Menurut Iyus yosep dalam buku keperawatan jiwa 2007, Kehilangan adalah suatu keadaan Individu
berpisah dengan sesuatu yang sebelumnya ada, kemudian menjadi tidak ada, baik terjadi sebagian atau
keseluruhan. Kehilangan merupakan pengalaman yang pernah dialami oleh setiap individu selama
rentang kehidupan, sejak lahir individu sudah mengalami kehilangan dan cenderung akan mengalaminya
kembali walaupun dalam bentuk yang berbeda.
Berdasarkan penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa kehilangan merupakan suatu keadaan
gangguan jiwa yang biasa terjadi pada orang- orang yang menghadapi suatu keadaan yang berubah dari
keadaan semula (keadaan yang sebelumya ada menjadi tidak ada)
Kehilangan dan kematian adalah peristiwa dari pengalaman manusia yang bersifat universal dan unik
secara individu.
• Kehilangan pribadi adalah segala kehilangan signifikan yang membutuhkan adaptasi melalui proses
berduka. Kehilangan terjadi ketika sesuatu atau seseorang tidak dapat lagi ditemui, diraba, didengar,
diketahui, atau dialami.
• Kehilangan maturasional adalah kehilangan yang diakibatkan oleh transisi kehidupan normal untuk
pertama kalinya.
• Kehilangan situasional adalah kehilangan yang terjadi secara tiba-tiba dalam merespon kejadian
eksternal spesifik seperti kematian mendadak orang yang dicintai atau keduanya.Anak yang mulai
belajar berjalan kehilanga citra tubuh semasa bayinya,wanita yang mengalami menopause kehilangan
kemampuan untuk mengandung, dan seorang pria yang tidak bekerja mungkin akan kehilangan harga
dirinya.
• Kehilangan karena kematian adalah suatu keadaan pikiran, perasaan, dan aktivitas yang mengikuti
kehilangan. Keadaan ini mencakup duka cita dan berkabung. Dukacita adalah proses mengalami
psikologis, social dan fisik terhadap kehilangan yang dipersepsikan(Rando, 1991). Berkabung adalah
proses yang mengikuti suatu kehilangan dan mencakup berupaya untuk melewati dukacita.
B. BENTUK-BENTUK KEHILANGAN
C. SIFAT KEHILANGAN
Kemampuan untuk meyelesaikan proses berduka bergantung pada makna kehilangan dan situasi
sekitarnya. Kemampuan untuk menerima bantuan menerima bantuan mempengaruh apakah yang
berduka akan mampu mengatasi kehilangan. Visibilitas kehilangan mempengaruh dukungan yang
diterima. Durasi peubahan (mis. Apakah hal tersebut bersifat sementara atau permanen)
mempengaruhi jumlah waktu yang dibutuhkan dalam menetapkan kembali ekuilibrium fisik, pshikologis,
dan social.
D. TIPE KEHILANGAN
1. Actual Loss
Kehilangan yang dapat dikenal atau diidentifikasi oleh orang lain, sama dengan individu yang mengalami
kehilangan.
1. Stressor internal atau eksternal – gangguan dan kehilangan – individu berfikir positif – kompensasi
positif terhadap kegiatan yang dilakukan – perbaikan – mampu beradaptasi dan merasa nyaman.
2. Stressor internal atau eksternal – gangguan dan kehilangan – individu berfikir negatif – tidak berdaya
– marah dan berlaku agresif – diekspresikan ke dalam diri ( tidak diungkapkan)– muncul gejala sakit fisik.
3. Stressor internal atau eksternal – gangguan dan kehilangan – individuberfikir negatif– tidak berdaya –
marah dan berlaku agresif – diekspresikan ke luar diri individu –berperilaku konstruktif – perbaikan –
mampu beradaptasi dan merasa kenyamanan.
4. Stressor internal atau eksternal – gangguan dan kehilangan – individuberfikir negatif–tidak berdaya –
marah dan berlaku agresif – diekspresikan ke luar diri individu – berperilaku destruktif – perasaan
bersalah – ketidakberdayaan.
Inti dari kemampuan seseorang agar dapat bertahan terhadap kehilangan adalah pemberian makna
(personal meaning) yang baik terhadap kehilangan (husnudzon) dan kompensasi yang positif
(konstruktif).
1. Pada fase ini individu menyangkal realitas kehilangan dan mungkin menarik diri, duduk tidak bergerak
atau menerawang tanpa tujuan. Reaksi fisik dapat berupa pingsan, diare, keringat berlebih.
2.Pada fase kedua ini individu mulai merasa kehilangan secara tiba-tiba dan mungkin mengalami
keputusasaan secara mendadak terjadi marah, bersalah, frustasi dan depresi.
3. Fase realistis kehilangan. Individu sudah mulai mengenali hidup, marah dan depresi, sudah mulai
menghilang dan indivudu sudah mulai bergerak ke berkembangnya keasadaran.
1. Denial ( Mengingkari )
Reaksi pertama individu yang mengalami kehilangan adalah syok, tidak percaya atau menolak kenyataan
bahwa kehilangan itu terjadi, dengan mengatakan “Tidak, saya tidak percaya bahwa itu terjadi”, ”itu
tidak mungkin”. Bagi individu atau keluarga yang mengalami penyakit terminal, akan terus menerus
mencari informasi tambahan.
Reaksi fisik yang terjadi pada fase pengingkaran adalah letih, lemah, pucat, mual, diare, gangguan
pernafasan, detak jantung cepat, menangis gelisah, tidak tahu harus berbuat apa. Reaksi tersebut diatas
cepat berakhir dalam waktu beberapa menit sampai beberapa tahun.
2. Anger ( Marah )
Sadar kenyataan kehilangan Proyeksi pada org sekitar tertentu, diri sendiri dan obyek Fase ini dimulai
dengan timbulnya kesadaran akan kenyataan terjadinya kehilangan. Individu menunjukkan perasaan
yang meningkat yang sering diproyeksikan kepada orang yang ada di lingkungannya, orang tertentu atau
ditujukan kepada dirinya sendiri. Tidak jarang ia menunjukkan perilaku agresif, bicara kasar, menolak
pengobatan , dan menuduh dokter dan perawat yang tidak becus. Respon fisik yang sering terjadi pada
fase ini antara lain, muka merah, nadi cepat, gelisah, susah tidur, tangan mengepal.
5. Acceptance (menerima)
Fase ini berkaitan dengan reorganisasi perasaan kehilangan. Pikiran selalu terpusat kepada objek atau
orang lain akan mulai berkurang, atau hilang, individu telah menerima kenyataan kehilangan yang
dialaminya, gambaran objek atau orang lain yang hilang mulai dilepaskan dan secara bertahap perhatian
beralih pada objek yang baru. Fase menerima ini biasanya dinyatakan dengan kata-kata seperti ”saya
betul-betul menyayangi baju saya yang hilang tapi baju baru saya manis juga”, atau “apa yang dapat
saya lakukan supaya saya cepat sembuh”.
Apabila individu sudah dapat memulai fase-fase tersebut dan masuk pada fase damai atau fase
penerimaan maka dia akan dapat mengakhiri proses berduka dan mengatasi perasaan kehilangan secara
tuntas. Tapi apabila individu tetap berada pada salah satu fase dan tidak sampai pada fase penerimaan,
jika mengalami kehilangan lagi maka akan sulit baginya masuk pada fase penerimaan.
Reorganisasi rasa kehilangan, dapat merima kenyataan kehilangan, sudah dapat lepas pd obyek yg
hilang beralih ke obyek baru “apa yang dapat saya lakukan”.
1. Penghindaran
Pada fase ini terjadi syok, menyangkal, dan ketidak percayaan
2. Konfrontasi
Pada fase ini terjadi luapan emosi yang sangat tinggi ketika klien secara berulang melawan kehilangan
mereka dan kedudukan mereka paling dalam.
3. Akomodasi
Pada fase ini klien secara bertahap terjadi penurunan duka yang akut dan mulai memasuki kembali
secara emosional dan social sehari-hari dimana klien belajar hidup dengan kehidupan mereka.
1. Repudiation ( Penolakan )
2. Recognition ( Pengenalan )
3. Reconciliation (Pemulihan /reorganisasi )
Ada beberapa factor yang mempengaruhi setiap individu dalam merespon kehilangan. Karakteristik
personal termasuk usia, jenis kelamin, setatus social ekonomi, yang hilang, karakteristik kehilangan,
keyakinan cultural, dan spiritual, system pendukung, dan potensi pencapaian tujuan mempengaruhi
respon terhadap kehilangan.
• Karakteristik Personal
Usia. Usia memainkan peran dalam pengenalan dan reaksi individu yerhadap kehilanga. Respon anak
beragam sesuai dengan usia, pengalaman kehilangan sebelumnya, hubungan dengan yang meninggal,
kepribadian, persepsi tentang kehilangan, makna tertentu dari kehilangan yang mereka miliki dan yang
terpenting respon kelarga mereka terhadap kehilangan. Meskipun anak-anak mungkin tidak memahami
konsep kematian karena usia mereka, mereka tetap mengembangkan persepsi tentang apa makna
kehilangan bagi mereka. Anak-anak mungkin merasa bersalah karena tetap hidup, tetap sehat, atau
mempunyai permintaan untuk kematian orang yang mereka cintai (Wheeler 7 pike,1993).
Dewasa muda menghubungkan kehilangan signifikasinya terhadap status, peran, dan gaya hidup.
Kehilangan pekerjaan, perceraiandan kerusakan fisik menyebabkan dukacita lebih mendalam dan
mengan cam keberhasilan. Konsep dewasa muda tentang kematian sebagian besar merupakan produk
dari keyakinan keagamaan dan cultural. Kematian seorang dewasa muda terutama sekali dipandang
sebagai hal yang tragis oleh masyarakatkarena kematian tersebut adalah kehilangan kehidupan
seseorang yang disadari sbg suatu potensi. Kehilangan seseorang yang mempunyai hubungan dekat
menyebabkan ancaman bermakna terhadap gaya hidup. Setiap kehilangan pekerjaaan atau kemampuan
untuk melakukan pekerjaan menyebabkan duka cita yang sangat besar bagi orag dewasa.
Lansia mengalami kepenumpukan kedukaan akibat dari banyak perubahan. Lansia sering takut tentang
kejadoan sekitar kematian melebihi kematian itu sendiri. Mereka mungkin merasa kesepian, isolasi,
kehilangan peran social, penyakit yang berkepanjangan dan kehilangan determinasi diri dan jati diri
sebagai sesuatu yang lebih buruk dari kematian(Rando, 1986, Kastenbaum, 1991).
Peran jenis kelamin. Reaksi kehilangn dipengaruhi oleh harapan social tentang peran pria dan wanita.
Dalam banyak budaya di Amerika Serikat dan Kanada,umunya lebiah sulit bagi pria disbanding dengan
wanita untuk mengespresikan dukacita secara terbuka. Pria dan wanita melekatkan makna berbeda
terhadap bagian tubuh, fungsi, hubungan interpersonal, dan benda.
Pendidikan dan status sosioekonomi. Kehilanhgan adalah universal, dialami oleh setiap orang apapun
status ekonominya.Umunyan, kekurangan sumber financial, pendidikan atau keteramoilan pekerjaan
memperbesar tuntutan kepada pihak yang mengalmi dukacita.
• Sifat hubungan
Pepatah mengatakan bahwa kehilangan orang tua berarti kehilanga masa lalu, kehilangan pasangan
berati kehilangan masa kini dan kehilangan anak berarti kehilangan masa depan. Litelatur mendukung
keyakinan bahwa kehilangan akan menciptakan respon kehilangn yang paling dalam (Saunders, 1992).
Reaksi terhadap kehilangan di pengaruhi oleh kualitas hubungan. Makna hubungan pada hubungan
duka akan mempengaruhi respon dukacita, apakah kehilangan tersebut akibat kematian, perpisahan atu
bercerai. Hubungan yang ditandai dengan ambivalen yang ekstrem lebih sulit untuk diselesaikan
dibandingkan hubungan yang normal.
Salah satu peristiwa yang paling memyulitkan dalam hidup aslah kehilangan pasangan. Kehilangan
pasangan dapat menyebabkan pasangannya menjadi kurang terampil dalam menghadapi tangung jawab
keseluruhan. Kehilangna pasangan juga menimbulkan kesulitan bagi pasangan yang ditinggalkan untuk
membina hubungan baru atau untuk mempertahankan hubungan yang sebelumnya sudah terbina atau
dibentuk bersama.
Kehilangan karena kematian adalah suatu keadaan pikiran, perasaan, dan aktivitas yang mengikuti
kehilangan. Keadaan ini mencakup duka cita dan berkabung. Dukacita adalah proses mengalami
psikologis, social dan fisik terhadap kehilangan yang dipersepsikan(Rando, 1991). Dukacita merupakan
respon individu atau reaksi emosi dari kehilangan dan terjadi karena kehilangan seperti : kehilangan hak,
kehilangan hak hidup, menuju kematian. Berkabung adalah keadaan berduka yang ditunjukkan selama
individu melewati reaksi berduka, seperti mengabaikan keadaan kesehatan secara ekstrim. Berkabung
merupakan proses yang mengikuti suatu kehilangan dan mencakup berupaya untuk melewati dukacita.
Proses dukacita dan berkabung bersifat mendalam, internal, menyedihkan dan berkepanjangan.Tujuan
duka cita adalah untuk mencapai fungsi yang lebih efektif dengan mengintekgrasikan kehilangan
kedalam pengalaman hidup klien. Worden (1982), empat tugas dukacita yang memudahkan
penyesuaian yang sehat terhadap kehilangan , dan Harper (1987) merancang tugas dalam
akronim”TEAR”.
1. T: Untuk menerima realitas dari kehilangan
2. E; Mengalmi kepedihan akibat kehilangan
3. A: Menyesuaikan lingkungan yang tidak lagi mencakup orang, benda atau aspek diri yang hilang
4. R: Memberdayakan kembali energy emosional kedalam hubungan yang baru.
Tugas ini tidak terjadi pada urutan yang khusus. Pada kenyataanya orang yang berduka mungkin
melewati keempat tugas tersebut secara bersamaan atau hanya satu atau dua yang menjadi preoritas.
Dukacita adaptif termasuk proses berkabung, koping, interaksi, perencanaan, dan pengenalan
psikososial. Hal ini dimulai dalam merespons terhadap kesadaran tentang suatu ancaman kehilangan
dan pengenalan tentang kehilangan yang berkaitan dengan masa lalu, saat ini, dan masa dating.
Dukacita adaptif terjadi pada mereka yang menerima diagnosis yang mempunyai efek jangka panjang
terhadap fungsi tubuh, seperti pada lupus eritomatosus sistemik.
Dukacita terselubung terjadi ketika seseorang mengalami kehilangan yang tidak dapat dikenali, rasa
berkabung yang luas, atau didukung secara social. Dukacita mungkin terselubung dalam situasi dimana
hubungan antara berduka dan meninggalkan tidak didasarkan pada ikatan keluarga yang dikenal.
Seseorang dapat tumbuh dari pengalaman kehilangan melalui keterbukaan, dorongan dari orang lain,
dan dorongan yang adekuat. Dalam kasus lain kehilangan itu sendiri tidak didefinisikan secara secara
social sebagai sesuatu yang signifikan, seperti halnya kematian perinatal, aborsi, atau adopsi.Kehilangan
hewan peliharaan mungkin dipandang sebagai sesuatu yang signifikan.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Kehilangan adalah suatu keadaan Individu berpisah dengan sesuatu yang sebelumnya ada, kemudian
menjadi tidak ada, baik terjadi sebagian atau keseluruhan. Kehilangan merupakan pengalaman yang
pernah dialami oleh setiap individu selama rentang kehidupan, sejak lahir individu sudah mengalami
kehilangan dan cenderung akan mengalaminya kembali walaupun dalam bentuk yang berbeda. Sehingga
dapat disimpulkan bahwa kehilangan merupakan suatu keadaan gangguan jiwa yang biasa terjadi pada
orang- orang yang menghadapi suatu keadaan yang berubah dari keadaan semula (keadaan yang
sebelumya ada menjadi tidak ada). Dukacita adalah proses mengalami psikologis, social dan fisik
terhadap kehilangan yang dipersepsikan(Rando, 1991). Dukacita merupakan respon individu atau reaksi
emosi dari kehilangan dan terjadi karena kehilangan seperti : kehilangan hak, kehilangan hak hidup,
menuju kematian. Berkabung adalah keadaan berduka yang ditunjukkan selama individu melewati
reaksi berduka, seperti mengabaikan keadaan kesehatan secara ekstrim. Berkabung adalah proses yang
mengikuti suatu kehilangan dan mencakup berupaya untuk melewati dukacita.
Tipe dari kehilangan mempengaruhi tingkat distres. Misalnya, kehilangan benda mungkin tidak
menimbulkan distres yang sama ketika kehilangan seseorang yang dekat dengan kita. Nanun demikian,
setiap individunberespon terhadap kehilangan secara berbeda. Kematian seorang anggota
keluargamungkin menyebabkan distress lebih besar dibandingkan kehilangan hewan peliharaan, tetapi
bagi orang yang hidup sendiri kematian hewan peliharaan menyebaabkan disters emosional yang lebih
besar dibanding saudaranya yang sudah lama tidak pernah bertemu selama bertahun-tahun.
Kehilangan yang bersifat actual dapat dengan mudah diidentifikasi, misalnya seorang anak yang teman
bermainya pindah rumah. Kehilangan yang dirasakan kurang nyata dan dapat di salahartikan ,seperti
kehilangan kepercayaan. Seseorang dapat tumbuh dari pengalaman kehilangan melalui keterbukaan,
dorongan dari orang lain, dan dukungan yang adekuat.
B. SARAN
Semoga makalah yang kami susun dapat dimanfaatkan secara maksimal, sehingga dapat membantu
proses pembelajaran, dan dapat mengefektifkan kemandirian dan kreatifitas mahasiswa. Selain itu,
diperlukan lebih banyak referensi untuk menunjang proses pembelajaran.
DAFTAR PUSTAKA
Patricia A. Potter. 2005. Fundamental of Nursing: Concept, Proses, and Practice. Jakarta: EGC
Rando TA. 1986. Loss and Anticipatory Grief. Lexington: Lexiton Mass