Anda di halaman 1dari 3

A.

Pengertian Maqashid al-Syari’ah

Maqashid al-Syariah terdiri dari dua kata yaitu maqasid dan al-syari’ah yang
hubungan antara satu dan lainnya dalam bentuk mudhaf dan mudhafun ilaih. Kata
maqashid adalah jamak dari kata maqshad yang artinya adalah maksud dan tujuan.
Kata syari’ah yang sejatinya berarti hukum Allah, baik yang ditetapkan sendiri oleh
Allah, maupun ditetapkan Nabi sebagai penjelasan atas hukum yang ditetapkan Allah
atau dihasilkan oleh mujtahid berdasarkan apa yang ditetapkan oleh Allah atau
dijelaskan oleh Nabi. Karena yang dihubungkan kepada kata syari’at itu adalah kata
“maksud”, maka kata syari’ah berarti pembuat hukum atau syari’, bukan hukum itu
sendiri. Dengan demikian, kata maqashid al-syari’ah berarti: apa yang dimaksud oleh
Allah dalam menetapkan hukum,apa yang ingin dicapai oleh Allah dalam
menetapkan suatu hukum.

Dalam kajian ilmu ushul fiqh ditemukan pula kata al-hikmah (bukan hikmah yang
sudah menjadi bahasa Indonesia) yang diartikan ‫حكام اال يع تش من دة المقصو ية الغا‬
(tujuan yang dimaksud Allah dalam penetapan suatu hukum). Dengan
demikian,maqashid al-syari’ah itu mengandung arti yang sama dengan kata hikmah.

B. Al-Mashlahah sebagai Maqashid al-Syari’ah

Adapun yang menjadi tujuan Allah dalam menetapkan hukum itu adalah
al-mashlahah atau mashlahat yaitu untuk memberikan kemashlahatan kepada umat
manusia dalam kehidupannya di dunia, maupun dalam persiapannya menghadapi
kehidupan akhirat. Dengan demikian maqasid syari’ah itu adalah mashlahah.
Maksud Allah untuk kemaslahatan atau untuk memaslahatkan umat itu dapat dilihat
dalam firman Allah dalam Al-Qur’an surat al-Anbiyaa’ ayat 107 yang bunyinya :

َ‫اك َوما‬ َ َْ َ َْ َ
‫أرسلن‬ ‫ِإّل‬ ‫َر ْح َمة‬
َ‫ل ْل َع َالمي‬
ِ ِ
Kami tidak mengutusmu ya Muhammad, kecuali untuk rahmat bagi seisi alam.

Yang dimaksud dengan rahmat di sini adalah maslahat itu sendiri.

Al-maslahah secara etimologi berarti sesuatu yang baik, dirasakan lezat, oleh
karenanya menimbulkan kesenangan dan kepuasan serta diterima oleh akal yang
sehat. Kamus Besar Bahasa Indonesia mengertikan maslahat itu dengan sesuatu yang
mendatangkan kebaikan. Dalam memberikan definisi kepada kata maslahat itu
terdapat rumusan yang berbeda. Semula imam al-Gazali mengartikan al-maslahat itu
dengan:

‫( مضة دفع او منفعة جلب عن صل اال ف عبارة فه‬menurut asalnya mendatangkan


manfaat dan menolak mudharat). Atau secara ringkas disebut: ‫مضة دفع او منفعة جلب‬
(apa-apa yang mendatangkan manfaat atau menolak mudharat). Arti yang
sederhana itulah yang semula digunakan oleh Imam Gazali. Namun karena
“mendatangkan manfaat dan menghindarkan mudarat” itu merupakan maksud atau
keinginan manusia, bukan maksud Allah, sedangkan maslahat itu adalah maksud dari
Allah yang membuat hukum, maka al-Gazali membuat rumusan baru yaitu: ‫فظة المحا‬
‫ر‬
‫مقصودالشع عىل‬ (memelihara tujuan syara’), sedangkan tujuan syara’ sehubungan
dengan hambanya adalah menjaga agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Tujuan
yang lima itulah yang popular dengan sebutan ‫( الخمسة االصول‬prinsip yang lima).

Segala tindak perbuatan manusia yang menyebabkan terwujud dan terpeliharanya


lima prinsip tersebut dinyatakan perbuatan itu adalah bermanfaat. Segala bentuk
tindakan manusia yang menyebabkan tidak terwujudnya atau rusaknya salah satu
prinsip yang lima yang merupakan tujuan Allag tersebut,perbuatan itu adalah
mudarat atau merusak. Segala usaha yang dapat menghindarkan atau dapat
menyelamatkan atau menjaga madarat atau kerusakan itu,disebut usaha yang baik
atau mashlahah. Itulah sebabnya secara sederhana maslahat itu diartikan dengan
mendatangkan manfaat dan menghindarkan madarat.

C. Pembagian Maslahah

Dari segi tingkat kepentingan memeliharanya, maslahat dalam lima lingkup yang
masing-masing dalam dua tujuan tersebut di atas itu terbagi kepada tiga tingkat
sebagai berikut:

a. Tingkat primer (‫ )الضوريات‬yaitu sesuatu yang sangat perlu dipelihara atau


diperhatikan seandainya tidak atau terabaikan membawa kepada tidak ada atau tidak
berartinya kehidupan. Contoh dalam bidang agama dalam bentuk jalbu manfa’at
umpamanya memelihara agama atau keberagaman itu sendiri. Untuk daf’u mafsadat
umpamanya menghindarkan murtad.

b. Tingkat sekunder (‫ )الحاجيات‬yaitu sesuatu kebutuhan untuk memeliharanya, namun


bila tidak dipelihara tidak membawa pada hancurnya kehidupan, tetapi hanya
menimbulkan kesulitan atau kekurangan dalam melaksanakannya. Dalam bidang
agama dalam rangka jalbu manfaat umpamanya mempelajari agama di sekolah
untuk dapat menjalankan agama itu secara baik. Tanpa bersekolahpun tidak akan
hilang agama itu, namun mengalami kesulitan dalam menjalankan agama. Contoh
dalam daf’u madharat umpamanya mengolok-olok agama. Tindakan seperti ini tidak
akan menghilangkan agama, namun dalam jangka jauh kalau tidak diantisipasi juga
dapat menghancurkan agama itu sendiri.

c. Tingkat tersier (‫ )التحسينيات‬yaitu sesuatu yang sebaiknya dilakukan untuk jalbu


manfaat dan sebaiknya ditinggalkan dalam bidang daf’u madarratin. Artinya kalau
ditinggalkan dalam bidang agama umpamanya, tidak akan menghancurkan agama
dan juga tidak mengurangi keberagaman itu. Namun lebih baik dilakukan.
Umpamanya belajar agama di perguruan tinggi.

Tiga tingkat disebutkan di atas juga merupakan urut peringkat kepentingan.


Adanya peringkat ini mengandung arti bila terjadi perbenturan kepentingan artinya
bila terjadi perbenturan tingkat daruri dengan tingkat haji, diutamakan tingkat daruri.
Umpamanya dokter laki-laki melihat aurat pasiennya yang perempuan dalam operasi
kelahiran. Melihat aurat adalah terlarang dalam tingkat haaji, sedangkan operasi
dalam menyelamatkan nyawa adalah disuruh dalam tingkat daruri.

Anda mungkin juga menyukai