Anda di halaman 1dari 3

Nama : Anisa Salma Nabila

Jurusan : Psikologi Islam

Fakultas : Ushuludin Adab dan Dakwah

Kelompok : Kapulaga/71

KEBHINEKAAN

(Anisa Salma Nabila)

Nasionalisme

Nasionalisme berasal dari kata nation yang berarti bangsa. Istilah nasionalisme yang
telah diserap ke dalam bahaha Indonesia memiliki dua pengertian: paham (ajaran) untuk
mencintai bangsa dan negaranya sendiri dan kesadaran keanggotaan dalam suatu
bangsa. Kesimpulannya, nasionalisme adalah kecintaan alamiah terhadap tanah air.

Sebagai seorang mahasiswa sudah seharusnya kita merasa bangga sebegai bangsa
Indonesia sebagai perwujudan rasa nasionalisme kita. Nasionalisme relevan untuk
diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Mahasiswa dapat membuktikan kebanggaan
dan rasa cinta terhadap bangsa dengan melakukan autokritik atas kondisi bangsa.

Fungsi sikap nasionalisme adalah sebagai identitas sosial dan motivasi kesadaran atas
pengetahuan. Mahasiswa harus melakukan usaha agar konsisten bersikap nasionalisme,
antara lain: menanamkan prinsip hidup bermanfaat bagi orang lain, menambah
informasi, mengikuti pelatihan kebangsaan, dll.

Faktor yang mempengaruhi pembentukan nasionalisme mahasiswa adalah pengaruh


orang lain yang dianggap penting, khususnya orang tua selain itu juga teman dan dosen.
Faktor yang mempengaruhi pembentukan nasionalisme adalah: a).Organisasi ekstra
kampus, b).Media massa, c). Pendidikan formal, d). Pelatihan kebangsaan, e). Ajaran
kewajiban, f). Pengalaman.

Pengembangan nasionalisme Indonesia sangat erat hubungannya dengan sejarah


perjuangan bangsa Indonesia dalam merebut kemerdekaan dari cengraman penjajah,
perjuangan bangsa Indonesia ini sudah di mulai sejak zaman kerajaan di nurantara.
Senjakala Masyarakat Adat

Komunitas Adat Bonokeling menjalani ritual jalan kaki, sebuah ritual yang merupakan
bagian dari tradisi Unggah-unggahan. Seribuan orang berjalan menuju ke Desa
Pekuncen, Kecamatan Jatilawang tepatnya di kompleks makan Kyai Bonokeling. Laki-
laki dan permpuan dari semua usia melakukannya dengan semangat meski hanya jalan
kaki. Mereka juga membawa berbagai macam hasil bumi seperti beras dan sayur-
sayuran.

“Ini adalah ritual yang harus dijalankan. Sebuah tradisi yang harus dijaga. Jadi
berangkat ke Pekuncen sehari dari jam 07.00 WIB sampai jam 14.00 WIB, kemudian
hari kedua yakni adalah ritual Unggah-unggahan dan pada keesokan harinya jalan kaki
pulang lagi ke Cilacap,”kata Fajri, 17, warga Desa Adiraja, Kecamatan Adipala.

Setelah sampai di Desa Pekuncen, Jatilawang, kaum adat Bonokeling beristirahat di


rumah-rumah Bedogol atau para tetua adat. Rumah-rumah mereka umumnya berdinding
bambu wulung, sehingga suasana di dalam rumah lebih nyaman karena dingin. Yang
menarik, ternyata seluruh peralatan makan dan memasak menggunakan bahan alam.
Misalnya untuk kepungan atau makan bersama, maka yang dipakai adalah daun pisang
untuk alas makan.

“Di kompleks makam, banyak sekali pepohonan besar yang usianya sudah ratusan
tahun. Pohonpohon tersebut dipertahankan karena memang tidak diperbolehkan
sembarangan menebang. Kalau saat dilaksanakan prosesi ziarah pada Unggah unggahan
seperti sekarang, kebanyakan kaum adat Bonokeling banyak yang betah di dalam
makam, karena memang rimbun. Rasanya, sama sekali tidak panas,” kata Ngudiharjo.

Di kompleks makam itulah, kaum adat Bonokeling melakukan ritual ziarah ke sejumlah
makam, tetapi yang utama adalah makam Kyai Bonokeling. Sebelum masuk ke makam,
mereka antre berjalan secara rapi. Dalam prosesinya, para perempuan yang terlebih
dahulu melakukan ritual ziarah, baru diikuti oleh para lelaki.

Mereka menggunakan pakaian adat Jawa. Kalau laki-laki menggunakan kain seperti
sarung dan iket kepala, sedangkan perempuan adalah jarit dan bagian atasnya ada yang
menggunakan kemben atau baju Jawa.

**
Seringkali kaum adat diidentikkan dengan sekolompok masyarakat yang masih
menganut ajaran animisme dan dinamisme. Pun, makna yang melekat kepada mereka
sudah kepalang negatif. Istilah adat berasal dari bahasa Arab yang berarti tradisi atau
kebiasaan, praktik kaum adat pun berkembang dalam khazananh Nusantara jauh
sebelum masa kolonial. Dulu, istilah ini dipakai tanpa adanya batas pengertian yang
jelas serta tak selalu memiliki kaitan dengan agama.

Para ahli menyebut proses pengarusutamaan “agama dunia” ini sebagai religionisasi
atau proses pengagamaan. Sebaliknya, adat ditempatkan dalam kotak ajaran yang
disebut animisme dan dinamisme. Adat berlabel animisme diklaim mengandung aspek
keagamaan, tetapi kurang memadai untuk disebut agama. Seturut dengan alur
konstruksi ini, paradigma “agama dunia” menjadi standar yang digunakan untuk
mendefinisikan praktik masyarakat adat sebagai objek untuk dimodernisasi dan
dikonversi ke “agama dunia”

Anda mungkin juga menyukai