Anda di halaman 1dari 7

372

BEBERAPA CATATAN TENTANG PROSEDUR


AMANDEMEN TERHADAP PERJANJIAN
MULTILATERAL

oleh : MUHAMMAD ASHRI, S.H.

Perubahan perjanjian dalam arti amandemen ter-


hadap perjanjian multilateral mengandung banyak
permasalahan. Permasalahan tersebut, antara lain,
menyangkut prosedur amandemen yang biasanya di-

atur secara tersendiri dalam ·peljanjian yang bersang-

kutan. Karangan berikut ini akan membicarakan
bagaimana snatu rencana amandemen tersebut dite-
rima oleh negara-negara peserta perjanjian. Aturan-
aturan mengenai amandemendalam Konvensi Wina
1969 bersifat um.urn dan sangat sederhana, antara lain
karena pengaturan amandemen diserahkan kepada
negara peserta untuk menentukannya t1alam peljau-
jianyang merekabuat

Pendahuluan
Perjanjian iillcmasional dewasa ini menemlllti kedu::lukan penting dalam hubungan inter-
nasionaL Berbagai kerjasarria, penyelesaian konflik, serta organisasi dengan sifat bilateral
.
maupun multilateral dituangkan dalam bentuk perjanjian. Hukum yang mengatur perjanjian

internasional telah dikodifikasikandalam Komensi Wina tahl1IJ 1969 tentang Hukum Perjan-
jian Intemasion~l (Vienna Convention on the Law of Treaties, 1969), I)
Sebagai pembakuan sistem norma yang pertama kali bersifat komprehensif,2) mengakibat-
kan adanya berbagai aspek perjanjian intemasional yang mendapat pengaturan 3!cara umum.
Satu:diantara sekian aspek tersebut ialah "Arnandemen" yang biasa diartikan sebagai:

Perubahan terhadap ketentuan-ketentuan tertentu suatu perjanjian dengan melibat-


kan seluruh pesertanya. 3)
Sifat umumaturan mengenaiamandemendalam Konvensi Wina 1969,jugadikemukakan

1) Libat ; Pe~antar din Mocbtar Kusumaatmadja pada buku Budiono Kusurnobamidjojo; Suatu Studi terbadap
Aspek Operaslonal Kmvensi Wina 1969 tentangHuk ..... Perjanjian ",temaslonal, Binacipta·Bandung, 1986,-
hal. V (kata penga)ltar).
2) Lilla!: Leo. Gross, "Perkembangan Hukurn IntemaSiQnal dalan) PBB" dllain James BarrQs (ed.), United Nati0i!s:
Past, Present and Future. Oiteljema!:kanQleh ;'D.H. Gulo, PBB; Dulu, Kindan &Ok, Bumi Aksam, Jakarta, 1.9114,
hat 226.

;3).Perhatikan"~r!ian AJ1l\memenQjeh BudiQnQKusurnohamidjojQ, ()p. Cit. hal. 3211ilukllitkandengan Konvensi


Wbl!Ji9 . ptsal 40, . kbususoya ' aya! (;2) •.


Prosedur Amarriemen 3 73

oleh S.K. Agrawala


"The Convention only lays down geneml principles concerning theamand ernentand mod ifica-
.
tion of rnultilateml treaties either genemlly o ras betweencertainof the jlI rties onl y. Bu t it docs
not establish any procedure of a mardernent of geneml application , o r define the conditi ons to
be full filled for. the adoption or entry into fotC
.
e of an amandement." 4)
Karena itu studi terhadap perjanjian multilateral khususnya meny.lngkut aspek perubaha n
perjanjian dalam arti amandemen, seyogy.lny.l tidak terbatas semata- mata pada kerangka
objek Konvensi Wina 1969, akan tetapi meliputi pula praktek-praktek y.lng diadakan oleh
nega ra-negara -- atau subjek hukum internasionallainnya -- dalam mengadakan perjanjia n.
dalam hal ini adalah perjanjian internasional.
Kiranya perlu ditambahkan bahwa, perubahan perjanjian dalamarti amandemen terhada p
perjanjian multilateral mengand ung bany.lk permasalahan y.lng patut untuk dipelajari . Hal ini
disebabkan karena ·arna ndemen -- sebagaimana diartikan di atas, adalah perubahan perjanjia n
yang melibatkan seluruh pesertany.l, sementara perjanjian multilateral itu sendiri diikuti oleh
bany.lk pese rta.
Gambaran Umum Prosedur Amandemen
Pada umumny.l proseduramandemen terhadap perjanjian internasional baik yang bersifat
fomal (non Konstitusi)maupun berupa instrumenpembentuk organisasi internasional (konsti-
tusi), biasany.. diatur secara tersendiri dalam perjanjian yang bersangkutan. Aturan-atl!ran
tersebut
. lazimnya ditempatkan
.
bersama penentuan berlakunya (entry into f orce); keikutse r-
tian (accession); dan sebagainya, dalam ketentuan penutup (final clause) perjanjian ya ng
,
bersangkutan.
Prosedur.
amandemen umumnya, diawalidengan pengajuan proposal dari satu pihakdala m
perjanjian itu sendiri. Pihak-pihak tersebutdapat terdiri dari (1) negara peserta perjanjian, atau:
(2). organ darisuatu organisasi
.
internasional.
ad. (1) Hak negara peserta perjanjian untuk ,mengajukan proposal amandemen adalah
berkenaan dengan kepentingan negaranya (hak dan kewajibanny.l) dalam perjanjian itu.
Kpnvensi Wina 1969 pisal40 ayat (3) menyatakan bahwa :
.
"Every State entitled to become a ptrty to the treaty shall also be entitled to become a ptrty 10
the treaty as amanded."
ad. (2) Halt organ tertentu dari suat'u organisasi internasioilal untuk mengajukan proposal
arnandemen, adalah dimungkinkan sepinjang hal itu ditentukan dalam perjanjian. Contoh
• •

dari hal ini antara lain dapit ditemukan dalam Statuta Mahkamah Internasional (Statute of
International Court of ",uStice) pasal70ctimana Mahkamahdiperkemnkan untuk mengajukan
. '
proposal amandemen terhadap Statuta tersebut bila diperiukan. S)
,
Penyampaian proposal amal)(iemen oleh pihak-pihak tersebut di atas, dialamatkan kepada
DepoSitory antuk selanjutnya diteruskan Jtepida seluruh pihak peserta perjanjian.
, .
Teriibatnya Depository dalam hal ini, adalah berkenaan dengan fungsiny.l sebagai "wah
pemelihara teks asli perjanjian" (keeping custody of the onginal text of the treaty): 6)

4} S,K, Agrawala (cd,), Essays 00 th~ Law .o f Treaties. Madras. 1972. hal. nvl (introcha:tion).
5} Statula Mahka,nah lntemasional (ICJ~ .. sal 70. ""'Dyalallan : "1be Court shall have power to propose such
8meoo"",nls 10 the present Statute as it may deem neces' "Y.throughl .writtep cOllmunicadons tu the
Secretllry ~""ral. mr coosideration In colfOl1JlIty with doe provisions of Arlltle 69."
6) Selal\iulnya,""'RKemol fungsi-funlisl Deposiblry lIhal Konwlllli Wkla 1969 . . .1 77 ayal (1).

Agustus /988
374 Hukum dan Pembangunan

Suatu Depository daplt ben.:pa


1 Satu ata u leblh negara;
2 suatu organisasi internasional, atau;
3 pejabat adminitratif keplla dari organisasi itu. 7)
Mengenai penyamplian proposal arnandemen keplda seluruh pihak dalam perjanjian,
• •

adalah berkenaandenganhak-hak mereka sepertidinyatakandalam Konvensi Wina 1969 (2),


sebagai. berik ut :
.
Any proposal to amend a multilatera I treatly liS between all the (lIrties must be

notified to all
the contracting States, each one of which shaH have the right to take part in :
-
aj die decisIon as to the action to be. taken !n regard ot such proposal :
b) the negotiation .andconclusion of any agreement for the arnandement of·the treaty"
Bentuk suatu proposal amandemen, adakalanya disyaratkan secara tertulis oleh peIjanjian
yang bersangkutan !l Namun adapula peIjanjian internasional yang tidak
kehafllsa n secara demikian .

Dalam hal peIjanjian tidak menegaskan bentuk proposaiamaooemen secara tertulis, rnaka
pihak yang hendak mengajukan proposal amandemen terhadap peIjanjian tersebut adalah
dimungkinkan untuk mengajukannya secara oral (Hsan). 9)
Sir Humphrey Waldock, mengatakan :
"Panitia Hukum Intemasional mengakui bilhwa dalam bebera (lI masalah peljanjian interna-
sional, khususoya dalam kasus kasus betbentuk sederhana telah dirubah melalui prosedur

tidak resmi (infollllal) can bahkan dengan persetujuan lisan oleh (lira Menteri." 10)
Pengajuan proposal amaixlemen terhadap peIjanjian internasional mulitilateral, dapat
dilakukan pada (1) setiap saat ; (2) setelah liwatnya periode yang ditentukari, atau (3)'setelah
ubanya
.
periode te.rtentu, sesuai de~an ketentuan peIjanjian yang
. bersangkutan.

Bentuk-bentuk Prosedur Amandemen


Dari beberapl peIjanjian
.
multilateral yang
.
ada dewasa ini, daplt ditemukan bahwa pro-

sedur amandemen.
daplt digolongkan dalam dua bentuk, yaitu:
.
"prosedur normal" (normal
procedure), dan "prosedui sederhana" (simplified procedure).
A Prosed ur N olillal
Prosedur arnaooemen secara nOIlnal (biasa) berlangsung dalam dua tahap, yaitu :
1) Pengajuan proposal arnaooemen
Pada tahap in!; proposal amaooemen diajukan/disampaikan keplda seluruh piltak-
melalw Depository.- peIjanjian untuk dimohonla nnya. Apabila proposaltersebut
meooapat dukungan oleb sejumlab suara - di Iuar forum resmi yang ditentukan, maka

7) Koovensi Wina 1969 . .sal 76 ayat (I).


8) Uhat misa"ya kelentuan amanden.ell "Convention for the Protection of die Mediteiianean Sea Against
follution,
. 1976" plsal 16 ayat (4),yang IIlellyatakan : "Acceptance of shaD be .notif'led to the
Depositary m writmg .... ".
9) Uhat: Oppi,ileim - La,*rpacbt,l,*mational Law - a·Treaties, Vol. i : Peace, 8lh.ed, hal. 898. Juga, Agrawala,
Op, Cit., hal. · 35-36. .
10) Sir Humphrey Waldeck, dalam LM.Sinclair, The Vienna COnvention on the Law of Treaties, dikutip dari :
Syahmin A.K.; . .,k .... Peojllpn l,*masiOt)al (Menurot Konvensi Wina 1969), CV. Armico, Bandung, 1985,
hal. 125.

,
Prosedur Amardemen 375

selanjutnya Depository . mengundang para pihak untuk mengadakan konperensi guna


membahas proposal yang diajukan itu.
2) Pembahasan proposal arnandemen
Setelah proposal diterima (tahap pertama), maka tahap berikutnya adalah pembahasan
proposal tersebut dalam suatu konperensi internasional mengenai kemungkinan diterima/-
berlakunya arnandemen yang diusulkan itu.
Teknik pengambilan keputusan dilakukandengan "pemungutan suara" (voting system), 11)

dan ada pula perjanjian yang menerapkan teknik lain, yaitu "permufakatan" (consensus
system). 12)
B Prosedur Sederhana
Berbeda dengan prosedur normaldia~s, prosedur sederhana dilaksanakan tlnpa mengada-
.
kan suatu konperensi internasional. oleh pihak-pihak . yang bersangkutan. Dengan demikian,
tidak ada · pemungutan !iuara atau konsensus untuk memutuskan apakah suatu proposal
arnandemen yang diajukan oleh salah satu pihakdapat diterima untuk selanjutnya diberlaku-
kan, atau tidak. Oleh karena itu, prosedur semacam ini biasanya disebut sebagai "amandemen
dengan prosedur yang disederhanakan" (arnandement by.simplified procedure).
. .
Pada prosedur yang beibentuk sederhana, peserta atau pihak-pihakdalam peIjanjian yang
telah meneritna proposal arnandemen Depositary, diberi tenggang waktu tertent.u untuj<:
menyatakan tanggapannya terhadapproposal tersebut. Apabila dalam kurun waktu itu, tidak .
satupun pihakdalam peIjanjian yang menyatakan ke1:>eratanatau penolakannya, maka aman-

demen yang diusulkan itu harils dianggap diterima. Sebaliknya,jika da pihak yang menyata-
kan keberatan atau penolakannya dalam kurun waJ<:tu tersebut, maka proposal amandemen
harus dia ngga p ditola k. 13 )
Penerimaan arnandemen dalam bentuk prosedur sederhana, kiranya dapat disebut sebagai
. .
penerimaan melalui "persetujuan diam-diam" (tacit consent).
Prinsip-prinsip Prosedur Amandemen
.
Dalam praktek, prosedur arnandemen terhadap perjanjian internasional dapat dibedak;lO

atas

tiga prinsip, yaitu : The "Consent" principle; The "Legislative" Principle. dan; A C.A)mbina-
tion of the T)ID Principles. 14).
A. The "Consent" Principle
Prinsip ini pada dasarnya men)erahkan penerimaan amandemen oleh persetujuan setiap ••

pihak dalam peIjanjian itu sendiri. Oleh karena itu, dapat teIjadi bahwa suatu proposal
arnandemen tidakdisetujui oleh satu atau sekelompok negara peserta peIjanjian yang bersang-

1\) Penerimaan amardemen .dengan "pemungutan suara" darat dilihat, antara lain dalam : "Treaty on the Non-
Proliferation of Nuclear Weapons" pi sal VIII ayat (2)..
12) Pernaukan misalnya, prosedur amandemen dalam Konvensi PBB mengemi Hukum !.aut 1982, khususnya rasal
312.
13) Perhalikan pula, prosedur amandemen dalam Konvensi PBB mengemi Hukurn !.aut 1982, khususnyarasaI3I3.
14) Pri,. "llIIIlsen,:', "legislative'~, din a combination of the two prinCiples, dlkemukakan oleh Bowell untuk studinya.
te>.h.l!l~si organisasi intemasional seperti ditulis dalam bukun ya "1J'he LawofIntemalionallnstllUtions".
MenurU! penuhs, l<etij;a prinsip prosedur amandemen tersebuttidak saja darat digunakan untuk studi ternadap
perjanjian intemasiorial dalam arti khusus seperti instrumeri pembentuk organisasi intertlasional (k"onstitusi), akan
retaPi. diratjl4la digunakan daIam studi mengemi amandemen ternadap perj.anjian internasional daIam arti luas
ya~ ·meliputi petjanjian internasional non konstitusi.

Agustus 1988
376 Hukum dan Pembangunan

kutan, namun tidakberarti bahwa ketiadaanpersetujuan tersebutakan menutup kemungkinan


berlakunya amarrlemen yang disetujui oleh mayoritas peserta lainnya, kecuali pengaruh yang
logisbahwa amandemen yang bersangkutan tidak mengikat bagi mereka yang menolaknya.
Prinsip "consent" inilah yang semakin banyak dianut oleh peIjanjian multilateral, karena
tidak mungkin lagi untuk memoatasl persetujuan {agreement) atas dasar penOlakan dari satu
atau dua pihak saja, seperti perrlaplt Starke bahwa :
"Genemlly, unanimity IS required for the adoption of the amandment, but the trend since 1945
is toward allowing amandment of multilatemlconventions by a majority, if 111 is is the interest of
the international community." 15)
Pada peIjanjianinternasional yang berwujud konstitusi seperti instrumen pembentuk orga-
nisa si internasional, prinsip tersebutjarang digunakan, kecuali daJllt ditemui pada Covenant
Liga Bangsa-Bangsa (LBB) pasa156, dan Convention on International Civil Aviation (ICAO)
Jllsal 94 (a). 16)

B. The "Legislative" Principle


Prinsip Legislatife pada dasarnya men)Crahkan penerimaan dan berlakunya amandemen
oleh persetujuan mayoritas peserta perjanjian. Prinsip iniJllda umumnya dianut oleh perjan-
jian intentasional yang berwujud konstitusi.
Konsekuensi prinsip ini adalah, bahwa suatu amandemen oleh mayoritas pe~rta perjanjia n
-- sesuaijumlah yang disyaratkan, akan berlaku secara utuh bagi seluruh peserta peIjanjian, tak
terkecuali bagi mereka yang tidak ,menyatakan persetujuannya. Ketentuan semaG:am ini
ditemui dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pasall 08, yang menyatakan bahwa
: Setelah penerimaan oleh dua-pertiga anggota Majelis Umum dandiratifikasi oleh dua-pertiga
anggota termasuk anggota tetap Dewan Keama{llln, maka amandemen akan berlaku bagi
semua aJnggota. 17)
Selain itu,prinsip legislatif juga diguilakan oleh Konstitusi World Health Organization
(WHO) pasal 7; Konstitusi United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization
(UNESCO) pasal13, dan Konstitusiinternational Atomic Energy Ag~ncY (IAEA) pasal 18.
Semuanya menentukan berlakunya amandemen bagisemua anggota, walaupun penenmaan.
nya hanya memerlukan persetujuan dari dua-pertiga atau mayoritas suara anggota lll}

C. A Combination of tie T\\O Principles



Prinsipini disebut sebagai kombinasi, Karem ini merupakan penggabungandari dill prinsip
amandemen yang dikemukakaJisebelumnya. Prinsip ini menentukan bahWcl, Amandemen
terhadap ketentuan-ketentuantertentu suatu peIjanjian akan dilaksanakan• dengan prinsip

"Consent",, sedangkan untuk ketentuan-ketentuan selebihnyDdari peIjanjian yang sarna


harus dilaksanakande11(an prinsip prosedur "legislatif'.

IS) J.G. Slruke. An IntrodllCtion to Internallonal Law, London. 1972, hal. 435.
16) Lilat : D.W.Bowen, The Law -of Intemalionallnstilulions, 2rd.ed. Butler Worth. Landon . 1970. IBI. 365.
17) Teks seleJl!b-jlIIya l\ilri Piagam PBB JBsal' lOS : "Amendment to the present Charte{sliall COllie JDtO, force for all
Membersof fJe,Uoited,Nations whea1hey I)ave been adopted by a vote of two-thirdsof:me Membe,rs of Ibe otiIeral
Assembly and llltRed inaccordaoce With.lbeir r~5piXtive constilUtional processes by two-thirds of Ibe Members ofthe
United NBtii>ns, iIcIudinlfalilhe peiluanenl Members' of· Security CowK:iL"
18) Libat : D.W, Bowell, Op.; a.., hal. 366.

Prosedur Amandemen 377

Akan halnya prinsip "legislatif', prinsip ini urn umnya digunakan dalam perjanjian multila-
teral yang berwujud konstitusi (instrumen pembentuk organisasi internasional). Penggunaan-
nya dicontohkan oleh Konstitusi Food and Agriculture Organization (FAa) dalam pasal20
yang menyatakan bahwa : Prosedur amandemen yang menimbulkan kewajiban-kewajiban
baru bagi anggota, harus diterima oleh dua-pertiga suara Sidang dan diratifikasi oleh dua-
pertiga jl.imlah anggota. Arnandemen kemudian berlaku •
bagi mereka yang meratifikasinya .
Sedangkan' untuk berlakunya arnandemen terhadap ketentuan-ketentuan yang tidak menim-
bulkan kewajibanbaru bagianggota, cukupditerima olehdua-pertiga anggota Sidang (Peserta

Konperensi). 19)
Dari Konstitusi FAa yang dicontohkandi atas, tampakbahwa prosedur amandemen untuk
ketentuanjenis pertarna dilaksanakan dengan prinsip prosedur "Consent", sedangkan untuk
ketentuanjenis kedua dilaksanakan dengan prinsip prosedur "legislatif'.
Terhadap perjanjian multilateral yang merupakan instrumen suatuorganisasi internasional,
penggunaan prinsip ini dinila.i oleh Bowett sebagai sangat rasional, seperti dinyatakan :
"A very rational de\elopment has been that of differentiating between amendments so as to
govern the minor amendements by the legislati\e principle but the major amendments by the
congent principle." 20)

Penutup
Aturan-aturan mengenaiamandemen yang ada dalam Komensi Wina 1969 bersifat umum
dan sangat sederhana, dikarenakan pengaturan amandemen secara jelas dan terinci diser;lhkan
kepada kehendak para pihak untuk menentukannya pada perjanjian yang bersangkutan.
Hal tersebut dibuktikan oleh beraneka ragamnya prosedur amandemen dan cara peneri-
rnaannya yang ada pada praktek pengaturanamandemenoleh perjanjian multilateraldewasa
·ini. Beberapa diantaranya aspek prosed ural tersebut iidak diatur oleh Kon\t:rsi Wina 1969.
Bentuk-bentuk prosedur yang ada. dalam praktek adalah, "prosedur nonnal" (normal
procedure) dan "prosedur sederhana" (simplified procedure). Adapun cara penerimaan arnan-
demen, dapat dibagi atas: "pemungutan suara" (voting system); "permufakatan" (consensus
system), clan; "persetujuan secara diam-diam" (tacit consent).
Selain penggolongan bentuk, prosedur amandemen juga dapat digolongkan berdasarkan

prinsip berlakunya, yaitu prinsip "consent"; "legislative", dan; kombinasi antara keduanya (a

combina tion of the two principles).


Prosedur arnandemen deBgan prinsip "consent", memungkinkan suatu perjanjian sebagai-
mana diarnandemen, berlaku/ditaati oleh Jl!'tserta dengan kualitas keterkaitan yang berbeda,
yaitu: satu pihak !erikat pada perjanjian sebagaimana diamandemen,sementara pihak lainnya
hanya terikat pada perjanjian asli (original treaty) saja, karena tidak men}t!(ujui arnandemen
terhadap perjanjian yang bersangkutan.
.
Dalam kasus tersebut di atas, Kcinvensi Wina 1969 menentukan bahwa, hubungan diantara
mereka hanya diatur oleh perjanjian dimana kedua mereka itu menjadi pihak di dalaninya
(pasal40 ayat 4). Tampaknya, Kon\t:osi Wina 1969 menganut priosip "consent".
Pada arnandemen dengan prinsip '1egislati\t:", tidak mungkin suatu perjanjian sebagairnana


\9) Ibid;
20) Ibid.

Agustus 1988
378 Hukum dan Pembangunan

diamandemen akan berlakti/ditaati olehpara peserta dengan kualitas keterkaitan yang ber-
,

beda. Hal ini dikarenakan bahwa menurut priilsip ini, amandemen oleh penerimaan mayoritas
peserta akan berlaku bagi seluruh peserta perjanjian, meskipun terhadap mereka yang tidak
menyatakan persetuj uannya.
,

Adapun prinsip "kombinasi" antara consent dan legislative, digunakan pada perjanjian yang
menerapkan dua prosedur amandemen.Prinsip "consent" dipakai untuk prosedur amande-
,

men terhadap ketentuan-ketentuan tertentu, sedangkari terhadap ketentuan-ketentuan sele-


bihnya dari perjanjianyang Sarna akan diamandemen dengan prinsip prosedur "legislative".
·Dalam praktek prosedur amandemen, tampak oahwa prinsip "consent" banyak digunakan
pada prosedur arnandemen terhadap perjanjian multilateral yang bukan merupakan instrumen
'pe,mbentuk organisasi internasional (non-konstitusi), sedangkan prinsip "legislative" dan prin-
sip "kombinasi" antara consent dan legislatif, lazim digunakan pada prosedur amandemen
terhadap perjanjian multila teral yang berwuj ud instrumen pembentuk organisasi internasional
(konstitusi).

KEPUSTAKAAN

Agrawala, S.K (ed.), Essay on the Law of Treaties, Madras, 1972.


Barros, James (ed.), United Nations: Past. Present and Future. Diterjernahkan oleh: D.H
Gulo, PBB Dolu, Kini dan Esok, Bumi Aksara, Jakarta, 1984.
Bowett, D. W. The Law ofInternational Institutions, 2nd. ed., Butter Worth, London, 1970.
Kusumohamidjojo, ButlioQo, Suatu Studi terhadap Aspek Operasional, Binacipta, Ban-
dung, 1986.
Oppeilheim, Lassa - Lauterpacht, International Law- a treatise, Vol. I: Peace, 8th.ed.,
,
Longmans Green and Co., 1966.
Starke, J.G., An Introduction to International Law, Butter Worth, London, 1972.
Syahmin, A.K., Hukum Peljanjian International (Menurut Kon~nsi.Wina 1969), CV.
Armico, Bandung, 1985.

International Law Commission, "Report of the Internationall;aw Commission" dalam Ame-


rican Journal of International Law, Vol. 61, No. I, Januari 1967.
Covenant of the League of Nations
Charter of the United Nations ,

Statute of International Court Justice.


Treaty on the Non-Proliferation of Nuclear Wepons.
Vienna Convention on the Law of Treaties, 1969.
Convention for the Protection of the Mediterranean Sea Against Pollution.
Convention on Internationai Civil Aviation (HThe Chicago Convention, 1944").
Protoc<;>l Relating to an Arnandement to the Convention onlnternational Civil Aviation, 1980.
United Nations Convention on the Law of the sea, 19&2 .


-

Anda mungkin juga menyukai