Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH FITOMEDISIN

PENGEMBANGAN OBAT TRADISIONAL MENJADI SEDIAAN FITOFARMAKA


Senyawa Karatenoid dari Buah Merah (Pandanus conoideus Lam) sebagai
anti-gondok

Disusun oleh :
Putri Nur Fathimah 1041611186

PROGRAM STUDI S1-FARMASI


SEKOLAH TINGGI ILMU FARMASI
“YAYASAN PHARMASI SEMARANG"
2018
BAB I
PENDAHULUAN

Indonesia merupakan salah satu negara yang kaya akan keanekaragaman


hayati terutama tumbuh-tumbuhan. Ada lebih dari 30.000 jenis tumbuhan yang
terdapat di Indonesia, dan lebih dari 1.000 jenis telah diketahui dapat
dimanfaatkan untuk pengobatan. Obat bahan alam yang telah terdaftar di Badan
POM hingga saat ini berjumlah 11.776 produk, sedangkan jumlah industri obat
bahan alam Indonesia pada saat ini berjumlah 1046 industri (Sampurno, 2004).
Hal ini mendorong bekembangnya penelitian pengembangan bahan alam sebagai
obat, makanan dan kosmetika. Penelitian khasiat dan keamanan dapat dilakukan
secara praklinik maupun klinik. Uji praklinik dapat dilakukan secara invivo
maupun in vitro (World Heath Organization, 1993).
Obat yang berasal dari bahan alam dibagi menjadi tiga kelompok yaitu: 1.
Jamu, 2. Obat herbal terstandar dan 3. Fitofarmaka. Jamu adalah obat tradisional
yang kemanjuran dan keamanannya didasarkan pada pengalaman empiris dan
penggunaan secara tradisional. Obat herbal terstandar adalah obat tradisional yang
kemanjuran dan keamanannya telah dibuktikan melalui uji pre-klinik
menggunakan hewan percobaan. Fitofarmaka adalah obat tradisional yang
kemanjuran dan keamanannya telah dibuktikan melalui uji pre-klinik
menggunakan hewan percobaan dan uji klinik pada manusia. Oleh karena itu,
diperlukan rangkaian tahapan uji dan pembuktian agar suatu senyawa dapat
digolongkan sebagai obat (WHO, 2000).
Salah satu tanaman yang memiliki efek farmakologi dan terkenal saat ini
adalah buah merah. Buah merah yang sebelumnya hanya dibiarkan tumbuh liar
dan digunakan sebagai sumber pangan, ternyata menyimpan potensi obat yang
luar biasa, karena adanya kandungan senyawa aktif berupa karotenoid, tokoferol,
dan senyawa aktif lainnya yang dapat digunakan sebagai obat. Senyawa aktif
tersebut berperan sebagai antioksidan yang mampu menetralisir zat-zat radikal
bebas dalam tubuh yang merupakan sumber pemicu timbulnya berbagai penyakit
(Hayuning, 2018).
BAB II
TINJUAN PUSTAKA
2.1 Tinjuan Buah Merah
Tanaman buah merah (Pandanus conoideus Lam.) berasal dari famili
Pandanaceae, genus Pandanus dan spesies Conoideus. Pandanus adalah genus
kompleks palaetropical yang terdiri atas sekitar 600-700 spesies dan umumnya
tumbuh pada daerah tropis, terutama di pulau Pasifik, Malaysia dan Australia
(Lechat et al. 1996; Jong & Chau 1998; Sadsoeitoeboen 1999). Tanaman buah
merah banyak tersebar di Papua terutama di daerah pegunungan. Pada habitat
aslinya, tanaman buah merah tumbuh baik di dataran rendah (40 m dpl) sampai
dataran tinggi (2000 m dpl).
Tanaman ini tumbuh bergerombol dan tumbuh dengan baik pada suhu di
bawah 17 o C, curah hujan rata-rata 186 mm per bulan, penyinaran matahari 75%
serta tekanan udara ratarata 896 milibar (mb). Tanaman buah merah tumbuh
secara kompetitif di lingkungan dengan kondisi tanah lembab dengan pH netral,
suhu 23-33 o Tanaman buah merah termasuk tanaman berbentuk semak, perdu,
atau pohon. Daunnya tunggal berbentuk lanset sungsang, berwarna hijau tua dan
letaknya berseling. Batangnya bercabang banyak, tegak, bergetah, dan berwarna
coklat bercak putih. Tinggi tanaman ini mencapai 16 m. Akar tanamannya
berfungsi sebagai penyokong tegaknya tanaman dan tergolong akar serabut
dengan tipe perakaran dangkal. Buahnya panjang dan memiliki bentuk silindris,
ujung tumpul, dan pangkal menggantung (Gambar 1). Panjang buahnya antara 96-
102 cm dengan diameter 15-20 cm. Bobot buah mencapai 7-8 kg. Buah berwarna
merah bata saat muda dan merah terang saat matang. Perkembangbiakkan buah
merah melalui pertunasan dan biji. Tanaman buah merah yang tumbuh dan
berbuah akan mengeluarkan tunas-tunas di sekitar tanaman induk (Budi & Paimin
2004).
Tanaman buah merah mulai menghasilkan buah pada umur 3-5 tahun
tergantung jenisnya. Kultivar-kultivar buah pandan yang telah diketahui dan
dibudidayakan oleh masyarakat memiliki waktu berbunga yang berbeda-beda
dalam satu tahun. Mulai dari berbunga hingga panen membutuhkan waktu sekitar
enam bulan (Orocomna 2003). C, dan kelembaban udara antara 73-98%
(Sadsoeitoeboen 1999). Gambar 1 Tanaman buah merah (Lisangan 2005) Ciri
morfologi buah merah dalam populasi P. conoideus dapat dibedakan menjadi
empat kultivar, yaitu kultivar merah pendek, merah coklat, merah panjang dan
kuning (Sadsoeitoeboen 1999).
Komposisi kimia buah merah bervariasi pada berbagai kultivar dan
dipengaruhi oleh tempat tumbuh (Sarungallo et al. 2008). Hasil eksplorasi dari 16
kultivar buah merah yang berasal dari dataran rendah, dataran sedang dan dataran
tinggi di Papua menunjukkan bahwa kadar total karoten tertinggi adalah pada
daerah dataran rendah dengan total karoten sebesar 594.15-3309.42 ppm. Total
karoten buah merah dari dataran sedang berkisar 603,16-857,9 ppm dan dataran
tinggi berkisar 332,65-749,06 ppm. Dijelaskan pula bahwa kandungan total
tokoferol tertinggi adalah pada buah merah yang berasal dari dataran rendah
berkisar 2.294,12-11.917,81 ppm. Sedangkan pada dataran sedang berkisar
964,52-2.853,23 ppm dan pada dataran tinggi berkisar 1848.96-6780.49 ppm.
Gambar 2 Beberapa kultivar buah merah (Orocomna 2003).
Buah merah di daerah Papua umumnya dikonsumsi dalam bentuk minyak
buah merah. Masyarakat mengolah buah merah dengan cara bakar batu (cara esasi
atau esasouk) dimana buah akan masak setelah lebih dari satu jam pembakaran.
Cara memasak ini dilakukan bersama-sama dengan ubi jalar dan sayuran lainnya.
Setelah itu buah merah diperas dan hasil perasan ditampung untuk memasak sayur
tumis. Buah ini juga dimanfaatkan sebagai saus untuk penggurih nasi, ubi dan
sagu serta digunakan sebagai bahan pewarna makanan (Wiriadinata 1995;
Sadsoitoeboen 1999).
Ekstraksi Minyak Buah Merah Ekstraksi minyak adalah suatu cara untuk
mendapatkan minyak atau lemak dari bahan yang diduga mengandung minyak
atau lemak. Setiap jenis sumber minyak memerlukan cara ekstraksi yang berbeda
antara satu sumber dengan sumber lainnya, dimana dapat dilakukan dengan cara
rendering, pengepresan mekanik dan ekstraksi pelarut ( Ketaren 1986). Cara
ekstraksi dengan rendering merupakan suatu cara ekstraksi minyak atau lemak
dari bahan yang mengandung minyak atau lemak dengan kadar air tinggi. Cara
ekstraksi ini membutuhkan panas untuk menggumpalkanprotein sehingga air akan
menguap dan lemak dapat dipisahkan. Rendering dapat dilakukan dengan dua cara
yaitu cara wet rendering dan dry rendering. Wet rendering dilakukan dengan
menambahkan sejumlah air selama proses pemanasan dalam ketel terbuka atau
tertutup pada temperatur sekitar 50˚C selama 4-6 jam. Pada proses dry rendering
selama pemanasan berlangsung tidak ditambahkan air dalam ketel terbuka yang
dilengkapi steam jacket serta alat pengaduk. Pemanasan dilakukan pada suhu 105-
110. Kandungan minyak pada beberapa kultivar buah merah asal Manokwari
bervariasi dimana kandungan minyak buah merah kultivar merah panjang 22.47%
(bk), kultivar merah pendek 23.80% (bk), kultivar merah coklat 10.31% (bk) dan
kultivar kuning 8.18% (bk) (Sherly 1999). Buah merah mengandung 35.93%
minyak (bk) dengan komposisi asam palmitoleat 19.58%, asam stearat 0.38% dan
asam oleat 79.92% (Murningsih 1992).
Susanti (2006) melaporkan bahwa metode ekstraksi akan berpengaruh
terhadap sifat fisikokimia ekstrak buah merah. Sifat fisikokimia ekstrak buah
merah Parameter Satuan Buah segar Metode tradisional, Metode modifikasi suhu,
Metode pengepresan, Viskositas Cst 2.85 3.50 3.22 2.97, Indeks bias o C 1.48
1.34 1.42 1.47, Berat jenis ml/g 0.65 0.60 0.62 0.66, Kadar air % 0.03 0.03 0.04
0.03, Titik asap o C 192.75 181.30 188.50 190.50, Asam lemak bebas % 0.09
21.96 0.57 0.09, Bilangan peroksida g/ek 0.15 4.46 2.31 0.16, Bilangan
penyabunan mg KOH/ g 265.44 255.66 257.48 262.62, Bilangan iod g/ek 68.19
42.61 55.40 67.77 Titik cair o C 12.35 16.00 15.00 12.50 (Susanti, 2006). Metode
ekstraksi juga sangat berpengaruh terhadap komponen kandungan bioaktif dari
ekstrak buah merah yang dihasilkan. Kandungan senyawa bioaktif buah merah
pada beberapa metode ekstraksi Metode ekstraksi Total karoten (ppm) β-karoten
(ppm) Total tokoferol (ppm) α-tokoferol (ppm) Rendemen (%) Metode tradisional
10000 a 300 10000 - - Metode wet rendering - b 123 - - 15.92 Metode modifikasi
suhu 12427 c 2000 9200 800 20 Metode pengepresan 21430 c 4583 10832 1368
18 Ket. a (Andarwulan et al, 2006)

2.2 Tinjuan Karotenoid


Karotenoid merupakan pigmen alami yang tersebar luas di alam.
Karotenoid berkontribusi memberikan warna kuning, oranye, dan ungu pada
pangan nabati maupun hewan. Lebih dari 650 karotenoid telah ditemukan dan
diisolasi dari berbagai sumber namun hanya 60 jenis yang tersedia dalam pangan
dan hanya 20 karotenoid yang dapat dideteksi dalam plasma dan jaringan pada
manusia (During & Harrison 2004). Karotenoid adalah kelompok senyawa yang
tersusun dari unit isopren atau turunannya. Berdasarkan unsur-unsur
penyusunnya, karotenoid dibagi menjadi dua golongan utama yaitu: (a) golongan
hidrokarbon karotenoid yang tersusun oleh unsur-unsur atom C dan H seperti α, β,
dan γ-karoten dan (b) golongan oksi karotenoid atau xantofil yang tersusun oleh
unsur-unsur atom C, H, OH seperti lutein, violaxantin, neoxantin, zeaxantin dan
kriptoxantin. Dari total karotenoid, kadar karoten hidrokarbon umumnya lebih
tinggi (60-70%) dibandingkan dengan kadar oksi karotenoid (Bauernfeind et al.
1981). Karotenoid bersifat larut dalam lemak sehingga larut dalam pelarut lemak
seperti heksan, aseton, kloroform, benzene dan petroleum eter. Jenis karotenoid
yang paling banyak ditemukan adalah β-karoten, lutein, likopen, α-karoten,
βkriptoxantin dan zeaxantin (Khacik F et al. 1992).
Jenis karotenoid yang paling banyak dijumpai pada bahan pangan adalah
β-karoten. β-karoten merupakan molekul asimetris dimana separuh bagian kiri
merupakan bayangan cermin dari bagian kanannya. β-karoten mempunyai 40
atom karbon yang terdiri dari 8 unit isoprene, 11 ikatan rangkap dan mempunyai 2
cincin β-ionone yang terletak masing-masing satu cincin pada ujung molekulnya
(Furr & Clark 1997). α-karoten mempunyai satu cincin β-ionone dan satu cincin
α-ionone sedangkan γ-karoten hanya mengandung satu cincin β-ionone dan
lainnya merupakan cincin terbuka. α-karoten dan γ-karoten mempunyai aktivitas
biologis kira-kira setengah dari nilai β-karoten.
Karotenoid bersifat stabil di alam. Namun isolatnya mudah mengalami
perubahan molekul, isomerisasi dan degradasi oleh panas, cahaya, oksigen, trace
element, dan asam (Bauernfeind et al. 1981). Karotenoid memiliki banyak ikatan
rangkap sehingga mudah mengalami degradasi oksidasi. Oksidasi ini terbagi atas
oksidasi kimia, autooksidasi, oksidasi cahaya (photooxidation) dan oksidasi
enzimatik. Proses oksidasi secara kimia terjadi karena berbagai oksidan seperti
oksigen, ozone, alkalin permanganat, asam kromat dan lain-lain. Hasil degradasi
tergantung pada lokasi terjadinya kerusakan. Pada ozonolisis terjadi pemotongan
ikatan-ikatan karbon sehingga membentuk asam karboksilat yang akhirnya
menentukan sifat akhir karotenoid.
Autooksidasi merupakan reaksi oksidasi spontan antara suatu senyawa
dengan oksigen dan atau sinar UV pada suhu kamar, dimana akan terbentuk
peroksida dan hidroperoksida. Photooksidasi merupakan reaksi oksidasi yang
diinduksi oleh cahaya. Reaksi yang dapat terjadi adalah: 1) kehilangan satu atau
lebih elektron dari suatu senyawa kimia sebagai hasil dari photoeksitasi senyawa
tersebut dan 2) reaksi antara suatu senyawa dengan oksigen yang dipengaruhi oleh
adanya cahaya. Oksidasi enzimatik yang terjadi secara in vivo dikatalis oleh
berbagai enzim. Lipoksigenase merupakan salah satu enzim oksidatif utama pada
tanaman. Enzim ini dikatalis oleh molekul oksigen asam lemak tidak jenuh yang
mengandung cis,cis-1,4-pentadiene menjadi cis,transconjugated hydroperoxida.
Enzim ini mengubah pigmen pada jaringan sayuran seperti klorofil dan karotenoid
(Gross 1991). Rantai poliene konjugasi yang terdapat pada senyawa karotenoid
mempengaruhi karakteristik warna senyawa tersebut yang sangat bervariasi mulai
dari kurang berwarna (phytoene), kuning (4.4’-diaponeurosporene), orange
(βkaroten), merah (capsanthin), merah muda (bacterioruberin), dan akan berwarna
biru dengan semakin meningkatnya jumlah ikatan rangkap konjugasi (Krinsky et
al. 2004).

2.3 Tinjauan Penyakit Gondok


Garam Beriodium merupakan istilah yang biasa digunakan untuk garam
yang telah difortifikasi (ditambah) dengan iodium. Iodium ditambahkan dalam
garam sebagai zat aditif atau suplemen dalam bentuk kalium iodat (KIO3) berupa
larutan pada lapisan tipis garam, sehingga diperoleh campuran yang merata.
Garam beriodium yang di anjurkan untuk dikonsumsi manusia adalah yang
memenuhi Standar Nasional Indonesia (SNI), dalam SNI kadar iodium dalam
garam ditentukan sebesar 30-80 ppm dalam bentuk KIO3 diakaitkan dengan
jumlah garam yang dikonsumsi tiap orang per hari adalah 6-10 gr (Palupi,2004).
Garam beriodium merupakan garam yang ditambahkan zat iodium melalui proses
iodisasi sehingga garam mengandung iodium yang dibutuhkan tubuh untuk
memproduksi hormone tiroksin yang mengatur pertumbuhan dan perkembangan
kecerdasan manusia (Ali, 2004) 2.1.2
Manfaat Konsumsi Garam Beriodium Konsumsi garam berioiium setiap
hari dapat bermanfaat untuk mencegah timbulnya Gangguan Akibat Kekurangan
Iodium (GAKI). GAKI dapat menghambat perkembangan tingkat kecerdasan
pada anak-anak, penyakit gondok endemik dan kretin. Mengkonsumsi garam
beriodium 6 gram perhari maka kebutuhan iodium dapat terpenuhi, namun
ambang batas penggunaan natrium tidak terlampaui. Dianjurkan bagi seseorang
yang mengeluarkan keringat berlebih mengkonsumsi garam beriodium sampai 10
gram atau 2 sendok teh per orang per hari (Reni, 2008). 6 Garam beriodium juga
dapat membantu tubuh dalam menghilangkan racun dari dalam tubuh. Racun
kimia yang bisa dikeluarkan oleh garam beriodium diantaranya adalah: fluoride,
air raksa, dan racun biologis lainnya. Kandungan iodium pada garam merupakan
elemen penting bagi perawatan rambut. Karena bila kita kekurangan iodium maka
salah satu efeknya adalah rambut yang rontok. Iodium bisa membantu proses
tumbuhnya rambut dengan lebih cepat serta membantu pertumbuhan menjadi
normal (Olivista, 2012).
Gangguan Akibat Kekurangan Iodium (GAKI) Salah satu masalah gizi
yang serius terjadi saat ini merupakan gangguan akibat kekurangan iodium. GAKI
melanda kurang lebih 30 juta penduduk Indonesia yang bermukim di 6.500 desa
di 26 provinsi. Dari jumlah tersebut 10 juta orang menderita gondok dan 900.000
mengalami kretinisme (kekerdilan), serta 3,5 juta mengalami GAKI. Ibu hamil
yang kekurangan iodium bisa mengalami keguguran, bayi lahir mati atau terkena
gangguan kongenital,gangguan mental dan kretin (cebol, pendek dan mini ukuran
tubuhnya). Sementara anak-anak yang mengalami kekurangan iodium mengalami
menurunya tingkat kecerdasan dan tidak produktif (Tatag,2007). GAKI
merupakan gejala yang timbul akibat konsenterasi hormone tiroid menurun dan
hormone perangsang tiroid meningkat yang menyebabkan sel kelenjar tiroid yang
membesar dan apabila nampak akan disebut dengan gondok(Almatsier, 2009).
Selain itu GAKI dapat menimbulkan penurunan kecerdasan dan gangguan
pertumbuhan pada diri seseorang yang diakibatkan oleh kurangnya zat iodium
dalam tubuh yang memiliki fungsi untuk membuat hormone yang mengatur
pertumbuhan dan perkembangan kecerdasan (Depkes, 2009).
Kretinisme juga meruakan gejala dari kekurangan iodium. Kretinisme
terjadi pada masa awal setelah bayi dilahirkan. Kretinisme ini memiliki 7 ciri
seperti pertumbuhan bayi sangat terhambat, wajahnya kasar dan membengkak,
perut kembung dan membesar, kulitnya menjadi tebal, kering dan mengeriput,
lidahnya membesar, bibirnya tebal dan selalu terbuka. Gejala seorang bayi
menderita kritinisme tidak mudah dikenali sampai si bayi telah berusia tiga atau
empat bulan setelah lahir. Hal inilah yang menyebabkan bayi dapat menderita
cacat seumur hidup (Adriani, 2012).
GAKI yang terjadi pada diri seseorang tidaklah sama gejalanya. Terdapat
beberapa gejala yang dapat timbul di masyarakat sesuai dengan tahap
perkembangan orang tersebut. Berikut gejala yang timbul akibat GAKI sesuai
dengan perkembangan orang, yaitu (Adriani, 2012).
1. Pada ibu hamil , dapat terjadi keguguran dan kekurangan iodium yang
berat pada masa ini sangat berpengaruh pada kecerdasan si anak yang dilahirkan
nanti.
2. Pada janin, dapat terjadi bayi lahir mati, menderita cacat bawaan,
meningkatkan kematian perianatal, meningkatkan kematian bayi, kretin neurologi
(defisiensi mental, bisu, tuli, diplegia, dan juling), kretin myxoodematoma (cebol
dan defisiensi mental) serta kelainan fungsi psikomotor.
3. Pada masa neonatus berdampak pada gondok neunatus, hipotiroidi
neonates.
4. Pada anak dan remaja berdampak pada gondok, gangguan pertumbuhan
fungsi fisik dan mental
5. Pada dewasa berdampak pada hopotiroidi, gangguan fungsi mental,
gondok dengan segala akibatnya.
Upaya Pencegahan dan Penanggulangan GAKI Sesuai rancangan aksi
nasional kegiatan pencegahan dan penanggulangan gangguan akibat kekurangan
iodium (RAN-KKP-GAKI) yang dimulai tahun 2005, difokuskan pada upaya
penanggulangan jangka panjang yaitu dilakukan melalui 8 fortifikasi
(penambahan) iodium pada makanan dan dalam hal ini makanan yang dipilih
adalah garam yang dikonsumsi setiap hari oleh masyarakat. Untuk kapsul iodium
dibagikan hanya pada daerah endemis berat dan pada kelompok rawan saja.
Sebagai bentuk upaya jangka panjang yang berkesinambungan dengan
menggunakan garam beriodium, bentuk upaya yang dilakukan terdiri dari
peningkatan komitmen, percepatan pemenuhan pasokan garam beriodium,
pemberdayaan dan peningkatan sosial ekonomi penggaraman, pemantauan
kualitas garam beriodium untuk konsumsi, penguatan kelembagaan
penanggulangan GAKI, penegakan norma sosial dan penegakan norma hukum,
dan pemingkatan monitoring dan evaluasi (Depkes, 2005
Cara Penggunaan Garam Beriodium Garam beriodium sangat berbeda
dengan garam biasa, kandungan iodium pada garam beriodium dapat hilang
apabila dimasak seperti garam biasa. Cara penggunaan garam beriodium pada
masakan adalah sebagai berikut(Dinkes, 2010).
1. Garam beryodium tidak dibutuhkan pada sayuran mendidih, tetapi
dimasukkan setelah sayuran diangkat dari tungku, hal ini dikarenakan kadar KIO3
dalam makanan akan mengalami penurunan setelah didihkan 10 menit.
2. Kadar iodium pada garam akan menurun atau berkurang apabila
digunakan pada makanan yang asam, semakin asam makanan semakin mudah
menghilangkan KIO3 dari makanan tersebut
3. Konsumsi garam beriodium tidak boleh kurang atau berlebihan.
Konsumsi yang dianjurkan adalah 6-10 gr per hari atau setara dengan 2 sendok
teh.

2.4 Materi dan Metode


Tujuh puluh ekor tikus putih Sprague Dawley betina dewasa, dibagi
menjadi 2 kelompok, yakni Kelompok tikus putih yang diberi pakan goitrogenik
sebanyak 45 ekor dan Kelompok kontrol sebanyak 25 ekor. Pemberian pakan
goitrogenik bertujuan untuk menginduksi terjadinya defisiensi yodium, dalam
penelitian ini dilakukan selama 45 hari. Setelah 45 hari, 5 ekor dari setiap
kelompok diambil secara acak untuk dinekropsi dan dilihat tingkat
keberhasilan induksi melalui pemeriksaan histopatologis kelenjar tiroid. Selain
itu, diambil organ, hati dan ginjal untuk mempelajari dan menentukan pengaruh
sitotoksisitas ekstrak buah merah. Kelompok goitrogenik kemudian dibagi
menjadi 4, masing-masing 10 ekor dan mendapat perlakuan sebagai berikut: A1.
Kelompok yang tetap goitrogenik, A2. Kelompok goitrogenik ditambah 2 ml
ekstrak buah merah, A3. Kelompok goitrogenik ditambah 80 µg yodium per kg
ransum dan A4. Kelompok goitrogenik ditambah 1 ml ekstrak buah merah dan 80
µg yodium per kg ransum. Kelompok kontrol dibagi menjadi 2, masing- masing
10 ekor dan diperlakukan sebagai berikut: B1. Kontrol tanpa penambahan
suplemen dan B2 (Tabel 1 dan 2). Kelompok kontrol ditambah 2 ml ekstrak buah
merah. Setelah 45 hari dalam perlakuan, setiap kelompok diambil 5 ekor untuk
dinekropsi. Organ, terutama hati dan ginjal kemudian diambil, diperiksa lesi
histopatologis dengan pewarnaan rutin hematoksilin dan eosin. Sisanya
diperlakukan sama hingga 45 hari lagi. Pada akhir perlakuan pakan, semua tikus
putih yang tersisa dinekropsi dan diperiksa organ hati dan ginjal secara
histopatologis. Organ tiroid, hati dan ginjal yang diambil pada setiap tahapan
penelitian seperti yang diuraian sebelumnya difiksasi dalam larutan formalin
netral bufer 10%. Sediaan jaringan yang telah difiksasi dipotong setebal ± 0,5 cm
dan difiksasi ulang dalam larutan formalin netral bufer 10%. Sediaan jaringan
kemudian didehidrasi dengan cara dimasukkan ke dalam larutan etanol dengan
konsentrasi bertingkat (50% 1x, 85% 1x, 95% 1x dan etanol absolut 2x, masing-
masing 2 menit). Sediaan jaringan kemudian dimasukan ke dalam larutan xilen 2x
masing-masing selama 60 menit selanjutnya dimasukkan ke dalam parafin cair
sebanyak 3x masing-masing selama 120 menit dan kemudian dicetak.
Selanjutnya, jaringan cetak parafin dipotong dengan mikrotom setebal 4-5
mikron, diregangkan dalam air di penangas air, diletakkan di atas gelas obyek
yang telah diolesi dengan larutan Mayer's egg albumin dan dibiarkan mengering
selama 24 jam. Sesudah 24 jam, jaringan diwarnai dengan hematoksilin dan eosin
(H&E).

Tabel 1. Susunan pakan 45 hari pertama perlakuan (Wuryastuty et al., 2009)


No. Jenis Kelompok Kelompok
Bahan Kontrol
Goitrogenik %
%
1. Soybean meal 45 -
2. Tepung jagung 15 -
3. Tepung terigu - 62
4. Torula yeast 10 -
5. Sukrosa 12 12
6. Susu skim - 20
7. Minyak sayur 5 5
8. Tepung kobis 12 -
9. Vitamin mix. 1 1
Jumlah total 100 100
Tabel 2. Susunan pakan setelah 45 hari perlakuan pertama (Wuryastuty et al.,
2009)
No. Jenis Bahan A1 A2 A3 A4 B1 B2
(%) (%) (%) (%) (%) (%)
1. Soybean meal 45 45 45 45 - -
2. Tepung jagung 15 15 15 15 - -
3. Tepung terigu - - - - 62 62
4. Torula yeast 10 10 10 10 - -
5. Sukrosa 12 10 11 11 12 10
6. Susu skim - - - - 20 20
7. Minyak sayur 5 5 5 5 5 5
8. Tepung kobis 12 12 12 12 - -
9. Vitamin mix. 1 1 1 1 1 1
10. Ekstrak buah - 2 - - - 2
merah
11. Ekstrak buah
merah + KIO3 - - - 1 - -
12 Mineral mix + - - 1 - - -
KIO3
Jumlah Total 100 100 100 100 100 100

Sediaan jaringan hati dan ginjal yang telah diwarnai ditutup dengan gelas
penutup dan diamati di bawah mikroskop. Hasil penelitian dianalisa secara
deskriptif.
BAB III
PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil penelitian Wuryastuty et al. (2009 dan 2011), empat


puluh hari hingga empat puluh lima hari pasca pemberian ransum goitrogenik,
hasil pemeriksaan histopatologis kelenjar tiroid pada tikus putih dalam kelompok
perlakuan, terbukti menderita hiperplastik goiter (Gambar 1A). Sedangkan
kelenjar tiroid pada tikus putih kelompok kontrol tampak normal (Gambar 1B).

c
a

b
I I
A B
Gambar 1: A. Gambaran mikroskopik kelenjar tiroid seekor tikus putih Sprague
Dawley kelompok yang diberi ransum goitrogenik selama 45 hari.
Perhatikan adanya hiperplasia (a) sel folikel, kongesti (b) dan habisnya
koloid (c) dalam folikel kelenjar tiroid. B. Gambaran mikroskopik kelenjar
tiroid seekor tikus putih kelompok kontrol (H&E,1000x).

Keberhasilan ransum goitrogenik yang digunakan dalam penelitian untuk


menginduksi hipotiroidismus pada kelinci (Wuryastuti et al., 1992; Wuryastuti
et al., 1995) dan pada tikus putih Sprague Dawley (Wuryastuty et al., 2009;
Wuryastuty et al., 2011) masing-masing berkisar antara 90-100%. Bahan pakan
yang memiliki efek goitrogenik dalam ransum yang digunakan dalam penelitian
antara lain: kacang kedelai, torula yeast dan kobis. Selama ini, kedelai dikenal
sebagai sumber isoflavon genistein yang memiliki aktivitas antioksidan
sebagaimana isoflavon lain yang bermanfaat bagi kesehatan terutama dalam
menetralkan kerusakan akibat radikal bebas dalam jaringan. Namun demikian,
menurut Doerge and Sheehan (2002), isoflavonoid genistein memiliki dua jenis
aktivitas yaitu estrogenik dan goitrogenik. Interaksi negatif antara defisiensi
yodium (I) dengan kedelai pertama dibuktikan terjadi pada tikus yang diberi
pakan defisiensi I yang mengandung 30% bungkil kedelai sebagai sumber
protein oleh Kimura et al. (1976). Sinergisme antitiroid yang dimiliki oleh
kacang kedelai dikombinasikan dengan defisiensi I lebih lanjut dijelaskan oleh
Ikeda et al. (2000). Mereka membuktikan bahwa pemberian pakan defisiensi I
yang mengandung 20% bungkil kacang kedelai pada tikus mengakibatkan
hipotiroidismus berat yang ditandai dengan penurunan kadar T4 dan
peningkatan kadar TSH darah, peningkatan berat kelenjar tiroid, peningkatan
proliferasi sel dan perubahan histopatologik. Berdasarkan pada hasil
gambaran histopatologis kelenjar pituitaria menunjukkan bahwa komponen
yang belum diketahui dari kacang kedelai mempunyai aksi langsung pada
kelenjar pituitaria. Menurut Son et al. (2001), pemberian isoflavon genistein
murni tidak mampumenginduksi hipotiroidismus pada tikus. Kemungkinan ada
senyawa selain genistein di dalam kacang kedelai yang menghambat kerja
enzim tiroid peroksidase (TPO) (Divi et al., 1997; Divi and Doerge, 1998).
Lebih lanjut dikatakan bahwa untuk mempelajari aktivitas goitrogenik dari
kacang kedelai, tikus merupakan hewan model yang baik.
Torula yeast merupakan bahan pakan kedua yang bersifat goitrogenik. Torula
yeast mengandung 50% protein dengan profil asam amino esensial yang bagus
kecuali asam amino mengandung sulfur dan triptofan. Torula yeast sering
digunakan untuk menginduksi defisiensi selenium (Se) pada hewan percobaan
tikus karena konsentrasinya yang sangat rendah (< 5,0 ìg/kg) (Reeves et al.,
2005). Peranan Se dalam fungsi tiroid pertama kali ditemukan pada tikus dan
kemudian pada sapi dan domba. Dikatakan bahwa Se adalah komponen integral
dari enzim glutation peroxidase dan 5- iodotironin deiodinase tipe I.
Selenium memiliki peranan penting dalam síntesis hormon tiroid terutama
síntesis triiodotironin yang aktif. Defisiensi Se dan I secara bersamaan
mengakibatkan terganggunya metabolisme hormon tiroid pada hewan
(Beckett and Arthur, 2005). Menurut DeDeken et al. (2002) dan Farber et al.
(2002), hubungan antara Se dan I dipercaya terjadi melalui mekanisme sebagai
berikut, kelenjar tiroid memproduksi H2O2 untuk sintesa hormon tiroid karena
H2O2 esensial bagi enzim TPO dalam proses oksidasi yodida. Sistem yang
menghasilkan H2O2 diatur oleh konsentrasi TSH melalui stimulasi tahapan
phospholipase PIP2-IP3 –Ca++. Dalam kondisi suplai I yang cukup, H2O2 akan
segera direduksi menjadi H2O2 selama proses síntesis. Namun demikian, K M dari
TPO untuk H2O2 adalah tinggi dan lebih tinggi lagi jumlah H2O2 yang diproduksi
dibandingkan yang digunakan oleh proses yodinasi sehingga secara potensial
menghadapkan kelenjar tiroid pada kerusakan akibat radikal bebas jika H 2O2
tidak secara benar direduksi menjadi H2O2 oleh mekanisme pertahanan
intraseluler atau selama proses sintesa hormon. Pada kondisi defisiensi yodium
konsentrasi TSH akan meningkat dan berakibat lebih meningkatkan produksi
H2O2 sampai 13 kali lebih tinggi dibandingkan level yang diproduksi pada saat
proses aktivasi leukosit. Proteksi melawan H2O2 dan sebagai akibat dari radikal
bebas diperlukan vitamin A, C dan E serta enzim-enzim seperti katalase,
superoksida dismutase dan glutation peroksidase (ensim yang mengandung Se).
Dari uraian diatas dapat dipahami bahwa, defisiensi yodium akan meningkatkan
produksi H2O2 sedangkan defisiensi Se akan menurunkan pembuangan H2O2
(Corvilain et al., 2001;Corvilain et al., 2004).
Bahan ketiga yang digunakan untuk menginduksi terjadinya
hipotiroidismus pada penelitian ini adalah kobis. Tiosianat dan isotiosianat
merupakan senyawa goitrogenik yang terkandung dalam tanaman yang termasuk
famili Cruciferae seperti kobis. Tiosianat dalam bahan makanan tidak ditemukan
dalam bentuk bebas tetapi sebagai hasil katabolisme prekursornya yang disebut
glukosinolat oleh enzim glikosidase dan sulfur transferase. Tiosianat bekerja
dengan menghambat proses pengambilan yodium dalam kelenjar tiroid.
Sedangkan isotiosianat berpengaruh langsung dengan berubah menjadi tiosianat
secara cepat atau bereaksi secara spontan dengan kelompok amino membentuk
derivat tiourea dan menimbulkan pengaruh antitiroid yang menyerupai tiourea
yaitu menghambat proses organifikasi yodida dan coupling iodotirosin. Aktivitas
goitrogenik dari tiosianat dapat diatasi dengan penambahan yodium, sedangkan
pengaruh tiourea tidak dapat diatasi dengan penambahan yodium (Nishie and
Daxenbichler, 1980; Gaitan, 1990). Pada penelitian ini, pemberian ransum
goitrogenik pada tikus putih mengakibatkan terjadinya degenerasi melemak hati
yang secara secara mikroskopis ditandai dengan vakuolavakuola lemak
intrasitoplasmik hepatosit yang bersifat berat (Gambar 2). Degenerasi melemak
atau steatosis merupakan kondisi yang secara spesifik ditandai adanya akumulasi
lemak di dalam hati. Degenerasi melemak merupakan proses yang
menggambarkan terjadinya abnormalitas retensi lipid di dalam sel, yaitu
gangguan proses sintesis dan eliminasi dari lemak (Yan et al., 2007). Degenerasi
melemak pada penelitian ini membuktikan adanya hubungan antara metabolisme
lemak dengan metabolisme yodium. Hormon tiroid memiliki pengaruh fisiologik
yang bermacam-macam terhadap aktifitas metabolik dari sebagian besar jaringan
sehingga meningkatkan kecepatan metabolik basal. Salah satu konsekuensi dari
aktifitas tersebut adalah peningkatan produksi panas tubuh, yang sebagian
diakibatkan oleh peningkatan konsumsi oksigen dan kecepatan hidrolisis ATP.
Salah satu contoh efek metabolik yang spesifik dari hormon tiroid adalah
metabolisme lemak.

a
2A 2B
2C 2D

Gambar 2 : Gambaran histopatologis hati tikus Sprague Dawley yang diberi pakan
goitrogenik (2A) diberi pakan goitrogenik yang diberi suplementasi 2 ml
ekstrak buah merah (2B); disuplementasi 80 µg KIO3 (2C) dan pakan
goitrogenik yang diberi suplementasi 1 ml ekstrak buah merah dan 80 µg
KIO3 (2D) selama 135 hari. Terlihat vakuola-vakuola lemak
intrasitoplasmik hepatosit (a) yang bersifat berat (2A) sedang (2B) ringan
(2C) dan tidak terlihatnya lagi vakuola lemak pada hepatosit (2D), (H&E,
1000x.).

Peningkatan konsentrasi hormon tiroid akan menstimulasi mobilisasi lemak


sehingga meningkatkan konsentrasi asam lemak di dalam plasma. Hormon tiroid
juga meningkatkan oksidasi asam lemak dibeberapa jaringan (Bowen, 2010).
Yodium merupakan mineral esensial untuk sintesis hormon tiroid.
Kekurangan yodium yang disebabkan oleh rendahnya asupan yodium atau
adanya hambatan penangkapan yodium oleh senyawa goitrogenik akan
berakibat penurunan produksi hormon tiroid. Hormon tiroid yang rendah akan
menghambat mobilisasi lemak sehingga lemak akan terakumulasi terutama pada
hati yang merupakan organ primer tempat terjadinya metabolisme lemak (Cotran
et al., 2005; Ahad and Ganie, 2010). Penelitian ini juga membuktikan bahwa
degenerasi melemak hanya terjadi pada hati dan bukan pada organ lain seperti
ginjal (Gambar 3).
3A 3B

3C 3D
Gambar 3 : Gambaran histopatologis ginjal tikus putih Sprague Dawley pada semua
perlakuan pakan tampak normal dan tidak tampak adanya akumulasi
lemak di dalam sel-sel ginjal (3A, 3B, 3C dan 3D) (H&E, 1000x.).

Hubungan antara yodium dengan metabolisme lemak pada penelitian ini juga
dibuktikan dari gambaran histopatologis hati pada tikus kelompok A3 dan A4
yang masingmasing diberi pakan yang disuplementasi dengan 80 µg KIO3/kg
ransum dengan atau tanpa suplementasi ekstrak buah merah. Pada tikus kelompok
A3, akumulasi lemak dalam hepatosit jumlahnya sangat berkurang (degenerasi
melemak ringan) sedangkan pada tikus kelompok A4 tidak ditemukan adanya
akumulasi lemak intrasitoplasmik pada hepatosit (Gambar 3). Suplementasi 2 ml
ekstrak buah merah pada tikus kelompok A2 kurang mampu mengurangi
akumulasi lemak intrasitoplasmik pada hepatosit. Pada gambaran
histopatologisnya masih terlihat degenerasi melemak yang bersifat sedang
(Gambar 3). Berdasarkan hasil uji titrasi terbukti bahwa konsentrasi yodium di
dalam ekstrak buah merah relatif rendah (Falah, 2009, data tidak dipublikasikan).
Suplementasi 2 ml ekstrak buah merah pada kelompok tikus yang diberi pakan
kontrol selama 135 hari tidak bersifat toksik pada organ hati maupun ginjal.
Terbukti tidak diketemukan adanya perubahan pada kedua organ tersebut (Gambar
4).

1 2

Gambar 4: Gambaran histopatologis hati (1) dan ginjal (2) tikus putih Sprague
Dawley yang diberi pakan kontrol dan disuplementasi 2 ml ekstrak buah
merah selama 135 hari. Kedua organ tampak normal, (H&E, 1000x).

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan hal-hal sebagai


berikut : 1. Defisiensi yodium mengakibatkan terjadinya degenerasi melemak
pada hati tikus, 2. Kombinasi suplementasi 1 ml buah merah dan 80 µg
KIO3/kg ransum selama 135 hari mampu menyembuhkan degenerasi melemak
pada hati tikus penderita defisiensi yodium, 3. Suplementasi 2 ml ekstrak
buah merah dan/atau 80 µg KIO3/kg ransum pada tikus penderita defisiensi
yodium selama 135 hari tidak bersifat toksik terhadap ginjal, 4. Pada tikus
kontrol suplementasi 2 ml ekstrak buah merah selama 135 hari tidak bersifat
toksik pada organ hati maupun ginjal, 5. Berdasarkan uji pre-klinik
menggunakan tikus putih Sprague Dawley, ekstrak buah merah merupakan obat
herbal antigondok terstandar dan 6. Uji klinik pada manusia segera dapat
dikerjakan.
Fortifikasi ekstrak buah merah dengan yodium perlu dilakukan untuk
strategi jitu dalam mengatasi gangguan akibat defisiensi yodium (GAKY) di
Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai