Anda di halaman 1dari 18

1

Nama Peserta : dr. Anisa Eka Mulya


Nama Wahana : BLUD RSUD H. Padjonga Daeng Ngalle, Kabupaten Takalar
Topik : Dyspneu e.c Efusi Pleura
Tanggal (kasus): 03 Oktober 2019
Nama Pasien : Ny. K
Jenis Kelamin : Perempuan No. RM : 295979
Umur : 74 tahun
Tanggal Presentasi : 10 Oktober 2019 Pendamping :
Tempat Presentasi: Ruang Pertemuan RSUD H. Padjonga Daeng Ngalle Kabupaten Takalar
Objek Presentasi:
Keilmuan Keterampilan Penyegaran Tinjauan pustaka
Diagnostik Manajemen Masalah Istimewa
Neonatus Bayi Anak Remaja Dewasa Lansia Bumil
Deskripsi:
 Perempuan, 74 tahun
 Sesak yang dialami sejak 1 minggu sebelum masuk tidak dipengaruhi oleh posisi sejak 2
jam sebelum masuk rumah sakit
 Disertai batuk berdahak sejak 1 bulan terakhir
 Tekanan darah 140/80 mmHg.
Tujuan : Menegakkan diagnosis pneumothoraks spontan sekunder dan penatalaksanaan awalnya
Tinjauan
Bahan Bahasan : Riset Kasus Audit
pustaka
Presentasi dan
Cara Membahas : Diskusi E-mail Pos
diskusi

Data Pasien Tn. M No. RM : 180503


Nama tempat RSUD H. Padjonga Dg.Ngalle Terdaftar sejak : 30 September 2019
Data utama untuk bahan diskusi :
A. KELUHAN UTAMA

Sesak

B. ANAMNESIS TERPIMPIN
Keluhan dialami sejak ± 2 jam sebelum masuk rumah sakit secara tiba-tiba sebelum.
Sesak tidak dipengaruhi oleh posisi. Keluhan disertai batuk disertai dahak berwarna hijau
yang dialami sejak 3 minggu terakhir. Tidak ada bercak darah pada dahak. Riwayat
demam ada dirasakan sejak 2 minggu terakhir, demam naik turun. Tidak ada keluhan
keringat di malam hari. Tidak ada penurunan berat badan.
2
Riwayat kesehatan/penyakit
Riwayat didiagnosis TB dan konsumsi obat anti tuberkulosis selama 6 bulan pada tahun
2009
Riwayat konsumsi obat anti tuberkulosis selama 8 bulan dengan obat suntikan pada tahun
2017
Riwayat merokok tidak ada
Riwayat kontak dengan orang yang mempunyai riwayat batuk lama tidak jelas
Riwayat keluarga
Riwayat keluhan atau penyakit yang sama pada keluarga tidak ada

Lain-lain
Tidak ada

Daftar Pustaka

1. Henry M, Arnold T, et al. BTS guideline for the management of spontaneous


pneumothorax. Thorax. 2003;58(Suppl II):ii39-ii52.
2. Michael H. Baumann MD, FCCP, Charlie Strange MD, FCCP, et al. Management of
Spontaneous Pneumothorax An American College of Chest Physicians Delphi Consensus
Statement. CHEST. 2001;119:590-602.
3. MD Masoud Shamaei, MD Payam Tabarsi, et al. Tuberculosis-associated secondary
pneumothorax: A retrospective study of 53 patients. Respiratory Care. 2011;56(3):298-302.
4. Raviglione Mario C. Tuberculosis. In: Kasper Dennis L., Hauser Stephen L., et al., editors.
Harrison's Principles of Internal Medicine. 19 ed. New York: McGraw-Hill Companies,
Inc; 2015.
5. Rahman N, Pedersen KK, et al. Challenges in diagnosing tuberculosis in children. Dan
Med J. 2012;59(A4463).
6. Guidance for national tuberculosis programmes on management of tuberculosis in children
[Internet]. World Health Organization. 2006.
7. Ormerod L.P. Multidrug-resistant Tuberculosis (MDR-TB): Epidemiology, Prevention, and
Treatment. British Medical Bulletin. 2005;73(74):17-24.
8. Onuki Takuya, Ueda Sho, et al. Primary and secondary spontaneous pneumothorax:
Prevalence, clinical features, and in-hospital mortality. Canadian Respiratory Journal.
2017.
9. Mackenzie S. J., Gray A. Primary spontaneous pneumothorax: why all the confusion over
first-line treatment? Journal of Royal College of Physicians of Edinburgh. 2007;37:335-8.
10. Choi Won-Il. Pneumothorax. Tuberc Respir Dis. 2014;76:99-104.
3
11. Daley Brian J. Pneumothorax: Medscape; 2018 [cited 2019 7 October].
12. Herring William. Learning Radiology: Recognizing The Basics. 3 ed. Philadelphia:
Elsevier; 2016.
13. Subuh Mohammad, Prohutomo Sigit. Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis. In:
Indonesia Kementerian Kesahatan Republik, editor. Jakarta2014.

RANGKUMAN HASIL PEMBELAJARAN PORTOFOLIO:

A. SUBJEKTIF

Seorang laki-laki usia 55 tahun datang dengan keluhan sesak dialami sejak ± 2 jam
sebelum masuk rumah sakit secara tiba-tiba sebelum. Sesak tidak dipengaruhi oleh posisi.
Keluhan disertai batuk disertai dahak berwarna hijau yang dialami sejak 3 minggu
terakhir. Tidak ada bercak darah pada dahak. Riwayat demam ada dirasakan sejak 2
minggu terakhir, demam naik turun. Tidak ada keluhan keringat di malam hari. Tidak ada
penurunan berat badan. Riwayat didiagnosis tuberkulosis dan konsumsi obat anti
tuberkulosis selama 6 bulan pada tahun 2009. Riwayat konsumsi obat anti tuberkulosis
disertai obat suntikan selama 8 bulan pada tahun 2017. Riwayat merokok tidak ada.
Riwayat kontak dengan orang yang memiliki riwayat batuk lama tidak jelas.
B. OBJEKTIF

Status generalisata : sakit sedang/gizi cukup/compos mentis


Status vitalis:
Tekanan darah : 120/80 mmHg
Frekuensi nadi : 100 x/menit, reguler, kuat angkat
Frekuensi pernapasan : 30 x/menit
Suhu : 36,5oC

Pemeriksaan Fisik

 Kepala : Konjungtiva anemis : +/+


Sklera ikterus : tidak ada
Bibir sianosis : tidak
 Leher: JVP = R + 1 cmH2O
Nyeri tekan : tidak ada
Massa tumor : tidak ada
Pembesaran KGB : tidak ada
 Paru-paru
4
Inspeksi : Pengembangan dada tidak simetris, dengan dada sebelah kiri kurang
mengecil saat ekspirasi
Palpasi : Tactile fremitus menurun pada dada kiri
Perkusi : Dada kiri lebih sonor dibandingkan dada kanan
Auskultasi : Suara napas menurun pada dada kiri, vocal fremitus menurun pada
dada kiri, wheezing dan rhonki tidak ada
 Cor
Inspeksi : Iktus kordis tidak tampak
Palpasi : Iktus kordis tidak teraba
Perkusi : Batas-batas jantung sulit dinilai
Auskultasi : Bunyi jantung I/II murni, reguler, murmur tidak ada
 Abdomen
Inspeksi : Datar, ikut gerak napas

Auskultasi : Peristaltik (+) kesan normal

Perkusi : Timpani

Palpasi : Nyeri tekan tidak ada, massa tumor tidak ada, hepar dan lien tidak
teraba

 Ekstremitas : Akral hangat, edema pretibial tidak ada


Pemeriksaan Penunjang
 Foto X-ray toraks posisi posteroanterior
5

 Laboratorium (28 Februari 2018)

Pemeriksaan Hasil Nilai rujukan


WBC 23.5 4.00-10.0
RBC 5.12 3.80-5.80
HGB 13.4 12.0-16.0
PLT 357 150-400

C. ASSESSMENT

Berdasarkan anamnesis, didapatkan gejala klinis bermakna berupa sesak yang dirasakan
secara tiba-tiba sejak 2 jam sebelum masuk rumah sakit. Sesak tidak dipengaruhi posisi,
trauma, dan stres. Batuk ada dialami sejak 3 minggu terakhir, disertai dahak berwarna
kehijauan. Riwayat terdiagnosis tuberkuloasis dan konsumsi OAT kategori 1 pada tahun 2009
dan kategori 2 pada tahun 2017. Pada pemeriksaan fisik, didapatkan gerakan dada tidak
simetris, dada kiri tertinggal saat ekspirasi, tactile fremitus menurun pada dada kiri, dada kiri
terkesan lebih sonor dibandingkan dada kanan, suara napas pada dada kiri menurun, dan
vocal fremitus pada dada kiri menurun.

Pada pemeriksaan laboratorium, didapatkan peningkatan WBC 23.500/mm3. Pada


pemeriksaan foto x-ray toraks posisi posteroanterior, ditemukan gambaran shift trakea ke sisi
kanan, hiperlusen avaskuler disertai gambaran pleural white line pada hemitoraks kiri, kavitas
pada apeks paru kiri dan kanan, fibrosis dan sklerosis pada kedua paru, limfadenopati
6

perihilar, jantung terdesak ke medial, diafragma mendatar. Sehingga, berdasarkan anamnesis,


pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang, pasien ini didiagnosis dengan Pneumotoraks
Spontan Sekunder ec. TB paru.
D. PLANNING

• Inform Consent
• IVFD RL 28 tpm
• Inj. Cefoperazone 1 gr/12 jam/IV
• Inj. Metamizole 1 gr/8 jam/IV
• Inj. Ranitidin 50 mg/12 jam/IV
• Inj. Dexamethason 5 mg/8 jam/IV
• Asetil sistein 200 mg 3 x 1
• Konsultasi ke Dokter Spesialis Bedah > Pemasangan chest tube

E. FOLLOW UP

2/10/2019 S : sesak, batuk disertai • Inj. Cefoperazone 1 gr/12


dahak, lemas jam/IV
O:
• Inj. Metamizole 1 gr/8 jam/IV
JVP : R + 1 cmH2O
Thorax : • Inj. Ranitidin 50 mg/12 jam/IV
I : simetris
• Inj. Dexamethason 5 mg/8jam/IV
P : tactile fremitus kiri =
• Asetil sistein 200 mg 3 x 1
kanan
P : sonor kiri = kanan • Rencana TCM
A : suara napas
hemitoraks kiri +,
rhonki +/+, wheezing
-/-
Drain : undulasi +
3/10/2019 S : sesak berkurang, batuk • Inj. Cefoperazone 1 gr/12
disertai dahak, lemas jam/IV
O:
• Inj. Metamizole 1 gr/8 jam/IV
JVP : R + 1 cmH2O
Thorax : • Inj. Ranitidin 50 mg/12 jam/IV
I : simetris
• Inj. Dexamethason 5 mg/8jam/IV
P : tactile fremitus kiri =
• Asetil sistein 200 mg 3 x 1
kanan
P : sonor kiri = kanan • Meptin 1 resp/12 jam/inhalasi
A : suara napas
• Foto x-ray toraks PA kontrol
7
hemitoraks kiri +, • Tunggu hasil TCM
rhonki +/+, wheezing
-/-
Drain : undulasi +
4/10/2019 S : sesak berkurang, batuk • Inj. Cefoperazone 1 gr/12
disertai dahak, lemas jam/IV
O:
• Inj. Metamizole 1 gr/8 jam/IV
JVP : R + 1 cmH2O
Thorax : • Inj. Ranitidin 50 mg/12 jam/IV
I : simetris
• Inj. Dexamethason 5 mg/8jam/IV
P : tactile fremitus kiri =
• Asetil sistein 200 mg 3 x 1
kanan
P : sonor kiri = kanan • Meptin 1 resp/12 jam/inhalasi
A : suara napas
• Rujuk ke RS Labuang Baji
hemitoraks kiri +,
rhonki +/+, wheezing
-/-
Drain : undulasi +
TCM : MTB detected high;
resisten rifampisisn
Foto x-ray toraks kontrol :
 KP duplex lama aktif
 Dilatation et elongation
aorta
 Cor, sinus, diafragma
normal
 Tulang-tulang intak

F. TINJAUAN PUSTAKA

Pendahuluan

Pneumotoraks adalah keadaan dimana terdapat udara dalam cavum pleura, ruang antara
paru dan dinding dada. Pada kondisi normal, cavum pleura tidak terisi udara sehingga
paru-paru dapat leluasa mengembang terhadap rongga dada. Pneumotoraks dapat terjadi
spontan atau traumatik. Pneumotoraks spontan dibagi menjadi primer dan sekunder.
Sedangkan pneumotoraks traumatik dibagi dua yaitu iatrogenik dan non iatrogenik.(1)

Pneumotoraks spontan adalah pneumotoraks yang terjadi tanpa didahului trauma toraks.
Pneumotoraks spontan primer terjadi ketika tidak terdapat penyakit paru yang
mendasarinya. Pneumotoraks spontan sekunder terjadi ketika terdapat penyakit paru yang
8

mendasarinya. Sebagian besar kasus pneumotoraks spontan sekunder terjadi berhubungan


dengan adanya Penyakit Paru Obstruktif Kronis. Tetapi, penelitian terbaru melaporkan
bahwa penumotoraks dapat ditemukan pada setiap penyakit paru.(2)

Tuberkulosis merupakan salah satu penyebab pneumotoraks, terutama tuberkulosis berat,


dan membutuhkan penanganan bedah.(3) Tuberculosis merupakan penyakit yang
disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis.(4) Pada tahun 2011, Indonesia
(dengan 0.38 – 0.54 juta kasus) menempati urutan keempat setelah India, Cina, Afrika
Selatan untuk kasus TB terbanyak. Indonesia merupakan negara dengan beban tinggi TB
pertama di Asia Tenggara yang berhasil mencapai target Millenium Development Goals
(MDG) untuk penemuan kasus TB di atas 70% dan angka kesembuhan 85% pada tahun
2006.(5, 6)

Secara global diperkirakan insiden TB resisten obat adalah 3,7% kasus baru dan 20%
kasus dengan riwayat pengobatan. Multidrug-resistant tuberculosis (MDR-TB)
merupakan infeksi tuberculosis yang disebabkan oleh organisme dengan resisten terhadap
rifampisin dan isoniazid, dengan atau tanpa resisten terhadap obat anti-TB lainnya yang
disebabkan akibat kesalahan petugas medis maupun kelalaian penderita untuk berobat
dengan benar. Penegakan diagnosis terhadap MDR-TB membutuhkan kultur
Mycobacterium tuberculosis positif dan tes kepekaan terhadap obat. Pemeriksaan genetik
yang mendeteksi resistensi terhadap rifampisin menunjukkan >95% merupakan kasus
MDR-TB, <10% kasus resisten terhadap rifampisin merupakan monoresisten, sehingga
resisten terhadap rifampisin merupakan marker suatu MDR-TB pada >90% kasus.(7)

Terdapat 5 kategori resistansi terhadap OAT, yaitu:

1. Monoresistan: resistan terhadap salah satu OAT, misalnya resistan isoniazid (H)

2. Poliresistan: resistan terhadap lebih dari satu OAT, selain kombinasi isoniazid (H) dan
rifampisin (R), misalnya resistan isoniazid dan ethambutol (HE), rifampicin ethambutol
(RE), isoniazid ethambutol dan streptomisin (HES), rifampicin ethambutol dan
streptomisin (RES).

3. Multi Drug Resistan (MDR): resistan terhadap isoniazid dan rifampisin, dengan atau
tanpa OAT lini pertama yang lain, misalnya resistan HR, HRE, HRES.

4. Ekstensif Drug Resistan (XDR): TB MDR disertai resistansi terhadap salah salah satu
obat golongan fluorokuinolon dan salah satu dari OAT injeksi lini kedua (kapreomisin,
9
kanamisin, dan amikasin).

5. Total Drug Resistan (Total DR). Resistansi terhadap semua OAT (lini pertama dan lini
kedua) yang sudah dipakai saat ini.

Terjadinya resistansi terhadap OAT terdiri dari resistensi primer, resistensi inisial dan
resistensi sekunder. Resistensi primer adalah apabila pasien sebelumnya tidak pernah
mendapat pengobatan OAT atau telah mendapat pengobatan OAT kurang dari 1 bulan.
Resistensi inisial adalah apabila kita tidak tahu pasti apakah pasien sudah ada riwayat
pengobatan OAT sebelumnya atau belum pernah. Resistensi sekunder adalah apabila
pasien telah mempunyai riwayat pengobatan OAT minimal 1 bulan.(6)

Etiologi

Pneumotoraks, berdasarkan mekanisme yang mendasari, dibagi menjadi dua kelompok


besar, yaitu pneumotoraks spontan dan traumatik. Pneumotoraks spontan terbagi menjadi
dua, primer dan sekunder. Pneumotoraks spontan primer terjadi tanpa adanya penyakit
paru yang mendasari. Pada pasien ini, bleb dan bula subpleura berperan penting. Etiologi
terbentuknya bula masih belum jelas, tetapi rokok berperan dalam kasus tersebut.
Obstruksi saluran napas kecil, disebabkan oleh sebukan sel inflamasi, berperan dalam
terjadinya pneumotoraks spontan. Pasien dengan pneumotoraks primer biasanya lebih
tinggi dibandingkan kontrol. Perbedaan tekanan pleura meningkat dari dasar ke apkes
paru, sehingga tekanan alveolus di apeks paru lebih tinggi dibandingkan dasar paru pada
individu tinggi, dan secara teori, lebih rentan untuk terbentuknya bleb subpleura.(1)

Pneumotoraks spontan sekunder terjadi akibat penyakit paru yang mendasari. Penyakit
paru yang paling sering menyebabkan pneumotoraks spontan sekunder adalah PPOK
dengan emfisema, fibrosis kistik, tuberkulosis, kanker paru, pneumonitis interstisial, dan
pneumonia Pneumocystis carinii pada pasien dengan infeksi HIV.(8)

Pneumotoraks traumatik terbagi menjadi iatrogenik dan non iatrogenik. Pneumotoraks


iatrogenik merupakan pneumotoraks yang terjadi akibat pembukaan rongga paru secara
paksa saat tindakan diagnosis atau terapi invasif dilakukan. Tindakan seperti
torakosentesis, biopsi pleura, pemasangan kateter vena sentral, biopsi paru perkutan,
bronkoskopi dengan biopsi transbronkial, aspiasi transtoraks, dan ventilasi tekanan positif
dapat menjadi etiologinya. Pneumotoraks traumatik non iatrogenik disebabkan oleh
trauma tumpul atau tajam yang merusak pleura viseralis atau parietalis. Pada trauma
tajam, luka menyebabkan udara dapat masuk ke rongga pleura langsung ke dinding
10

toraks atau memenuju pleura viseralis melalui cabang-cabang trakeobronkial.(9)

Pneumotoraks merupakan salah satu komplikasi dari tuberkulosis. Tuberkulosis


disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis yang berbentuk batang, tidak
membentuk spora, dan bersifat aerobik. M. tuberculosis biasanya bersifat netral pada
pewarnaan Gram. Tetapi, ketika telah diwarnai, warna pada bakteri tidak dapat
dihilangkan dengan alkohol asam, sehingga bakteri ini digolongkan sebagai bakteri tahan
asam (BTA). Sifat ini disebabkan oleh banyaknya kandungan asam mycolic, asam lemak
rantai panjang, dan lemak lain pada dinding sel bakteri.(4)

Patofisiologi

Pada orang sehat, tekanan dalam kavum pleura dipertahankan tetap negatif sesuai dengan
tekanan atmosfir selama siklus respiratorik. Perbedaan tekanan antara alveolus dan
kavum pleura disebut tekanan transpulmoner, dan tekanan ini menyebabkan rekoil elastis
paru. Pada pneumotoraks, alveolus atau jalan napas berhubungan dengan kavum pleura,
dan udara berpindah dari alveolus ke dalam kavum pleura hingga tekanan antara
keduanya menjadi seimbang. Begitupun ketika dinding dada dan kavum pleura
terhubung, udara akan berpindah ke dalam kavum pleura dari lingkungan hingga tidak
ada perbedaan tekanan atau hingga hubungan tersebut tertutup. Ketika udara dalam
kavum pleura cukup untuk meningkatkan tekanan pleura dari -5 cmH2O menjadi -2.5
cmH2O, tekanan transpulmoner akan berkurang dari 5 cmH 2O menjadi 2.5 cmH2O, dan
kapasitas vital paru akan berkurang sebanyak 33%. Udara yang mengisi kavum pleura
akan menekan paru dan mengurangi kapasitas vital paru sebanyak 25%. Selain itu,
perubahan tekanan dalam kavum pleura akan meningkatkan tekanan toraks dan
mengganggu proses pengembangan dinding dada, dan sekitar 8% dari kapasitas vital paru
akan berkurang. Ketika tekanan dalam kavum pleura meningkat, mediastinum akan
berpindah ke arah sebaliknya, memperluas toraks pada sisi yang sama, dan menekan
diafragma.(10)

Perubahan utama pada pneumotoraks adalah berkurangan tekanan oksigen arteri akibat
berkurangnya kapasitas vital paru. Pada pasien pneumotoraks sekunder dengan penyakit
paru, berkurangnya kapasitas vital paru dapat menyebabkan hipoventilasi alveolus dan
gagal napas. Berkurangnya tekanan oksigen dapat disebabkan oleh shunt anatomi, dan
hipoventilasi alveolus pada daerah pneumotoraks disebabkan oleh berkurangnya rasio
ventilasi-perfusi dalam alveolus paru.(10)
11

Pneumotoraks merupakan salah satu komplikasi tuberkulosis yang membutuhkan


penanganan bedah. Pneumotoraks akibat tuberkulosis biasanya terjadi pada infeksi
tuberkulosis luas yang melibatkan paru, dan menyebabkan pembentukan fistula
bronkopleura serta empiema dan akhirnya membentuk kavitas. Organisme tuberkulosis
akan menginvasi pleura dan membentuk nekrosis liquifaksi, yang akhirnya akan
menyebabkan ruptur pleura parietal.(3)

Gejala Klinis

Sebagian besar pasien dengan pneumotoraks mengeluhkan nyeri dada akut dan tiba-tiba
disertai dengan sesak napas. Nyeri pada pasien tersebut biasanya lebih berat saat inhalasi
dan terlokalisir pada daerah dengan pneumotoraks. Beratnya gejala sepeerti dispnea
sesuai dengan ukuran pneumotoraks, tetapi 5% pasien biasanya asimptomatik; pasien
tersebut biasanya memiliki kondisi sistemik yang buruk. Pneumotoraks spontan biasanya
terjadi saat istirahat, yang berarti terjadinya pneumotoraks tidak dipengaruhi oleh trauma
dan stres. Pasien dengan pneumotoraks spontan primer, nyeri dan dispnea biasanya
membaik dalam 24 jam, tetapi pasien dengan pneumotoraks spontan sekunder biasanya
mengalami gejala yang lebih berat. Udara dalam jumlah kecil di kavum pleura dapat
menyebabkan hipoksemia dan hiperkapnia.(10)

Pada pemeriksaan fisis, dapat terjadi pencembungan dan pada waktu pergerakan nafas,
tertinggal pada sisi yang sakit. Pada sisi yang sakit ruang sela iga dapat normal atau
melebar, iktus jantung terdorong ke sisi thoraks yang sehat. Fremitus suara melemah atau
menghilang. Pada perkusi, suara ketok hipersonor sampai timpani dan tidak bergetar,
batas jantung terdorong ke thoraks yang sehat, apabila tekanannya tinggi. Pada periksa
dengar, didapatkan suara napas melemah sampai menghilang, nafas dapat amforik apabila
ada fistel yang cukup besar.(11)

Pasien pada kasus ini memiliki gejala batuk berdahak selama 1 bulan terakhir dan riwayat
konsumsi obat anti tuberkulosis kategori 1 dan katergori 2 dan dinyatakan tuntas. Pasien
terduga TB resistan obat adalah semua orang yan mempunyai gejala TB dengan satu atau
lebih kriteria yang tercantum dibawah ini yaitu:(6)

1. Pasien TB gagal kategori 2

2. Pasien TB pengobatan kategori 2 yang tidak konversi setelah 3 bulan pengobatan

3. Pasien TB yang mempunyai riwayat pengobatan TB yang tidak standar serta


12
menggunakan fluorokuinolon dan obat injeksi lini kedua minimal selama 1 bulan

4. Pasien TB gagal pengobatan kategori 1

5. Pasien TB pengobatan kategori 1 yang tetap positif setelah 3 bulan pengobatan

6. Pasien TB kasus kambuh (relaps) baik kategori 1 maupun 2

7. Pasien TB yang kembali setelah loss to follow-up (lalai berobat atau default)

8. Terduga TB yan mempunyai riwayat kontak erat dengan pasien TB resistan obat

9. Pasien koinfeksi TB HIV yang tidak respon secara klinis maipun bakteriologis
terhadap pemberian OAT.

Diagnosis Klinis

Pemeriksaan penunjang radiologi dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis


pneumotoraks. Pemeriksaan radiologi akan memberikan gambaran :(12)

Gambar 1. X-ray pneumotoraks tampak visceral pleural line(12)

 Tampak bayangan hiperlusen baik bersifat lokal maupun general


 Pada gambaran hiperlusen ini tidak tampak jaringan paru, sehingga memberikan
gambaran avaskuler
 Pneumotoraks dengan ukuran besar dapat menyebabkan terjadinya kolaps dari
paru sekitarnya, sehingga massa jaringan paru yang terdesak ini lebih padat
dengan densitas seperti bayangan tumor
 Pneumotoraks dengan ukuran besar dapat menyebabkan terjadinya perdorongan
pada jantung
 Mediastinum dan trakea dapat terdorong ke sisi yang berlawanan
Diagnosis TB resisten obat dipastikan berdasarkan pemeriksaan uji kepekaan MTB baik
13
secara metode konvensional dengan menggunakan media padat atau media cair, maupun
metode cepat (rapid test). Metode konvensional untuk uji kepekaan dikerjakan bila telah
dilakukan uji biakan kuman MTB, baik dengan menggunakan media padat (Lowenstein
Jensen) ataupun media cair (MGIT). Metode tersebut memiliki kelebihan dan kekurangan
masing-masing. Biakan menggunakan media padat relatif lebih murah dibanding media cair
tetapi memerlukan waktu lebih lama yaitu 3-8 minggu. Sebaliknya bila menggunakan media
cair, hasil biakan sudah dapat diketahui dalam waktu 1-2 minggu tetapi memerlukan biaya
yang lebih mahal.(7)
Saat ini pemeriksaan uji kepekaan MTB secara cepat (rapid test) sudah direkomendasikan
oleh WHO untuk digunakan sebagai skrining. Metode yang tersedia adalah Line Probe
Assay (LPA) yang hasilnya dapat diperoleh dalam waktu kurang lebih 24-48 jam dan metode
GeneXpert yang hasil pemeriksaannya dapat diketahui dalam waktu kurang lebih 2 jam.(7)

Gambar 2. Alur diagnosis TB resisten obat(13)

Manajemen Pneumotoraks
Menentukan ukuran pneumotoraks berdasarkan BTS tahun 2003, yaitu perbandingan
antara diameter paru dan diameter hemitoraks. Pneumotoraks dengan ukuran 1 cm pada
hasil radiologi menunjukan volume pneumotoraks sekitar 27%, sedangkan ukuran 2 cm
menunjukan volume pneumotoraks sekitar 49%. Perumpamaan diameter paru 9 cm dan
14
diameter hemitoraks 10 cm, (103-93)/103 = 27%. Ukuran pneumotoraks kurang dari 1 cm
tidak dianjurkan untuk dilakukan aspirasi. Jika ukuran pneumotoraks 2 cm dengan
perkiraan volume 50%, maka diindikasikan untuk dilakukan aspirasi.(1)

Gambar 3. Penentuan ukuran pneumotoraks berdasarkan pedoman BTS(1)


Sedangkan berdasarkan ACCP tahun 2001, ukuran pneumotoraks ditentukan
berdasarkan jarak dari apeks paru ke kupola toraks ipsilateral pada permukaan parietal.
Pneumotoraks ukuran kecil jika jarak apeks ke kupola berjarak 3 cm, dan pneumotoraks
besar jika jarak antara apeks dan kupola berjarak ≥ 3 cm.(2)
Terapi yang diberikan pada pasien didasari pada jenis pneumotoraks dan ukuran
pneumotoraks.(10)
1. Terapi oksigen
Terapi oksigen dibahas dalam pedoman pneumotoraks yang dikeluarkan oleh British
Thoracic Society. Gas dalam kavum pleura diabsorsi secara difusi dan dapat
ditingkatkan dengan mengubah komposisi gas dalam kavum pleura. Oksigen
diabsorbsi 62 kali lebih cepat dibandingkan nitrogen, dan karbon dioksida
diabsorbsi 23 kali lebih cepat dari oksigen. Ketika pasien menghirup oksigen 100%
nitrogen akan menghilang dari kavum pleura, meninggalkan oksigen dan akan
diabsorbsi lebih cepat ke dalam vena. Laju absorbsi gas dalam kavum pleura sekitar
1.25% per hari. Jika pasien diberikan oksigen, laju absorbsi akan meningkat hingga
3-4 kali. Pedoman BTS merekomendasikan oksigen 10 L/menit pada pasien
simptomatik. Tetapi, perlu diperhatikan pada pasien PPOK karena dapat
menyebabkan hiperkarbi.
2. Aspirasi sederhana
Aspirasi pneumotoraks dilakukan dengan menggunakan kateter kecil. Kateter
dimasukkan ke dalam kavum pleura, kateter dapat dilepaskan segera setelah udara
dievakuasi dari kavum pleura atau dibiarkan sambil mengobservasi pasien.
Pedoman dari American College of Chest Physicians merekomendasikan aspirasi
sederhana pada pasien pneumotoraks spontan sekunder jika pasien akan dirawat di
15
rumah sakit dan dilanjutkan dengan pemasangan chest tube. Pedoman BTS
merekomendasikan aspirasi pada pneumotoraks kecil dengan gejala respiratorik
yang ringan pada pasien usia kurang dari 50 tahun.
3. Pemasangan chest tube
ACCP merekomendasikan pemasangan chest tube atau observasi pada pasien
pneumotoraks spontan sekunder yang berukuran kecil. Pada pasien pneumotoraks
yang berukuran besar, baik pasien stabil ataupun tidak stabil, ACCP
merekomendasikan pemasangan chest tube. Pedoman BTS juga merekomendasikan
pemasangan chest tube, kecuali pada pasien pneumotoraks yang berukuran kecil (1-
2 cm) dan tidak memiliki gejala respiratorik.
4. Pembedahan
ACCP dan BTS merekomendasikan intervensi bedah untuk mencegah rekurensi
atau untuk menghentikan kebocoran udara yang persisten. ACCP
merekomendasikan pleurektomi dan bullektomi, atau abrasi pleura parietal pada
seperdua atas pleura dan bullektomi. BTS merekomendasikan beberapa intervensi
seperti pleurektomi parietal serta abrasi pleura parietal dan pleurodesis
menggunakan talc.
5. Pleurodesis dan katup Heimlich
ACCP dan BTS merekomendasikan pleurodesis menggunakan agen seperti talc dan
doksisiklin yang dimasukkan melalui chest tube pada pasien pneumotoraks spontan
sekunder yang tidak dapat menjalani tindakan bedah. Pasien dengan pneumotoraks
spontan sekunder yang tidak dapat menjalani tindakan bedah dapat dipertimbangkan
untuk rawat jalan dan menggunakan katup Heimlich.
16

Gambar 4. Algoritma penatalaksanaan pneumotoraks spontan sekunder


berdasarkan pedoman BTS(1)

Manajemen TB Resisten Obat

Pada pengobatan TB MDR, ada beberapa kondisi khusus yang harus diperhatikan
sebelum memulai pengobatan misalnya pasien dengan penyakit penyerta yang berat
seperti kelainan fungsi ginjal, kelainan fungsi hati, epilepsi, psikosis, dan ibu hamil.
Oleh karena itu, sebelum memulai pengobatan harus dilakukan persiapan awal seperti
anamnesis ulang, pemeriksaan berat badan, fungsi penglihatan dan pendengaran, kondisi
kejiwaan, hingga pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan darah lengkap, kimia
darah, Thyroid Stimulating Hormon (TSH), tes kehamilan, tes HIV, pemeriksaan EKG
dan foto thorax.(13)
Pengobatan pasien TB MDR menggunakan paduan OAT yang terdiri dari OAT lini
pertama dan lini kedua, yang dibagi dalam 5 kelompok berdasar potensi dan efikasinya.
(13)
17

Tabel 1. Golongan obat yang digunakan pada TB MDR


Pilihan paduan OAT MDR saat ini adalah paduan standar (standardized treatment), yang
pada permulaan pengobatan akan diberikan kepada semua pasien TB RR/TB MDR.(13)
Paduan standar OAT MDR yang diberikan adalah:
Km – Lfx – Eto – Cs – Z – (E) / Lfx – Eto – Cs – Z – (E)
Alternatif pengobatan standar pada kondisi khusus adalah sebagai berikut:
a. Jika sejak awal terbukti resistan terhadap kanamisin, maka paduan standar adalah
sebagai berikut:
Cm – Lfx – Eto – Cs – Z - (E) / Lfx – Eto – Cs – Z – (E)
b. Jika sejak awal terbukti resistan terhadap fluorokuinolon maka paduan standaradalah
sebagai berikut:
Km-Mfx-Eto-Cs-PAS-Z-(E) / Mfx-Eto-Cs-PAS-Z-(E)
Jika moxifloksasin tidak tersedia maka dapat digunakan levofloksasin dengan dosis
tinggi. Pada penggunaan levofloksasin dosis tinggi harus dilakukan pemantauan ketat
terhadap kondisi jantung pasien dan kemungkinan terjadi tendinitis/ ruptur tendon.
c. Jika sejak awal terbukti resistan terhadap kanamisin dan fluorokuinolon (TB XDR)
maka paduan standar adalah sebagai berikut:
Cm-Mfx-Eto-Cs-PAS-Z-(E) / Mfx-Eto-Cs-PAS-Z-(E)
Paduan standar ini diberikan pada pasien yang sudah terkonfirmasi TB RR/MDR secara
laboratoris. Paduan pengobatan ini diberikan dalam dua tahap yaitu tahap awal dan tahap
lanjutan. Tahap awal adalah tahap pemberian obat oral dan suntikan dengan lama paling
sedikit 6 bulan atau 4 bulan setelah terjadi konversi biakan. Tahap lanjutan adalah pemberian
18
paduan OAT oral tanpa suntikan. Lama pengobatan seluruhnya paling sedikit 18 bulan
setelah terjadi konversi biakan.

Takalar, 8 Oktober 2019

Peserta

dr. Sri Rinia Sari Iswanti

Pendamping

Anda mungkin juga menyukai