Anda di halaman 1dari 35

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Salah satu temuan menarik dari hasil survei Power, Welfare, and
Democracy (2014) yang dilakukan oleh Universitas Gadjah Mada (UGM) dan
Universitas Oslo (UiO) adalah menguatnya kecenderungan politik berbasis
ketokohan (figure based politics) di Indonesia. Politik berbasis ketokohan
merupakan jenis politik yang terfokus pada tokoh dan cenderung
mengabaikan organisasi (termasuk partai) dalam memobilisasi dukungan
(PWD, 2014). Kecenderungan ini terlihat dari dominannya peran aktor
(tokoh) politik dibandingkan dengan partai politik atau organisasi yang
menaunginya. Hal ini ditandai dengan munculnya aktor-aktor di tingkat lokal
yang menjadi pemimpin dan pejabat publik meskipun tidak mempunyai basis
dukungan partai politik yang kuat.
Kemunculan fenomena politik berbasis ketokohan ini tentu tidak
terlepas dari kecenderungan perilaku memilih masyarakat Indonesia yang
bersifat psikologis. Hal ini setidaknya terlihat dari temuan Mujani dan Liddle
pada pemilu 1999 dan 2004 dimana ketokohan dan identitas kepartaian -
dua variabel utama perilaku memilih dalam model psikologis - menjadi dua
faktor yang penting dalam membentuk pilihan politik masyarakat Indonesia.
Temuan ini sekaligus menolak klaim peneliti sebelumnya yang menyatakan
bahwa perilaku memilih masyarakat Indonesia semenjak pemilu 1955,
cenderung dipengaruhi oleh faktor sosiologis atau budaya, seperti agama,
etnisitas, wilayah, dan kelas sosial (Mujani dan Liddle, 2010).
Pengaruh ketokohan dan identitas kepartaian ini juga terlihat pada
pemilu 2009, baik pada pemilu legislatif maupun pemilu presiden. Dengan
sangat meyakinkan, Mujani dan Liddle membuktikan bahwa pengaruh
ketokohan dan identitas kepartaian (meskipun tidak sekuat pada pemilu

1
1999 dan 2004), masih menjadi faktor yang sangat penting dalam
menjelaskan perilaku memilih di Indonesia. Hal yang tidak jauh berbeda juga
terlihat dari studi Hapsari (2010) yang menyatakan bahwa kepribadian
kandidat atau peran ketokohan mempunyai pengaruh yang kuat dalam
membentuk perilaku memilih.
Kuatnya pengaruh ketokohan dan identitas kepartaian ini ternyata
tidak hanya terjadi di negara-negara berkembang seperti Indonesia saja. Di
beberapa negara maju seperti di Inggris, Kanada, dan Australia, dimana
partai politik sudah relatif terlembaga, ketokohan pemimpin partai juga
masih mempunyai pengaruh yang kuat dalam kenaikan perolehan suara
(Winham dan Cunningham, 1970; Graetz dan McAllister, 1987; Bean dan
Mughan, 1989; Stewart dan Clarke, 1992; Mughan, 2000 dalam Mujani dan
Liddle, 2006). Sementara di beberapa negara lainnya, seperti Jerman,
pengaruh identitas kepartaian justru lebih besar dibandingkan dengan
pengaruh ketokohan (Kaase, 1994; Rose dan Suleiman, 1980 dalam Mujani
dan Liddle, 2006).
Selain ketokohan dan identitas kepartaian, hal lain yang turut
mempengaruhi perilaku memilih adalah pengaruh media massa dan program
kerja kandidat. Penelitian Berelsin et al (1954) dan Lazarfeld et al (1948)
menegaskan bahwa selain mendorong seseorang untuk memilih dalam
pemilu, pengaruh media massa ternyata juga turut menguatkan pilihan
seseorang. Dalam konteks pemilu presiden Indonesia, Mujani et al (2012)
juga mengkonfirmasi temuan yang hampir sama, dimana ada hubungan yang
signifikan antara iklan calon presiden dengan afeksi terhadap tokoh partai
yang terkait. Sementara itu, terkait dengan program kerja kandidat, dalam
terminologi Downs, pemilih akan memilih kandidat yang memiliki kebijakan
yang dapat memaksimalkan aliran keutungan yang akan pemilih dapatkan
daripada kandidat yang tidak dapat memberikan keuntungan.
Bagaimana memahami perilaku memilih buruh dalam pemilu? Studi
ini ingin mengkaji lebih dalam, bagaimana pengaruh ketokohan dan identitas
kepartaian buruh dalam pemilu presiden 2014. Apakah perilaku memilih
buruh juga mempunyai pola yang sama dengan pemilih pada umumnya? Jika

2
ditelusuri secara lebih dalam, ternyata masih sangat sedikit studi tentang
buruh yang menfokuskan kajiannya pada partisipasi dan perilaku politik
mereka dalam pemilu. Sebagaimana diungkapkan oleh Hadiz (2005),
sebenarnya studi yang membahas tentang buruh sudah cukup banyak
dilakukan oleh para ahli, seperti Ingleson (1986); Shiraishi (1990); Tanter
(1990), dan Deyo (1989). Akan tetapi, sebagian besar studi perburuhan yang
ada, lebih banyak didominasi oleh studi yang berfokus pada kajian
pergerakan dan advokasi perjuangan buruh.
Kajian tentang kelompok buruh dalam pemilu yang pernah dilakukan
oleh Ford, Caraway, dan Nugroho (2014) dan Savirani (2015) lebih
menjelaskan bagaimana strategi buruh dalam upaya memasuki lembaga
politik formal melalui pemilu, bukan kajian yang membahas tentang perilaku
memilih mereka dalam pemilu. Studi tentang perilaku memilih buruh dalam
pemilu yang dilakukan oleh Sholihin (2009) dan Reynald (2012) juga masih
sebatas kajian yang bersifat deskriptif-kualitatif, belum dilengkapi dengan
analisis multivariat. Padahal kajian perilaku memilih dengan menggunakan
analisis kuantitatif-multivariat sebagaimana yang dilakukan oleh Gaffar
(1992), Kristiadi (1993), dan Mujani et al (2012) terbukti lebih mampu
menjelaskan dinamika perilaku memilih secara lebih meyakinkan.
Oleh karena itu, studi tentang perilaku memilih buruh dalam pemilu
presiden 2014 ini menarik dilakukan karena beberapa alasan. Pertama,
buruh merupakan salah satu kelompok marginal yang seringkali diabaikan
dalam proses politik. Padahal sebagaimana pendapat Sofian Munawar
(2009), buruh sejatinya mempunyai potensi yang sangat besar dalam proses
demokratisasi dan merupakan kekuatan pro-demokrasi yang utama.1
Kedua, jumlah buruh di Indonesia sangat banyak (sekitar 41 juta
orang)2, namun kelompok ini tidak memiliki saluran politik yang

1 Rueschemeyer, D., Stephens, E.H., & Stephens, J.D. (1992). Capitalist Development and
Democracy. Cambridge, UK: Polity Press
2 Data hasil Survei Agkatan Kerja Nasional (Sakernas) yang dilakukan oleh BPS, Agustus

2013. Data mengacu pada konsep buruh sebagaimana UU Ketenagakerjaan. Jumlah pasti
untuk buruh sebagaimana dalam batasan studi ini, masih belum diketahui secara pasti.

3
merepresentasikan kepentingan kelompok buruh itu sendiri.3 Tiadanya
saluran politik formal serta terpolarisasinya beberapa serikat buruh
menjelang pemilu presiden menyisakan sebuah teka-teki, kemanakah suara
kaum buruh ini diberikan dalam pemilu presiden 2014? Ketiga, kaum buruh
selama ini menjadi komoditas politik para elit, baik pengusaha maupun
penguasa. Posisi buruh yang tidak setara dengan pengusaha, telah
menjadikan buruh sebagai objek eksploitasi, baik secara ekonomi maupun
secara politik. Lalu, bagaimanakah buruh memanfaatkan momentum pemilu
presiden 2014 sebagai upaya memperjuangkan nasib mereka?

2. Rumusan dan Batasan Masalah


Sebagaimana uraian di atas, studi ini ingin mengkaji lebih jauh,
“Bagaimanakah perilaku memilih buruh pada pemilu presiden 2014? Apakah
pilihan politik buruh juga dipengaruhi oleh faktor ketokohan, identitas
kepartaian, peran media massa, dan program kerja calon presiden
sebagaimana kecenderungan perilaku memilih masyarakat Indonesia pada
umumnya? Faktor dominan apa saja yang mempengaruhi seorang buruh
dalam memilih calon presiden pada pemilu 2014? Kemudian setelah
mengetahui pengaruh tersebut, seberapa besarkah pengaruh dominan
tersebut dalam membentuk pilihan politik seorang buruh pada pemilu
presiden 2014?”
Untuk itu, agar pembahasan tidak melebar, saya membatasi objek
penelitian ini hanya terhadap buruh industri yang ada di Kota Semarang.
Selain karena pertimbangan waktu dan biaya, lokasi ini sengaja saya pilih
karena Kota Semarang merupakan salah satu pusat industri di Provinsi Jawa
Tengah yang memiliki jumlah kawasan industri, jumlah perusahaan, dan
jumlah buruh paling banyak dibandingkan dengan kabupaten/kota lainnya di

3Partai Buruh3 yang oleh sebagian kalangan dianggap sebagai representasi politik kaum
buruh, nyatanya tidak mendapatkan suara yang signifikan dalam setiap perlehatan pemilu.
Pada Pemilu 1999, partai buruh menggunakan nama Partai Buruh Nasional, berhasil
memperoleh 140.980 atau 0,13 persen suara. Kemudian pada Pemilu 2004 partai ini
menggunakan nama Partai Buruh Sosial Demokrat (PBSD), memperoleh 636.397 atau 0,56
persen suara. Pada Pemilu 2009, Partai Buruh hanya memperoleh 265.203 atau 0,25 persen
suara. Sementara pada pemilu 2014, partai Buruh dengan 18 partai kecil lainnya tidak lolos
verifikasi administrasi sehingga tidak bisa mengikuti pemilu 2014.

4
Jawa Tengah. Data dari dinas Tenaga Kerja Provinsi Jawa Tengah
memperlihatkan bahwa sebanyak 15,2 persen perusahaan dan sekitar 22,4
persen pekerja buruh di Jawa Tengah terkonsentrasi di Kota Semarang.
Dalam penelitian ini, yang saya maksud sebagai buruh industri adalah
mereka yang bekerja dan mendapatkan upah di perusahaan industri, baik
industri kecil, menengah, maupun besar, atau sebutan umum yang merujuk
kepada para pekerja di perusahaan/pabrik industri. Namun demikian, demi
memudahkan penyebutan, dalam bab-bab selanjutnya saya akan menyebut
buruh industri ini hanya dengan sebutan buruh (saja).

3. Tujuan Penelitian
Demi menjawab pertanyan-pertanyaan penting sebagaimana terurai
pada uraian di atas, maka secara garis besar, penelitian ini bertujuan untuk;
1. Mengisi kekosongan studi perilaku pemilih di kalangan buruh dengan
pendekatan kuantitatif-inferensia, sehingga bisa melengkapi studi-
studi perilaku memilih yang telah ada.
2. Memahami perilaku memilih buruh industri dalam pemilu presiden
2014 beserta dengan faktor-faktor yang mempengaruhinya.
3. Mengetahui faktor dominan sekaligus mengetahui seberapa besar
pengaruh faktor dominan tersebut dalam membentuk pilihan politik
buruh industri pada pemilu presiden 2014.

4. Literatur Review
Di Indonesia, studi perilaku memilih telah banyak dilakukan oleh para
sarjana ilmu politik. Beberapa studi yang dilakukan oleh Gaffar (1992),
Kristiadi (1993), Mujani dan Liddle (2006, 2010), Mujadi et al (2012) adalah
beberapa contoh studi yang cukup baik dalam menjelaskan perilaku memilih
masyarakat Indonesia. Namun demikian, studi yang membahas tentang
perilaku memilih di kalangan buruh masih belum banyak dilakukan. Untuk
itu, agar bisa menjelaskan posisi tulisan sekaligus perbedaan dengan
beberapa studi yang sebelumnya pernah dilakukan, berikut akan diuraikan
beberapa studi yang relevan dengan kajian perilaku pemilih di Indonesia.

5
Studi perilaku pemilih di Indonesia yang cukup populer dan menjadi
rujukan para peneliti adalah studi yang dilakukan oleh Afan Gaffar (1992)
yang berjudul Javanese Voters: A Case Study of Election Under a Hegemonic
Party System. Studi yang dilakukan di desa Brobanti, sebuah desa di Kota
Yogyakarta ini berusaha untuk memotret perilaku pemilih masyarakat dalam
konteks era orde baru yang hegemonik. Menyadari bahwa pengadopsian
pendekatan ala barat yang akan rancu apabila dipraktikkan di Indonesia,
khususnya masyarakat Jawa, Gaffar memakai pendekatan baru yang dikenal
dengan perspektif aliran. Dengan pendekatan ini, Gaffar membahas perilaku
pemilih Yogyakarta melalui penggalian aspek sosio-religius yang mewarnai
komunitas Jawa, serta keterkaitannya dengan isu partai dan kepemimpinan
di daerah setempat. Dari penelitiannya ini, dia menemukan bukti bahwa tesis
Gertz tentang variabel aliran; santri dan abangan, masih menjadi faktor
penentu pilihan politik seseorang. Meskipun temuan ini masih perlu ditelaah
lebih jauh, utamanya berkaitan dengan generalisasi, namun studi ini menjadi
studi awal yang membuka pintu bagi bermunculannya studi-studi perilaku
pemilih selanjutnya.
Studi yang senada dilakukan oleh Joseph Kristiadi pada tahun 1993.
Studi yang berjudul “Pemilihan Umum dan Perilaku Pemilih: Suatu Studi Kasus
Tentang Perilaku Pemilih di Kotamadya Yogyakarta dan Kabupaten
Banjarnegara, Jawa Tengah pada Pemilihan Umum 1971-1987” ini mencoba
untuk mencari penjelasan variabel-variabel yang mempengaruhi seseorang
untuk mendukung dan kemudian memilih partai politik tertentu dalam
pemilu. Sedikit berbeda dengan Gaffar, studi ini berusaha mengkaji perilaku
pemilih di daerah perdesaan (direpresentasikan oleh Kabupaten
Banjarnegara) dengan daerah perkotaan (direpresentasikan Kotamadya
Yogyakarta). Melalui pendekatan sosio-kultural, sebuah gabungan
pendekatan sosiologis dan psikologis, studi ini berusaha menguji bagaimana
kaitan antara variabel panutan, identifikasi kepartaian, struktur sosial, dan
media massa dalam mempengaruhi pilihan politik pemilih.
Kristiadi menemukan bukti empiris bahwa panutan dan identifikasi
kepartaian adalah variabel yang berpengaruh terhadap perilaku memilih

6
seseorang, sedangkan variabel lainnya tidak. Dengan temuan ini, Kristiadi
membuat dua kesimpulan; (1) interaksi sosial antara pimpinan dan anggota
masyarakat masih bersifat paternalistik. Akibatnya, interaksi tersebut turut
mempengaruhi perilaku pemilih dalam mendukung dan memilih partai
tertentu dalam pemilu; (2) identifikasi kepartaian masyarakat cenderung
mengikuti identifikasi kepartaian tokoh panutannya. Implikasinya, dukungan
dan preferensi politik seseorang dalam pemilu dipengaruhi oleh persepsi
responden terhadap identifikasi kepartaian tokoh panutannya (Kristiadi,
1994: xxix-xxx).
Sementara itu, studi yang dilakukan oleh Mujani dan Liddle (2006,
2010) menjelaskan tentang dominannya variabel kepemimpinan dan
identitas kepartaian dalam membentuk pilihan politik warga dalam pemilu.
Melalui serangkaian survei yang dilakukan pada tahun 1999 dan 2004,
mereka menemukan bukti empiris yang meyakinkan bahwa variabel
kepemimpinan dan identitas kepartaian, merupakan dua variabel yang
sangat berpengaruh dalam membentuk pilihan politik masyarakat Indonesia.
Selain temuan itu, mereka juga menolak klaim beberapa peneliti sebelumnya
(Gertz, 1960, King, 2003; dan Baswedan, 2004) yang menyatakan bahwa
orientasi keagamaan atau variabel aliran masih menjadi faktor penting dalam
menjelaskan studi perilaku memilih di Indonesia. Dari data yang ada, mereka
justru menemukan bukti yang meyakinkan bahwa orientasi keagamaan
sudah tidak signifikan dalam membentuk pilihan politik warga.
Studi lain yang dilakukan oleh Christi Hayunindita Citra Hapsari
(2010) yang berjudul “Perilaku Pemilih Dalam Pemilihan Umum Presiden
Indonesia 2009” menjelaskan tentang hubungan antara variabel-variabel
perilaku pemilih sebagaimana yang dikembangkan oleh Newman dan Sheth
(1985) terhadap perilaku pemilih dalam pemilu presiden 2009. Melalui
pendekatan riset eksploratif, studi ini menjelaskan bagaimana pengaruh
variabel pencitraan sosial, isu politik, kontijensi situasional, kepribadian
kandidat, dan nilai epistemic terhadap perilaku pemilih dalam pemilu
presiden 2009. Studi yang dilakukan terhadap pemilih di Jakarta, Bogor,
Tangerang, dan Bekasi (Jabotabek) ini menemukan bukti empiris bahwa

7
variabel pencitraan sosial dan kepribadian kandidat presiden mempunyai
pengaruh yang signifikan terhadap perilaku pemilih warga ibukota. Dengan
mendasarkan pada temuan yang ada, dia menyimpulkan bahwa pemilih di
Indonesia masih merupakan pemilih yang bersifat tradisional, yang lebih
memperhatikan pencitraan sosial dan kepribadian kandidat (Hapsari, 2010:
58)
Studi yang dilakukan oleh Mujani et al (2012) dalam karyanya yang
berjudul “Kuasa Rakyat: Analisis Tentang Perilaku Memilih dalam Pemilihan
Legislatif dan Presiden Indonesia Pasca-Orde Baru” adalah studi yang sangat
komprehensif dalam membahas perilaku pemilih di Indonesia. Dengan
berbasiskan data hasil survei berskala nasional, studi ini menjadi studi
berbasis riset berskala nasional pertama yang dilakukan terhadap seluruh
hasil pemilu pasca runtuhnya orde baru. Studi ini hadir sebagai jawaban atas
ketidakmampuan pendekatan sosiologis dalam merespon perubahan hasil
pemilu yang sangat cepat terjadi. Selain menawarkan pendekatan baru yang
bertumpu pada individu pemilih sebagai unit analisisnya, studi ini juga
menghadirkan model ekonomi politik dan model psikologis yang terbukti
lebih membantu memahami dinamika perilaku memilih di Indonesia.
Studi ini menemukan bukti bahwa perspektif rasionalitas pemilih,
utamanya evaluasi ekonomi politik, berpengaruh signifikan dan positif
terhadap pilihan atas partai dan presiden. Pengaruh ini terlihat pada
kekalahan Megawati pada pemilu presiden 2004 dan kemenangan SBY pada
pemilu 2004 serta pemilu 2009. Namun demikian, faktor rasionalitas pemilih
ini ternyata bukan menjadi faktor penentu yang mempengaruhi pilihan
politik seseorang. Menurut Mujani et al, faktor peran tokohlah yang
sebenarnya mempunyai pengaruh kuat dalam membentuk perilaku memilih
Indonesia, terlepas dari kuat dan lemahnya faktor-faktor lainnya (Mujani et
al, 2012: 446). Di akhir uraiannya, Mujani et al menyimpulkan bahwa pemilih
di Indonesia sudah semakin rasional dan menjatuhkan pilihan politiknya
bukan atas dasar alasan-alasan primordial (Mujani et al, 2012: 454).
Sementara itu, studi yang dilakukan oleh Amul Husni Fadlan (2014)
yang berjudul “Partisipasi Politik Pemilih Pemula pada Pemilihan Presiden

8
Ditinjau dari Persepsi Terhadap Citra Partai Politik dan Keterpercayaan
Kandidat Presiden” menjelaskan tentang hubungan antara persepsi terhadap
citra partai politik dan keterpercayaan terhadap kandidat presiden terhadap
partisipasi politik pemilih pemula di beberapa Perguruan Tinggi di Kota
Yogyakarta. Melalui pendekatan korelasional, studi ini menjelaskan
bagaimana partisipasi politik pemilih pemula bisa diprediksi dengan
mendasarkan atas persepsi mereka terhadap citra partai politik dan
keterpercayaannya terhadap kandidat presiden. Studi ini menyimpulkan
bahwa persepsi terhadap citra partai politik dan keterpercayaan terhadap
kandidat presiden secara bersama-sama mempengaruhi partisipasi politik
pemilih pemula dalam pemilu presiden 2014. Hasil penelitian juga
menunjukkan bahwa kepopuleran kandidat presiden tertentu juga
memberikan pengaruh terhadap tingkat partisipasi pemilih pemula (Fadlan,
2013: 84).
Studi tentang buruh dan politik yang menarik dilakukan oleh Ford,
Caraway, dan Nugroho (2014). Studi yang berjudul “Translating Membership
into Power at the Ballot Box? Trade Union Candidates and Workers Voting
Pattern in Indonesian National Election” ini menjelaskan tentang strategi
eksperimentasi gerakan buruh dalam memasuki politik formal (dalam
pemilu) di Tangerang dan Bekasi. Studi ini melihat kegagalan eksperimen
beberapa anggota serikat buruh dalam pemilu 2004 dan 2009 yang
disebabkan karena tiadanya dukungan yang penuh dari serikat pekerja yang
ada. Selain itu, studi ini mencatat bahwa kegagalan kelompok buruh
memasuki politik formal juga disebabkan karena tiadanya data pemetaan
pemilih buruh yang kuat, akibatnya suara buruh menjadi terpecah.
Studi tentang eksperimen buruh dalam politik formal juga dilakukan
oleh Savirani (2015). Dalam studinya yang diberi judul “Buruh go Politics dan
Melemahnya Politics Patronase”, dia menjelaskan bagaimana eksperimen
Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) yang berhasil
mengantarkan dua kadernya memasuki lembaga politik formal (DPRD
Kabupaten Bekasi). Keberhasilan itu, menurutnya, tidak terlepas dari
pengalaman kegagalan buruh pada pemilu 2004 dan 2009. Selain karena

9
solidnya dukungan serikat pekerja, keberhasilan dua kader FSPMI dalam
menduduki jabatan di DPRD tersebut juga tidak terlepas dari upaya mereka
dalam melawan massifnya praktek politik uang. Melalui studi ini, Savirani
juga ingin menunjukkan bahwa politik di Indonesia tidak selalu dan
selamanya berhubungan dengan patronase dan politik uang. Ia berhasil
menunjukkan bahwa buruh, yang merupakan salah satu representasi
kelompok masyarakat yang “tanpa” uang, berhasil melawan dominasi praktik
politik uang yang menjamur selama pemilu legislatif 2014.
Studi yang cukup spesifik membahas perilaku memilih kaum buruh
dilakukan oleh Sholihin (2009) yang berjudul Perilaku Pemilih Buruh Rokok
Dalam Pilkada Langsung Di Kabupaten Kudus” dan Reynald (2012) yang
berjudul “Preferensi Politik Buruh Tebu Dalam Pemilukada 2010 Kota Binjai.”
Dengan menggunakan pendekatan deskriptif-kualitatif, kedua studi ini
berusaha untuk mencari penjelasan faktor apa saja yang mempengaruhi
perilaku pemilih kaum buruh dalam pemilukada di daerahnya masing-
masing. Menurut Solihin, pendekatan rasional dan psikologis sangat
berpengaruh terhadap perilaku memilih buruh rokok di Kabupaten Kudus.
Menurutnya, faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku memilih kaum
buruh adalah faktor juru kampanye, hibah politik (termasuk pemberian uang
dari kandidat), identifikasi calon, isu kampanye dan visi-misi, serta
keberadaan partai politik.
Secara garis besar, berbagai penelitian di atas menjelaskan pola
perilaku memilih dalam pemilu yang masih bersifat umum, belum banyak
yang membahas perilaku memilih (voting) secara lebih spesifik. Adapun studi
yang lebih spesifik, yaitu studi perilaku memilih kaum buruh yang dilakukan
oleh Sholihin (2009) dan Reynald (2012) juga masih sebatas kajian yang
bersifat deskriptif-kualitatif. Padahal kajian perilaku memilih dengan
menggunakan analisis kuantitatif-inferensia sebagaimana yang dilakukan
oleh Gaffar (1992), Kristiadi (1993), dan Mujani et al (2012) terbukti lebih
mampu menjelaskan dinamika perilaku memilih secara lebih meyakinkan.
Oleh karena itu, berbeda dengan studi-studi sebagaimana terurai di
atas, studi ini berusaha mengkaji perilaku memilih buruh industri dalam

10
pemilu presiden 2014 dengan menggunakan analisis kuantitatif-inferensia.
Studi ini ingin mengkaji lebih jauh bagaimana buruh industri menentukan
pilihan politiknya dalam pemilu presiden 2014, apakah perilaku memilih di
kalangan buruh ini juga sejalan dengan kecenderungan perilaku memilih
warga pada umumnya, ataukah tidak. Untuk mempertajam analisis, studi ini
tidak hanya sekedar menjabarkan temuan menggunakan analisa deskriptif,
akan tetapi juga dilengkapi dengan analisa statistik inferensia untuk melihat
pengaruh beberapa variabel independen yang diasumsikan berpengaruh.
Dengan demikian, gambaran partisipasi, pilihan politik, dan faktor yang
mendorong kaum buruh dalam pemilu presiden 2014 dapat terjelaskan
dengan baik.

5. Kerangka Teori
5.1. Perilaku Memilih
Perilaku memilih adalah salah satu bentuk dari perilaku politik yang
jamak dilakukan oleh warga negara. Menurut Jack Plano (1985) sebagaimana
dikutip oleh Valentina (2009), perilaku memilih adalah salah satu bentuk
perilaku politik yang terbuka. Huntington dan Nelson (1990) juga menyebut
bahwa perilaku memilih merupakan aktivitas elektoral, termasuk pemberian
suara (voting), bantuan untuk kampanye, bekerja dalam suatu pemilihan,
menarik masuk atas nama calon, atau tindakan lain yang direncanakan untuk
mempengaruhi proses pemilihan umum.4
Perilaku memilih merujuk pada keikutsertaan seseorang atau
kelompok masyarakat yang mempunyai hak pilih dalam pemilu sebagai
rangkaian pembuatan keputusan dalam menentukan pilihan politiknya.
Dengan kata lain, perilaku memilih adalah tindakan seseorang untuk ikut
serta dalam memilih orang, partai politik, atau isu publik tertentu. Secara
lebih khusus, perilaku memilih adalah keikutsertaan dalam pemilihan umum,

4Tengku Rika Valentina, Peluang Demokrasi dan Peta Perilaku Pemilih terhadap Partai
Politik untuk Pemilu 2009 di Yogyakarta dalam Jurnal Demokrasi, Vol VIII No 2 Tahun 2009.

11
pilihan atas partai politik tertentu, pilihan atas calon jabatan politik tertentu,
dan pilihan atas isu politik tertentu.
Studi-studi tentang perilaku pemilih sebenarnya sudah berkembang
sejak lama, terutama di negara Eropa dan Amerika Serikat. Sebagaimana
dijelaskan oleh Kristiadi (1993: 21-22), penelitian tentang voting pertama
kali dilakukan oleh Siegfield (1913) yang masih bersifat sederhana. Studi-
studi lainnya kemudian bermunculan seperti dilakukan oleh Ogburn (1929),
Tingsten (1937), dan Gougel (1951) yang sudah mengembangkannya dengan
mempertimbangkan aspek motivasi dan persepsi dalam analisisnya.
Sementara itu, studi yang mulai memfokuskan analisisnya pada individu
dengan metode wawancara dilakukan oleh Merriem dan Gasnel pada tahun
1924. Studi perilaku politik ini terus berkembang pesat setelah munculnya
studi yang dilakukan oleh Lazarsfeld beserta koleganya (1948) serta Campell
dan koleganya (1960) dalam meneliti perilaku pemilih presiden di Amerika
Serikat.
Secara garis besar, studi perilaku memilih (voting behavior) ini dapat
dipetakan menjadi tiga pendekatan teoritik; pertama pendekatan sosial
struktural (sosiologis), kedua pendekatan sosial psikologis, dan ketiga
pendekatan pilihan rasional atau ekonomi politik (Mujani, et al, 2012). Ketiga
model ini bersaing untuk memberikan jawaban yang lebih meyakinkan atas
berbagai pertanyaan tentang kecenderungan perilaku memilih. Menurut
Dieter Roth (2009), ketiga pendekatan itu tidak sepenuhnya berbeda, dan
dalam beberapa hal ketiganya bahkan saling membangun dan mendasari
serta memiliki urutan kronologis yang jelas. Perbedaan antara ketiga
pendekatan ini terletak pada titik beratnya satu sama lain.

5.1.1. Pendekatan Sosial Struktural (Model Sosiologis)


Model sosiologis merupakan model yang pertama muncul dalam studi
perilaku memilih. Model ini sebenarnya muncul di Eropa, namun justru
berkembang di Amerika pada tahun 1950-an. Model ini pertama kali
dikembangkan oleh Biro Penerapan Ilmu Sosial Universitas Colombia
(Colombia`s University Bureau of Applied Social Science), sehingga lebih di

12
kenal dengan mahzab Colombia. Model sosiologis merupakan model yang
dikembangkan atas dasar teori lingkaran sosial yang diformulasikan oleh
Georg Simmel (1890). Pendekatan ini menjelaskan bahwa seseorang yang
tinggal dalam lingkungan sosial tertentu akan cenderung mengikuti
lingkungan sosial yang membentuknya. Akibatnya, pilihan politik seseorang
juga akan sangat dipengaruhi oleh struktur sosial yang melingkupinya (Roth,
2008: 24).
Model ini mendasarkan pada asumsi bahwa preferensi politik
(memilih dalam pemilu, ikut partai politik dan sebagainya) ditentukan oleh
latar belakang sosial-ekonomi dan anggota-anggota kelompok sosial yang
memiliki kepentingan serupa. Keanggotaan di dalam suatu kelompok sosial
bisa saja dimobilisasi untuk pilihan politik yang sifatnya kolektif. Pendekatan
dalam model ini berusaha memahami perilaku pemilih dari perspektif hirarki
kelompok-kelompok sosial yang ada dalam masyarakat. Kelompok
masyarakat tersebut bisa terpetakan dengan berbagai kategorisasi, seperti:
kelas, agama, ideology, etnisitas, pekerjaan, gender, dan lain-lain (Ismanto,
2004).
Sebagian besar penelitian mengenai perilaku memilih pada setengah
abad pertama di abad 20 sangat didominasi oleh pendekatan sosiologis atau
sosial struktural. Hal ini banyak dilakukan oleh peneliti karena data terbaik
yang tersedia pada waktu itu adalah data sensus demografis, yang dengan
mudah dapat dibandingkan dengan pola perilaku memilih (Dalton dan
Wattenberg, 1993). Ketersediaan data-data demografis ini memudahkan para
peneliti dalam menganalisa perilaku pemilih dalam pemilu.
Lazarsfeld, Bernald Berelson, dan Hazel Gaudet adalah para pelopor
yang mengenalkan pendekatan ini. Dalam studi tentang perilaku memilih
masyarakat Amerika pada pemilu tahun 1940, mereka menemukan bukti
bahwa hanya sedikit dari para pemilih yang berganti-ganti pilihan. Pilihan
politik masyarakat ternyata relatif stabil dan cenderung sesuai dengan
kondisi demografis masyarakat. Singkatnya, Lazarsfeld et al berkesimpulan
bahwa kondisi sosial-struktural masyarakat sangat mempengaruhi perilaku
memilih seseorang. Temuan senada juga diungkapkan oleh Berelson et al

13
pada tahun (1954). Menurutnya, setiap individu berusaha untuk
mempertahankan homoginetas lingkungan sosialnya demi menghindari
adanya konflik. Akibatnya, seorang individu akan memilih teman-teman yang
mempunyai pandangan politis yang kurang lebih sama sesuai dengan
lingkungan sosialnya (Roth, 2008: 25-26).
Meskipun model sosiologis memberikan kerangka yang berguna
dalam mengidentifikasi struktur sosial yang membentuk keputusan pemilih,
model ini memiliki beberapa keterbatasan. Selain keterbatasannya dalam
menjelaskan proporsi pemilih pada masyarakat yang tidak terpolarisasi,
model ini ternyata juga tidak mampu dalam menjelaskan kecenderungan
perilaku pemilih yang selalu berubah-ubah. Hal ini disebabkan karena model
sosiologis menekankan adanya kontinuitas dan stabilitas struktur sosial,
dimana struktur sosial diasumsikan tidak berubah dari waktu ke waktu.
Sehingga, apabila mengikuti logika sosiologis, perilaku pemilih seharusnya
juga akan cenderung konstan dan mencerminkan kondisi sosial struktural
masyarakat yang ada. Padahal pada kenyataannya, perilaku pemilih warga
senantiasa berubah-ubah meskipun struktur sosial cenderung stabil.

5.1.2. Pendekatan Sosial Psikologis (Model Psikologis)


Demi menjawab keterbatasan yang terdapat pada model sosiologis,
para sarjana dari University of Michigan yang dimotori Angus Campbell dan
koleganya kemudian mengembangkan pendekatan sosial psikologis. Model
ini lahir dan dikembangkan oleh para sarjana ilmu politik dari Michigan
University di bawah The Michigan Survei Research Centre (MSRC) atau sering
disebut sebagai Michigan’s School. Berbeda dengan pendekatan sosiologis
yang terfokus pada kacamata posisi dan afiliasi sosial, pendekatan psikologis
lebih berorientasi pada cara berpikir politik tiap individu (political attitudes
of individual voter). Menurut pendekatan ini, sang individu diasumsikan
pribadi otonom yang bebas dari pengaruh orang lain dan lingkungan sosial
dalam menentukan pilihannya. Tiga faktor yang dominan dalam pendekatan
psikologis adalah cara berpikir individual tentang (1) loyalitas terhadap
partai politik, (2) evaluasi terhadap calon-calon dan (3) isu-isu yang

14
berkembang pada saat itu. Cara berpikir (attitude) individu akan
menentukan perilaku (behavior) politiknya (Ismanto, 2004).
Model sosial psikologis pertama kali diperkenalkan oleh Campbell et
al dalam publikasinya yang berjudul The American Voter yang terbit pada
tahun 1960. Poin penting yang dijelaskan dalam teori ini adalah adanya
peran predisposisi psikologis jangka panjang, terutama identifikasi partai,
yang akan mengarahkan tindakan para pemilih. Campbell (1960)
menjelaskan proses terbentuknya perilaku pemilih dengan istilah “Funnel of
Causality”. Dengan pengandaian ini, Champbell berusaha menjelaskan
fenomena voting yang posisinya terletak paling atas dari “funnel”(cerobong).
Dia menggambarkan bahwa di dalam cerobong terdapat as (axis) yang
mewakili dimensi waktu. Kejadian-kejadian yang saling berhubungan satu
sama lain bergerak dalam dimensi waktu tertentu mulai dari mulut sampai
ujung cerobong. Mulut cerobong digambarkan sebagai latar belakang sosial
(ras, agama, etnik, daerah), status sosial (pendidikan, pekerjaan, kelas) dan
watak orang tua. Semua unsur tadi mempengaruhi identifikasi kepartaian
seseorang yang merupakan bagian berikutnya dari proses tersebut. Pada
tahap berikutnya, identifikasi kepartaian tersebut akan mempengaruhi
penilaian terhadap para kandidat dan isu-isu politik tertentu.
Menurut Campbell, meskipun karakteristik sosiologis mempengaruhi
perkembangan identifikasi partai, pendekatan psikologis menyatakan bahwa
keterikatan partai (partisanships) lebih sederhana dalam menggambarkan
pilihan politik seseorang dibandingkan status sosial yang dimiliki oleh
pemilih (Dalton dan Wattenberg, 1993: 197). Dalam penjelasan yang lain,
keputusan pemilu masing-masing individu secara primer tidak ditentukan
secara sosial struktural, melainkan lebih merupakan hasil pengaruh jangka
pendek dan jangka panjang terhadap sang individu (Roth, 2008: 37).
Menurut Dalton dan Wattenberg (1993), salah satu kelebihan dari
model psikologis adalah bahwa model ini dapat menjelaskan kemampuan
warga dalam memproses informasi yang digunakan untuk menilai berbagai
fenomena politik. Dalam model ini, identifikasi partai berfungsi untuk
menyaring pandangan individu mengenai dunia politik dengan tidak hanya

15
membantu mereka dalam membuat pilihan politik (mendukung salah satu
partai), tetapi juga berfungsi sebagai alat untuk menilai isu-isu jangka pendek
dan proses pemilihan kandidat. Selain itu, variabel psikologis memiliki
hubungan langsung kepada para pemilih, karena merekalah yang terlibat
langsung dalam proses pembuat keputusan.
Pendekatan sosial psikologis juga memperkenalkan apa yang disebut
sebagai budaya demokrasi atau civic culture, yaitu sebuah keinginan
berpartisipasi dalam politik demi ikut serta memperbaiki keadaan. Menurut
model psikologis, seorang warga negara yang berpartisipasi dalam pemilu
bukan hanya karena kondisinya lebih baik secara sosial-ekonomi, atau
karena berada dalam jaringan sosial, akan tetapi karena ia tertarik dengan
politik, mempunyai perasaaan dekat dengan partai tertentu (identitas
partai), mempunyai informasi yang cukup untuk menentukan pilihan, merasa
suaranya berarti, serta percaya bahwa pilihannya dapat ikut memperbaiki
keadaan (political efficacy) (Mujani, et al, 2012: 22).

5.2.3 Pendekatan Rational Choice (Model Ekonomi Politik)


Kondisi politik yang berubah begitu cepat, telah melahirkan
pendekatan yang ketiga, yaitu pendekatan rational choice. Pendekatan ini
lahir sebagai kritik atas dua pendekatan awal yang sudah ada, dimana kedua
pendekatan dinilai tidak mampu menjelaskan fenomena perilaku pemilih
yang senantiasa berubah-ubah. Pendekatan rational-choice diperkenalkan
oleh Anthony Down melalui karyanya “An Economic Theory of Democracy”
yang diterbitkan tahun 1957.
Antony down mengenalkan konsep tentang self-interest axiom, yaitu
sebuah konsep bahwa sang pemilih yang rasional hanya mengikuti
kepentingannya sendiri, atau kalaupun tidak, akan senantiasa mendahulukan
kepentingannya sendiri di atas kepentingan orang lain. Selanjutnya, Down
menganalogikan pilihan politik seseorang berdasarkan asumsi rasionalitas
dalam teori ekonomi modern. Aksioma yang paling mendasar dari teori
Downs adalah bahwa penduduk bersikap rasional dalam politik (Dalton dan
Wattenberg, 1993: 197).

16
Menurut pendekatan ini, individu diasumsikan sebagai pribadi yang
otonom (yang bebas dari pengaruh lingkungan sosial), sehingga pilihan
politik seseorang dalam sebuah pemilu bukanlah ditentukan oleh adanya
ketergantungan terhadap ikatan sosial struktural atau ikatan psikologis
terhadap partai yang kuat, melainkan merupakan hasil penilaian rasional
dari seorang warga yang cakap. Tindakan politik seseorang untuk memilih
suatu partai atau kandidat tertentu adalah konsekuensi atas
pertimbangannya yang dirasa paling rasional, yaitu hitung-hitungan yang
akan memberikan keuntungan yang paling besar bagi dirinya.
Varian lain dari pendekatan rational-choice adalah model yang
dikembangkan oleh V.O. Key (1966). Menurut Key yang dikutip Roth (2008),
masing-masing pemilih akan menetapkan pilihannya secara retrospektif,
yaitu dengan menilai apakah kinerja partai yang menjalankan pemerintahan
pada periode legislatif terakhir sudah baik bagi dirinya sendiri dan bagi
negara, atau justru sebaliknya. Apabila hasil penilaiannya positif, maka
mereka akan dipilih kembali, sedangkan apabila hasil penilaiannya negative,
maka mereka tidak akan dipilih kembali.
Demi memberikan jawaban yang lebih memuaskan tentang studi
perilaku pemilih, Morris P. Fiorina (1981) mengembangkan pemikiran Keys
dan Downs ke dalam sebuah model keputusan retrospektif. Melalui model
ini, Fiorina berhasil mengkombinasikan dengan baik teori rational-choice
dengan pendekatan sosial psikologis dalam menjelaskan perilaku pemilih.
Dasar pemikiran Fiorina tidak hanya mempertimbangkan pemilihan yang
retrospektif dan prospektif (Key dan Downs), namun juga konstruksi
identifikasi partai yang merupakan inti dari model sosial psikologis.
Menurutnya, identifikasi partai dirancang sebagai elemen yang sangat
tergantung kepada pengaruh retrospektif, yang banyak mengalami
perubahan melalui pengalaman politis baru. Oleh karena itu, Fiorina tidak
hanya membedakan komponen rational-choice antara masa lalu dan masa
depan, melainkan membaginya ke dalam identifikasi partai masa lalu dan
identifikasi partai masa sekarang (Roth, 2008: 51).

17
5.2. Model Penelitian
Perilaku memilih adalah sebuah tindakan yang komplek, oleh
karenanya ia memerlukan pendekatan yang tepat. Menurut Gaffar (1992),
pemahaman atas perilaku pemilih Indonesia akan rancu jika hanya
bersandarkan pada dua model perilaku memilih yang sudah ada (model
sosiologis dan psikologis). Pendapat yang senada diungkapkan oleh Kristiadi
(1993) yang menyatakan bahwa hasil studi para peneliti barat tidak dapat
begitu saja diterapkan untuk menjelaskan perilaku memilih masyarakat
Indonesia yang mempunyai konteks sosial, politik, dan budaya yang berbeda.
Menurutnya, hasil penelitian tersebut dapat digunakan untuk memperkaya
acuan teoritis untuk menentukan model yang kira-kira cocok diterapkan
pada masyarakat Indonesia (Kristiadi, 1993: 34).
Oleh karena itu, demi memahami dinamika perilaku pemilih di
Yogyakarta, Gaffar (1992) menggabungkan pendekatan aliran (santri dan
abangan) yang pernah dikemukakan oleh Geertz (1960) dengan pendekatan
psikologis untuk menjelaskan perilaku pemilih di Jawa. Kombinasi
pendekatan ini kemudian ia sebut sebagai perspektif aliran. Begitupun
Kristiadi (1993) yang menggabungkan ide dasar pendekatan sosiologis
dengan pendekatan psikologis untuk menjelaskan perilaku pemilih
masyarakat Kota Yogyakarta dan Kabupaten Banjarnegara secara lebih tepat.
Penggabungan kedua pendekatan ini dia namakan sebagai pendekatan sosio-
kultural (Kristiadi, 1994). Sementara itu, Mujani et al (2012) berhasil
melakukan kombinasi ketiga pendekatan (sosiologis, psikologis, dan ekonomi
politik) untuk mengkaji dinamika perilaku pemilih di Indonesia pasca Orde
Baru dengan lebih baik. Melalui ketiga pendekatan ini, ia berhasil
menjelaskan pola perilaku memilih masyarakat Indonesia dengan lebih tepat.
Berdasarkan uraian penjelasan di atas, studi ini berusaha untuk melihat
bagaimana kecenderungan perilaku memilih buruh dalam pemilu presiden
2014. Secara lebih detail, studi ini ingin melihat apakah kecenderungan
perilaku yang masih dipengaruhi oleh faktor ketokohan, identitas kepartaian,

18
peran media massa, dan program kerja calon presiden juga terjadi di
kalangan buruh? Untuk itu, agar dapat memotret hipotesis yang saya ajukan,
maka studi ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan psikologis dan
pendekatan pilihan rasional (rational choice). Pendekatan psikologis
digunakan sebagai kerangka untuk melihat bagaimana pengaruh ketokohan
calon presiden, peran media massa, dan identitas kepartaian terhadap
pilihan calon presiden. Sedangkan pendekatan pilihan rasional digunakan
untuk melihat bagaimana pengaruh program kerja calon presiden terhadap
pilihan calon presiden. Dari keempat variabel yang diasumsikan berpengaruh
tersebut, ingin dilihat secara lebih detail, variabel apa saja yang sebenarnya
berpengaruh signifikan dalam membentuk pilihan politik buruh dalam
pemilu presiden 2014.

Gambar 1. Model Penelitian

Partisipasi Politik
Buruh

Partisipasi dalam Partisipasi selain


pemilu (voting) dalam pemilu

Figuritas
(Ketokohan)

Identitas
Kepartaian Pilihan Capres pada Pemilu
Presiden 2014:
Prabowo-Hatta atau Jokowi-JK
Media Massa

Program Kerja

Penggunaan kedua pendekatan ini didasarkan atas realitas bahwa


preferensi politik hari ini tidak bisa dilepaskan dari pengaruh ketokohan

19
(figuritas) calon presiden, peran media, dan identitas kepartaian seseorang.
Apalagi, dalam konteks pemilih buruh, saya mengasumsikan bahwa
rasionalitas buruh turut berperan sebagai faktor yang sangat menentukan
pilihan politik mereka. Saya berpendapat bahwa program kerja calon
presiden (yang diasumsikan sebagai pertimbangan yang rasional) turut
mempengaruhi pilihan calon presiden. Bukan hanya berpengaruh, akan
tetapi juga yang paling dominan dalam mempengaruhi pilihan politik buruh.
Oleh karena itu, dengan menggunakan pendekatan ini, saya berharap bahwa
perilaku memilih buruh industri pada pemilu presiden 2014 dapat
tergambar secara lebih jelas.
Pendekatan sosiologis sengaja tidak digunakan karena secara struktur
sosial, buruh berada pada kelas sosial yang relatif sama. Sebagaimana kita
ketahui, sebagian besar buruh mempunyai latar belakang, tingkat
pendidikan, jenis pekerjaan, dan tingkat pendapatan yang cenderung sama.
Padahal pendekatan sosiologis mengandaikan struktur sosial sebagai hal
yang menentukan pilihan politik seseorang. Karenanya, analisa yang
mendasarkan atas kelas sosial (sebagaimana asumsi dalam pendekatan
sosiologis) ini menjadi kurang relevan dalam menjelaskan perilaku memilih
di kalangan buruh.

5.3. Beberapa Variabel Penjelas Tentang Perilaku Memilih Buruh di


Indonesia
Sebagaimana penjelasan sebelumnya, perilaku memilih merupakan
sebuah tindakan yang komplek. Kompleksitas yang mempengaruhi perilaku
memilih ini tidak bisa dilepaskan dari faktor-faktor yang secara substantif
mempengaruhi pilihan politik seseorang. Dalam penelitian ini, sebagaimana
yang sudah dijelaskan pada bagian di awal, saya mengasumsikan bahwa
progam kerja calon presiden menjadi faktor utama yang sangat
mempengaruhi pilihan politik buruh. Sejalan dengan itu, saya berpendapat
bahwa variabel ketokohan calon presiden dan identitas kepartaian seorang
buruh juga menjadi pertimbangan yang turut mempengaruhi pilihan politik
buruh. Selanjutnya, sebagaimana maraknya pemberitaan seputar pemilu

20
presiden 2014, maka saya juga menduga bahwa peranan media massa turut
mempengaruhi pilihan politik buruh dalam pemilu presiden 2014.
5.3.1. Ketokohan
Salah satu tumpuan dari model psikologis selain isu-isu kebijakan
publik dan identitas kepartaian adalah persepsi seseorang tentang kualitas
kepribadian tokoh partai atau calon yang bersaing dalam premilu presiden.
Dalam konteks demokrasi baru dimana pelembagaan partai belum tertata
secara baik, tokoh memiliki kemungkinan untuk menjadi magnet penarik
massa pemilih partai, dan bahkan pembentuk identitas partai (Barnes,
McDonough, dan Pina, 1985; White, Rose, dan McAllister, 1977; Colton, 2000
dalam Mujani et al, 2012). Bahkan di negara-neraga demokrasi yang sudah
maju, tokoh dipercaya tetap penting untuk menjelaskan perilaku memilih
(Campbell, et al, 1960; Miller dan Shanks, 1996; Bean dan Mughan, 1989;
Bean dan Kelly, 1988; Graetz dan McAllister, 1987; Miller dan Miller, 1975,
Butler dan Stokes, 1974; Stokes, 1966 dalam Mujani et al, 2012).
Bukti kuatnya pengaruh ketokohan dapat dilihat dari fenomena
kemenangan partai Demokrat pada pemili 2004 dan 2009, serta kemenangan
SBY-JK pada pemilu 2004 dan SBY-Boediono pada pemilu 2009. Dalam
studinya tentang pengaruh kepribadian dan partai terhadap pemilih (2010),
Mujani menyimpulkan bahwa pimpinan partai merupakan faktor yang paling
kuat dalam mempengaruhi pilihan pemilih pada pemilu 1999, 2004, dan
2009. Keputusan akhir pemberian suara dalam pemilu sangat dipengaruhi
oleh kesukaan terhadap pemimpin partai. Di antara pemimpin partai yang
terdaftar dalam penelitian, SBY adalah sosok yang paling disukai oleh
pemilih, jauh di atas Megawati yang berada pada urutan kedua. Temuan ini
menunjukkan bahwa keberhasilan Partai Demokrat dan terpilihnya SBY
sangat jelas berhubungan dengan evaluasi positif pemilih atas diri SBY
sebagai pemimpin (tokoh) partai.
Temuan dari studi terbaru yang dilakukan oleh UGM dan Universitas
Oslo dalam proyek Power, Welfare, and Democracy (PWD) yang dilakukan
pada tahun 2013 mempertegas beberapa pendapat dan temuan di atas.
Survei yang dilakukan untuk menilai perkembangan demokrasi di beberapa

21
wilayah di Indonesia ini menghasilkan temuan menarik bahwa secara umum,
kecenderungan demokrasi di Indonesia saat ini mengarah kepada politik
berbasis pada ketokohan atau “figure-based politics”, yaitu jenis politik yang
terfokus pada figure-figur individual. Hal ini ditandai dengan munculnya
aktor-aktor di tingkat lokal yang menjadi pemimpin dan pejabat publik
meskipun tidak mempunyai basis dukungan partai politik yang kuat.
Sejalan dengan munculnya politik berbasis ketokohan, temuan lain
yang cukup menarik adalah munculnya fenomena politik populisme dan
klientelisme. Populisme yang dimaknai sebagai pemerintahan yang lebih
mengutamakan kepentingan rakyat dan dekat dengan rakyat, seolah menjadi
gaya baru bagi para elit lokal yang akan berlomba dan tengah menduduki
jabatan publik. Lahirnya elit-elit lokal seperti Jokowi di Solo, Ridwan Kamil di
Bandung, dan Tri Rismaharini di Surabaya menjadi beberapa bukti bahwa
politik populisme menjadi sebuah “tren” yang dinanti-nanti oleh rakyat.
Munculnya politik populisme menjadi pertanda bahwa hubungan patron-
klien (elit-massa) yang berkembang di Indonesia, cenderung di dasarkan atas
hubungan kharismatik, bukan berbasiskan program-progam politik yang
lebih bersifat transparan dan akuntabel.
Apabila ditelisik lebih dalam, dinamika pemilu, pilpres, dan pilkada di
Indonesia dewasa ini tidak terlepas dari pengaruh sosok kandidat dalam
setiap ajang pertarungan dalam merebut hati pemilih (Ramli, 2008). Tidak
bisa dinafikan bahwa pemilih cenderung melihat ukuran figuritas dari
seorang kandidat ketimbang partai politik yang mengusungnya. Mungkin saja
alasan yang sederhana adalah pergeseran orientasi tersebut seiring dengan
adanya perubahan dalam tatanan sistem pemilu itu sendiri, sehingga pemilih
mempunyai kecenderungan untuk memilih orang yang dikenal ketimbang
mendasarkan basis partai politik tertentu.
Dalam studi efek kualitas tokoh atau pemimpin terhadap perilaku
memilih dan sikap partisan, konsep kualitas tokoh dipahami sebagaimana
dipersepsikan oleh pemilih. Secara umum kualitas tersebut mencakup
sejumlah dimensi; kompetensi, integritas, ketegasan, empati, dan kesukaan
(Miller dan Shanks, 1996; Bean dan Mughan, 1989; King, 2000; Colton, 2000

22
dalam Mujani et al, 2012). Derdasarkan temuan studi Mujani et al (2012),
dalam pemilu presiden 2009, SBY adalah tokoh yang disukai dengan skor
rata-rata paling tinggi. Ini menunjukkan bahwa SBY adalah tokoh yang paling
disukai oleh pemilih.
Dalam kaitannya dengan pililan politik dalam pemilu presiden, efek
kualitas tokoh juga terlihat pada pilihan politik seseorang. Efek ini terlihat
lebih kuat dan konsisten apabila dibandingkan dengan pemilu legislatif.
Secara umum, penilaian atas kualitas tokoh berhubungan erat dengan pilihan
atas calon presiden. Semakin positif penilaian terhadap kualitas personal
seorang tokoh, semakin besar pula probabilitas calon tersebut untuk dipilih.
Efek ini tetap sangat signifikan dalam tiga kali pemilu presiden meskipun
dikontrol dengan faktor-faktor lain yang dinilai penting dalam
mempengaruhi pilihan calon presiden, terutama identitas partai dan
ekonomi politik. Terlepas dari berbagai faktor tersebut,afeksi positif pada
tokoh mendorong pemilih memilih SBY sebanyak 51 persen pada pemilu
presiden 2004 putaran pertama, 33 persen pada pemilu presiden putaran
kedua, dan 81 persen pada pemilu presiden 2009 (Mujani, et al, 2012: 431).
Hasil survei Indikator5 tentang Kualitas Personal dan Elektabilitas
Calon Presiden menunjukkan bahwa lebih dari separuh (51 persen) populasi
pemilih di Indonesia mendambakan calon presiden yang jujur atau bisa
dipercaya. Jujur atau bisa dipercaya adalah kualitas personal paling penting
yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin nasional atau presiden. Temuan
ini menunjukkan bahwa bagi pemilih pada umumnya, kualitas personal calon
presiden yang ditantai oleh sifat jujur, justru menjadi ukuran yang paling
penting dibandingkan kepintaran, ketegasan, dan wibawa seorang calon
presiden.
Kesimpulan dalam studi yang dilakukan oleh Esita (2013)
menunjukkan bahwa kepribadian kandidat ternyata berpengaruh positif
terhadap perilaku pemilih. Semakin seorang kandidat dinilai memiliki sifat-
sifat positif oleh pemilih, semakin tinggi pula preferensi memilih terhadap

5 Hasil Survei Nasional yang dirilis pada Oktober 2013

23
kandidat tersebut. Hasil ini sesuai dengan teori Ben-ur dan Newman (2000)
yang menyatakan bahwa variabel kepribadian kandidat bertujuan untuk
mengukur keyakinan mengenai pribadi kandidat di mata pemilih, misalnya
jujur, dapat dipercaya, dapat mengambil keputusan, terpelajar, pandai,
berpengalaman, kuat, ramah, dan memenuhi kualifikasi. Ben-ur dan Newman
(2000) juga menyatakan bahwa ciri-ciri terseut merupakan hal yang penting
dalam mengevaluasi seorang pemimpin politik.
Sebagaimana dalam pemilu presiden, efek figuritas (ketokohan) juga
dipercaya menjadi faktor penentu pilihan politik seseorang. Studi yang
dilakukan oleh Ramli (2008) tentang perilaku pemilih pada pemilukada di
Gorontalo, menegaskan bahwa bahwa figuritas mempunyai pengaruh yang
kuat terhadap pilihan politik seseorang. Perilaku pemilih berdasarkan
ketokohan dipengaruhi oleh pertimbangan popularitas, kemampuan, dan
trak record yang dimiliki oleh seorang kandidat. Secara umum pemilih lebih
melihat figure kandidat daripada latar belakang partai yang mengusungnya.
Kesimpulan akhir dari penelitiannya adalah bahwa pemilih di Gorontalo
semakin terbuka dalam menentukan pilihan politiknya. Orientasi pemilih di
Gorontalo, menurut Ramli, lebih bersifat modern, yakni mendasarkan
pilihannya politiknya pada isu, kandidat, dan ekonomi.

5.3.2. Identifikasi Kepartaian (Party ID)


Konsep baru dan “original” dalam studi perilaku pemilih aliran
psikologis adalah adanya konsep identifikasi diri dengan partai politik (party
identification) atau sering disingkat party ID atau partisanship (sikap
partisan) atau dalam bahasa Indonesia dikenal sebagai identitas partai.
Konsep ini merupakan konsep yang sentral dalam model psikologis (Mujani
et al, 2012: 373). Identitas kepartaian merupakan keadaan psikologis, yaitu
sebuah perasaan merasa dekat, sikap mendukung atau setia, atau sebuah
usaha mengidentifikasikan diri seseorang terhadap suatu partai politik
tertentu. Oleh karenanya, seseorang orang yang merasa sebagai partisan
sebuah partai politik, akan mengidentikkan dirinya dengan partai tersebut,
misalnya penyebutan bahwa dirinya orang Golkar, orang PDIP, maupun

24
orang PKB. Semua penyebutan identitas ini menggambarkan bagaimana
seorang warga merasa menjadi bagian dari sebuah partai politik tertentu.
Menurut Campbell et al (1960) yang disarikan oleh Mujani et al
(2012), konsep “identifikasi” yang dimaksud secara umum diartikan sebagai
“orientasi afeksi individu terhadap kelompok penting dalam masyarakat.
Karena itu, identifikasi diri dengan partai adalah orientasi afeksi atau sikap
atau perasaan seseorang terhadap partai politik dalam sebuah masyarakat.
Sikap ini dalam bentuk identifikasi diri seseorang dengan partai politik
sedemikian sehingga sebuah partai menjadi identitas politiknya, seperti
halnya seorang warga yang mengidentikkan dirinya dengan agama tertentu
sehingga agama tersebut menjadi identitas dirinya (Mujani, et al, 2012: 374).
Menurut Campbell (1960), identitas partai dipercaya mempunyai
pengaruh yang kuat dan luas terhadap berbagai sikap politik dan perilaku
politik, seperti partisipasi politik, pilihan partai, atau calon anggota DPR,
pilihan atas calon presiden, atau pilihan terhadap isu kebijakan public
tertentu. Dalam praktiknya, identifikasi dengan partai politik ini merupakan
faktor yang independen dalam menjelaskan sikap dan perilaku politik
seseorang, bukan sebaliknya. Hal ini karena identitas partai berada dalam
tingkat sikap (attitude), bukan berada pada tingkat tindakan atau perilaku.
Oleh karena itu, dalam pemilu presiden 2009 misalnya, orang yang
mengidenfifikasikan dirinya sebagai orang PDIP belum tentu memilih
Megawati, orang Demokrat belum tentu memilih SBY, dan orang Golkar
belum tentu juga memilih Jusuf Kalla, dan seterusnya. Sehingga, seorang
pemilih yang mengaku orang PDIP dan memilih Megawati bisa dijelaskan
karena identifikasi diri dengan PDIP tersebutlah yang menyebabkan ia
memilih Megawati yang dicalonkan oleh PDIP, bukan sebaliknya (Mujani et
al, 2012: 374-375).
Menurut Mujani et al (2012), temuan-temuan dalam pemilu legislatif
dan pemilu presiden (1999 dan 2004) mengkonfirmasi bahwa identifikasi
parti mendorong warga aktif dalam kegiatan politik. Akibatnya, hubungan
identitas partai dan partisipasi dalam pemilu dan pemilu presiden secara
umum tetap signifikan. Menurutnya, faktor psikologis yang mempunyai

25
pengaruh signifikan terhadap partisipasi politik, terlepas dari berbagai faktor
lainnya, adalah identitas kepartaian. Menurut Mujani, warga yang
mempunyai identitas kepartaian apa pun, cenderung berpartisipasi dalam
berbagai kegiatan politik. Senada dengan temuan di atas, hubungan identitas
kepartaian terhadap calon presiden juga tetap kuat. Hal ini terlihat dari hasil
survei yang menunjukkan bahwa pemilih yang mengidentikkan diri dengan
PDIP, lebih dari 82,3 persen memilih Megawati pada pemilu presiden 2004
putaran pertama. Sementara itu, pemilih yang mengidentikkan dirinya
dengan partai Demokrat, lebih dari 85,4 persen memilih SBY pada pemilu
2004 lalu. Meskipun mempunyai pengaruh, efek identifikasi kepartaian pada
pemilu presiden ternyata tidak sekuat pada pemilu legislatif, meskipun
secara umum masih tetep signifikan mempengaruhi pilihan politik seseorang.

5.3.3. Media Massa


Variabel penjelas yang diperkirakan mempunyai kemampuan
menambah penjelasan perilaku memilih adalah media massa. Firmansyah
(2008) menyebutkan bahwa keputusan individu untuk memilih dipengaruhi
oleh karakteristik pemilih, media massa, dan karakteristik partai
politik/kandidat politik. Beberapa studi di negara-negara barat, terutama di
Amerika Serikat, mengawali pengkajian mengenai masalah tersebut dengan
hasil yang meragukan. Penelitian yang dilakukan Berelsin dan kawan-kawan
(1954) serta Lazarfeld dan kawan-kawan (1948) menghasilkan kesimpulan
yang banyak diakui oleh para sarjana politik bahwa media massa mendorong
seseorang untuk memilih tetapi pada saat yang sama, ia (media masssa)
membuat seseorang lebih solid dengan pilihannya. Oleh karena itu mereka
menyimpulkan pula bahwa media massa lebih mempunyai peranan
mengkristalisasikan dan memperkuat pilihan seseorang daripada
merubahnya.
Sementara itu, menurut Peterson (dalam Veric dan Todd, 1983) media
massa tetap mempunyai pengaruh terhadap perilaku politik tetapi bukan
merubah sikap dasar politik, melainkan mempengaruhi persepsi masyarakat
tentang masalah-masalah politik. Proses tersebut dilakukan dengan

26
menonjolkan peristiwa-peristiwa tertentu dalam kampanye dan secara
berulang-ulang memberitakan secara mencolok dalam surat kabar. Dengan
demikian, akan mengangkat suatu peristiwa menjadi penting dalam
masyarakat. Demikian sebaliknya, apabila media massa mengabaikan dan
meredam aspek-aspek tertentu dalam suatu peristiwa, maka akan membuat
suatu peristiwa hanya dikenal oleh sedikit orang.
Studi Mujani et al (2012) secara umum menunjukkan bahwa peran
media massa ternyata ikut meningkatkan partisipasi politik masyarakat.
Dalam konteks pemilu presiden Indonesia, studi Mujani juga mengkonfirmasi
temuan bahwa ada hubungan yang signifikan antara iklan dari partai atau
calon presiden dengan afeksi terhadap tokoh partai terkait. Hubungan ini
sangat kuat dan konsisten terutama antara afeksi pada SBY di satu sisi dan
iklan Demokrat atau iklan SBY sendiri di sisi yang lain. Semua fakta (baik
dalam pemilu 2004 maupun 2009) menunjukkan bahwa media massa lebih
membantu mengekspos SBY ke publik, dan dari afeksi positif terhadap SBY
ini kemudian terbangun identitas Demokrat. Pada akhirnya, dukungan pada
demokrat meningkat tajam dalam dua pemilu tersebut (Mujani, et al, 2012:
437-442).
Penelitian Ardian (2012) yang mengkaji perilaku pemilih pemula
menghasilkan kesimpulan bahwa dominasi iklan politik di media televisi
berpengaruh terhadap persepsi pemilih pemula. Ardian sampai pada sebuah
kesimpulan bahwa media televisi saat ini merupakan alat yang paling efektif
dalam mendukung proses politik seseorang kandidat untuk mencapai tujuan
politik yang diinginkan. Kesimpulan ini didasarkan atas penelitian tentang
pengaruh iklan Abu Rizal Bakrie terhadap persepsi politik pemilih pemula
pada anak-anak SMA di Yogyakarta.

5.3.4. Program Kerja Calon Presiden


Pertimbangan yang menjadi tolok ukur pemilih rasional adalah
hitungan untung rugi yang akan dia dapatkan ketika ia menjatuhkan pilihan
politiknya terhadap salah satu partai atau kandidat tertentu. Dalam tradisi
pemilih rasional, seorang akan memilih partai atau kandidat yang bisa

27
memaksimalkan keuntungan (setidaknya kepentingan pribadi) dan
meminimalisir kerugian. Salah satu hal yang turut menjadi pertimbangan
pemilih dalam pemilu adalah isu atau program kerja partai atau calon
presiden yang sedang berkompetisi. Pertimbangan ini cukup beralasan
karena pemilih tidak akan serta merta memberikan suaranya kepada partai
atau calon presiden yang tidak mempunyai program kerja yang jelas.
Program kerja calon presiden sejatinya merepresentasikan kebijakan
sang calon presiden dan janji-janji yang akan diberikannya apabila calon
presiden tersebut terpilih. Progam kerja dan janji-janji ini dapat
mempengaruhi pertimbangan pemilih mengenai kebijakan sosial dan
ekonomi, khususnya yang terkait dengan urusan publik. Dengan mengkaji
aspek ini, pemilih sebenarnya sedang mempertimbangkan keuntungan dan
kerugian yang akan dia peroleh manakala sang calon presiden terpilih
menjadi presiden. Implikasinya, tiap pemilih akan memberikan suara untuk
kandidat yang diperkirakan akan memberikan keuntungan yang lebih besar
kepada dirinya (Newman dan Sheth, 1985). Dalam terminologi Downs,
pemilih akan memilih kandidat yang memiliki kebijakan yang dapat
memaksimalkan aliran keutungan yang akan pemilih dapatkan sebagai
warganegara daripada kandidat yang tidak dapat memberikan keuntungan.
Penelitian yang dilakukan oleh Akdasenda et al (2013) tentang tipe
pemimpin ideal menurut pemilih pemula dalam pemilu presiden 2014
menunjukkan bahwa salah satu tipe presiden yang ideal adalah pemimpin
yang memiliki visi dan misi yang jelas. Menurutnya, melalui visi dan misi
inilah rakyat bisa mengetahui program-program kerja pemimpinnya dan juga
mengetahui ke mana negara akan dibawa, apakah ke arah yang lebih baik
atau malah lebih buruk (Akdasenda, et al, 2013: 7). Temuan ini melengkapi
temuan Mujani (2010) tentang kemenangan SBY pada pemilu 2009, dimana
salah satu faktor yang turut mempengaruhi pilihan pemilih adalah penilaian
positif atas keberhasilan SBY dalam menjaga kondisi sosial-ekonomi
Indonesia selama kurun waktu 2004-2009.
Dalam pemilu presiden 2014, program kerja calon presiden yang
terkait isu buruh dapat dilihat dari visi dan misi calon presiden yang sudah

28
diserahkan kepada Komisi Pemilihan Umum. Bagi pasangan Prabowo-Hatta,
kebijakan yang terkait dengan buruh dilakukan dengan memberikan kontrak
politik 10 tuntutan buruh dan rakyat (spultura), yaitu menaikkan upah layak,
menghapus penangguhan upah minimum, menjalankan jaminan pensiun
wajib untuk pekerja/buruh tahunan, jaminan kesehatan untuk semua buruh
dan rakyat kecil, menghapus outsourcing, termasuk di BUMN, mengesahkan
RUU PRT dan Perawat serta merevisi UU Perlindungan TKI, mencabut UU
Ormas, mengangkat guru dan tenaga honorer menjadi PNS dan memberikan
subsidi bagi guru dan tenaga honorer Rp 1 juta per bulan, melaksanakan
wajib belajar 12 tahun, dan menyediakan alokasi APBN untuk beasiswa anak
buruh atau pekerja hingga universitas, perumahan, dan transportasi publik
murah untuk rakyat.6
Sementara itu, pasangan Jokowi-Jusuf Kalla menjanjikan program tiga
layak bagi para buruh, yakni kerja layak, upah layak, dan hidup layak bagi
kalangan buruh. Selain itu, pasangan Jokowi-Kalla, juga menjanjikan untuk
memperjuangkan perlindungan buruh melalui diplomasi luar negeri. Mereka
berjanji akan menempatkan pengacara di setiap kedutaan besar RI untuk
mengurusi masalah warga negara Indonesia di luar negeri, termasuk tenaga
kerja Indonesia (TKI).7
Menurut Knight dalam Holbrook et al (2000) yang disarikan oleh Esita
(2013), pemilih yang memiliki pengetahuan politik lebih luas akan
memberikan perhatian lebih pada isu-isu kebijakan dan kesamaan ideologi,
sedangkan pemilih dengan pengetahuan politik yang lebih sedikit, cenderung
untuk memilih berdasarkan partai yang ada sejak lama dalam menangani
permasalahan politik. Walaupun beberapa pemilih melakukan evaluasi
terhadap kandidat lewat pendekatan yang didasarkan pada ingatan,
kebanyakan pemilih melakukan proses evaluasi tersebut dengan suatu pola
tertentu.

http://nasional.kompas.com/read/2014/06/04/0633129/Ini.Sepultura.yang.Prabowo.Janji.
-Penuhi
7 http://nasional.kompas.com/read/2014/06/07/1713185/Visi.Misi.Jokowi-

JK.terkait.Buruh.Dianggap.Lebih.Realistis

29
Pemilih dengan pengetahuan politik yang lebih sedikit akan
menggunakan pendekatan berdasarkan ingatan, dengan proses memasuki
tempat pemungutan suara dan mengambil keputusan lewat pertimbangan
yang dapat pemilih munculkan dalam benak pemilih pada saat tersebut.
Sementara itu, pemilih dengan pengetahuan politik yang lebih luas, akan
melakukan pendekatan yang terproses, mengkonstruksikan evaluasi dari
masing-masing kandidat selama kampanye berlangsung, dan akan
menggunakan hasil evaluasi tersebut ketika memberikan suara di bilik
pemungutan suara (Holbrook et al 2000 dalam Esita, 2013)

5.4. Definisi Operasional


Penelitian ini hendak mencari jawaban atas beberapa variabel yang
berpengaruh terhadap pilihan politik buruh pada pemilu presiden 2014.
Variabel dependen (tak bebas) yang digunakan dalam studi ini adalah pilihan
politik buruh dalam pemilu presiden 2014, sedangkan yang menjadi variabel
independen (bebas) adalah ketokohan calon presiden, identitas kepartaian
buruh, peran media massa, dan program kerja calon presiden. Untuk itu, agar
diperoleh gambaran yang jelas tentang tulisan ini, sehingga tidak
menimbulkan persepsi yang berbeda dengan maksud penelitian, maka perlu
saya jelaskan beberapa definisi oeprasional dari beberapa variabel yang
digunakan dalam penelitian ini. Pendefinisian ini sangat penting karena akan
berkaitan dengan mekanisme pengolahan data, sekaligus analisis atas hasil
yang didapatkan.
Perilaku memilih (voting behavior) adalah kecenderungan sikap
atau tindakan (respon) untuk menentukan pilihan pada suatu keputusan
politik tertentu dalam pemilihan umum presiden 2014, yang diukur dari
keikutsertaannya pada pemilu, yaitu memilih atau tidak memilih. Perilaku
memilih ini dibagi menjadi dua kategori, yaitu ikut serta dalam pemilu
presiden 2014 dan tidak ikut serta dalam pemilu presiden 2014 (golput).
Dari mereka yang menjawab ikut serta (memilih) dalam pemilu presiden
2014, selanjutnya akan ditanyakan pilihan politiknya, apakah memilih
pasangan Prabowo-Hatta atau pasangan Jokowi-JK. Pilihan politik ini

30
selanjutnya akan dikaitkan dan di analisa dengan beberapa variabel penjelas
lainnya.
Ketokohan (figuritas) adalah kualitas tokoh calon presiden yang
diukur dari dimensi kompetensi atau kemampuan dalam mengatasi sejumlah
masalah public yang dinilai mendesak. Teori Ben-ur dan Newman (2000)
menyatakan bahwa variabel kepribadian kandidat bertujuan untuk
mengukur keyakinan mengenai pribadi kandidat di mata pemilih, misalnya
jujur, dapat dipercaya, dapat mengambil keputusan, terpelajar, pandai,
berpengalaman, kuat, ramah, dan memenuhi kualifikasi. Ben-ur dan Newman
(2000) juga menyatakan bahwa ciri-ciri terseut merupakan hal yang penting
dalam mengevaluasi seorang pemimpin politik. Sejalan dengan itu, kualitas
calon presiden juga dapat diukur dari dimensi integritas (jujur) dan empati
(perhatian terhadap rakyat).
Untuk keperluan studi ini, kualitas ketokohan calon presiden akan
diukur dari penilaian atas dimensi kompetesi, integritas, empati, dan
kesukaan. Dimensi kompetensi akan digunakan untuk mengukur sejauh
mana penilaian pemilih (buruh) terhadap kemampuan calon presiden dalam
mengatasi berbagai persoalan publik, khususnya yang berkaitan dengan
persoalan perburuhan. Sedangkan dimensi integritas akan digunakan untuk
mengukur sejauh mana kejujuran calon presiden di mata pemilih buruh,
apakah termasuk orang yang jujur ataukah tidak jujur. Sementara itu,
dimensi empati akan digunakan untuk menilai sejauh mana persepsi buruh
atas kepedulian calon presiden terhadap berbagai persoalan buruh, termasuk
sejauh mana kepeduliannya terhadap nasib buruh di Indonesia. Sedangkan
dimensi kesukaan akan digunakan untuk mengevaluasi kualitas ketokohan
calon presiden dari persepsi pemilih buruh, apakah calon presiden dan wakil
presiden tersebut disukai atau tidak disukai.
Identitas kepartaian atau partisanship (party-ID) adalah kondisi
psikologis yang menggambarkan kedekatan seorang terhadap suatu partai
politik tertentu. Dalam penelitian ini, party ID yang dimaksud adalah
bagaimana seorang buruh mengidentikkan dirinya dengan sebuah partai
politik tertentu. Konsep identitas kepartaian merupakan konsep yang

31
mempunyai dimensi sikap, bukan perilaku, sehingga pengukuran atas
variabel ini juga tidak terlepas dari penilaian persepsi responden. Sejumlah
studi memperlihatkan bagaimana operasionalisasi konsep identitas
kepartaian ini ke dalam sebuah pertanyaan penelitian.
Pada awalnya, pengukuran konsep identitas kepartaian yang
dilakukan di Amerika Serikat bersifat unidimensional, yaitu apakah seorang
pemilih menganggap dirinya sebagai seorang Republikan atau seorang
Demokrat. Kemudian, dari perasaaan dirinya menjadi bagian dari partai ini,
ditanyakan kembali seberapa kuat perasaan mereka terhadap partai
Republik atau Demokrat tersebut. Gabungan skor dua pertanyaan ini
kemudian menghasilkan satu dimensi identitas partai berskala 7 yang
kemudian dikonversikan ke dalam ukuran berskala 100. Nilai mendekati 0
menunjukkan identifikasi yang semakin kuat dengan partai Republik dan
nilai mendekati 100 menunjukkan identifikasi yang semakin kuat dengan
partai Demokrat.
Demi mengakomodasi studi di negara lain yang sistem kepartaian
yang multipartai, maka ilmuwan politik melakukan modifikasi terhadap
pengukuran konsep identitas kepartaian. Modifikasi serta operasionalisasi
ini kemudian mengerucut ke dalam tiga rangkaian pertanyaan penting,
yaitu; “apakah merasa dekat dengan partai politik tertentu?”, “partai apakah
itu?”, dan seberapa dekat dengan partai politik tertentu?”. Selanjutnya dari
ketiga pertanyaan ini, dikonstruksi menjadi sejumlah skala identitas partai
sedemikian sehingga mewakili sejumlah partai yang menjadi identitas partai
seseorang. Pengukuran identitas kepartaian yang digunakan dalam
penelitian ini juga merujuk pada tiga pertanyaan sebagaimana penjelasan di
atas, namun dengan pilihan jawaban skala nominal, yaitu jawaban iya
berkode (1) dan tidak berkode (2).
Media Massa adalah media yang digunakan oleh masyarakat untuk
mendapatkan informasi yang terkait dengan pelaksanaan pemilu presiden
2014. Pengukuran variabel media massa dilakukan dengan melihat seberapa
sering pemilih buruh berinteraksi dengan media massa, baik televisi, koran,
radio, maupun internet. Selanjutnya dari interaksi ini, akan dilihat seberapa

32
sering pemilih buruh melihat, membaca, atau mendengarkan berita politik,
dan seberapa seringpula pemilih buruh melihat/membaca/mendengarkan
iklan kampanye calon presiden pada pemilu 2014. Intensitas buruh dalam
mengikuti berita atau infromasi politik inilah yang nantinya akan menjadi
bahan analisis lebih lanjut pada pembahasan efek media massa terhadap
pilihan calon presiden di bab 5.
Sedangkan variabel program kerja calon presiden adalah kebijakan-
kebijakan calon presiden yang akan dilakukan apabila dia terpilih dalam
pemilu presiden 2014. Progam calon presiden ini adalah program resmi
masing-masing calon presiden yang sudah diserahkan kepada KPU dan apa
yang dijanjikan dalam kampanye pemilu presiden 2014. Pengukuran variabel
program kerja dilakukan dengan menanyakan pengetahuan pemilih buruh
atas berbagai program calon presiden yang berkaitan dengan nasib buruh,
apakah buruh mengetahui program kerja calon presiden ataukah tidak.
Pengetahuan ini tidak terbatas pada program kerja calon presiden atas isu
buruh saja, akan tetapi juga program kerja yang terkait dengan kontrak
politik calon presiden terhadap buruh. Sebagaimana kita ketahui, calon
presiden Prabowo menjanjikan spultura (sepuluh tuntutan rakyat)
sementara calon presiden Jokowi menjanjikan tri layak kepada para buruh.
Selanjutnya, terhadap buruh yang mengetahui program kerja dan atau
kontrak politik dari kedua calon presiden, akan ditanyakan pula penilaian
mereka terhadap program kerja dan atau kontrak politik yang ditawarkan
oleh kedua calon presiden tersebut. Penilaian ini diukur dengan
menggunakan skala 1-5, dimana angka 1 menunjukkan penilaian yang tidak
baik, angka 2 cukup baik, angka 3 baik, angka 4 cukup baik, dan angka 5
menunjukkan penilaian yang sangat baik.

5.5. Hipotesis Penelitian


Berdasarkan uraian teoritis di atas, maka secara umum hipotesis yang
akan diuji pada penelitian ini adalah bahwa keempat variabel penjelas
(ketokohan calon presiden, identitas kepartaian buruh, peran media massa,
dan program kerja calon presiden) merupakan faktor yang penting dalam

33
menjelaskan perilaku memilih buruh industri dalam pemilu presiden 2014.
Secara lebih detail, hipotesis tersebut dijabarkan sebagai berikut;
1. Ketokohan (figuritas) calon presiden menjadi faktor yang paling
dominan dalam membentuk pilihan politik buruh industri pada
pemilu presiden 2014.
2. Identitas kepartaian seorang buruh juga menjadi faktor yang dominan
dalam membentuk pilihan politik buruh industri pada pemilu
presiden 2014.
3. Peran media massa (intensitas mengikuti berita atau informasi politik
melalui media massa) turut mempengaruhi pilihan politik buruh
industri pada pemilu presiden 2014.
4. Progam kerja dan kontrak politik calon presiden turut mempengaruhi
pilihan politik buruh industri pada pemilu presiden 2014.

6. Sistematika Penulisan
Untuk memperoleh gambaran yang rinci serta mempermudah
pembahasan, maka tesis ini akan disajikan dalam enam bab dengan
sistematikanya sebagai berikut:
Bab 1, Pendahuluan. Pada bab pertama ini saya paparkan latar
belakang penelitian, rumusan masalah, serta tujuan penelitian. Selain
penjelasan tentang literature review, pada bab ini juga akan dijelaskan
kerangka teoritis (pendekatan penelitian) yang digunakan dalam studi ini.
Bab 2, Metodologi Penelitian. Bab ini berisi tentang metode penelitian
yang digunakan dalam studi ini, termasuk desain penelitian, desain sampling,
pengukuran variabel, dan teknik analisa yang penulis gunakan dalam
menganalisis hasil temuan di lapangan.
Bab 3, Potret Buruh Kota Semarang. Pada bab ini akan diuraikan
secara singkat potret sosial ekonomi, dinamika elektoral, dan gambaran
umum buruh di Kota Semarang. Penjelasan ini berisi tentang gambaran
demografis, ketenagakerjaan, hasil pemilu, serta profil buruh industri yang
menjadi sampel penelitian. Tujuan bab ini adalah memberikan gambaran
secara lebih jelas lokasi penelitian dan profil sampel penelitian yang diamati.

34
Bab 4, Partisipasi Politik Buruh Dalam Pemilu Presiden 2014. Bab ini
berisi tentang partisipasi politik buruh industri dalam pemilu, baik dalam
pemilu legislatif maupun pemilu presiden. Selain partisipasi, juga dipaparkan
gambaran ketokohan calon presiden, identitas kepartaian buruh, intensitas
mengakses informasi/berita politik melalui media massa, serta pengetahuan
buruh atas program kerja calon presiden, khususnya yang progam kerja yang
terkait dengan isu buruh. Tujuan bab ini adalah memberikan analisa secara
deskriptif tentang partisipasi politik buruh dan variabel penjelas yang
digunakan dalam penelitian ini.
Bab 5, Perilaku Memilih Buruh dalam Pemilu Presiden 2014. Bab ini
membahas pengaruh (efek) dari keempat variabel penjelas terhadap pilihan
politik buruh. Penjelasan ini berisi tentang pengaruh ketokohan calon
presiden, identitas kepartaian buruh, intensitas buruh dalam mengakses
informasi politik melalui media massa, dan program kerja calon presiden
terhadap pilihan politik buruh dalam pemilu presiden 2014. Tujuan dari bab
ini adalah memberikan pembuktian secara empiris variabel yang
memberikan pengaruh secara signifikan terhadap pilihan calon presiden dan
wakil presiden 2014.
Bab 6, Penutup. Bab ini berisi dua bagian penting; kesimpulan dan
releksi teoritis. Bagian kesimpulan berisi tentang rangkuman sekaligus
kesimpulan atas temuan penelitian pada bab 4 dan 5, sedangkan refleksi
teoritis berisi masukan sekaligus implikasi hasil penelitian terhadap studi
perilaku memilih di Indonesia.

35

Anda mungkin juga menyukai