Anda di halaman 1dari 14

REFERAT

Manajemen Perioperatif pada pasien Geriatri dan Hipertensi

Oleh :
Fabian Arassi Sudiantono (H1A013021)

Pembimbing:

dr. Elya Endriani, SpAn

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA


BAGIAN ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF
RUMAH SAKIT DAERAH NUSA TENGGARA BARAT
MATARAM
2019

1
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Dengan bertambahnya usia maka terjadi penurunan kemampuan kardiak dan
timbulnya penyakit jantung yang tak terlihat secara klinis. Segala perubahan
fisiologis yang terjadi pada sistem kardiovaskular bertanggung jawab terhadap
peningkatan insidensi infark miokard, gagal jantung, dan aritmia perioperative
pada usia lanjut. Hal ini menyebabkan pasien usia lanjut memiliki resiko lebih
besar dalam menjalani operasi dikarenakan berkurangnya kemampuan untuk
mengembalikan homeostasis fisilogik saat menjalani pembedahan.3
Pasien dengan hipertensi berat yang tidak terkontrol memperlihatkan respons
hipotensi saat dilakukan induksi dan respons hipertensi terhadap stimulus yang
diberikan. Penelitian lain mendapatkan adanya komplikasi pada pasien hipertensi
berat seperti disritmia, iskemik dan infark miokard, komplikasi neurologis, dan
gagal ginjal. Sedangkan pada pasien dengan hipertensi ringan-sedang atau
terkontrol tidak memiliki peningkatan risiko operasi.3
Perubahan-perubahan yang terjadi di sistem kardiovaskular pada kelompok
usia lanjut meningkatkan resiko terjadinya kegagalan jantung, infark miokard, dan
juga aritmia perioperatif. Pemberian obat anastesi menyebabkan vasodilatasi
perifer dan menurunkan resistensi vaskular. Pada kelompok usia lanjut yang
memiliki volume intravaskular yang kurang akibat pemakaian diuretik, pemberian
obat anastesi dapat menyebabkan pengurangan perfusi ke jaringan secara
mendadak.3

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Geriatri
2.1.1 Populasi Geriatri
Geriatri adalah cabang ilmu kesehatan yang berfokus pada diagnosis,
penanganan, serta pencegahan penyakit dan gangguan kesehatan tertentu akibat
penuaan. Indonesia merupakan negara berkembang dengan populasi yang terus
meningkat. Selain itu, angka harapan hidup di Indonesia juga terus meningkat. Hal ini
menggambarkan pembangunan yang Iebih baik namun juga menyebabkan
peningkatan populasi geriatri di Indonesia. World Health Organization (WHO)
memperkirakan pertumbuhan populasi geriatri di Indonesia tahun 2020 mencapai 11
.34% atau 28.8 juta orang. Peningkatan populasi geriatri berkaitan dengan angka
morbiditas pasien geriatri, terutama yang berkaitan dengan proses degeneratif.11

2.1.2 Managemen Perioperatif pada Pasien Geriatri


American College of Surgeons/American Geriatrics Society and British
Geriatrics Society melakukan beberapa pengkajian pada pasien yang melakukan
operasi diantaranya fungsi kognitif, depresi, fungsional, frailty, nutrisi,
kardiovaskular, dan respirasi.4,9
1. Status kognitif
Pemeriksaan ini akan memberikan gambaran kondisi baseline fungsi
kognitif pasien yang berguna untuk membantu penegakan diagnosis
postoperative cognitive dysfunction (POCD). Akan sangat sulit untuk
menegakkan diagnosis POCD tanpa mengetahui status kognitif awal pasien
saat sebelum operasi. Pemeriksaan kognitif sebelum operasi juga bermanfaat
untuk menentukan apakah pasien memiliki kemampuan pengambilan
keputusan. Klinisi perlu mengkonfirmasi apakah pasien dapat
mendeskripsikan kondisi medis yang sedang dialami, indikasi, keuntungan,

3
risiko, keuntungan dari tindakan dan tindakan alternatif, serta terapi
konservatif.4,9

2. Status depresi
Diperkirakan terdapat 7 juta populasi dewasa usia 65 tahun ke atas
atau sekitar 1 5-20% terkena depresi. Prevalensi ini meningkat di antara lansia
yang menjalani pembedahan. Kejadian depresi pasca operasi akan
berpengaruh terhadap munculnya kejadian delirium pascaoperasi. Namun
belum ada bukti yang mengkonfirmasi hubungan antara kejadian depresi
pasca operasi.9,10

3. Status nutrisi
European Society for Clinical Nutrition and Metabolism
menyarankan penggunaan Mini Nutritional Asessment (MNA) untuk
mengkaji status nutrisi yang telah tervalidasi dan telah digunakan secara luas
pada populasi geriatri. Selain MNA, short form MNA juga dapat digunakan
pada kondisi praoperasi. Status nutrisi yang buruk memiliki dampak pada
luaran pascaoperasi yang buruk. 9,10

4. Status fungsional
Status fungsional didefinisikan sebagai sejumlah perilaku yang
dibutuhkan untuk mempertahankan aktivitas seharihari, termasuk fungsi sosial
dan kognitif Pasien dengan ketergantungan pada orang lain akan dirawat lebih
lama di rumah sakit dan lebih sering mengalami komplikasi mayor
pascaoperasi (mortalitas, emboli paru, dan infark miokard). 9,10

5. Status Frailty (Kerentaan)


Kerentaan sering didefinisikan sebagai keadaan dimana terjadinya
penurunan dan kerentanan yang identic dengan terjadinya kelemahan d an
penurunan cadangan fisiologis pada orang usia lanjut. Kerentaan merupakan
sebuah kesatuan tersendiri dengan berbagai macam kemungkinan manifestasi

4
(tidak ada manifestasi tunggal) sehingga kerentaan didefinisikan sebagai
sebuah sindrom. Penelitian yang dialkukan oleh Oakland tahun 2016
menunjukkan pasien dengan status frailty memiliki resiko keatian yang lebih
besar.8,9,10

6. Status kardiovaskular
Suatu prosedur tindakan pembedahan nonkardiak dikategorikan
sebagai risiko rendah bila karakterisktik pasien dan tindakan digabung
memprediksi risiko major adverse cardiac event (MACE) kematian atau infark
miokard < 1 % . Prosedur tindakan dengan risiko MACE 1% termasuk dalam
tindakan yang meningkatkan risiko (elevated risk). Instrumen yang umum
digunakan untuk menilai risiko kardiak perioperatif adalah Revised Cardiac
Risk Index (RCRI). Pasien yang memiliki 0 atau 1 faktor risiko memiliki
risiko rendah MACE. Sementara itu, pasien dengan 2 prediktor memiliki
risiko MACE yang lebih tinggi. Prediktor yang termasuk dalam RCRI antara
lain riwayat penyakit jantung iskemik, riwayat gaga! jantung kongestif,
riwayat penyakit serebrovaskular, d iabetes mellitus, dan insufisiensi renal
(kreatinin >2 mg/ dL). Selain RCRI, kini telah dikembangkan instrumen
berupa kalkulator risiko berdasar dari database ACS NSQIP. Faktor lain
yangjuga dapat menjadi prediktor, yaitu usia >80 tahun, klasifikasi ASA = 4,
jenis kelamin perempuan, dan pembedahan emergensi.4

7. Status respirasi
Pengkajian status paru dan respirasi diperlukan agar dapat mencegah
komplikasi paru pascaoperasi. Pada pembedahan umum insidens komplikasi
paru pascaoperasi dilaporkan 5% dan meningkat menjadi 20% pada kelompok
yang menjalani prosedur risiko tinggi. Faktor risiko postoperative pulmonary
complications (PPC) menjadi rujukan yang paling sering digunakan pada
berbagai guidelines. 4,10

5
Perokok yang menjalani pembedahan nonkardiak akan mengalami
PPC 4 kali lipat dibandingkan dengan pasien yang bukan perokok. Merokok
mengganggu pembersihan trakeobronkial dengan merusak silia dan
meningkatkan sekresi dan konsistensi mukus. Merokok juga meningkatkan
kolaps dari alveolar sehingga akan risiko infeksi meningkat dan
memanjangnya penggunaan ventilasi mekanik. Berhenti merokok akan
menurunkan risiko PPC sebesar 20 % dan penting pada pasien dengan PPOK.
Manfaat dari berhenti merokok bergantung pada jumlah rokok yang telah
diisap, lama tidak merokok, usia saat mulai berhenti.4,9,10

2.1.3 Analgesia Perioperatif pada Geriatri


Ada banyak teknik dan pendekatan untuk analgesia, termasuk opioid
intravena, opioid oral, analgesik nonopioid, teknik regional (seperti blokade neuraxial
dan blok saraf perifer), dan metode alternatif (misalnya, akupunktur, terapi musik,
pijat, cryotherapy). Lansia khususnya sensitif terhadap analgesik opioid, dan
penggunaan obat-obatan di luar dosis minimum yang diperlukan untuk mencapai
analgesia yang memadai harus dihindari. Opioid dapat menyebabkan komplikasi
seperti disfungsi kognitif atau delirium; selain itu, orang dewasa yang lebih tua
beresiko lebih tinggi untuk gangguan hemodinamik dan pernapasan terkait dengan
analgesik opioid.1,4,12
American College of Surgeons merekomendasikan untuk manajemen
perioperative pada pasien lanjut usia diantaranya adalah dokter spesialis anestesi yang
menawarkan layanan analgesia perioperatif harus menyediakan, bekerja sama dengan
profesional perawatan kesehatan lainnya yang sesuai, pendidikan dan pelatihan yang
berkelanjutan untuk memastikan bahwa personel rumah sakit berpengetahuan dan
terampil sehubungan dengan penggunaan yang efektif dan aman dari opsi perawatan
yang tersedia dalam institusi, setiap pasien lansia harus diketahui riwayat nyerinya
dan dilakukan pemeriksaan fisik, rencana analgesik yang tepat harus dikembangkan

6
pada setiap pasien lansia sebelum operasi. Rencana ini harus bersifat multimodal dan
menyelesaikan hal-hal berikut:1,4,10
 Dititrasi dengan tepat untuk meningkatkan sensitivitas dan mengubah fisiologi
lansia.
 Sertakan farmakologis profilaksis gastrointestinal seperti pelunak tinja
(misalnya, docusate) dan pencahar stimulan (misalnya, pelunak tinja,
bisacodyl) bila sesuai.
 Hindari obat-obatan yang berpotensi tidak sesuai seperti yang didefinisikan
oleh kriteria American Geriatrics Society Beers (Barbiturates,
Benzodiazepines, eszopiclone, zolpidem, zaleplon, Pentazocine, Meperidine,
carisoprodol, chlorzoxazone, metaxalone, methocarbamol, orphenadrine,
Non-Cox NSAIDs)
 Menggunakan teknik hemat opioid atau penambahan teknik regional seperti
blokade neuraxial atau blok saraf perifer.

Teknik regional dapat ditambahkan ke rencana perioperatif sebagai cara untuk


meningkatkan kontrol nyeri, hindari opioid. Banyak anestesi epidural termasuk dosis
rendah local agen anestesi, yang dapat menyebabkan blokade simpatik. Efek dari
blokade seperti itu bisa saja berlebihan pada pasien lansia. Blok saraf perifer dapat
berguna pada banyak pasien lansia, terutama yang menjalani prosedur ortopedi.
Secara umum, penghambat system saraf ini dapat menghasilkan skor nyeri yang lebih
baik, berkurangnya jumlah sedasi, dan mengurangi penggunaan obat opioid bila
dibandingkan dengan opioid sistemik.4

Mual dan muntah adalah salah satu komplikasi paling umum pasca operasi.
Dengan hal itu, American College of Surgery merekomendasikan beberapa obat yang
digunakan dan yang harus dihindari pada penanganan pasien lansia pada saat
prosedur operasi berlangsung. 5-HT3 receptor antagonists contohnya seperti

7
ondansetron digunakan sebagai alternative dengan memperhatikan efek sindrom
serotonin dan perpanjangan gelombang QT. Metoclopramide digunakan hanya untuk
gastroparesis selain itu harus dihindari untuk memcegah efek ekstrapiramidal pada
lansia yang renta. Obat lainnya yang harus dihindari dan tidak digunakana adalah
promethazine, procholperazine dan transdermal scopolamine.4

2.1.4 Temperature selama prosedur operasi


Hampir semua anestesi bisa menghambat fungsi termoregulatori, baik secara
sentral maupun melalui tindakan vasodilatasi langsung, yang diperburuk oleh
lingkungan ruang operasi yang dingin. Meskipun hipotermia menjadi perhatian pada
setiap pasien selama intraoperatif, lansia khususnya cenderung mengalami hipotermia
karena perubahan termoregulasi dari penurunan massa otot, laju metabolisme, dan
reaktivitas vascular. Hipotermia dikaitkan dengan efek samping pada pasien bedah,
termasuk infeksi di tempat bedah, komplikasi pada jantung, koagulopati yang
menyebabkan perdarahan, dan peningkatan konsumsi oksigen akibat gemetaran. Hal
yang harus diperhatikan selam prosedur bedah berlangsung adalah:4
 Temperatur pasien harus dipantau dalam operasi yang berlangsung lebih dari
30 menit.
 Penghangat udara paksa dan / atau cairan infus yang dipanaskan harus
digunakan pada pasien lansia yang sedang menjalani prosedur lebih dari 30
menit untuk menghindari hipotermia.

2.2 Manajemen Perioperatif Penderita Hipertensi


2.2.1 Induksi Anestesi
Induksi anestesia dan intubasi endotrakea sering menimbulkan goncangan
hemodinamik pada pasien hipertensi. Saat induksi sering terjadi hipotensi namun saat
intubasi sering menimbulkan hipertensi. Hipotensi diakibatkan vasodilatasi perifer
terutama pada keadaan kekurangan volume intravaskuler sehingga preloading cairan

8
penting dilakukan untuk tercapainya normovolemia sebelum induksi. Disamping itu
hipotensi juga sering terjadi akibat depresi sirkulasi karena efek dari obat anestesi dan
efek dari obat antihipertensi yang sedang dikonsumsi oleh penderita, seperti ACE
inhibitor dan angiotensin receptor blocker.5,6,7
Hipertensi yang terjadi biasanya diakibatkan stimulus nyeri karena
laringoskopi dan intubasi endotrakea yang bias menyebabkan takikardia dan dapat
menyebabkan iskemia miokard. Angka kejadian hipertensi akibat tindakan
laringoskopi-intubasi endotrakea bisa mencapai 25%. Dikatakan bahwa durasi
laringoskopi dibawah 15 detik dapat membantu meminimalkan terjadinya fluktuasi
hemodinamik Beberapa teknik dibawah ini bias dilakukan sebelum tindakan
laringoskopi-intubasi untuk menghindari terjadinya hipertensi. 6,7

1. Dalamkan anestesia dengan menggunakan gas volatile yang poten selama 5-


10 menit.
2. Berikan opioid (fentanil 2,5-5 mikrogram/kgbb, alfentanil 15-25
mikrogram/kgbb, sufentanil 0,25-0,5 mikrogram/kgbb, atau ramifentanil 0,5-1
mikrogram/ kgbb).
3. Berikan lidokain 1,5 mg/kgbb intravena atau intratrakea.
4. Menggunakan beta-adrenergik blockade dengan esmolol 0,3-1,5 mg/kgbb,
propanolol 1-3 mg, atau labetatol 5-20 mg).
5. Menggunakan anestesia topikal pada airway.

Pemilihan obat induksi untuk penderita hipertensi adalah bervariasi untuk


masing-masing klinisi. Propofol, barbiturate, benzodiazepine dan etomidat tingkat
keamanannya adalah sama untuk induksi pada penderita hipertensi Untuk pemilihan
pelumpuh otot vekuronium atau cis-atrakurium lebih baik dibandingkan atrakurium
atau pankuronium. Untuk volatile, sevofluran bisa digunakan sebagai obat induksi
secara inhalasi.7

9
2.2.2 Pemeliharaan Anestesia dan Monitoring
Tujuan pencapaian hemodinamik yang diinginkan selama pemeliharaan
anestesia adalah meminimalkan terjadinya fluktuasi TD yang terlalu lebar.
Mempertahankan kestabilan hemodinamik selama periode intraoperatif adalah sama
pentingnya dengan pengontrolan hipertensi pada periode preoperatif. Pada hipertensi
kronis akan menyebabkan pergeseran autoregulasi kekanan dari serebral dan ginjal.
Sehingga pada penderita hipertensi ini akan mudah terjadi penurunan aliran darah
serebral dan iskemia serebral jika TD diturunkan secara tiba-tiba. Terapi jangka
panjang dengan obat antihipertensi akan menggeser kembali kurva autregulasi kekiri
kembali ke normal. Dikarenakan kita tidak bisa mengukur autoregulasi serebral
sehingga ada beberapa acuan yang sebaiknya diperhatikan, yaitu:7

1. Penurunan MAP sampai dengan 25% adalah batas bawah yang maksimal
yang dianjurkan untuk penderita hipertensi.
2. Penurunan MAP sebesar 55% akan menyebabkan timbulnya gejala
hipoperfusi otak
3. Terapi dengan antihipertensi secara signifikan menurunkan angka kejadian
stroke
4. Pengaruh hipertensi kronis terhadap autoregulasi ginjal, kurang lebih sama
dengan yang terjadi pada serebral.

Anestesia aman jika dipertahankan dengan berbagai teknik tapi dengan


memperhatikan kestabilan hemodinamik yang kita inginkan. Anestesia dengan
volatile (tunggal atau dikombinasikan dengan N2O), anestesia imbang (balance
anesthesia) dengan opioid + N2O + pelumpuh otot, atau anestesia total intravena
digunakan untuk pemeliharaan anesthesia. Anestesia regional dapat dipergunakan
sebagai teknik anesthesia, namun perlu diingat bahwa anestesia regional sering
menyebabkan hipotensi akibat blok simpatis dan ini sering dikaitkan pada pasien
dengan keadaan hipovolemia. Jika hipertensi tidak berespon terhadap obat-obatan

10
yang direkomendasikan, penyebab yang lain harus dipertimbangkan seperti
phaeochromacytoma, carcinoid syndrome dan tyroid storm. Kebanyakan penderita
hipertensi yang menjalani tindakan operasi tidak memerlukan monitoring yang
khusus. Monitoring intra-arterial secara langsung diperlukan terutama untuk jenis
operasi yang menyebabkan perubahan preload dan afterload yang mendadak. EKG
diperlukan untuk mendeteksi terjadinya iskemia jantung. Produksi urine diperlukan
terutama untuk penderita yang mengalami masalah dengan ginjal, dengan
pemasangan kateter urine, untuk operasi-operasi yang lebih dari 2 jam. Kateter vena
sentral diperlukan terutama untuk memonitoring status cairan pada penderita yang
mempunyai disfungsi ventrikel kiri atau adanya kerusakan end organ yang lain.6,9

11
BAB III
PENUTUP
Usia tidak dapat menjadi kriteria eksklusi tunggal bagi pasien usia lanjut yang
akan menjalani pembedahan. Konsultasi prabedah dan praanestesi yang hanya
berdasar pada klasifikasi status fisik ASA (American Society of Anesthesiologist),
riwayat penyakit, dan pemeriksaan fisik hanya memperoleh sedikit informasi
mengenai kondisi pasien geriatri. Disisi lain dengan bertambahnya usia seseorang
maka fungsi fisiologis tubuh dapat berubah. Kejadian hipertensi meningkat seiring
dengan bertambahnya usia seseorang. Hipertensi sendiri merupakan faktor risiko
mayor yang dapat menyebabkan terjadinya komplikasi seperti penyakit penyakit
jantung, serebral, ginjal dan vaskuler. Mengingat tingginya angka kejadian dan
komplikasi yang bisa ditimbulkan oleh penyakit hipertensi ini, maka perlu adanya
pemahaman para ahli anestesia dalam manajemen selama periode perioperatif.
Manajemen perioperatif dimulai sejak evaluasi prabedah, selama operasi dan
dilanjutkan sampai periode pasca bedah. Evaluasi prabedah sekaligus optimalisasi
keadaan penderita sangat penting dilakukan untuk meminimalkan. terjadinya
komplikasi, baik yang terjadi selama intraoperatif maupun yang terjadi pada pasca
pembedahan

12
Daftar Pustaka
1. Cao, X., White, P. F., & Ma, H. (2017). Perioperative Care of Elderly Surgical
Outpatients. Drugs & Aging. https://doi.org/10.1007/s40266-017-0485-3

2. Codère-maruyama, T., & Moore, A. (2018). Anesthesia in the Elderly Patient


Undergoing Otolaryngology Head and Neck Surgery. Clinics in Geriatric
Medicine, 1–10. https://doi.org/10.1016/j.cger.2018.01.005

3. Fleury, A., Mcgowan, B., & Wullschleger, M. (2018). Establishing a successful


perioperative geriatric service in an Australian acute surgical unit Lauren.
https://doi.org/10.1111/ans.14411

4. Guideline, B. P., Nsqip, A. C. S., & Society, A. G. (2016). OPTIMAL


PERIOPERATIVE MANAGEMENT OF THE GERIATRIC PATIENT : Best
Practices Guideline from ACS NSQIP ® / American Geriatrics Society.

5. K, S. P., & Subramaniam, B. (2018). Optimal Perioperative Blood Pressure


Management. Advances in Anesthesia, 1–13.
https://doi.org/10.1016/j.aan.2018.07.003

6. Lapage, K. G., & Wouters, P. F. (2016). The patient with hypertension undergoing
surgery. https://doi.org/10.1097/ACO.0000000000000343

7. Morgan GE, Michail MS, Murray MJ. Anesthesia for patients with cardiovaskular
disease. Clinical Anesthesiology. 4th ed. New York: McGraw-Hill; 2006.p.444-
52.

8. Oakland, K., Nadler, R., Cresswell, L., Jackson, D., & Coughlin, P. A. (2016).
Systematic review and meta-analysis of the association between frailty and
outcome in surgical patients, 80–85. https://doi.org/10.1308/rcsann.2016.0048

9. Payton, P. (2019). Perioperative Understanding of Geriatric P a t ients. Clinics in


Podiatric Medicine and Surgery, 36(1), 131–140.
https://doi.org/10.1016/j.cpm.2018.08.006

10.Schlitzkus, L. L., Melin, A. A., & Schenarts, P. J. (2015). Perioperative


Management of Elderly Patients. Surgical Clinics of NA, 1–25.
https://doi.org/10.1016/j.suc.2014.12.001

11. Situasi Lanjut Usia (Lansia) di Indonesia. InfoDATIN: Pusat Data dan Informasi
Kementrian Kesehatan RI, 2016.

13
12. Wang, K., Shen, J., Jiang, D., Xing, X., Zhan, S., & Wang, K. (2019). Expert
Opinion on Drug Safety Development of a list of high-risk perioperative
medications for the elderly : a Delphi method Development of a list of high-risk
perioperative medications for the elderly : a Delphi method. Expert Opinion on
Drug Safety, 18(9), 1–7. https://doi.org/10.1080/14740338.2019.1629416

14

Anda mungkin juga menyukai