n. Mulut
Mukosa Bibir lembab, pucat, tidak ada stomatitis, lidah tampak kasar, gigi
terdapat caries, mulut berbau.
o. Dada
Inspeksi : Pengembangan dada simetris kiri dan kanan saat inspirasi
dan ekspirasi, bentuk dada normal, tidak ada retraksi dinding
dada dan tidak ada lesi
Palpasi : Fremitus kiri dan kanan
Perkusi : Sonor kiri dan kanan
Auskultasi : Vesikuler
p. Sirkulasi
Pernapasan normal dan oksigenasi terpenuhi
q. Abdomen
Inspeksi : terdapat bekas luka operasi,panjang 10 cm,luka tampak
kering
Palpasi : Terdapat nyeri tekan.
Perkusi : Thympani
Auskultasi : Bising usus (+) 20x/i
r. Ginetelia
Inspeksi : pendarahan per vagina sudah berkuran 50 cc serta
menggunakan pempers dan terpasang kateter
Palpasi : ada nyeri tekan
s. Ektremitas
Inspeksi : Terpasang infus tangan kiri tidak ada edema
Palpasi : tidak ada nyeri tekan
t. Neurologi
Tidak ada gangguan
u. Musculoskeletal
Tidak ada keluhan
16. Laboratorium
Pre Op :
Pada tanggal 14 oktober 2019
Hb : 7,9 g/dl
Leukosit : 6.500 /mm3
Trombosit : 279.000 /mm3
Ht : 21%
Pada tanggal 15 oktober 2019
Hb : 10,4 g/dl
Leukosit : 4.500/mm3
Trombosit : 288.000/mm3
Eritrosit : 3,6 juta
Ht : 23%
Post Op :
Pada tanggal 16 Oktober 2019
Hb : 9,4 g/dl
Leukosit : 12.530 /mm3
Trombosit : 350.000 /mm3
Eritrosit : 3,8 juta
Ht : 20%
Pada tanggal 17 Oktober 2019
Hb : 9 g/dl
Leukosit : 11.412 /mm3
Trombosit : 290.000 /mm3
Eritrosit : 3,5 juta
Ht : 22%
Pada tanggal 18 Oktober 2019
Hb : 10,5 g/dl
Leukosit : 9.450 /mm3
Trombosit : 330.000 /mm3
Eritrosit : 3,7 juta
Ht : 24%
Pada tanggal 19 Oktober 2019
Hb : 11 g/dl
Leukosit : 5.550 /mm3
Trombosit : 297.000 /mm3
Eritrosit : 3,6 juta
Ht : 20%
17. Terapi
IVFD RL 20 tts/i
Inj. Ceftriaxone 2x1gr
Metronidazole 3x500 mg
Inj asam tranexsamat 3x1amp
Inj. Vit K 3x1 amp
Inj. Metoclopmid 3x1 amp
Tranfusi darah
B. ANALISA MASALAH
Pre operasi
Data Masalah Etiologi
DS : Nyeri akut Agen cidera
Klien mengatakan nyeri biologis
Klien mengatakan nyeri pada daerah pinggang dan
menjalar ke punggung
Klien mengatakan nyeri terasa seperti terbakar
Klien mengatakan nyeri hilang timbul
Klien mengatakan skala nyeri 5
Klien mengatakan nyeri timbul saat berakvitas dan
sedikit hilang saat istirahat
Klien mengatakan nyeri yang dirasakan sangat
menganggu
DO :
Klien tampak meringis
Klien tampek memegangi bagian yang nyeri
Klien tampak tidak nyaman
Klien tampak lemah, pucat
Post Operasi
Data Masalah Etiologi
DS: Nyeri akut Agen cedera
Klien mengeluh nyeri pada luka operasi fisik
Klien mengatakan nyeri pada daerah luka
operasi
Klien mengatakan nyeri terasa seperti tertusuk-
tusuk
Klien mengatakan nyeri hilang timbul
Klien mengatakan skala nyeri 5
Klien mengatakan nyeri timbul saat begerak dan
berkurang saat istirahat
DO:
Klien tampak meringis
Klien tampak memegang perut bagian bawah
TTV
TD : 150/90 mmHg
D. INTERVENSI KEPERAWATAN
Pre operasi
No Diagnosa NOC NIC
1 Nyeri akut Kontrol nyeri Manajemen nyeri
berhubung Tingkat nyeri 1. Lakukan pengkajian nyeri komprehensif
an dengan Dengan indikator : yang meliputi lokasi, karakteristik, durasi,
agen 1. Mengenali kapan frekuensi, kualitas, intensitas atau beratnya
cidera bi- nyeri terjadi nyeri dan faktor pencetus
ologis 2. Menggambarkan 2. Observasi adanya petunjuk non verbal
faktor penyebab mengenai ketidaknyamanan terutama bagi
3. Menggunakan mereka yang tidak dapat berkomunikasi
tindakan pencegahan secara efektif
4. Menggunakan 3. Gunakan strategi komunikasi terapeutik
tindakan untuk mengetahui pengalaman nyeri dan
pengurangan (nyeri) sampaikan penerimaan pasien terhadap nyeri
tanpa analgesik 4. Gali bersama pasien faktor-faktor yang
5. Menggunakan dapat menurunkan atau memperberat nyeri
analgesik yang 5. Berikan individu penurun nyeri yang
direkomendasikan optimal dengan peresapan analgetik
6. Melaporkan 6. Gunakan tindakan pengontrol nyeri sebelum
perubahan terhadap nyeri betambah berat
gejala nyeri pada 7. Dukung istirahat/tidur yang adekuat untuk
profesional membantu penurunan nyeri
kesehatan 8. Berikan informasi ,mengenai nyeri, seperti
7. Mengenali apa yang penyebab nyeri, berapa lama nyeri akan
terkait dengan gejala dirasakan, dan antisipasi ketidaknyamanan
nyeri akibat prosedur
8. Melaporkan nyeri 9. Kendalikan faktor lingkungan yang dapat
yang terkontrol mempengaruhi respon pasien terhadap
ketidaknyamanan (suhu ruangan,
pencahayaan, suara bising)
10. Ajarkan prinsip-prinsip manajemen nyeri
11. Gali penggunaan metode farmakologi yang
dipakai pasien saat ini untuk menurunkan
nyeri
12. Berikan informasi yang adekuat untuk
meningkatkan pengetahuan dan respon
keluarga terhadap pengalaman nyeri
13. Libatkan keluarga dalam modalitas penurun
nyeri, jika memungkinkan
14. Monitor kepuasan pasien terhadap
manajemen nyeri dalam interval yang
spesifik
15. Instruksikan pasien menggunakan teknik
relaksasi (terapi Progressive Muscle
Relaxation (PMR))
Pemberian Analgesik
1. Periksa order/pesanan obat, dosis, frekuensi,
yang ditentukan oleh analgesic
2. Cek riwayat alergi obat
3. Tentukan jenis analgesic
4. Monitor TTV sebelum dan sesudah
pemberian obat dosis pertama
Post Operasi
No Diagnosa NOC NIC
Manajemen nyeri
1. Lakukan pengkajian nyeri
Kontrol nyeri komprehensif yang meliputi lokasi,
Tingkat nyeri karakteristik, durasi, frekuensi,
Dengan indikator : kualitas, intensitas atau beratnya
1. Mengenali kapan nyeri nyeri dan faktor pencetus
terjadi 2. Observasi adanya petunjuk non verbal
2. Menggambarkan faktor mengenai ketidaknyamanan terutama
penyebab bagi mereka yang tidak dapat
3. Menggunakan tindakan berkomunikasi secara efektif
pencegahan 3. Gunakan strategi komunikasi
4. Menggunakan tindakan terapeutik untuk mengetahui
Nyeri akut
pengurangan (nyeri) pengalaman nyeri dan sampaikan
berhubungan
tanpa analgesik penerimaan pasien terhadap nyeri
1. dengan agen
5. Menggunakan 4. Gali bersama pasien faktor-faktor
cidera biolo-
analgesik yang yang dapat menurunkan atau
gis
direkomendasikan memperberat nyeri
6. Melaporkan perubahan 5. Berikan individu penurun nyeri yang
terhadap gejala nyeri optimal dengan peresapan analgetik
pada profesional 6. Gunakan tindakan pengontrol nyeri
kesehatan sebelum nyeri betambah berat
7. Mengenali apa yang 7. Dukung istirahat/tidur yang adekuat
terkait dengan gejala untuk membantu penurunan nyeri
nyeri 8. Berikan informasi ,mengenai nyeri,
8. Melaporkan nyeri yang seperti penyebab nyeri, berapa lama
terkontrol nyeri akan dirasakan, dan antisipasi
ketidaknyamanan akibat prosedur
9. Kendalikan faktor lingkungan yang
dapat mempengaruhi respon pasien
terhadap ketidaknyamanan (suhu
ruangan, pencahayaan, suara bising)
10. Ajarkan prinsip-prinsip manajemen
nyeri
11. Gali penggunaan metode farmakologi
yang dipakai pasien saat ini untuk
menurunkan nyeri
12. Berikan informasi yang adekuat untuk
meningkatkan pengetahuan dan
respon keluarga terhadap pengalaman
nyeri
13. Libatkan keluarga dalam modalitas
penurun nyeri, jika memungkinkan
14. Monitor kepuasan pasien terhadap
manajemen nyeri dalam interval yang
spesifik
15. Instruksikan pasien menggunakan
teknik relaksasi (terapi Progressive
Muscle Relaxation (PMR))
Pemberian Analgesik
1. Periksa order/pesanan obat, dosis,
frekuensi, yang ditentukan oleh
analgesic
2. Cek riwayat alergi obat
3. Tentukan jenis analgesic
4. Monitor TTV sebelum dan sesudah
pemberian obat dosis pertama
2. Ansietas b.d Anxiety control Anxiety Reduction (penurunan
ancaman pa- Coping kecemasan)
da status Indikator: 1. Gunakan pendekatan yang
terkini 1. Mengidentifikasi dan menenangkan
mengungkapkan gejala 2. Nyatakan dengan jelas harapan
cemas terhadap pelaku pasien
2. Mengidentifikasi, 3. Temani pasien untuk memberikan
mengungkapkan dan keamanan dan mengurangi takut
menunjukkan tehnik 4. Berikan informasi faktual
untuk mengontol cemas mengenai diagnosis, tindakan
3. Vital sign dalam batas prognosis
normal 5. Dorong keluarga untuk menemani
4. Postur tubuh, ekspresi anak
wajah, bahasa tubuh 6. Lakukan back / neck rub
dan tingkat aktivitas 7. Dengarkan dengan penuh perhatian
menunjukkan 8. Identifikasi tingkat kecemasan
berkurangnya 9. Bantu pasien mengenal situasi
kecemasan yang menimbulkan kecemasan
10. Dorong pasien untuk
mengungkapkan perasaan,
ketakutan, persepsi
11. Barikan obat untuk mengurangi
kecemasan
3. Resiko Status Imunitas Management Imunisasi
infeksi b.d 1. Suhu tubuh 1. Sediakan informasi mengenai vaksin
prosedur 2. Tingkat sel T4 yang disiapkan oleh pusat pencega-
invasif 3. Infeksi berulang han dan control penyakit
4. Kehilangan berat badan 2. Dokumentasikan informasi vaksi-
5. Keletihan kronis nasi, sesuai SOP yang berlaku
3. Ingatkan individu atau keluarga keti-
Perilaku Imunitas ka imuniasasinya ada yang belum
1. Menggambarkan resiko dilakukan
yang terkait dengan 4. Bantu keluarga terkait perencanaan
imunisasi tertentu keuangan untuk membayar imunisasi
2. Mendapatkan imunisasi (misalnya, apakah dibayar asuransi
yang direkomendasikan dan klinik Dept. Kesehatan)
sesuai umur oleh The 5. Jadwalkan imunisaSI sesuai
American Acadamy tenggang waktu yang ada
Peadris atau United Perlindungan Infeksi
States Publiick Help 1. Monitor adanya tanda dan gejala
Service inffeksi sistemik lokal
3. Menjelaskan langkah – 2. Monitor kerentanan terhadap infeksi
langkah bantuan untuk 3. Batasi jumlah pengunjung
efek vaksin 4. Srining semua pengunjung terhadap
4. Melaporkan setiap efek penyakit menular
samping 5. Tingkatkan asupan nutrisi yang
5. Mengkonfirmasi tang- cukup
gal imunisasi beri- 6. Anjurkan asupan cairan yang tepat
kutnya 7. Lanjutkan istirahat
8. Pantau adanya tingkat perubahan
StatusNutrisi energi
1. Asupan gizi 9. Instruksikan pasien untuk minum
2. Asupan makanan antiobiotik yang diresepkan
3. Asupan cairan 10. Ajarkan pasien dan keluarga
4. Rasio berat badan mengenai tanda dan gejala infeksi
dan kapan harus melaporkannya
kepada yankes
11. Berikan ruangan pribadi yang dibu-
tuhkan
12. Laporkan dugaan infeksi pada per-
sonil pengendali infeksi
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1 Pengkajian
Pre operasi :
Klien mengatakan masuk RSUP. Dr. M.Djamil Padang melalui Poli
Kebidanan pada tanggal 14 Oktober 2019 untuk pergi berobat dengan keluhan
mengalami perdarahan. Klien mengatakan mengalami perdarahan sejak 1 bulan
terkahir, klien mengatakan perdarahan yang ia alami seperti orang yang sedang
menstruasi dengan darah bercampur lendir yang keluar dari jalan lahir. Dokter
menganjurkan klien untuk dirawat di ruangan kebidanan pada tanggal 14 Oktober
2019. Klien mengatakan cemas akan kondisinnya saat ini. Pada saat dilakukan
pengkajian tanggal 14 Oktober 2019, Klien mengatakan masih mengalami
perdarahan. Klien mengatakan masih keluar darah bercampur lendir dari jalan lahir
dengan jumlah yang sedikit. Klien mengatakan nyeri pada pinggang dan rasanya
menjalar ke punggung seperti terbakar, Skala nyeri 5. Klien mengatakan nyeri
yang dirasakan hilang timbul dan sedikit berkurang saat istirahat. Dari hasil ob-
servasi terlihat Klien lemah, pucat, tampak meringis dan memegang perut bagian
bawahnya. Klien mengatakan cemas terhadap pengobatan yang akan dijalaninya
dan takut jika pengobatannya tidak berhasil. Klien mengatakan sedikit cemas
dengan operasi yang akan ia jalani. Klien mengatakan pertama kali di vonis dokter
menderita penyakit Ca. Cerviks pada bulan Mei 2019 di RSUP DR. M. Djamil
Padang. Klien mengatakan sebelum juga pernah di rawat selama 6 hari di RS yang
sama. Klien mengatakan sebelumnya tidak ada riwayat pernah di operasi. Klien
mengatakan ada riwayat Hipertensi sejak 2 tahun yang lalu. Klien mengatakan
tidak ada keluarga yang menderita penyakit yang sama dengan klien. Klien
menarche saat usia 12 tahun, dengan siklus menstruasi 28 hari, lamanya 5-6 hari,
dan ganti pembalut sebanyak ± 3-4 kali dalam sehari. Klien mengatakan
mengalami nyeri yang biasa ketika menstruasi. Klien juga mengatakan bahwa ia
menstruasi terakhir sejak 3 tahun yang lalu. Klien menikah saat usia 25 tahun.
Pernikahannya kurang lebih sudah 36 tahun, dan memiliki 4 orang anak. Klien
mengatakan bahwa ia pernah menggunakan alat kontrasepsi jenis spiral setelah
melahirkan anak ke 4 nya selama 18 tahun. Selama menggunakan alat kontrasepsi
spiral klien merasa cocok dan tidak ada mengalami keluhan. Klien mengatakan
tidak pernah menggunakan jenis alat kontrasepsi yang lain.
Post operasi :
Paat dilakukan pengkajian kembali pada tanggal 16 Oktober 2019 di dapat-
kan. Klien post op hari ke-1 mengatakan terasa nyeri pada daerah luka operasinya.
Klien mengatakan nyeri yang dirasakan hilang timbul, klien mengatakan skala
nyeri 5, klien mengatakan nyeri terasa tertusuk-tusuk, klien mengatakan nyeri tim-
bul saat begerak dan sedikit berkurang saat istirahat. Dari hasil observasi klien
tampak meringis, pucat dan lemah. Klien cemas pada kondisinya. Klien menga-
takan takut terhadap penyembuhan luka yang lama, Klien mengatakan takut akan
kematian akibat penyakitnya.
No Diagnosa Keperawatan
Post Operasi
No Diagnosa Keperawatan
A. KESIMPULAN
Kanker serviks merupakan kanker yang terjadi pada serviks atau leher
rahim, suatu daerah pada organ reproduksi wanita yang merupakan pintu masuk
ke arah rahim, letaknya antara rahim (uterus) dan liang senggama atau vagina.
Berdasarkan pengkajian yang dilakukan pada Dari hasil pengkajian tanggal 15
oktober 2019 di dapatkan kesadaran Ny. E composmentis dan bisa diajak bicara.
Klien bicara jelas. Klien mengatakan nyeri pada perut nya, mengatakan nyeri
seperti ditusuk-tusuk, dan mengatakan nyeri yang dirasakan hilang timbul. Klien
juga mengalami kelemahan semenjak sakit dam lebih banyak bedrest. Untuk
memenuhi kebutuhan sehari-harinya aktifitas klien dibantu oleh keluarga dan
perawat. Klien mengatakan cemas, klien juga mengatakan takut serta khawatir
terhadap kondisinya. Dan klien juga selalu memikirkan kondisinya. Klien tampak
gelisah, tampak sulit untuk tidur, tampak melamun.
Dari data tersebut dirumuskan diagnosa keperawatan diantaranya nyeri
akut b.d agen cedera biologis, dan Anxietas b.d penyakit kronis progresif (mis.
Kanker, penyakit autoimun)
Implementasi dari rencana asuhan keperawatan yang telah ditetapkan
dilaksanakan selama 3 hari.
Setelah dilaksanakan implementasi di dapatkan hasil evaluasi dari masalah
keperawatan nyeri akut yaitu nyeri yang sudah berkurang tetapi tidak sepenuhnya
hilang. Implementasi anxietas pasien pasien sudah tampak tenang dan tidak
gelisah lagi akan penyakitnya.
B. SARAN
Diharapkan adanya cara yang lain untuk mengatasi nyeri dan kecemasan
pada pasien yang mengalami penyakit Ca Serviks baik kepada masyarakat secara
keseluruhan dan pasien yang berada di M.Djamil pada khususnya, serta
menyarankan untuk melakukan pemeriksaan pap smear untuk mendeteksi adanya
kelainan sel-sel kanker.