Anda di halaman 1dari 43

TAFSIR AYAT MU’AMALAH: MEMBUMIKAN KONSEP DAMAI

DI ERA MILENIAL

Makalah Dibuat dalam Rangka Perkuliahan Studi Tafsir Ayat Mu’amalah

di Bawah Bimbingan Bapak Drs. Muhammad Yusup, M.SI

Oleh:

Egi Tanadi 17105030037

Dzalfa Farida Humaira 17105031043

PROGRAM STUDI ILMU ALQUR’AN DAN TAFSIR


FAKULTAS USHULUDDIN DAN PEMIKIRAN ISLAM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA

YOGYAKARTA

2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, taufik,
hidayah, serta inayah-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan pembuatan
makalah yang berjudul Tafsir Ayat Mu’amalah: Membumikan Konsep Damai di
Era Milenial.

Shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada junjungan kita


Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam, yang telah menunjukan kepada
kita ajaran agama islam yang sempurna serta rahmat bagi semesta alam. Tidak
lupa kami juga mengucapkan banyak terimakasih kepada bapak Drs. Muhammad
Yusup, M.SI yang telah memberikan bimbingan dalam pembuatan makalah ini.

Makalah ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Tafsir Ayat
Mu’amalah. Secara umum, makalah ini membahas tiga poin utama yakni:

a. Konsep Umum Mengenai Damai dan Perdamaian


b. Ayat-Ayat Perdamaian dalam Al-Quran
c. Core Value dari Ayat-Ayat Perdamaian dalam Al-Quran

Akhirnya penulis menyampaikan terimakasih atas perhatiannya terhadap


makalah ini, semoga dapat bermanfaat bagi pembaca. Kritik dan saran dari
pembaca sangat kami harapkan guna peningkatan pembuatan makalah
kedepannya.

Yogyakarta, 18 September 2018

Penulis

ii
DAFTAR ISI

COVER ..............................................................................................................i
KATA PENGANTAR .......................................................................................ii
DAFTAR ISI ......................................................................................................iii
BAB I: PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ..................................................................1
B. Rumusan Masalah ...........................................................................4
C. Kajian Pustaka.................................................................................4
D. Tujuan Penulisan .............................................................................5
E. Metode Penelitian............................................................................5
BAB II: DAMAI DAN PERDAMAIAN
A. Definisi Damai dan Perdamaian...................................................... 6
B. Sejarah Perdamaian ......................................................................... 8
C. Urgensi Perdamaian ........................................................................ 11
D. Macam-Macam Perdamaian............................................................ 13
E. Praktik Perdamaian di Indonesia ..................................................... 16
BAB III: AYAT-AYAT PERDAMAIAN DALAM AL-QUR’AN
A. Al-Anfal (8): 61............................................................................... 18
B. Al-Hujurat (49): 9-10 ...................................................................... 20
C. Fusshilat (41): 34 ............................................................................ 23
BAB IV: PERDAMAIAN DALAM AL-QUR’AN
A. Bentuk-Bentuk Damai (As-Salám) dalam Al-Qur’an ..................... 30
B. Hak-Hak dan Kewajiban-Kewajiban dalam Berdamai ................... 31
C. Perintah Allah untuk Menjaga Perdamaian dalam Al-Qur’an ........ 35
BAB V: PENUTUP
A. Kesimpulan .....................................................................................36
B. Saran ................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Islam dewasa ini menjadi agama yang paling banyak diperdebatkan.
Sebagian orang berpikir, Islam mencetak fanatisme dan kekerasan. Sebagian
orang yang lain menegaskan bahwa Islam adalah agama damai dan memiliki
daya pikat spiritual yang dalam. Banyak orang beranggapan bahwa Islam
adalah agama pendukung teror, sedangkan di sisi yang lain tidak kurang
banyak pula orang yang meyakini Islam sebagai agama yang memberikan
ketenangan batin. Refleksi tersebut menggambarkan paradigma berpikir
kontradiktif yang selalu terjadi di tengah masyarakat sejak kemunculan Islam
14 abad yang lalu.
Kini, masyarakat era milenial tengah dihujam berbagai krisis perpecahan
struktur sosial. Perbedaan cara pandang masyarakat mengenai eksistensi
Islam telah menjadi konflik berkelanjutan dan anekdot tiada akhir. Konflik
tersebut selalu menjadi wadah permusuhan yang berpotensi merusak fitrah
manusia sebagai makhluk sosial yang saling membutuhkan satu sama lainnya.
Sekalipun menurut Hugh Miall (2000:8) bahwa konflik merupakan aspek
intrinsik dan ekspresi heterogenitas yang tidak mungkin dihindarkan dalam
perubahan sosial, namun cara kita menangani konflik adalah persoalan respon
kebiasaan dan menentukan pilihan yang tepat.1
Di Indonesia, konflik sosial antar kelompok politik, sosial, agama, maupun
ras merupakan hal yang biasa terjadi. Berbagai media pemberitaan
mainstream di Indonesia pun tiada henti memberikan fakta-fakta seperti
angka kemiskinan yang semakin tinggi, intoleransi berujung persekusi dan
intimidasi, krisis moral dan pendidikan yang sering menghantui, hingga
kisruh antar kelompok pendukung calon presiden tahun periode 2019-2024

1
Hugh Miall, dkk. Resolusi Damai Konflik Kontemporer: Menyelesaikan, Mencegah,
Mengelola, dan Mengubah Konflik Bersumber Politik, Sosial, Agama, dan Ras (Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2002) hlm. 8

1
yang kian menjadi-jadi. Berbagai konflik di atas memberikan gambaran
bahwa Indonesia berada di tengah krisis perdamaian.
Damai, menurut KBBI, berarti tidak ada perang dan kerusuhan; tidak
bermusuhan; hidup aman tenteram; tenang; ataupun rukun.2 Damai bisa pula
dimanai sebagai bentuk adaptasi dengan sistem dari seseorang atau kelompok
untuk menjaga keseimbangan kehidupan. Damai identik dengan
keseimbangan kehidupan sebab dengan perdamaian, seseorang dapat
mencegah terjadinya perpecahan, seperti konflik dan lain sebagainya. Hal ini
senada dengan teori pendidikan perdamaian dari Paulo Freire, seorang
pendidik dan teoretikus Brazil, damai adalah dimensi kemurahan hati yang
bertujuan untuk mereduksi pemicu suatu perselisihan.3
Pendidikan mengenai konsep damai dan perdamaian turut diajarkan di
dalam Al-Qur’an lebih dari 14 abad yang lalu. Menurut Firdaus Wajdi4,
terdapat 12 ayat di dalam Al-Qur’an yang mengandung unsur damai dan
devariasinya. Ayat-ayat tersebut adalah Q.S. Al-Baqarah [2]: 182; Q.S. An-
Nisá’ [4]: 114 & 128; Q.S.Al-Anfal [8]: 61; Q.S.Al-Qashash [28]: 19; Q.S.
Muhammad [47]: 35; dan Q.S.Al-Hujurat [49]: 9-10. Bahkan bila dikaji

melalui pencarian dengan kata kunci ‫لام‬


َّ َّ‫الس‬/As-Salám dan devariasinya,

akan muncul 47 ayat lain dengan kandungan nilai damai yang terselip di
dalam Al-Qur’an.5 Salah satu ayat yang terkemuka adalah:

2
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia. “Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Daring” dalam
kbbi.kemdikbud.go.id. Diakses pada 15 September 2018, 22:31
3
Kevin Kester dan Ashley Booth, "Education, Peace and Freire: A Dialogue",
Development 53 (1 Desember 2010) hlm. َّ498-523, https://doi.org/10.1057/dev.2010.86.
4
Firdaus Wajdi, “Ayat-Ayat Damai dalam Al-Qur’an” dalam Jurnal Studi Qur’ani Vol. 5
No. 1 Tahun 2009, hlm. 31-32
5
Deskripsi dari 47 ayat dengan konsep damai yang dimaksud sebagai berikut: Q.S. Áli
Imrán [3]: 19, 85; Q.S. An-Nisá [4]: 94; Q.S. Al-Má’idah [5]: 3,16; Q.S. Al-An'ám [6]: 125, 127;
Q.S. Al-A'raaf [7]: 46; Q.S. At-Taubah [9]: 74; Q.S. Yúnus [10]: 10, 25; Q.S. Húd [11]: 48, 69;
Q.S. Ar-Ra'd [13]: 24; Q.S. Ibráhím [14]: 23; Q.S. Al-Hijr [15]: 46, 52; Q.S. Maryam [19]: 15, 33,
47, 62; Q.S. Taahaa [20]: 47; Q.S. Al-Anbiyaa` [21]: 69; Q.S. Al-Furqán [25]: 63, 75; Q.S. An-
Naml [27]:32, 54, 59; Q.S. Al-Qashash [28]: 55; Q.S. Al-Ahzáb [33]: 44; Q.S. Yásín [36]: 58;
Q.S. Ash-Shafaat [37]: 79, 109, 120, 130, 181; Q.S. Az-Zumar [39]: 22, 73; Q.S. Al-Hujurát [49]:

2
ْ ‫او إ ِ ْن َّ طا ا ئ ِ ف ا ت اا ِن َّ ِم ان َّالْ ُم ْؤ ِم ن ِ ي ان َّا قْ ت ات ال ُوا َّ فاَّ أ ا‬
َّ ‫ص لَِّ ُح واَّ ب ا يَّْ ن ا هُ ام ا َّ َّۖ ف ا إ ِ ْن‬
َّ ‫َّاْل ُ ْخ ار ٰى َّ ف ا ق ا ا ت ِ ل ُ وا َّا لَّ ت ِ ي َّ تَّ ابْ ِغ ي َّ احَّ ت ٰى‬ ْ ‫ات َّ إ ِ ْح د اا ه ُ ام ا َّ عا ل ا ى‬ ْ ‫باغ‬
َّ ‫ص لَِّ ُح وا َّ ب ا يْ ن ا ُهَّ ام ا َّ ب ِ الْ ع ا دْ ِل‬
ْ ‫ت َّ ف ا أَّ ا‬ ْ ‫ت افِ ي اء َّ إ ِ ل ا ٰى َّأ ا ْم ِر ََّّللا ِ َّ ۚ َّ ف ا إ ِ ْن َّ ف ا ا اء‬
َّ ‫ط ي انَّ ۞ َّ إَِّ ن امَّ ا َّالْ ُم ْؤَّ ِم ن ُ و ان‬ ِ ‫ب َّالْ ُم قْ ِس‬ ُّ ‫او أ اقْ ِس طُ وا َّ ۖ َّ إ ِ ن ََّّللا ا َّ ي ُ ِح‬
َّ ‫َّو ات قَُّوا َّ َّللاَّا َّ ل ا ع ا لَّ كُ ْم‬ ‫ص لِ ُح وا َّ ب ا يْ ان َّأ ا اخ او يْ كُ ْم َّ ۚ ا‬ ْ ‫إ ِ ْخ او ة ٌ َّ ف ا أ ا‬
۞ َّ‫ت ُ ْر اح ُم و ان‬
Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang
hendaklah kamu damaikan antara keduanya! Tapi kalau yang satu
melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar
perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah.
Kalau dia telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan,
dan hendaklah kamu berlaku adil; sesungguhnya Allah mencintai orang-
orang yang berlaku adil. Orang-orang beriman itu sesungguhnya
bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua
saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat
rahmat. 6
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas maka penulis
tertarik untuk mengangkat sebuah pembahasan yang berjudul “Tafsir Ayat
Mu’amalah: Membumikan Konsep Damai di Era Milenial”. Menurut
penulis, karena tujuan utama penulisan makalah ini menyangkut kehidupan
bermasyarakat sebagaimana juga merupakan tujuan al-Qur`an, maka
diperlukan penelitian dan peninjauan ulang terhadap konsep damai menurut
Al-Qur`an dan mengimplementasikannya ke tengah konflik empiris
masyarakat milenial. Penulis berharap, pembahasan ini mampu memberikan
wacana baru guna mendamaikan berbagai pihak yang berselisih dengan
alternatif yang dipaparkan melalui Al-Qur’an.

17; Q.S. Qaf [50]: 34; Q.S. Adz-Dzariyát [51]: 25; Q.S. Al-Wáqi'ah [56]: 26, 91; Q.S. Al-Hasyr
[59]: 23; Q.S. Ash-Shaf [61]: 7; Q.S. Al-Qadr [97]: 5
6
Q.S. Al-Hujurat [49]: 9-10

3
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana konsep damai dimaknai di dalam Al-Qur’an?
2. Bagaimana konsep damai di dalam Al-Qur’an diintegrasikan dengan
konflik empiris di masyarakat milenial?

C. Kajian Pustaka
Dalam rangka penyusunan makalah, penulis berusaha menggali konsep
dasar mengenai konsep damai secara umum, gejala yang berkaitan dengan
Al-Qur’an dan penyelesaiannya dengan pendekatan agama Islam, terutama
melalui Al-Qur’an dan Hadis sebagai inti rujukan pustaka, untuk memulai
langkah analisis hukum.
Melalui pencarian selama beberapa waktu, penulis menemukan 2 kitab
tafsir Al-Qur’an yang dianggap paling relevan untuk menginterpretasikan
konsep damai di dalam Al-Qur’an kepada masyarakat di era milenial, yakni:
1. Tafsír Al-Qur’án Al-‘Azhím li Ibnu Katsír. karangan ‘Imaduddin Abu al-
Fida’ Isma’il bin ‘Umar bin Katsir (1301-1373). Tafsir karangan Ibnu
Katsir dinilai sebagai dipilih karena penggunaannya masih sangat
dominan di tengah masyarakat milenial. Penyajian tafsir dalam kitabnya
menggunakan metode tahlili. Dalam penulisannya, Ibnu Katsir
menjelaskan makna suatu ayat dengan mendeskripsikan makna tiap kata
melalui riwayat sanad.
2. Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an karangan
Quraish Shihab (1944-sekarang). Berbeda dengan kitab-kitab Tafsir Ibnu
Katsir sebelumnya, kitab ini ditulis secara komprehensif dengan
metodologi al-Ra’yi dan corak tafsir al-Adabi al-Ijtima’i. Dalam
penulisannya, Quraish memberikan penekanan lebih pada interkoneksi
antar ayat Al-Qur’an/Munásabat al-Áyát. Kitab ini turut dipilih karena
penggunaanya masih sangat dominan di tengah masyarakat milenial.

4
Dalam penulisan makalah ini, penulis berusaha mengkalibrasikan setiap
aspek unggul dari kedua literatur diatas dan merangkai suatu wacana yang
relevan dengan didukung berbagai sumber data yang valid.

D. Tujuan Penulisan
1. Memahami konsep damai di dalam Al-Qur’an secara komprehensif.
2. Mengintegrasikan konsep damai melalui ayat Al-Qur’an dengan konflik
empiris yang tengah terjadi di masyarakat milenial.
E. Metode Penelitian
Metode yang penulis bangun dalam penulisan makalah yakni deskriptif-
analitif. Dilakukan pengkajian dari buku, literasi, dan informasi dari internet
secara bertanggung jawab dan sesuai dengan tema yang diangkat pada
makalah ini

5
BAB II
DAMAI DAN PERDAMAIAN

A. Definisi Damai dan Perdamaian

1. Secara Etimologi (bahasa)


Pada Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata tunggal damai merupakan
bentuk kata sifat (adjektiva) yang memiliki arti tidak ada perang, aman,
tentram, tenang, rukun, ataupun tidak ada kerusuhan. Kata damai
merupakan kata dasar yang kemudian membentuk istilah perdamaian
(nomina) dengan melekatkan imbuhan per-an. Imbuhan ini membentuk
makna baru ‘suatu proses aktif membangun damai dan penghentian
permusuhan, serta perihal damai’.7
Pengertian damai dan perdamaian dapat dibedakan dalam beberapa
hal. Pertama, dalam jenis kata: damai merupakan adjektiva (kata sifat),
sedangkan perdamaian adalah nomina (kata benda). Kedua, terkait fungsi
dan makna kata. Kata damai merujuk pada keterangan tentang sifat
kondisi individu atau kelompok. Misalnya, Islam dikenal sebagai agama
damai. Kata damai berdasarkan contoh ini berfungsi untuk membentuk
makna keterangan tentang sifat sebuah agama yang sarat dengan hal-hal
yang berhubungan dengan nilai aman, tentram, dan tanpa pertikaian.
Selanjutnya, kata perdamaian merupakan kata yang menyiratkan
makna keterangan ‘proses dan aktivitas’. Lebih tepatnya, perdamaian
digunakan untuk mendeskripsikan sebuah upaya individu maupun
kelompok dalam membangun dan mewujudkan konsep damai. Proses dan
aktivitas yang terbentuk atas nama perdamaian tentunya memiliki visi
utama melahirkan nilai damai di tengah masyarakat.8

7
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia. “Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Daring” dalam
kbbi.kemdikbud.go.id. Diakses pada 16 September 2018, 22:12
8
Imam Taufiq, Al-Qur’an Bukan Kitab Teror: Membangun Perdamaian Berbasis
Al-Qur’an, (Yogyakarta: Benteng Pustaka, 2016) hlm. 30-31

6
Di dalam Al-Qur’an, istilah damai dan perdamaian digunakan secara
terpisah. Dalam pembahasan selanjutnya, penulis akan mengkaji ayat
mengenai bentuk-bentuk damai dan ayat mengenai menjaga perdamaian
di dalam Al-Qur’an. Secara leksikal, ayat mengenai bentuk-bentuk damai
di dalam Al-Qur’an menitik beratkan fokus pada padanan kata damai (As-
Salám) dan devariasinya serta menelurusi makna kata damai di dalam
konteks ayat tersebut. Di sisi lain, ayat mengenai menjaga perdamaian di
dalam Al-Qur’an berfokus pada ayat-ayat mengenai petunjuk, teknis, dan
praktik perdamaian serta usaha untuk mempertahankan perdamaian.
2. Secara Terminologi (istilah)
Menurut Abdulrahman Azzam Pasha, perdamaian adalah pokok
perhubungan yang kekal antara seluruh bangsa di dunia; dan bahwa
pelanggaran sesuatu bangsa atas bangsa yang lain itulah yang
menyebabkan terganggunya perdamaian dan itulah yang menyebabkan
menyalanya api permusuhan dan peperangan. Peperangan tidaklah perlu
terjadi kecuali terjadi pelanggaran penganiayaan.9
Menurut Supriyanto, perdamaian memiliki dimensi personal dan
sekaligus dimensi sosial. Perdamaian bukan hanya bertujuan untuk
meredakan konflik atau ketegangan. Oleh karenanya, untuk menciptakan
perdamaian dunia, mestinya setiap individu bisa berdamai terlebih dahulu
dengan dirinya sendiri. Kedamaian individu itu tercermin pada pikiran,
ucapan, dan tindakan yang dilakukannya secara sadar dan konsisten.10
Menurut Sayyid Quthub, kata damai di dalam Islam mengandung
pengertian lebih mendalam dan lebih menyeluruh dibanding pengertian
kata damai yang dikenal di berbagai negara di dunia dewasa ini. Damai di
dalam Islam ialah proses yang dapat mewujudkan kalimatullah sebagai
kenyataan di muka bumi, antara lain: kemerdekaan, keadilan, dan

9
Abdulrahman Azzam Pasha, Konsepsi Perdamaian Islam Terjemahan H. Rus’an
(Jakarta: Karya Unipress, 1985) hlm. 184
10
Supriyanto, "Perdamaian dan Kemanusiaan Dalam Pandangan Islam", Jurnal KALAM
Vol. 7 No. 2 (2 Maret 2017), https://doi.org/10.24042/klm.v7i2.464.

7
keamanan bagi seluruh manusia. Damai tidak berbatas pada mencegah
terjadinya peperangan, membiarkan kezaliman serta kerusakan di muka
bumi, ataupun membiarkan kemunculan perusak dunia.
Sayyid melanjutkan, Islam memulai upaya perdamaian pertama-tama
di dalam perasaan setiap individu, kemudian meluas ke semua anggota
keluarga, lalu ke lingkup masyarakat. Setelah itu barulah Islam berusaha
mewujudkan perdamaian nasional dan internasional, yakni perdamaian di
antara semua kelompok agama, ras dan bangsa. Perdamaian internasional
tidak lain adalah mata rantai terakhir dari serangkaian mata rantai yang
mendahuluinya.11
B. Sejarah Perdamaian

1. Perdamaian Masa Rasulullah saw.


Suatu hari Nabi Muhammad saw. Berkunjung ke rumah Abdulllah bin
Ubay. Abdullah merupakan seorang sahabat di Madinah yang dikenal
gemar membuat masalah dan memancing emosi orang lain. Dalam perang
Uhud, misalnya, nyaris separuh pasukan Islam mundur dari medan perang
lantaran hasutan Abdullah. Siang itu saat Nabi datang, Abdullah kembali
memancing keributan. Bukannya menyambut kedatangan Rasulullah saw.
Dengan jamuan dan penghormatan, Abdullah malah mengumpat bahwa
keledai yang dinaiki Rasulullah berbau busuk. Dalam sindirannya itu, ia
turut bermaksud bahwa sang penunggang keledai (Rasulullah saw.) pun
turut terkena baunya.
Umpatan Abdullah ternyata berhasil memancing emosi seorang
sahabat lainnya, Bashir bin Nu’man, yang kala itu mengikuti rombongan
Nabi. Bashir yang sudah tersulut amarah pun seketika langsung melabrak
Abdullah. Beberapa sahabat Abdullah yang berada di rumahnya tidak
tinggal diam dan mengeroyoki Bashir hingga babak belur. Melihat hal itu,
rombongan sahabat yang bersama Rasulullah pun turut terpancing emosi

11
Sayyid Quthub, Islam dan Perdamaian Dunia terjemahan Tim Pustaka Firdaus,
(Jakarta: Pustaka Firdaus, 1987) hlm. 26

8
dan masuk ke dalam perkelahian. Konflik yang semakin memanas di
antara para sahabat membuat refleks mereka keluar untuk saling
menghunuskan pedang.
Melihat kekacauan yang semakin menjadi-jadi, Rasulullah pun tak
perlu menunggu turunnya wahyu untuk segera melerai perkelahian para
sahabat. Nabi Muhammad saw. takkan membiarkan darah Muslim
tertumpah dengan sia-sia melalui pertikaian ini. Bagi Rasulullah, Islam
tidak boleh diajarkan dengan kekerasan dan Islam bukan pula ajaran
kekerasan. Perdamaian adalah prioritas utama dalam menjalin relasi
bermasyarakat, baik antar Muslim maupun antar manusia.12
2. Perdamaian Masa Khulafau ar-Rasyidin
Khalifah Umar memasuki Yerusalem sembari mengendarai seekor
unta dengan pengawalan Sofronius, pimpinan agama di Kristen disana.
Sang Khalifah minta agar ia diantar segera ke Haram asy-Syarif, dan di
sana ia berlutut berdoa di tempat temannya Muhammad melakukan
perjalanan malamnya. Sang uskup melihatnya dengan ketakutan: ini, ia
pikir, pastilah akan menjadi penaklukan penuh kengerian yang pernah
diramalkan oleh Nabi Daniel akan memasuki rumah ibadat tersebut; Ia
pastilah sang Anti Kristus yang akan menandai Hari Kiamat.
Kemudian Umar minta melihat tempat-tempat suci Nasrani, dan
ketika ia berada di gereja Holy Sepulchre, waktu sholat umat Islam pun
tiba. Dengan sopan sang uskup menyilakannya sholat di sana, namun
Umar menolak. Umar beranggapan bahwa jika dia mendirikan shalat di
dalam gereja, umat Islam akan mengenang kejadian ini dengan
mendirikan sebuah mesjid di sana (tepat di atas reruntuhan Holy
Sepulchre). Akhirnya Umar pergi sholat di lain. Cukup tepat
perkiraannya, sekarang ini di tempat yang langsung berhadapan dengan

12
Imam Taufiq, Al-Qur’an Bukan Kitab Teror: Membangun Perdamaian Berbasis
Al-Qur’an, hlm. 1-2

9
Holy Sepulchre masih ada sebuah mesjid kecil yang dipersembahkan
untuk khalifah Umar bin Khattab.13
Di tempat lain, masjid Umar yang lebih besar didirikan di Haram asy-
Syarif sebagai prasasti penaklukan Yerussalem oleh umat Islam bersama
dengan mesjid al-Aqsa yang mengenang perjalanan malam Muhammad.
Selama bertahun-tahun umat Nasrani menggunakan tempat reruntuhan
biara Yahudi tersebut sebagai tempat pembuangan sampah kota. Umar
pun membantu umat Islam membersihkan tumpukan sampah dengan
tangannya sendiri dan di sana umat Islam membangun tempat sucinya
sendiri untuk membangun Islam di kota suci ketiga bagi dunia Islam.14
3. Perdamaian Masa Pertengahan Islam (Islamic Golden Age)
Perang Salib berlangsung selama hampir 2 abad, yakni sejak akhir
abad ke-11 hingga pertengahan abad ke-13. Perang Salib merupakan
reaksi umat Kristen di Eropa terhadap umat Islam di Asia yang dianggap
sebagai lawan yang berbahaya. Islam dianggap berbahaya sebab sejak
melakukan ekspansi pada tahun 632, wilayah kekuasaannya terus
berkembang bukan hanya di wilayah Timur tengah dan Afrika utara,
tetapi juga di Spanyol dan Sisilia. Identitas perang Salib muncul sebab
saat pecahnya perang, pihak militer Kristen mempergunakan salib sebagai
simbol perjuangan suci dan pemersatu agama.
Salah satu momen perdamaian terjadi saat perang Salib kelima (1217–
1221) berlangsung. Perang Salib kelima awalnya muncul sebagai upaya
bangsa Eropa untuk merebut kembali Yerusalem dan sekitarnya
pemusatan penyerangan pada Dinasti Ayyubiyyah yang berkuasa di
Mesir. Saat penyerangan tentara Salib ke Kairo pada Juli 1221, pasokan
perlengkapan dan makanan tentara Salib menipis akibat perebutan
pelabuhan Damietta sebelumnya. Melihat kesempatan ini, Sultan Al-
13
Karen Armstrong, Jerussalem: One City, Three Faiths, (New York: Ballentine Books,
2005) hlm. 228
14
Irna Fianda, "Kepemimpinan Umar Bin Khattab dalam Pemberantasan Kemiskinan di
Kota Madinah", Dalam Skripsi Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Ar-Raniry (Aceh, 2016)
hlm. 2

10
Kamil memanfaatkan momen tersebut dengan pengepungan di sekitar
kota Kairo sehingga pasukan tentara Salib tersebut menyerah dan
mengajukan genjatan senjata.
Menariknya, Al-Kamil menghargai permohonan gencatan senjata
yang diajukan oleh pihak tentara Salib lalu menyepakati perjanjian damai
selama delapan tahun dengan Eropa. Momen gencatan senjata ini dikenal
hingga sekarang dengan sebutan Truce of God (gencatan senjata Tuhan).
Perjanjian ini seketika menghentikan pertumpahan darah yang sering
terjadi antara umat Islam dan Kristen. Melalui perjanjian ini, infrastruktur
dan struktur sosial dapat diperbaiki di kedua belah pihak seperti
peningkatan kualitas pendidikan, perbaikan dan pengembangan bangunan,
hingga penyelarasan nilai filosofi di antara kedua kubu sehingga gencatan
senjata mampu bertahan sesuai dengan perjanjian awal.15
C. Urgensi Perdamaian

Eskalasi konflik-konflik perdamaian di berbagai daerah ditentukan antara


lain oleh preferensi subjektif keberagamaan tiap golongan (politik, sosial,
etnis, maupun agama), yakni identifikasi diri mereka yang menjadikan
mereka (merasa) berbeda dengan individu lain yang dari golongan yang
berbeda. Sayangnya, gairah identifikasi diri itu cenderung absen sebagai salah
satu pertimbangan dalam setiap ajuan resolusi atas konflik. Setiap inisiasi
penciptaan kerukunan umumnya tidak bertolak dari pandangan setiap
kelompok tentang golongan lain yang dengannya mereka mengidentifikasi
diri dan menjadikan mereka merasa berbeda. Akibatnya, berbagai inisiasi
perdamaian cenderung melahirkan kerukunan semu (pseudo-harmony)
sehingga kerap tidak langgeng dalam mengkondisikan relasi produktif antar
kelompok keagamaan. 16

15
William Ward Watkin, “The Middle Ages: The Approach to the Truce of God” Dalam
The Rice Institute Pamphlet Vol. XXIX No. 4 (Oktober, 1942) hlm. 296-297
16
Fawaizul Umam, "Memaknai Keragaman: The Others dalam Konstruksi Sosial Para
Elit Kelompok-Kelompok Keagamaan di Kota Mataram", Jurnal THEOLOGIA Vol.27 No. 2 (27
Desember 2016) hlm. 336-338.

11
Itulah mengapa penting menimbang bagaimana masing-masing golongan
mengkonstruksi golongan lain yang berbeda sebagai dasar pertimbangan
untuk mengelola perbedaan sekaligus menciptakan kebersamaan produktif
antar golongan. Kebersamaan antar golongan merupakan visualisasi
perdamaian. Beberapa urgensi perdamaian secara global, antara lain:
1. Menciptakan hidup berdampingan dan berdamai antar golongan

Kebutuhan untuk menciptakan pola kehidupan yang harmonis dan


damai merupakan fitrah manusia sebagai makhluk sosial. Misalnya
dalam ranah antar negara, tiap negara saling membantu dengan
membentuk hubungan bilateral maupun multilateral untuk
mempertahankan stabilitas perekonomian negara dan kelangsungan
hidup rakyat di dalamnya
2. Penyelesaian, resolusi, dan transformasi konflik

Sebagaimana yang penulis singgung di bab sebelumnya bahwa


konflik merupakan aspek intrinsik dan ekspresi heterogenitas yang
tidak mungkin dihindarkan dalam perubahan sosial, namun cara kita
menangani konflik adalah persoalan respon kebiasaan dan menentukan
pilihan yang tepat. Di antara pola perilaku untuk menangani konflik di
antaranya: (1) penyelesaian konflik, yakni tercapainya kesepakatan
antara pihak-pihak yang berselisih; (2) resolusi konflik, yakni
penyelesaian sumber konflik yang telah mengakar); 17 (3) transformasi
konflik, yakni implementasi langkah transisi yang diperlukan untuk
mencapai makna damai.
3. Membantu solidoritas dan menghargai antar pihak

Perdamaian dan menghargai pihak lain sudah menjadi kewajiban.


Aksi untuk tidak saling melecehkan, mengambil hak dan kewajiban,
serta intervensi keamanan dan privasi pihak lain menjadi poin utama

17
"Pendidikan Resolusi Konflik Berbasis al-Qur’an" | Pasir | Nadwa, 17 Desember 2018
http://journal.walisongo.ac.id/index.php/Nadwa/article/view/558/505.

12
untuk menjaga solidaritas dan kesadaran sosial untuk saling
menghargai satu sama lain.

D. Macam-Macam Perdamaian

Imam Taufiq dalam bukunya Al-Qur’an Bukan Kitab Teror: Membangun


Perdamaian Berbasis Al-Qur’an menjelaskan macam-macam perdamaian
yang dapat diaplikasikan dalam kehidupan, antara lain:
1. Perdamaian dalam Keluarga
Indikator keluarga yang baik adalah keluarga yang harmonis dan
damai. Harmonisasi antar anggota keluarga terjalin dengan saling
memahami dan menjalankan hak serta kewajiban sesuai fungsi dan
kedudukan masing-masing. Antar keluarga berusaha memberikan kasih
sayang dan berbagi kebahagiaan. Dari keluarga pula, seseorang
mendapatkan asupan kasih sayang dan kesejahteraan diri yang nantinya
akan berguna di tengah masyarakat dan umat manusia.
Taufiq membagi perdamaian dalam keluarga menjadi 2 aspek, yakni
terkait dengan relasi damai suami-istri dan relasi damai dalam waris.
Relasi suami dan istri bersifat bilateral. Sementara, relasi damai dalam
waris bersifat pararel dan melibatkan keluarga dalam skala makro, tidak
hanya keluarga inti (suami, istri, dan anak) tetapi juga menyangkut
menantu, mertua, saudara, paman, kemenakan, kakek, kerabat, dan
seluruh anggota keluarga besar.
2. Perdamaian Antar Golongan
Masing-masing golongan memilki identitas yang khas. Identitas
tersebut dipengaruhi oleh banyak faktor, mulai dari faktor geografis,
iklim, kultur-tradisi, agama, pendidikan, ekonomi, gender hingga sosial-
politik. Perbedaan letak geografis yang melahirkan perbedaan potensi
sumber daya alam, misalnya, memicu konflik berkepanjangan di antara
banyak banyak golongan. Bahkan, di dalam golongan yang sangat

13
terdidik sekalipun, perebutan kuasa ekonomi sosial-politik sering
memicu konflik.18
Enginer (2004: 175) menganggap bahwa dalam hal resolusi konflik
antar golongan, aspek sosiologi terkadang lebih dominan daripada aspek
teologi dan syariah. Menurutnya, hendaknya segala tindakan dan proses
yang terjalin di tengah golongan masyarakat bukan sebagai identitas
antar golongan saja, malainkan bagian dari pembentukan identitas
bersama. Namun praktiknya, konsep golongan tentang persamaan
universal tidak pernah diterima secara sosiologis dan hanya
mengandalkan klaim personal maupun golongan.
Enginer menambahkan, kerapkali orang mengeluhkan posisi golongan
agama sebagai sumbu kerusakan dan kemerosotan sosial. Menarik untuk
dicatat bahwa ajaran dan pemahaman agama bergantung pada kelas
sosial dan tingkat pengentahuan agama yang diketahui seseorang.
Menurutnya, perlu kesadaran bahwa tidak ada pemahaman agama yang
tunggal dan seragam. Hal ini merupakan dimensi penting pendekatan
sosiologis antar golongan.19
3. Perdamaian dalam Ranah Politik
Taufiq membagi perdamaian dalam ranah politik ke dalam 3 aspek,
yakni; politik berbasis amanah; musyawarah dan perdamaian; dan
menegakkan keadilan, menepis sengketa.20 Banyak para ahli berusaha
mengeksplorasi faktor yang menyebabkan kesuksesan dan kegagalan
dalam hubungan politik, seperti pemaafan, kepercayaan, respek, dan
perdamaian. Salah satu isu penting dalam hubungan politik dalam
konteks masyarakat Indonesia adalah amanah. Amanah memiliki peran

18
Imam Taufiq, Al-Qur’an Bukan Kitab Teror: Membangun Perdamaian Berbasis
Al-Qur’an, hlm. 183-184
19
Ashgar Ali Enginer, Liberaliasasi Teologi Islam: Membangun Teologi Dalam dalam
Islam terjemahan Rizqon Khamami, (Yogyakarta: Alenia, 2004) hlm. 172-175
20
Imam Taufiq, Al-Qur’an Bukan Kitab Teror: Membangun Perdamaian Berbasis
Al-Qur’an, hlm. 197-209

14
penting dalam relasi interpersonal individu. Sikap dan perilaku amanah
mampu membentuk hubungan positif antar individu dan kelompok.21
Al-Maraghi membagi amanah ke dalam tiga jenis, yaitu; amanah dari
Tuhan; amanah dari sesama manusia; dan amanah dari diri sendiri.
Redaksi yang secara langsung menunjukkan apa yang amanah dari Tuhan
adalah “Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah
tentangnya.” Menegakkan agama berarti menunaikan hal-hal yang
diperintahkan dalam kitab suci. Menunaikan amanah secara keseluruhan
berarti menyelenggarakan pembangunan spiritual, kesejahteraan sosial,
memelihara dan mengembangkan ketertiban sosial-keamanan negara.22
4. Perdamaian dalam Ranah Sosial-Ekonomi
Menurut Taufiq, bentuk sosial-ekonomi seperti perdagangan dan
investasi dibangun atas dasar keadilan dan kebajikan (‘adl wa ihsán)
untuk mengurangi terjadinya konflik dan sengketa di dalamnya. Konsep
ini dibangun di atas dasar transparansi, keadilan, kebajikan, dan
kesejahteraan sosial. Salah satu realisasi konsep adil dan kebajikan (‘adl
wa ihsán) adalah larangan penimbunan dan pemusatan kekayaan.
Kecenderungan penimbunan harta kekayaan akan mendorongnya pada
konsumerisme, kesibukan tanpa henti, sehingga pandangan mengenai
hubungan perdamaian kemanusiaan dan moral masyarakat menjadi kabur
dan samar.
Pembangunan ekonomi berbasis ‘adl wa ihsán berorientasi pada
penerapan aspek keadilan dan kebajikan dalam ekonomi. Produksi
sebagai salah satu komponen ekonomi harus memiliki tujuan moral.
Distribusi ekonomi harus didasarkan pada prinsip keadilan. Kerja
manusia harus dibayar secara proporsional sesuai dengan jenis dan
kualitas kerjanya. Oleh karena itu, tidak ada lagi istilah eksploitasi dan

21
Ivan Muhammad Agung dan Desma Husni, “Pengukuran Konsep Amanah dalam
Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif” dalam Jurnal Psikologi Vol. 43 No. 3 2016, hlm. 194
22
Abdul Mu’in Salim, Konsep Kekuasaan Politik dalam AL-Qur’an, (Jakarta: LSIK,
1994) hlm. 206

15
perbudakan serta tumbuh nilai keadilan dan perdamaian antar struktur
sosial-ekonomi.23
E. Praktik Perdamaian di Indonesia

Indonesia merupakan negara yang plural. Meskipun Indonesia


mengandung banyak kekayaan dari segi ras, agama, suku, dan bahasa,
heterogenitas di negara ini terikat dengan nilai persatuan dengan semboyan
Bhineka Tunggal Ika (Berbeda Namun Tetap Satu). Kekayaan budaya dan
sosial ini memikat banyak sarjanawan dari negara lain untuk terjun dan
mempelajari budaya dan aspek lokalitas di berbagai landmark Indonesia. Di
sisi lain, fenomena konflik dan usaha perdamaian terus bermunculan di
kalangan masyarakat Indonesia sejalan dengan pluralitas di dalamnya.
Berbagai konflik bersumber politik, sosial, ras, maupun agama telah berulang
kali terjadi di Indonesia dan tetap menjadi pembahasan yang menarik di
berbagai media dan literatur.
Misalnya konflik sosial-politik berbasis ras dan agama dalam gerakan
Organisasi Papua Merdeka (OPM) tahun 1965-1998 dan Gerakan Aceh
Merdeka (GAM) tahun 1976-2005. Kedua gerakan ini merupakan pergerakan
pembaharuan dan pembebasan wilayah dari negara Indonesia. Dalam rangka
memersiapkan kemerdekaan wilayah, kedua gerakan ini sampai memiliki
bendera, hari umum, pasukan, dan ideologi tersendiri. Menurut Asghar Ali
Enginer, gerakan pembaharu umumnya tidak menarik banyak massa.
Normalnya, gerakan ini memiliki daya tarik besar pada para intelektual kritis
sedangkan masyarakat biasa kebanyakan hanya mengikuti. Aksi masyarakat
ini ditanggapi secara serius oleh pemerintah Indonesia. Sebagai bentuk
penyelesaian, Indonesia melakukan penyuluhan perdamaian secara diplomatis
ke kedua gerakan ini hingga ditemukan transformasi persuasif di kedua sisi.24

23
Imam Taufiq, Al-Qur’an Bukan Kitab Teror: Membangun Perdamaian Berbasis
Al-Qur’an, hlm. 238-240
24
Hugh Miall, dkk. Resolusi Damai Konflik Kontemporer: Menyelesaikan, Mencegah,
Mengelola, dan Mengubah Konflik Bersumber Politik, Sosial, Agama, dan Ras. hlm. 8

16
Misalnya lagi, konflik sosial-agama di Indonesia yang terbangun melalui
kasus penistaan agama oleh seorang tokoh negara hingga gerakan Aksi Damai
212 yang berlangsung di Jakarta pada tahun 2016. Gerakan ini, menurut
Thoha Anwar, merupakan visualisasi generasi yang sangat dalam cintanya
dengan agama. Kemunculan gerakan ini turut didukung oleh mayoritas
kelompok mahasiswa dan pelajar yang mendemostrasikan sikap kultural
tersendiri sebagai refleksi kultural di sekelilingnya.25
Transformasi konflik melalui Aksi Damai 212 menunjukkan bahwa
konsep damai telah memasuki fase transisi yang cukup prospektif di tengah
masyarakat Islam Indonesia. Untuk memudahkan adaptasi sosial-agama pada
fase transisi tersebut, diperlukan pendekatan komprehensif antar umat Islam
Indonesia dengan Al-Qur’an sebagai pedoman utama beragama. Melalui bab
selanjutnya, penulis akan membahas konsep damai dan perdamaian yang
dibangun di dalam Al-Qur’an dan pembacaannya terhadap latar empiris
masyarakat Indonesia.

25
Muhammad Thoha Anwar, “Intensitas Generasi Muda Islam dalam Mengembangkan
Sikap Budaya Islam di Tengah Masyarakat” dalam Proyek Pembinaan Kemahasiswaan Dirjen
PKAI Departemen Agama RI. (Jakarta: 1983) hlm. 1-2

17
BAB III
AYAT-AYAT PERDAMAIAN DALAM AL-QUR’AN

A. Al-Anfal (8) : 61

ْ ‫ىََّّللاَِّإِنهَُّ َُّه اوَّالس ِمي ُع‬


َّ‫َّالعاَِّلي ُم‬ َّ ‫اَّوت ا اوك ْلَّ اعَّلا‬ ْ ‫اوإِ ْنَّ اجنا ُحواَّ ِللس ْل ِمَّفا‬
‫اجن ْاحَّلا اه ا‬
Dan jika mereka condong kepada perdamaian, maka condonglah
kepadanya dan bertawakalah kepada Allah. Sesungguhnya Dialah Yang
Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.

1. Kosakata Gharib

‫اجنا ُحوا‬ : Cenderung, condong.


‫ِللس ْل َِّم‬ : Kepada perdamaian, perbaikan. Ayat ini merupakan
mansukh (menghapus) ayat mengenai perang.
2. Sebab Turun Ayat/Asbáb an-Nuzúl
Berdasarkan kitab Lubáb an-Nuqúl fi Asbáb an-Nuzúl karya
Al-Suyuthi, Tafsir Al-Qur’an al-Adzim karya Ibnu Katsir, Tafsir
Al-Mishbah karya Quraish Shihab, dan buku Asbabun Nuzul: Latar
Belakang Historis Turunnya Ayat Al-Qur’an karangan K.H
Qamaruddin Shaleh, tidak didapati adanya informasi mengenai
asbabun nuzul Q.S. Al-Anfal (8): 61.

3. Tafsir Ayat
a. Tafsir Al-Qur’an al-Azhim (Ibnu Katsir)
Allah menyampaikan bahwa jika kaum Muslim khawatir
terhadap suatu kaum yang berkhianat, maka harus dijelaskan
kepada mereka mengenai janji yang telah mereka buat supaya
dikembalikan kepada mereka, maksudnya adalah pembatalan atas
janji tersebut.26 Namun, jika mereka membalas dengan perlakuaan
yang keras, maka balaslah sesuai dengan apa yang mereka balas,
yakni dengan perang dan kekerasan pula. Akan tetapi, jika pada

Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’an al-Azhim (Beirut: Maktabah al-Nur al-‘Ilmiyah, 1991),
26

hlm 308.

18
suatu masa mereka menghendaki kepada perdamaian, maka kaum
Muslim hendaklah menerima ajakan tersebut. Selanjutnya, tinggal
berserah diri kepada Allah atas segala urusan tersebut, karena
Allah Maha Mendengar segala macam suara dan mengetahui setiap
maksud dan tujuan.
b. Tafsir Al-Mishbah (Quraish Shihab)
Ayat ini merupakan kelanjutan penjelasan ayat sebelumnya
mengenai sikap dan perlakuan terhadap musuh yang dikhawatirkan
akan menyerang kaum Muslim disertai kewajiban mempersiapkan
kekuatan untuk menghadapi mereka.27 Ayat 61 ini kemudian
menjelaskan bagaimana sikap terhadap pihak musuh yang
cenderung kepada perdamaian. Secara jelas, Allah menyampaikan
jika mereka, pihak musuh, yakni orang-orang kafir yang cenderung
berdamai, baik melalui gencatan senjata maupun pembuatan
perjanjian, maka hendaklah kaum Muslim turut mengarah pada
perdamaian itu. Selanjutnya bertawakalah kepada Allah atas segala
upaya yang telah dilakukan dengan keyakinan dan kepercayaan
penuh atas kekuasaan-Nya, karena sesungguhnya Dia lah yang
Maha mendengar segala yang kaum Muslim dan Kafir ucapkan,
serta Maha Mengetahui terhadap apa yang mereka rencanakan.
Kecenderungan pihak musuh terhadap perdamaian tersebut

terkandung dalam kata ‫اجنا ُحوا‬ yang diambil dari kata َّ‫اجناا ُح‬
yang berarti sayap. Maksudnya, jika seekor burung bermaksud
menuju sebuah arah, maka ia akan menggunakan sayapnya untuk
mencenderungkannya ke arah yang ia tuju, sehingga kata janahuu
di sini berarti mereka cenderung, yakni kecenderungan yang

disertai kesungguhan. Selanjutnya, kata ini disusul dengan َّ‫ِللس ْل ِم‬

27
Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an (Jakarta:
Lentera Hati, 2006), hlm 589.

19
yang berarti untuk perdamaian yang digunakan sebagai bentuk
pengukuhan terhadap kesungguhan.
Sebagai penutup ayat, Allah menyuruh kepada kaum Muslim
supaya bertawakal setelah mengerahkan segenap upaya. Ini
merupakan salah satu bukti bahwa tawakal tidaklah berarti
meninggalkan usaha, melainkan sebuah keyakinan bahwa Allah lah
yang dapat mewujudkan segala sesuatu. Sehingga, seorang Muslim
diharuskan melakukan usaha sembari berserah diri kepada Allah
terhadap segala hasil yang terjadi nantinya.

B. Fushilat (41) : 34

َّ‫س ُنَّفاإِذااَّال َِّذيَّبا ْين ااك‬ َّْ ‫يَّأ ا‬


‫ح ا‬ ‫َّو اَلَّالسيِئاةَُّا ْدفا َّْعَّبِالتَِّيَّ ِه ا‬ ‫سناةُ ا‬ ْ ‫او اَلَّت ا ْست ا ِو‬
‫يَّال اح ا‬
ٌّ ‫اوبا ْيناهَُّ اعدا ااوةٌَّ اكأانه اَُّو ِل‬
‫يَّ اح ِمي ٌَّم‬
Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu)
dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan
antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat
setia.

1. Kosakata Gharib

‫ ْال اح ا‬:
ُ‫سنا َّة‬ Iman28

ُ‫ الس ِيئ ا َّة‬: Kesyirikan, adapula yang memaknainya sebagai sesuatu


yang menjijikan

‫ي َّأ ا ْح ا‬
َّ‫س ُن‬ ‫ا ْدفا ْع َّ ِبالتِي َّ ِه ا‬ : (seperti) menolak kemarahan dengan

kesabaran, dendam dengan pengampunan,


maka jika hal itu dilakukan, dapat menjadikan
seorang musuh menjadi teman.

2. Sebab Turun Ayat/Asbáb an-Nuzúl

28
Jamaludin Abi al-Faraj Ibn Al-Jawzy, Tadhkirat al-Arib fi Tafsir al-Gharib: Gharib al-
Qur’an al-Karim (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2004), hlm 338.

20
Berdasarkan kitab Lubáb an-Nuqúl fi Asbáb an-Nuzúl karya
Al-Suyuthi, Tafsir Al-Qur’an al-Adzim karya Ibnu Katsir, Tafsir
Al-Mishbah karya Quraish Shihab, dan buku Asbabun Nuzul: Latar
Belakang Historis Turunnya Ayat Al-Qur’an karangan K.H Qamaruddin
Shaleh, tidak didapati adanya informasi mengenai asbabun nuzul
Q.S. Fushilat (41): 34.
3. Tafsir Ayat

a. Tafsir Al-Qur’an al-Adzim (Ibnu Katsir)


Mengenai kebaikan dan keburukan yang disampaikan dalam
ayat ini, menurut Ibnu Katsir terdapat perbedaan yang besar serta
siginifikan di antara keduanya.29 Maka dari itu, hendaklah
kejahatan yang dialami, ditolak dengan cara dibalas dengan
perbuatan baik, di antaranya dapat dilakukan dengan sikap yang
lemah lembut. Sehingga dia yang pada awalnya bermaksud
melakukan kejahatan tersebut dapat menjadi teman dekat dan
menumbuhkan rasa kasih sayang padanya.30
Hal ini sejalan dengan qaul yang diucapkan oleh Sayyidina
Umar r.a, “Aku tidak akan menghukum orang yang bermaksiat
kepada Allah sebagaimana orang yang taat kepada-Nya”. Khabar
tersebut mengisyaratkan bahwa setiap perbuatan baik yang
diarahkan kepada yang bermaksud buruk, maka akan menuntun
pelaku tersebut terhadap rasa simpati, kasih sayang, dan
kemurahan hati kepada yang memilih untuk tetap berbuat baik
sebagai balasan kepadanya, sehingga mereka dapat menjadi teman
yang dekat dan setia.
b. Tafsir Al-Mishbah (Quraish Shihab)

Ibnu Katsir al-Dimasyqiy, Tafsir Al-Qur’an al-Adzim, hlm 103.


29

30
Ibnu Katsir, Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Katsier (Surabaya: Bina Ilmu, 1993), hlm
161.

21
Sesungguhnya, penafsiran ayat ini memiliki munasabah
dengan ayat-ayat sebelumnya, dimana Allah memuji kaum beriman
atas sikap mereka yang konsisten dalam menyampaikan janji-janji
Allah.31 Kemudian, pada ayat selanjutnya, yakni di ayat ke 33-35,
merupakan kelanjutan pujian Allah atas mereka yang bukan hanya
konsisten dalam menyampaikan janji-janji Allah, melainkan pula
yang berupaya membimbing manusia lain supaya taat dan patuh
terhadap perintah Allah.
Namun, pada ayat 34 ini secara spesifik menginformasikan
bahwa kejahatan dan kebaikan tidaklah sama. Quraish Shihab
menganalisisnya melalui aspek gramatikal dimana terdapat dua
kata la dalam ayat ini. Beliau mengemukakan beberapa pendapat
para ahli tafsir. Di antara ulama menyatakan bahwa kata la tersebut
sekedar berfungsi sebagai ta’kid. Sedangkan Ibnu ‘Asyur
berpendapat bahwa penggalan ayat ini merupakan ihtibak yang
menandakan adanya satu kata atau kalimat yang tidak disebut
susunannya. Sehingga, menurut pendapat yang dianggap penulis
lebih baik ini adalah, maksud dari penafian pertama mengandung
penafikan dapatnya keutamaan kebaikan menyentuh keburukan
kejahatan, sedang yang dimaksud dari penafian kedua adalah
penafikan mampunya keburukan mencapai keluhuran kebajikan.
Pendapat selanjutnya adalah bahwa ayat ini diyakini
mengandung isyarat terdapatnya peringkat dalam kebajikan,
demikian pula adanya peringkat dalam keburukan. Ada kebaikan
yang biasa saja, ada pula kebaikan yang dapat mencapai puncak.
Ayat ini pun mengandung anjuran untuk tetap berbuat baik kepada
yang memusuhi kita, karena yang seharusnya dibenci bukanlah
para pelakunya, melainkan kebencian dan permusuhan itu sendiri.

31
Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an, hlm 51-
53.

22
Allah pun menggunakan kataَّ ‫( عداوة‬permusuhan), bukan ‫عدو‬
(musuh) dalam mendefinisikan perbedaan konteks ini.
Ayat ini memaparkan betapa besar pengaruh kebaikan yang
dilakukan, termasuk kepada lawan. Sehingga, para musuh yang
keras hatinya dapat luluh dengan kebaikan yang ditujukan kepada
mereka, atau setidaknya lebih mudah diajak bernegosisasi
mengenai konflik yang sedang dialami oleh kedua pihak sehingga
perdamaian dapat segera terwujud.

C. Al-Hujurat (49) : 9-10

َّ‫ات‬ ْ ‫ص ِل ُحوا َّبا ْينا ُه اما َّفاإ ِ ْن َّباغ‬ ْ ‫َّمنا‬


ْ ‫َّال ُمؤْ ِمنِينا َّا ْقتاتالُوا َّفاأ ا‬ ِ ‫ان‬ ‫اوإِ ْن َّ ا‬
ِ ‫طائِفات ا‬
َِّ‫َّاْلخ ارى َّفاقااتِلُوا َّالتِي َّت ا ْب ِغي َّ احتى َّت ا ِفي اء َّ ِإلاى َّأ ا ْم ِر ََّّللا‬ ْ ‫ِإ ْحداا ُه اما َّ اعلاى‬
َّ ُّ‫طوا َّ ِإن ََّّللاا َّيُ ِحب‬ ‫ص ِل ُحوا َّبا ْينا ُه اما َّ ِب ْال اع ْد ِل ا‬
ُ ‫َّوأ ا ْق ِس‬ ْ ‫ت َّفاأ ا‬ ْ ‫فاإ ِ ْن َّفاا اء‬
َّ‫َّواتقُواََّّللاا‬ ‫ص ِل ُحواَّ ابيْنا َّأاخ ااو ْي ُك ْم ا‬ َّْ ‫ِطين۞ َّ ِإن ام‬
ْ ‫اَّال ُمؤْ ِمنُونا َّ ِإ ْخ اوة ٌَّفاأ ا‬ ِ ‫ْال ُم ْقس‬
۞‫ون‬ َّ‫لا اعل ُك ْمَّت ُ ْر اح ُم ا‬
Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang, maka
damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu
berbuat aniaya terhadap golongan yang lain, maka perangilah golongan
yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah
Allah; jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka
damaikanlah antara keduanya dengan adil, dan berlaku adil lah.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.
Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara, karena itu
damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah
supaya kamu mendapat rahmat.”

1. Kosakata Gharib

23
ْ ‫ أ ا‬: perbaikan;
‫ص ِل ُحوا‬ upaya menghentikan kerusakan atau
meningkatkan kualitas sesuatu sehingga manfaatnya jauh
lebih banyak.32

َّ ‫ احتىَّت ا ِفي اءَّإِلاىَّأ ا ْم ِر‬:


ِ‫ََّّللا‬ kembali kepada perintah Allah,
maksudnya tidak lagi berbuat dzalim dan
berselisih.33

ُ ‫ اوأ ا ْق ِس‬:
‫طوا‬ berbuat adil.

2. Sebab Turun Ayat/Asbáb an-Nuzúl


Dalam Tafsir Ibnu Katsir, disebutkan bahwa sebab turunnya ayat
ini berkenaan dengan perjalanan yang dilakukan oleh Nabi
Muhammad. Beliau bermaksud mendatangi kediaman seorang
pimpinan kaum munafik bernama Abdullah bin Ubay bin Salut dengan
menunggangi keledai, sedangkan kaum Muslim turut mengiringi
belilau dengan berjalan kaki.34. Sesampainya di sana, beliau diusir dan
dihardik dengan menghina bahwa bau keledai Rasulullah
mengganggunya. Sebagai respon atas perlakuan Abdullah bin Ubay
tersebut.
Seorang pemuda dari kalangan Anshar berkata, “Demi Allah.
Sesungguhnya, bau keledai ini lebih wangi dibanding baumu”.
Kemudian, para pengikut orang munafik itu marah, demikian pula
dengan kaum Muslim yang saat itu sedang menemani Rasulullah,
sehingga kedua belah pihak saling membela pemimpinnya masing-
masing. Akhirnya kedua kubu itu pun berkelahi melalui media berupa
pelepah kurma, pukulan tangan, serta terompah. Maka dari itu,
menurut berita yang sampai tersebut, turunlah ayat 9 ini sebagai
tuntunan supaya kedua belah pihak melakukan perdamaian.

32
Ibnu Katsir al-Dimasyqiy, Tafsir Al-Qur’an al-Adzim, hlm 213.
33
Abi Muhammad Abdullah Ibn Muslim Ibn Qutaybah al-Dinawariy, Tafsir Gharib al-
Qur’an (Beirut: Al-Maktabah al-‘Ilmiyyah, 2007), hlm 416.
34
Ibnu Katsir al-Dimasyqiy, Tafsir Al-Qur’an al-Adzim, hlm 212.

24
Di samping itu, terdapat pula riwayat yang bersumber dari Sa’id
bin Mansur dan Ibnu Jarir yang berasal dari Abu Malik bahwa sebab
turunnya ayat tersebut disebabkan oleh perselisihan antara dua orang
lelaki. Masing-masing kabilah dari kedua belah pihak turut marah dan
terlibat dalam pertengkaran, sehingga Allah menyampaikan ayat ini
supaya Nabi segera mendamaikan antara keduanya.35
Kemudian, terdapat riwayat lain yang menginformasikan asbab al-
nuzul ayat ini, yakni bersumber dari Ibnu Jarir dan Ibnu Abi Hatim
yang berasal dari Suddi. Ia menyebutkan bahwa sebab turunnya
berkenaan dengan pertikaian antara suami istri bernama Imran dan
Ummu Zaid, yang pada akhirnya perseturuan tersebut melibatkan
keluarga kedua belah pihak. Namun, selanjutnya, atas petunjuk dari
Allah, Rasulullah mengirim utusan untuk mendamaikan mereka berdua
hingga keduanya kembali bersatu dan taat kepada Allah dan Rasul-
Nya.
Yang terakhir, Qatadah meriwayatkan, bahwa telah diinformasikan
mengenai sebab turunnya ayat tersebut. Menurut riwayat ini, sebab
turunnya ayat berkaitan dengan dua orang lelaki Anshar yang terlibat
dalam suatu persengketaan. Bahkan salah seorang dari mereka berkata,
“Sungguh, saya akan merebutnya darimu, meskipun dengan jalan
kekerasan”. Ternyata, perkataan lelaki ini disebabkan karena
banyaknya jumlah kaumnya. Sehingga, lelaki kedua meminta
Rasulullah untuk mengambil keputusan, namun beliau menolaknya.
Akhirnya, pertikian itu terus berlangsung di antara mereka.
Beruntungnya, perkelahian tersebut tidak berujung dengan
menggunakan pedang, alias perang.

3. Tafsir Ayat
a. Tafsir Al-Qur’an al-Adzim (Ibnu Katsir)

35
Jalaluddin As-Suyuthi, Sebab Turunnya Ayat Al-Qur’an , terj. Tim Abdul Hayyie
(Jakarta: Gema Insani, 2008), hlm 526.

25
Allah memerintahkan supaya diadakan perdamaian terhadap
dua golongan (atau lebih) yang sedang berselisih. Ibnu Katsir
mengutip sebuah atsar oleh ‘Sayyidina Hasan bin Ali yang
berpidato di atas mimbar, di hadapan kaum Muslim beliau berdoa
dan berharap kepada Allah supaya segera mendamaikan kedua
golongan yang tengah bertikai, sebagaimana telah Allah damaikan
penduduk Syam dan Irak setelah perang berkepanjangan yang
mengerikan dan mencekam.36
Apabila salah satu di antara golongan itu ada yang berbuat
aniaya dan kerusakan, maka perangilah mereka hingga kembali
kepada perintah Allah dan Rasulullah, sebagaimana hadis yang
diriwayatkan oleh Anas bin malik, bahwa Rasulullah bersabda:
“Tolonglah saudaramu yang berbuat dzalim dan didzalimi.
Kemudian ada seseorang yang bertanya tentang bagaimana cara
menolong orang yang berbuat dzalim. Beliau pun menjawab,
Kamu cegah dia dari berbuat dzalim, maka sesungguhnya engkau
telah menolongnya”.
Adapun perdamaian yang dilakukan haruslah dilandasi dengan
keadilan dan kebijaksanaan supaya tidak terjadi kerugian bagi
pihak manapun. Mengenai keutamaan adil ini, Ibnu Katsir banyak
mengutip hadis menganai keutamaan berbuat adil, di anataranya
hadis dari Ibnu Amar yang artinya “Orang-orang yang adil kelak
di hari kiamat akan berada di sisi Allah, berada pada mimbar-
mimbar dari vahaya di sbeelah kanan ‘Arasy”.
Kemudian pada ayat selanjutnya, mengandung penegasan atas
perintah melaukan perdamaian tersebut dengan redaksi bahwa
sesama Muslim merupakan saudara. Terutama dalam hal
keyakinan dan keimanan kepada Allah. Mengenai pernyataan
tentang persaudaraan ini, Ibnu Katsir kembali menampilkan

Ibnu Katsir al-Dimasyqiy, Tafsir Al-Qur’an al-Adzim, hlm 213


36

26
berbagai hadis mengenai hal itu sebagai penguatan dan penegasan
terhadap persaudaraan sesama Muslim haruslah dirawat dan
dikuatkan. Di antaranya, hadis shahih yang berbunyi:

َّْ ‫َّال َُّم ْس ِل ُم َّأ ا ُخ‬


َّ‫وَّال ُم ْس ِل ِم‬ ْ ‫سلَّ ام َّقاَّا ال‬ ‫صلىََّّللاَُّ اعلا ْي ِه ا‬
َّ‫َّو ا‬ ‫سو ال ََّّللاِ َّ ا‬ ُ ‫َّر‬‫أان ا‬
ْ ‫اَلَّيا‬
ُ‫ظ ِل ُمه اَُّو اَلَّيُ ْس ِل ُم َّه‬
Sesungguhnya Rasulullah saw telah bersabda: ‘Orang Muslim
adalah saudara bagi Muslim lainnya, ia tidak boleh berbuat
aniaya terhadapnya dan tidak boleh pula menjerumuskannya.

ْ ‫َّال اع ْبدَِّ اماَّ اكانا‬


َّ ‫َّال اع ْبدَُّفِيَّ اع َّْو ِنََّّأ ا ِخي َِّه‬ ْ ‫اوَّللاَُّفِيَّ اع ْو ِن‬
Allah senantiasa menolong hamba-Nya selama hamba tersebut
menolong saudaranya

Maka dari itu, jika terjadi perselisihan di antara mereka,


segeralah lakukan perbaikan dan perdamaian karena sebagai
sesama saudara tentu diharuskan menjaga kekuatan dan kesatuan
demi terciptanya hubungan yang dapat melahirkan kemaslahatan.
Selanjutnya, setelah perintah mendamaikan pihak yang berselisih,
Allah memerintahkan pula untuk bertakwa kepadanya sepanjang
usia supaya mendapat rahmat dari Allah atas ketakwaannya.

b. Tafsir Al-Mishbah (Quraish Shihab)


Secara keseluruhan, kedua ayat di atas berbicara tentang
perselisihan antara kaum mukminin dikarenakan isu yang tidak
jelas kebenarannya.37 Maka dari itu, ayat ini mengarah pada
keharusan berdamai/mendamaikan antara pihak yang sedang
bertikai, sebagaimana penjelasan Quraish Shihab yang banyak
menggunakan pendekatan bahasa dalam menafsirkan kedua ayat
ini. Melalui kata-kata yang terdapat dalam ayat tersebut, dapat
diuraikan penjelasan mengenai apa yang sebenarnya tengah
dibahas dalam sebuah ayat.

37
Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an, hlm 594.

27
Pada ayat 9, terdapat kata ‫إن‬ yang menunjukkan bahwa

pertikaian antar Muslim merupakan sesuatu yang diragukan dan


jarang terjadi. Asumsinya adalah bahwa mereka memiliki
keimanan dan tujuan yang sama terjadinya perselisihan di antara
mereka merupakan sesuatu yang diragukan kejadiannnya.

Kemudian, pada penggalan kata selanjutnya yakni ‫ا ْقتاتالُوا‬,


merupakan isyarat yang mengandung tuntunan kepada yang sedang
berselisih agar segera melakukan upaya perdamaian ketika tanda-
tandanya mulai tampak di antara mereka. Perintah untuk berdamai

tersebut terkandung dalam kata ْ ‫أا‬


‫ص ِل ُحوا‬ yang berarti upaya

menghentikan kerusakan atau meningkatkan kualitas sesuatu


sehingga manfaatnya jauh lebih banyak.
Dalam konteks ayat ini, kata tersebut bermakna bahwa
perbaikan hendaknya dilakukan demi merekatkan kembali
keharmonisan sehingga terpenuhi nilai-nilai serta manfaat bagi
hubungan tersebut yang akan berdampak pada tumbuhnya
kemaslahatan.
Ayat ini memerintahkan supaya ishlah dilakukan sebanyak dua
kali; yang pertama dilakukan dengan adil sebagai suatu tindakan
awal, dan yang kedua, ishlah dilakukan dengan lebih keras lagi
dikarenakan kelompok yang akan didamaikan tersebut telah
mendapat ishlah yang pertama berupa tindakan yang mungkin
melukai fisik dan batin, sehingga ishlah yang kedua ini perlu lebih
ditekankan dengan tetap mengedepankan rasa adil.
Selanjutnya, ayat 10 yang merupakan kelanjutan dari ayat 9 ini
mengandung penjelasan mengapa perdamaian harus dilakukan
terhadap mereka yang sedang berselisih. Untuk mengetahui makna
yang terkandung dalam ayat ini, Quraish Shihab kembali mengurai
makna berbagai kata yang dapat membawa pada penafsiran ayat.

28
Pertama, kata ‫ ِإن اما‬yang digunakan untuk membatasi sesuatu
ini memiliki makna bahwa kaum beriman dibatasi hakikat
hubungan mereka berupa persaudaraan. Hal ini mengisyaratkan
bahwa seharusnya tidak terjadi sesuatu yang dapat menganggu
persaudaraan itu dari pihak dan konflik apapun. Kemudian, kata

ٌ ‫ِإ ْخ اوَّة‬ yang berrarti saudara, sahabat, dan pada mulanya berarti

yang sama¸ semakin menegaskan betapa kuatnya persaudaraan


yang dibangun antar sesama Muslim karena mengandung dua
dasar: persamaan iman dan persaudaraan seketurunan. Maka dari
itu, tiada alasan untuk memutuskan hubungan persaudaraan,
terlebih jika diikat pula oleh persaudaraan sebangasa, senegara, dan
sebahasa.

Kedua, kata َّ‫أاخ ااو ْي ُك ْم‬ merupakan bentuk dual dari َّ‫أ ا اخ‬ yang

menunjukkan bahwa, jangankan banyak orang, hanya dua pihak


pun, jika terjadi pertikaian, wajib diupayakan ishlah antar mereka
sehingga terjalin kembali hubungan tang hangat dan harmonis.
Ayat di atas telah memaparkan dengan jelas bahwa persatuan
dalam sebuah hubungan yang menciptakan kebersamaan dan
keharmonisan antar masyarakat dapat membawa mereka pada
lingkup rahmat yang melahirkan kemaslahatan. Sedangkan
sebaliknya, perpecahan dan permusuhan akan mengundang
munculnya kerusakan yang pada puncaknya dapat melahirkan
perang dan pertumpahan darah yang merugikan banyak pihak.

29
BAB IV
PERDAMAIAN DALAM AL-QUR’AN

A. Bentuk-Bentuk Damai (As-Salám) dalam Al-Qur’an

‘Damai’ dalam Al-Qur’an direpresentasikan dengan kata as-salám; sebuah


kata yang memiliki hubungan semantik dengan kata islám. Dalam Al-Qur’an
kata salám disebutkan sebanyak 157 kali dengan bentuk kata benda (ism)
sebanyak 79 kali., kata sifat (na’at) sebanyak 50 kali, dan kata kerja (fi’il)
sebanyak 28 kali. Ketiga bentukan kata tersebut (kata benda, sifat, dan kerja)
memiliki makna yang sama atas as-salám, yakni ‘damai’.38
Kata as-salám dalam bahasa Arab tersusun atas huruf sin-lám-mím.
Seorang pemikir, Ushfúr (1996, I: 26) dalam Al-Qamús al-Wajíz li Ma’ání al-
Qur’án al-Karím, menyatakan bahwa kata yang tersusun dari huruf sin-lám-
mím dalam Al-Qur’an memiliki delapan makna.
1. Tulus hati/ ikhlas, seperti dalam aslim qála aslamtu (QS Al-Baqarah
[2]:20) dan wa man yuslim wajhahu ilá Alláh (QS Luqman [31]: 22).
2. Pernyataan/ iqrár, seperti dalam wa lahú aslama (QS Ali Imrán [3]:
83) dan qúlú aslamná (QS Al-Hujurat [49]:14).
3. Damai/sulh, antara lain dalam wa in jánahú lissalm (QS Al-Anfal [8]:
61) dan ilakum as-salám (QS An-Nisa [4]: 90-91)
4. Syariat Rasulullah, pada udkhulú fí as-silm káffah (QS Al-Baqarah [2]:
208).
5. Sifat Allah swt. antara lain pada potongan ayat salám al-mu’mín (QS
Al-Hasyr [59]: 23), dár as-salám (QS Al-An’am [6]: 127), dan subul
as-salám (QS Al-Ma’idah [5]: 16).
6. Kebaikan/khair, dalam ayat wa qul salám (QS Az-Zukhruf [43]: 89),
qalú saláman (QS Hud [11]: 69), dan salámun ‘alaikum (QS Al-
An’am [6]: 54, QS Al-Ra’d [13]: 24, QS Al-Nahl [16]: 32, QS Al-
Qashash [28]: 55, dan QS Az-Zumar [39]:73).

38
Imam Taufiq, Al-Qur’an Bukan Kitab Teror: Membangun Perdamaian Berbasis
Al-Qur’an, hlm. 2-4

30
7. Keselamatan dari keburukan, pada ayat bi salámin minná (QS Hud
[11]: 48), bi salámin áminín (QS Al-Hijr [15]: 46), dan udkhulná bi
salámin (QS Qaf [50]: 34).
8. Penghormatan/tahiyyah, yakni pada ayat buyútan fa sallimú (QS An-
Nur [24]: 61) dan salámun ‘alaikum (QS Al-A’raf [7]: 46)
B. Menjaga Perdamaian dalam Al-Qur’an

Pesan Al-Qur’an tentang kewajiban menjaga perdamaian yang harus


diaktualisasikan oleh setiap pribadi muslim terhadap diri, keluarga, dan
masyarakat secara universal tercantum dalam buku Kerukunan Antar Umat
Beragama: Tafsir Tematik oleh Kementerian Agama RI. Aktualisasi menjaga
perdamaian menurut Al-Qur’an39 diwujudkan dengan melalui cara-cara
berikut:
1. Membudayakan ucapan salam

Budaya mengucapkan salam yang dipahami dan difungsikan secara


kaffah melalui tiga tahapan, yakni diucapkan sebagai budaya antara
sesama muslim, dipahami secara luas makna dan kandungan perdamaian,
kemudian salam perdamaian itu difungsikan sebagai sistem nilai dalam
berinteraksi dengan sesama umat manusia, baik muslim maupun bukan
muslim. Perintah untuk membudayakan salam itu tercantum dalam di
dalam Al-Qur’an QS. Al-An‘am [6]: 54 sebagai berikut:

‫ك َّال ِذ ي ان َّ ي ُ ْؤ ِم ن ُو ان َّ ب ِ آ ي ا ا ت ِ ن ااَّ فاَّ قَُّ ْل َّ ساَّ ال مٌ َّ عا لَّا يْ كُ ْم َّ َّۖ كا ت ا ا‬


َّ ‫ب‬ ‫او إ ِ ذ ااَّ اج ا اء ا‬
َّ‫ار ب ُّ كُ ْم َّ عا ل ا ٰى َّ ن ا فْ ِس ِه َّالر ْح ام ة ا َّ ۖ َّأ ان ه ُ َّ امَّ ْن َّ عاَّ ِم الَّ َّ ِم نْ كُ ْمَّ َّ سُ و ًء ا‬
ٌَّ‫ور َّ ارَّ ِح ي م‬ٌ ُ ‫ص ل ا اح َّ فاَّ أَّ ان هََُّّ غا ف‬ ْ ‫َّو أ ا‬ ‫ب ِ اج اه ا ل ا ةٍَّ ث ُم َّ ت ا ا‬
‫اب َّ ِم ْن َّ ب ا عْ ِد هِ ا‬
Apabila orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami itu datang
kepadamu, maka katakanlah: "Salaamun alaikum. Tuhanmu telah
menetapkan atas diri-Nya kasih sayang, (yaitu) bahwasanya barang
siapa yang berbuat kejahatan di antara kamu lantaran kejahilan,
kemudian ia bertaubat setelah mengerjakannya dan mengadakan

39
Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: Lajnah Pentashihan
Mushaf al-Qur’an, 2012), h. 134-136

31
perbaikan, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang
2. Peduli terhadap masyarakat golongan sosial-ekonomi rendah

Setidaknya dengan memberi makanan kepada mereka sebagai


jembatan untuk menghubungkan persaudaraan di antara sesama kaum
beriman dan sesama umat manusia secara universal. Pesan perdamaian
yang terkandung dalam ucapan salam harus diikuti oleh tindakan ihsán,
yakni melakukan kebaikan dengan keikhlasan dan kesadaran, serta
mempersembahkan kebaikan karena Allah40, sebagaimana tercermin
dalam QS. Al-Insán [76]: 8-9.

َّ ً ‫َّو أَّ ا ِس‬


‫ير ا‬ ‫َّوَّ ي ا تَِّ ي ًم ا ا‬ ْ ‫ام َّ عا ل ا ٰى َّ ُح ب ِ ِه َّ ِم‬
‫س ِك ي نًَّ ا ا‬ ‫ط ِع ُم و ان َّالط ع ا ا‬ ْ ُ ‫او ي‬
‫ََّل َّ ن ُ ِر ي دَُّ َّ ِمَّ نْ كَُّ ْم َّ اج زا ا ًء ا‬
َّ ‫َّو اَل‬ ْ ُ ‫إ ِ ن ام ا َّ ن‬
‫ط ِع ُم كُ ْم َّ لِ او ْج ِه ََّّللا ِ ا‬
‫ور ا‬ً ُ‫شُ ك‬
Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang
miskin, anak yatim dan orang yang ditawan. Sesungguhnya kami
memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan
keridhaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan
tidak pula (ucapan) terima kasih.
Rasulullah saw. menegaskan bahwa orang-orang muslim adalah
manusia yang gigih memperjuangkan perdamaian di antara sesama umat
manusia, memiliki kepedulian terhadap penderitaan kaum miskin, serta
membangun persaudaraan di antara kaum beriman.
3. Memberikan perlindungan terhadap keluarga dan kerabat

Memberikan perlindungan terhadap keluarga dan kerabat sebagai


bentuk pesan perdamaian yang diperintahkan al-Qur’an dan hadis guna
mewujudkan perdamaian dan kesejahteraan bagi mereka. Rasulullah saw.
turut menegaskan bahwa orang-orang mukmin yang paling sempurna

40
Ahmad Tri Muslim, “Pesan Perdamaian dalam Al-Qur’an: Kajian Tahlili terhadap QS
An-Nisa [4]: 86” dalam Skripsi Fakultas Ushuluddin, Filsafat dan Politik (UIN Alauddin
Makassar: 2017) hlm. 23

32
imannya adalah mereka yang paling baik akhlaknya dan paling baik
perilakunya kepada istri mereka dalam suatu hadis:

َّ‫اوأانااَّ اخي ُْر ُك ْم َِّْل ا ْه ِل‬


41
Dan aku adalah orang terbaik di antara kalian terhadap istriku.
4. Komunikasi yang baik kepada sesama

Al-Qur’an memerintahkan untuk berbuat baik dan menciptakan


lingkungan yang damai dan harmonis kepada sesama manusia, baik
tetangga maupun pendatang, baik Muslim maupun non-Muslim, dan baik
yang dikenal maupun yang tidak dikenal. Salah satu ayat mengenai
anjuran komunikasi yang baik tercantum di dalam QS. Al-Nisá’ [4]: 36.

َّ‫ش ِرَّ كُ واَّ ب ِ ِه َّ شا يْ ئ ًا َّ ۖ َّ اوَّ ب ِ ا لْ او ا لِ دَّا يْ ِن َّ إ ِ ْح سا ا ن ً ا‬


ْ ُ ‫َّو اَل َّ ت‬
‫ع ب ُد ُواََّّللا ا ا‬
ْ ‫او ا‬
َّ ‫ار َّ ِذ ي‬ ِ ‫َّوَّ الَّْ اج‬
‫َّو الْ ام سا ا ِك ي ِنَّ ا‬ ‫َّو الْ ي ا ت اا ام ٰى ا‬ ‫او ب ِ ِذ ي َّالْ ق ُ ْر ب ا ٰى ا‬
‫اح بِ َّ ب ِ ا لْ اجَّ نْ بَِّ ا‬
َّ َّ‫َّو ا بْ ِن‬ ِ ‫َّو الص‬ ‫ار َّالْ ُج ن ُبِ ا‬ ِ ‫َّو الْ اج‬ ‫الْ ق ُ ْر ب ا ٰى ا‬
ُّ ‫ت َّأ ايْ ام ا ن ُكُ ْم َّ ۗ َّ إ ِ ن ََّّللاَّا َّ اَلَّ َّ ي ُ ِح‬
َّ ‫بَّ َّ ام ْن َّ كاَّ ا ان‬ ْ ‫َّو ام ا َّ ام ل ا كا‬
‫الس ب ِ ي ِل ا‬
ً ‫ُم ْخ ت ا‬
ً ‫اَل َّ ف ا ُخ‬
‫ور ا‬
Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan
sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-
kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat
dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, ibnu sabil dan hamba
sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
sombong dan membangga-banggakan diri.
Dalam praktik komunikasi antar sesama, tiap manusia akan melalui
beberapa tahapan sosial yang telah diatur dalam lingkungan hidup42,
yakni:
a) Saling Mengenal/Ta’aruf:
Ta’aruf adalah tingkatan yang mendasar dalam lingkup sosial.
Interaksi mengenal karakter individu dimulai dengan

41
Hadis hasan riwayat Ibnu Majah no 1853
42
Kholeefah Jukeng, “Ragam Ungkapan Damai dalam Al-Qur’an: Kajian Lafal Muradif
dan Musytarak fi Ulumil Al-Qur’an” dalam Skripsi Fakultas Ushuluddin dan Filsafat (UIN Ar-
Raniry Banda Aceh: 2016) hlm. 34

33
memerhatikan penampilan fisik seperti tubuh, wajah, gaya
pakaian, gaya bicara, tingkah laku, pekerjaan, pendidikan, dan
lainnya.
b) Saling Memahami/Tafahum
Tafaum merupakan pross yang berjalan secara alami. Manusia
akan saling mempelajari dan memahami aspek yang lebih
mendalam dari manusia lain seperti hobi, kebiasaan, dan karakter.
c) Saling Menghargai/Tasamuh
Tasamuh merupakan sikap saling menghormati antar manusia
yang satu dengan manusia yang lainnya. Manusia hidup dalam
keberagaman sehingga dibutuhkan sikap tenggang rasa untuk
mempertahankan hubungan antar manusia.
d) Saling Menolong/Ta’awun
Ta’awun dapat dilakukan dengan batin, akal, dan amal. Proses
saling membantu dalan kebaikan merupakan tingkatan lain dari
proses sosial, sebab seseorang akan menggeser egonya sebagai
makhluk individual dan mulai membantu orang lain sebagai
bagian dari makhluk sosial.
e) Saling Menanggung/Takaful
Rasa saling menanggung merupakan bagian dari reaksi psikis
yang melibatkan rasa empati pada manusia. Ketika ada saudara
yang mempunyai masalah, maka kita ikut menanggung dan
menyelesaikan masalahnya tersebut. Tahapan inilah yang menjadi
karakter manusia serta tidak dimiliki oleh makhluk hidup lain
secara natural.

C. Perintah Allah untuk Menjaga Perdamaian dalam Al-Qur’an

34
َّ‫س ار ا ئَِّ ي الَّ َّأ انَّ ه َُّ ام ْنَّ َّ ق ا ت ا ال َّ ن ا فْ سً ا‬ ‫ِم ْن َّأ ا ْج ِل َّ ٰذ ا لِ ا‬
ْ ِ ‫ك َّ كا ت ابْ ن اا َّ عا ل ا ٰى َّ ب ا ن ِ ي َّ إ‬
َّ‫س َّ اج ِم ي ع ً ا‬ ‫ض َّ ف ا كا أ انَّ ام ا َّ ق ا تَّ ا ال َّالن ا ا‬ ِ ‫اْل ا ْر‬ ْ َّ‫ب ِ غ ا ي ِْر َّ ن ا فْ ٍس َّأ ا ْو َّ ف ا سا ا ٍد َّ ف ِ ي‬
َّ ‫اس َّ اج ِمَّ ي عًَّ ا َّ ۚ َّ اوَّ ل ا ق ا دْ َّ اجَّ ا اء ت ْ هُ ْم‬ ‫او ام ْن َّأ ا ْح ي ا ا هاا َّ ف ا كا أ ان ام ا َّأ ا ْح ي ا ا َّالن ا‬
َّ ‫ض‬ ِ ‫َّاْل ا ْر‬ ْ ‫ك َّ ف ِ ي‬ ‫ير ا َّ ِم نَّْ ُه ْمَّ َّ ب ا عَّْ د ا َّ ٰذ ا لَِّ ا‬
ً ِ ‫ت َّ ث ُم َّ إ ِ ن َّ كا ث‬ ِ ‫ُر سُ ل ُن اا َّ ب ِ الْ ب ا ي ِ ن اا‬
َّ‫س ِر ف ُو ان‬ ْ ‫ل ا ُم‬
Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa:
barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu
(membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan dimuka
bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan
barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-
olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. Dan
sesungguhnya telah datang kepada mereka rasul-rasul Kami dengan
(membawa) keterangan-keterangan yang jelas, kemudian banyak diantara
mereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat
kerusakan dimuka bumi.43
Q.S. Al-Maidah [5]: 32 di atas mengandung pesan perdamaian secara
tersirat melalui larangan membunuh sesama manusia tanpa ada alasan atau
sebab yg dibenarkan oleh syariat seperti untuk mencegah kerusakan, melawan
kezaliman, dan menunaikan hukum (qishásh). Redaksi ayat di atas ditujukan

kepada Bani Israil dengan menggunakan kata َّ‫عا ل ا ٰى‬ (‘alá) yang bermakna

kewajiban, sehingga ayat ini diturunkan sebagai ketetapan hukum yang wajib
atas mereka. Pengkhususan kewajiban ini disebabkan oleh puncak keburukan
yang telah mereka lakukan dengan membunuh banyak manusia yang
merupakan utusan Allah.44 Namun demikian, meskipun redaksi tersebut
ditujukan pada Bani Israil, pesan yang terkandung berlaku bagi umat Islam
sekarang ini dalam upayanya menjaga relasi dan bermuamalah dengan
manusia.

43
Q.S. Al-Maidah [5]: 32
44
Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan keserasian Al-Qur’an, hlm 101.

35
Dalam ayat tersebut, terdapat peringatan akan larangan pembunuhan yang
permisalannya menyangkut semua nyawa manusia di dunia. Hal ini
merupakan sebuah isyarat yang menujukkan bahwa Islam memperhatikan
kemaslahatan. Disamakannya pembunuhan satu orang dengan membunuh
seluruh manusia di dunia menunjukkan bahwa, kezaliman merampas hak
hidup adalah perkara yg sangat dimurkai Allah. Disamping melanggar hukum
dan kehormatan darah orang lain, tindakan ini dapat melahirkan kerusakan yg
berujung pada kebencian dan permusuhan. Maka dari itu, kandungan ayat ini
memiliki makna bahwa Islam sangat menjunjung tinggi harakat dan martabat
manusia, serta menghendaki tersebarnya perdamaiaian dengan cara
memelihara nyawa manusia.45
Ayat ini juga disebutkan kebalikan dari larangan membunuh tadi, yakni
informasi bahwa perumpamaan memelihara nyawa manusia, atau dalam
artian memberi penghidupan yg baik terhadap manusia yg lain, berhubungan
baik dengan mereka, sama halnya dengan memelihara seluruh manusia di
dunia. Informasi tersebut menandakan bahwa bermuamalah dengan baik
dapat menumbuhkan kepedulian dan kasih sayang yang pada akhirnya dapat
berujung pada terjaganya perdamaian.

45
Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Tafsirnya (Jakarta: Lentera
Abadi, 2010), hlm 338.

36
BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
B. Saran

37
DAFTAR PUSTAKA

Agung, Ivan Muhammad dan Desma Husni. 2016. “Pengukuran Konsep Amanah
dalam Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif” dalam Jurnal Psikologi Vol.
43 No. 3
Al-Dimasyqiy, Ibnu Kathir. 1991. Tafsir Al-Qur’an al-Adzim. Beirut: Maktabah
al-Nur al-‘Ilmiyah.
Al-Dinawariy, Abi Muhammad Abdullah Ibn Muslim Ibn Qutaybah. 2007. Tafsir
Gharib al-Qur’an. Beirut: Al-Maktabah al-‘Ilmiyyah.
Al-Jawzy, Jamaludin Abi al-Faraj Ibn. 2004. Tadhkirat al-Arib fi Tafsir al-
Gharib: Gharib al-Qur’an al-Karim. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
Anwar, Muhammad Thoha. 1983. “Intensitas Generasi Muda Islam dalam
Mengembangkan Sikap Budaya Islam di Tengah Masyarakat” dalam Proyek
Pembinaan Kemahasiswaan Dirjen PKAI Departemen Agama RI
Armstrong, Karen. 2005. Jerussalem: One City, Three Faiths, (New York:
Ballentine Books
As-Suyuthi, Jalaluddin. 2008. Sebab Turunnya Ayat Al-Qur’an. terj. Tim Abdul
Hayyie. Jakarta: Gema Insani.
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia. 2016. “Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI) Daring” dalam kbbi.kemdikbud.go.id. Diakses pada 15 September
2018, 22:31
Departemen Agama Republik Indonesia. 2010. Al-Qur’an dan Tafsirnya Jakarta:
Lentera Abadi
Departemen Agama Republik Indonesia. 2012. Al-Qur’an dan Terjemahnya.
Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an
Dinawariy, Abi Muhammad Abdullah Ibn Muslim Ibn Qutaybah al-. 2007 Tafsir
Gharib al-Qur’an Beirut: Al-Maktabah al-‘Ilmiyyah
Enginer, Ashgar Ali. 2004. Liberaliasasi Teologi Islam: Membangun Teologi
Dalam dalam Islam terjemahan Rizqon Khamami. Yogyakarta: Alenia
Irna, Fianda. 2016. "Kepemimpinan Umar Bin Khattab dalam Pemberantasan
Kemiskinan di Kota Madinah", Dalam Skripsi Fakultas Dakwah dan
Komunikasi UIN Ar-Raniry Banda Aceh

30
Jawzy, Jamaludin Abi al-Faraj Ibn Al-. 2004. Tadhkirat al-Arib fi Tafsir al-
Gharib: Gharib al-Qur’an al-Karim Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah
Jukeng, Kholeefah. 2016. “Ragam Ungkapan Damai dalam Al-Qur’an: Kajian
Lafal Muradif dan Musytarak fi Ulumil Al-Qur’an” dalam Skripsi Fakultas
Ushuluddin dan Filsafat UIN Ar-Raniry Banda Aceh
Katsir, Ibnu. 1991. Tafsir Al-Qur’an al-Azhim. Beirut: Maktabah al-Nur al-
‘Ilmiya
Katsir, Ibnu. 1993. Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Katsir. Surabaya: Bina Ilmu.
Kester, Kevin dan Ashley Booth. 2010. "Education, Peace and Freire: A
Dialogue", dalam Development Vol. 53
Majah, Abi Abdullah Muhammad Ibn Yazid Ibnu-. 1998. Sunan Ibnu Majah.
Riyadh: Maktabah al Ma’arif
Miall, Hugh, dkk. 2002. Resolusi Damai Konflik Kontemporer: Menyelesaikan,
Mencegah, Mengelola, dan Mengubah Konflik Bersumber Politik, Sosial,
Agama, dan Ras. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Muslim, Ahmad Tri. 2017. “Pesan Perdamaian dalam Al-Qur’an: Kajian Tahlili
terhadap QS An-Nisa [4]: 86” dalam Skripsi Fakultas Ushuluddin, Filsafat
dan Politik UIN Alauddin Makassar
Pasha, Abdulrahman Azzam. 1985. Konsepsi Perdamaian Islam Terjemahan H.
Rus’an. Jakarta: Karya Unipress
Quthub, Sayyid. 1987. Islam dan Perdamaian Dunia terjemahan Tim Pustaka
Firdaus. Jakarta: Pustaka Firdaus
Salim, Abdul Mu’in. 1994. Konsep Kekuasaan Politik dalam AL-Qur’an. Jakarta:
LSIK
Shihab, Quraish. 2006. Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-
Qur’an. Jakarta: Lentera Hati.
Supriyanto. 2017. "Perdamaian dan Kemanusiaan Dalam Pandangan Islam",
dalam Jurnal KALAM Vol. 7 No. 2
Supriyanto. 2018. "Pendidikan Resolusi Konflik Berbasis al-Qur’an" dalam
Jurnal Nadwa
Suyuthi, Jalaluddin As-. 2008. Sebab Turunnya Ayat Al-Qur’an terjemahan Tim
Abdul Hayyie Jakarta: Gema Insani
Taufiq, Imam, 2016. Al-Qur’an Bukan Kitab Teror: Membangun Perdamaian
Berbasis Al-Qur’an. Yogyakarta: Benteng Pustaka

31
Umam, Fawaizul. 2016. "Memaknai Keragaman: The Others dalam Konstruksi
Sosial Para Elit Kelompok-Kelompok Keagamaan di Kota Mataram",
Jurnal THEOLOGIA Vol.27 No. 2
Wajdi, Firdaus. 2009. “Ayat-Ayat Damai dalam Al-Qur’an” dalam Jurnal Studi
Qur’ani Vol. 5 No. 1
Watkin, William Ward. 1942. “The Middle Ages: The Approach to the Truce of
God” Dalam The Rice Institute Pamphlet Vol. XXIX No. 4.

32

Anda mungkin juga menyukai