Disusun Oleh:
BAB I
PENDAHULUAN
Hak Guna Bangunan adalah salah salah satu hak atas tanah lainnya yang diatur dalam
Undang-Undang Pokok Agraria. Menurut ketentuan pasal 35 UUPA sebagai berikut:
Pasal 35
1) Hak Guna Bangunan Ialah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas
tanah yang bukan miliknya sendiri, dengan jangka waktu paling lama 30 tahun.
2) Atas permintaan pemegang hak dan dengan mengingat keperluan serta keadaan bangunan-
bangunannya jangka waktu tersebut dalam ayat (1) dapat diperpanjang dengan waktu paling
lama 20 tahun
3) Hak Guna Bangunan dapat beralih dan dialihkan kepada orang lain.
Dapat diketahui bahwa yang dinamakan Hak Guna Bangunan ialah hak untuk mendirikan dan
mempunyai bangunan diatas tanah yang bukan miliknya sendiri dengan jangka waktu 30
tahun. Jadi dalam hal ini pemilik bangunan berbeda dari pemilik hak atas tanah dimana
bangunan tersebut didirikan. Ini berarti seorang pemegang Hak Guna Bangunan adalah
berbeda dari pemegang hak milik atas bidang tanah dimana bangunan tersebut didirikan, atau
dalam konotasi yang lebih umum, pemegang Hak Guna Bangunan bukanlah pemegang Hak
Milik dari tanah dimana bangunan tersebut didirikan. Sehubungan Hak Guna Bangunan ini,
pasal 37 UUPA menyatakan bahwa:
Pasal 37
Hak Guna Bangunan terjadi:
1. Mengenai tanah yang dikuasai langsung oleh negara; karena penetapan pemerintah.
2. Mengenai tanah milik; karena perjanjian yang berbentuk autentik antara pemilik tanah yang
bersangkutan dengan pihak yang akan memperoleh Hak Guna Bangunan itu, yang bermaksud
menimbulkan hak tersebut.
2.2 Subjek Hukum yang Dapat Menjadi Pemegang Hak Guna Bangunan
Dalam kaitannya dengan kepemilikan Hak Guna Bangunan, ketentuan pasal 36 Undang-
undang Pokok Agraria menyatakan bahwa:
Pasal 36
1. Yang dapat mempunyai hak guna bangunan ialah:
a. Warga negara Indonesia
b. Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia.
2. Orang atau badan hukum yang mempunyai Hak Guna Bangunan dan tidak lagi memenuhi
syarat-syarat yang tersebut dalam ayat 1 dalam jangka waktu 1 tahun wajib melepaskan atau
mengalihkan hak itu kepada pihak lain yang memenuhi syarat. Ketentuan ini berlaku juga
terhadap pihak yang memperoleh Hak Guna Bangunan, jika ia tidak memenuhi syarat-syarat
tersebut. Jika Hak Guna Bangunan yang bersangkutan tidak dilepaskan atau dialihkan dalam
jangka waktu tersebut, maka hak itu hapus karena hukum, dengan ketentuan, bahwa hak-hak
pihak lain akan diindahkan, menurut ketentuan-ketentuan yang ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah.
Sejalan dengan ketentuan Hak Guna Bangunan, seperti telah dijelaskan dimuka, dari rumusan
Pasal 36 UUPA tersebut juga dapat diketahui bahwa Undang-undang memungkinkan
dimilikinya Hak Guna Bangunan oleh badan hukum yang didirikan menurut ketentuan
hukum Negara Republik Indonesia dan yang berkedudukan di Indonesia. Dua ketentuan
diatas yaitu:
1. Didirikan menurut ketentuan hukum Indonesia, dan
2. Berkedudukan di Indonesia
Adalah dua unsur yang secara bersama-sama harus ada, jika badan hukum tersebut ingin
mempunyai Hak Guna Bangunan di Indonesia. Ini berarti badan hukum yang didirikan
menurut ketentuan hukum Indonesia tetapi tidak berkedudukan di Indonesia tidak mungkin
memiliki Hak Guna Bangunan, atau badan hukum yang tidak didirikan di Indonesia tetapi
berkedudukan di Indonesia juga tidak dapat memiliki Hak Guna Bangunan.
2.3 Pendaftaran Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas Tanah Hak Milik
Pendaftaran Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas Tanah Hak Milik dilakukan pada
Kantor Pertanahan setempat, dengan melampirkan :
1. Surat permohonan pendaftaran Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas tanah Hak Milik;
2. Sertipikat Hak Milik;
3. Akta Pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas Tanah Negara yang dibuat di hadapan
PPAT yang berwenang;
4. Identitas pemilik tanah Hak Milik dan pemegang Hak Guna Bangunan/Hak Pakai;
5. Surat kuasa tertulis dari pemohon (kalau ada);
6. Bukti pelunasan pembayaran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, dalam hal bea
tersebut terhutang;
7. Bukti pelunasan pembayaran Pajak Penghasilan, dalam hal pajak tersebut terhutang.
Pendaftaran pembebanan hak tersebut dicatat dalam buku tanah dan sertipikat Hak
Milik yang bersangkutan dan selanjutnya sertipikat Hak Milik dikembalikan kepada
pemegang Hak Milik. Sedangkan untuk Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai dibuatkan Buku
Tanah dan Surat Ukur tersendiri dan kepada pemegang Hak Guna Bangunan/Hak Pakai
diterbitkan ertipikat Hak Guna Bangunan/Hak Pakai, yang di dalamnya disebutkan asal
sertipikat Hak Milik.
2.4 Kewajiban pemegang Hak Guna Bangunan diatur dalam Pasal 30 PP Nomor 40
Tahun 1996 yang menentukan:
1. Membayar uang pemasukan yang jumlah dan cara pembayarannya ditetapkan dalam
keputusan pemberian haknya.
2. Menggunakan tanah sesuai dengan peruntunannya dan ;persyaratannya sebagaimana
ditetapkan dalam keputusan dan perjanjian pemberiannya.
3. Memelihara dengan baik tanah dan bangunan yang ada diatasnya serta menjaga
kelestarian lingkungan hidup.
4. Mengarahkan kembali tanah yang diberikan dengan Hak Guna Bangunan kepada
Negara, pemegang Hak Pengelolaan atau pemegang Hak Milik sesudah Hak Guna
Bangunan itu dihapus.
5. Menyerahkan sertifikat Hak Guna Bangunan yang telah dihapus kepada kepala kantor
Pertanahan.
Berdasarkan Pasal 12 UU Nomor 56 (Prp) tahun 1960 tentang Penetapan Luas tanah
pertanian maksimum luas dan jumlah tanah untuk perusahaan dan pembangunan lainnya akan
diatur dengan Peraturan Pemerintah. Hapusnya Hak Guna Bangunan menurut Pasal 40
UUPA karena:
Hak Milik atas tanah dapat terjadi melalui 3 cara sebagai mana disebutkan dalam Pasal 22
UUPA, yaitu:
Hapusnya Hak Milik. Pasal 27 UUPA menetapkan faktor-faktor penyebab hapusnya Hak
Milik atas tanah dan tanahnya jatuh kepada negara, yaitu :
3. Tanahnya ditelantarkan
Pengaturan mengenai tanah yang terlantar diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor
36 Tahun 1998 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar (PP No. 36/1998).
Pasal 3 dan 4 PP No. 36/1998 mengatur mengenai kriteria tanah terlantar yaitu; (i) tanah yang
tidak dimanfaatkan dan/atau dipelihara dengan baik. (ii) tanah yang tidak dipergunakan
sesuai dengan keadaan, sifat atau tujuan dari pemberian haknya tersebut.
4. Karena subyek haknya tidak memenuhi syarat sebagai subyek hak milik atas tanah
Pasal 21 ayat (3) UUPA mengatur bahwa orang asing yang memperoleh hak milik
karena pewarisan tanpa wasiat atau pencampuran harta perkawinan, demikian pula
warganegara Indonesia yang mempunyai hak milik dan setelah berlakunya UUPA ini
kehilangan kewarganegaraannya, wajib melepaskan hak itu dalam jangka waktu 1 (satu)
tahun sejak diperolehnya hak tersebut atau hilangnya kewarganegaraan itu. Jika sesudah
jangka waktu tersebut lampau hak milik itu tidak dilepaskan, maka hak tersebut hapus karena
hukum dan tanahnya jatuh kepada negara, dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain yang
membebaninya tetap berlangsung.
5. Karena peralihan hak yang mengakibatkan tanahnya berpindah kepada pihak lain
yang ti dak memenuhi syarat sebagai subyek Hak Milik atas tanah
Kemudian Pasal 26 ayat (2) UUPA menyatakan bahwa setiap jual-beli, penukaran,
penghibahan, pemberian dengan wasiat dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan
untuk langsung atau tidak langsung memindahkan hak milik kepada orang asing, kepada
seorang warga negara yang di samping kewarganegaraan Indonesianya mempunyai
kewarganegaraan asing atau kepada suatu badan hukum, kecuali yang ditetapkan oleh
Pemerintah yaitu badan-badan hukum yang dapat mempunyai hak milik dan syarat-syaratnya,
adalah batal karena hukum dan tanahnya jatuh kepada Negara, dengan ketentuan, bahwa hak-
hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung serta semua pembayaran yang telah
diterima oleh pemilik tidak dapat dituntut kembali.
6. Tanahnya musnah, misalnya terjadi bencana alam
Sebagaimana pemberian, peralihan dan pembebanan Hak Milik yang wajib di daftar
dalam buku tanah, pendaftaran hapusnya hak kepemilikan atas tanah juga wajib untuk
dilakukan. Hal ini diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dapat diketahui bahwa yang dinamakan Hak Guna Bangunan ialah hak untuk
mendirikan dan mempunyai bangunan diatas tanah yang bukan miliknya sendiri dengan
jangka waktu 30 tahun.
Jadi dalam hal ini pemilik bangunan berbeda dari pemilik hak atas tanah dimana
bangunan tersebut didirikan. Ini berarti seorang pemegang Hak Guna Bangunan adalah
berbeda dari pemegang hak milik atas bidang tanah dimana bangunan tersebut didirikan, atau
dalam konotasi yang lebih umum, pemegang Hak Guna Bangunan bukanlah pemegang Hak
Milik dari tanah dimana bangunan tersebut didirikan.
Yang dapat mempunyai hak guna bangunan ialah:
a. Warga negara Indonesia
b. Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia.
Orang atau badan hukum yang mempunyai Hak Guna Bangunan dan tidak lagi
memenuhi syarat-syarat yang tersebut dalam ayat 1 dalam jangka waktu 1 tahun wajib
melepaskan atau mengalihkan hak itu kepada pihak lain yang memenuhi syarat. Ketentuan ini
berlaku juga terhadap pihak yang memperoleh Hak Guna Bangunan, jika ia tidak memenuhi
syarat-syarat tersebut. Jika Hak Guna Bangunan yang bersangkutan tidak dilepaskan atau
dialihkan dalam jangka waktu tersebut, maka hak itu hapus karena hukum, dengan ketentuan,
bahwa hak-hak pihak lain akan diindahkan, menurut ketentuan-ketentuan yang ditetapkan
dengan Peraturan Pemerintah.
Hak Guna Bangunan sebagaimana dimaksud dalam pasal 22 diberikan untuk jangka
waktu 30 tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu yang paling lama 20 tahun.
Permohonan perpanjangan jangka waktu Hak Guna Bangunan atau waktu pembaharuannya
diajukan selambat-lambatnya dua tahun sebelum berakhirnya jangka waktu Hak Guna
Bangunan tersebut atau perpanjangannya.