Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

Miastenia gravis adalah penyakit yang menyerang hubungan antara sistem saraf (nervus)

dan sistem otot (muskulus). Penyakit miastenis gravis ditandai dengan kelemahan dan kelelahan

pada beberapa atau seluruh otot, dimana kelemahan tersebut diperburuk dengan aktivitas terus

menerus atau berulang-ulang. Miastenia gravis adalah penyakit autoimun yang menyerang

neuromuskular juction ditandai oleh suatu kelemahan otot dan cepat lelah akibat adanya antibodi

terhadap reseptor asetilkolin (AchR) sehingga jumlah AchR di neuromuskular juction berkurang
(1, 2)
.

Myasthenia Gravis jarang ditemui. Angka kejadian Myasthenia Gravis adalah 1 dari

20.000 orang. Biasanya penyakit ini menyerang orang berusia 20-50 tahun. Wanita lebih sering

menderita penyakit ini. Rasio perbandingan pria dan wanita adalah 6:4 (2).

Tujuan penulisan referat ini adalah untuk menambah wawasan mengenai modalitas

fisioterapi pada pasien dengan Myasthenia Gravis.

Adapun isi dari referat ini adalah definisi, epidemiologi, etiologi, klasifikasi, gejala klinis,

patofisiologi, penegakan diagnosis, diagnosis banding, penatalaksanaan, dan prognosis.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Miastenia gravis adalah penyakit yang menyerang hubungan antara sistem saraf

(nervus) dan sistem otot (muskulus). Penyakit miastenis gravis ditandai dengan kelemahan

dan kelelahan pada beberapa atau seluruh otot, dimana kelemahan tersebut diperburuk

dengan aktivitas terus menerus atau berulang-ulang. Miastenia gravis adalah penyakit

autoimun yang menyerang neuromuskular juction ditandai oleh suatu kelemahan otot dan

cepat lelah akibat adanya antibodi terhadap reseptor asetilkolin (AchR) sehingga jumlah

AchR di neuromuskular juction berkurang (1, 2).

2.2 Epidemiologi

Myasthenia Gravis jarang ditemui. Angka kejadian Myasthenia Gravis adalah 1

dari 20.000 orang. Biasanya penyakit ini menyerang orang berusia 20-50 tahun. Wanita

lebih sering menderita penyakit ini. Rasio perbandingan pria dan wanita adalah 6:4. Pada

wanita, penyakit ini tampak pada usia yang lebih muda yaitu sekitar 28 tahun; sedangkan

pada pria, penyakit ini sering terjadi pada usia 42 tahun. Insiden miastenia gravis pada

anak-anak 0,9 – 2,0 kasus per 1 juta anak tiap tahun pada populasi pediatrik usia 0 – 17

tahun di Kanada dari tahun 2010 hingga 2011. Angka yang lebih tinggi didapatkan di

Amerika Utara, yaitu 9,1 per 1 juta penduduk. Sebanyak 4,2% terjadi pada usia 0 – 9 tahun

dan 9,5% pada usia 9 – 19 tahun. Miastenia gravis tipe okuler lebih banyak pada ras Asia,

sedangkan tipe generalisata lebih banyak pada ras Eropa dan Amerika (2).
2.3 Etiologi

Penyebab MG yang paling umum adalah perkembangan abnormal dari bagian-

bagian imunologis (epitop) di dalam maupun sekitar AChR nicotinik pada postsynaptic

endplate regio neuromuscular junction. Antibodi AChR memicu terjadinya degradasi

imun dari AChR dan membran postsinaptik. Hilangnya AchRs fungsional dalam jumlah

besar dapat menyebabkan berkurangnya jumlah serat otot yang berdepolarisasi selama

aktivasi terminal nervus motorik, mengakibatkan panurunan aksi potensial otot dan

kontraksi serat otot yang penting. Adanya hambatan pada tranmisi neuromuskular dapat

menyebabkan kelemahan secara klinis apabila jumlah serat yang rusak besar(1).

Pasien yang negatif untuk antibodi anti-ACHR mungkin seropositif untuk

antibodi terhadap MuSK (Muscle-Specific Kinase). Biopsi otot pada pasien ini

menunjukkan tanda-tanda miopati dengan kelainan mitokondria menonjol yang

bertentangan dengan fitur neurogenik dan atrofi sering ditemukan pada pasien positif MG

untuk anti-ACHR. Penurunan mitokondria bisa menjelaskan keterlibatan anti MuSK

positif MG okulobulbar(1).

Sejumlah temuan telah dikaitkan dengan MG, seperti perempuan dan orang

dengan leukosit antigen tertentu manusia (HLA) memiliki kecenderungan genetik

terhadap penyakit autoimun. Profil histokompatibilitas kompleks meliputi HLA-B8,

HLA-DRw3, dan HLA-DQw2 (meskipun ini belum terbukti berhubungan dengan bentuk

MG okular). Penyakit SLE dan RA mungkin berhubungan dengan MG. Sensitisasi

terhadap antigen asing yang memiliki reaktivitas silang dengan reseptor AcH nikotinat

telah diusulkan sebagai penyebab miastenia gravis, tetapi antigen pemicu belum

diidentifikasi(1).
Berbagai obat dapat menyebabkan atau memperburuk gejala MG, termasuk yang

berikut: Antibiotik (misalnya aminoglikosida, polymyxins, siprofloksasin, eritromisin,

dan ampisilin); Penisilamin - Ini dapat menyebabkan miastenia sejati, dengan tingginya

titer antibodi anti-ACHR terlihat pada 90% kasus, namun, kelemahan ringan dan

pemulihan penuh dicapai seminggu sampai sebulan setelah penghentian obat; Beta-

adrenergik reseptor blocking agen (misalnya, propranolol dan oxprenolol); Lithium;

Magnesium; Procainamide; Verapamil; Quinidine; Klorokuin; Prednisone; Timolol

(yaitu, agen beta-blocking topikal digunakan untuk glaukoma); Antikolinergik (misalnya,

trihexyphenidyl); Agen blocking neuromuscular (misalnya, vecuronium dan curare)

harus digunakan dengan hati-hati pada pasien MG untuk menghindari blokade

neuromuskuler yang berkepanjangan; dan Nitrofurantoin juga telah dikaitkan dengan

perkembangan MG okular; penghentian pemberian obat mengakibatkan pemulihan

lengkap (1).

2.4 Patofisiologi

Observasi klinik yang mendukung hal ini mencakup timbulnya kelainan autoimun

yang terkait dengan pasien yang menderita miastenia gravis, misalnya autoimun tiroiditis,

sistemik lupus eritematosus, arthritis rheumatoid, dan lain-lain.Sehingga mekanisme

imunogenik memegang peranan yang sangat penting pada patofisiologi miastenia gravis.

Hal inilah yang memegang peranan penting pada melemahnya otot penderita

dengan miatenia gravis. Sejak tahun 1960, telah didemonstrasikan bagaimana autoantibodi

pada serum penderita miastenia gravis secara langsung melawan konstituen pada otot.

Tidak diragukan lagi, bahwa antibodi pada reseptor nikotinik asetilkolin merupakan
penyebab utama kelemahan otot pasien dengan miastenia gravis. Autoantibodi terhadap

asetilkolin reseptor (anti-AChRs), telah dideteksi pada serum 90% pasien yang menderita

acquired myasthenia gravis generalisata.

Miastenia gravis dapat dikatakan sebagai “penyakit terkait sel B”, dimana antibodi

yang merupakan produk dari sel B justru melawan reseptor asetilkolin. Peranan sel T pada

patogenesis miastenia gravis mulai semakin menonjol. Walaupun mekanisme pasti tentang

hilangnya toleransi imunologik terhadap reseptor asetilkolin pada penderita miastenia

gravis belum sepenuhnya dapat dimengerti. Timus merupakan organ sentral terhadap

imunitas yang terkait dengan sel T, dimana abnormalitas pada timus seperti hiperplasia

timus atau timoma, biasanya muncul lebih awal pada pasien dengan gejala miastenik.

Subunit alfa juga merupakan binding site dari asetilkolin. Sehingga pada pasien miastenia

gravis, antibodi IgG dikomposisikan dalam berbagai subklas yang berbeda, dimana satu

antibodi secara langsung melawan area imunogenik utama pada subunit alfa.Ikatan antibodi

reseptor asetilkolin pada reseptor asetilkolin akan mengakibatkan terhalangnya transmisi

neuromuskular melalui beberapa cara, antara lain: ikatan silang reseptor asetilkolin

terhadap antibodi anti-reseptor asetilkolin dan mengurangi jumlah reseptor asetilkolin

padaneuromuscular junction dengan cara menghancurkan sambungan ikatan pada membran

post sinaptik, sehingga mengurangi area permukaan yang dapat digunakan untuk insersi

reseptor-reseptor asetilkolin yang baru disintesisa.


2.5 Gejala Klinis (1)

Penyakit Miastenia gravis ditandai dengan adanya kelemahan dan kelelahan.

Kelemahan otot terjadi seiring dengan penggunaan otot secara berulang, dan semakin berat

dirasakan di akhir hari. Gejala ini akan menghilang atau membaik dengan istirahat.

Kelompok otot-otot yang melemah pada penyakit miastenis gravis memiliki pola yang

khas. Pada awal terjadinya Miastenia gravis, otot kelopak mata dan gerakan bola mata

terserang lebih dahulu. Akibat dari kelumpuhan otot-otot tersebur, muncul gejala berupa

penglihatan ganda (melihat benda menjadi ada dua atau disebut diplopia) dan turunnya

kelopak mata secara abnormal (ptosis).

Gambar 1. Ptosis Pada Miastenia gravis Generalisata: A. Kelopak mata tidak


simetris,kiri lebih rendah dari kanan dan B. Setelah menatap 30 detik ptosis
semakin bertambah.

Miastenia gravis dapat menyerang otot-otot wajah, dan menyebabkan penderita

menggeram saat berusaha tersenyum serta penampilan yang seperti tanpa ekspresi.

Penderita juga akan merasakan kelemahan dalam mengunyah dan menelan makanan

sehingga berisiko timbulnya regurgitasi dan aspirasi. Selain itu, terjadi gejala gangguan
dalam berbicara, yang disebabkan kelemahan dari langit-langit mulut dan lidah. Sebagian

besar penderita Miastenia gravis akan mengalami kelemahan otot di seluruh tubuh,

termasuk tangan dan kaki. Kelemahan pada anggota gerak ini akan dirasakan asimetris.

Bila seorang penderita Miastenia gravis hanya mengalami kelemahan di daerah mata

selama 3 tahun, maka kemungkinan kecil penyakit tersebut akan menyerang seluruh tubuh.

Penderita dengan hanya kelemahan di sekitar mata disebut Miastenia gravis okular.

Penyakit Miastenia gravis dapat menjadi berat dan membahayakan jiwa. Miastenia gravis

yang berat menyerang otot-otot pernafasan sehingga menimbuilkan gejala sesak nafas. Bila

sampai diperlukan bantuan alat pernafasan, maka penyakit Miastenia gravis tersebut

dikenal sebagai krisis Miastenia gravis atau krisis miastenik. Umumnya krisis miastenik

disebabkan karena adanya infeksi pada penderita Miastenia gravis.

Secara umum, gambaran klisnis Miastenia yaitu:

1. Kelemahan otot yang progresif pada penderita

2. Kelemahan meningkat dengan cepat pada kontraksis otot yang berulang

3. Pemulihan dalam beberapa menit atau kurang dari satu jam, dengan istirahat

4. Kelemahan biasanya memburuk menjelang malam

5. Otot mata sering terkena pertama (ptosis, diplopia), atau otot faring lainnya

(disfagia, suara sengau)

6. Kelemahan otot yang berat berbeda pada setiap unit motorik

7. Kadang-kadang, kekuatan otot tiba-tiba memburuk

8. Tidak ada atrofi atau fasikulasi


2.6 Klasifikasi (1,2)

2.6.1 The Myastenia Gravis Foundation of America (MGFA) Classification

Klasifikasi menurut The Medical Scientific Advisory Board (MSAB) of the

Miastenia Gravis Foundation of America (MGFA) membagi miastenia gravis menjadi 5

kelas utama dan beberapa subclass, sebagai berikut:

 Kelas I: adanya keluhan otot-otot ocular, kelemahan pada saat menutup mata dan

kekuatan otot-otot lain normal.

 Kelas II: terdapat kelemahan otot ocular yang semakin parah, serta adanya

kelemahan ringan pada otot-otot lain selain otot ocular.

o Kelas II a: mempengaruhi otot-otot aksial, anggota tubuh, atau keduanya;

juga terdapat kelemahan otot-otot orofaringeal yang ringan.

o Kelas II b: mempengaruhi otot-otot orofaringeal, otot pernapasan atau

keduanya. Kelemahan pada otot-otot anggota tubuh dan otot-otot aksial

lebih ringan dibandingkan kelas II a.

 Kelas III : terdapat kelemahan yang berat pada otot-otot ocular, sedangkan otot-otot

lain selain otot-otot ocular mengalami kelemahan tingkat sedang.

o Kelas III a: mempengaruhi otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial atau

keduanya secara predominan. Terdapat kelemahan otot orofaringeal yang

ringan

o Kelas III b: mempengaruhi otot faringeal, otot-otot pernapasan, atau

keduanya secara predominan. Terdapatnya kelemahan otot-otot anggota

tubuh, otot-otot aksial. Otot orofaringeal mengalami kelemahan dalam

derajat ringan
 Kelas IV: otot-otot selain otot-otot ocular mengalami kelemahan dalam derajat yang

berat, sedangkan otot-otot ocular mengalami kelemahan dalam berbagai derajat

o Kelas IV a: secara predominan mempengaruhi otot-otot anggota tubuh dan

atau otot-otot aksial. Otot orofaringeal mengalami kelemahan dalam derajat

ringan

o Kelas IV b: mempengaruhi otot orofaringeal, otot-otot pernapasan atau

keduanya secara predominan. Selain itu juga terdapat kelemahan pada otot-

otot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau keduanya dengan derajat ringan.

Penderita menggunakan feeding tube tanpa dilakukan intubasi.

 Kelas V: penderita terintubasi dengan atau tanpa ventilasi mekanik.

2.6.2 Osserman Classification

Osserman Classification digunakan untuk menilai tingkat respon terhadap terapi

dan prognosis. Klasifikasi Osserman adalah sebagai berikut:

 Kelompok I Miastenia Okular : hanya menyerang otot-otot okular, disertai ptosis

dan diplopia. Sangat ringan dan tidak ada kasus kematian (15-20 %)

 Kelompok II A : Miastenia umum ringan : progres lambat, biasanya pada mata ,

lambat laun menyebar ke otot-otot rangka dan bulbar. Sistem pernafasan tidak

terkena, respon terhadap terapi obat baik angka kematian rendah (30 %)

 Kelompok II B : Miastenia umum sedang : progres bertahap dan sering disertai

gejala-gejala okular, lalau berlanjut semakin berat dengan terserangnya otot-otot

rangka dan bulbar. Respon terhadap terapi obat kurang memuaskan dan aktivitas

pasien terbatas (25 %).


 Kelompok III: Miastenia fulminan akut : progres yang cepat dengan kelemahan

otot-otot rangka dan bulbar yang berat disertai mulai terserangnya otot-otot

pernafasan. Biasanya penyakit berkembang maksimal dalam waktu 6 bulan. Dalam

kelompok ini, persentase thymoma paling tinggi. Respon terhadap obat buruk dan

angka kematian tinggi (15%).

 Kelompok IV : Miastenia Berat lanjut : timbul paling sedikit 2 tahun sesudah

progress gejala-gejala kelompok I atau II. Respon terhadap obat dan prognosis

buruk (10 %).

2.7 Diagnosis

Diagnosis Miastenia gravis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis dan

pemeriksaan fisik yang khas, tes antikolinesterase, EMG, serologi untuk antibodi AchR dan

CT-Scan atau MRI toraks untuk melihat adanya timoma.

Dari anamnesis didapatkan adanya kelemahan/ kelumpuhan otot yang berulang

setelah aktivitas dan membaik setelah istirahat. Tersering menyerang otot-otot mata

(dengan manifestasi: diplopi atau ptosis), dapat disertai kelumpuhan anggota badan

(terutama triceps dan ekstensor jari-jari), kelemahan/kelumpuhan otot-otot yang dipersarafi

oleh nervi cranialis, dpat pula mengenai otot pernafasan yang menyebabkan penderita bisa

sesak.

Pemeriksaan fisik yang cermat harus dilakukan untuk menegakkan diagnosis suatu

miastenia gravis. Kelemahan otot dapat muncul menghinggapi bagian proksimal dari tubuh

serta simetris di kedua anggota gerak kanan dan kiri. Walaupun dalam berbagai derajat

yang berbeda, biasanya refleks tendon masih ada dalam batas normal. Kelemahan otot
wajah bilateral akan menyebabkan timbulnya myasthenic sneer dengan adanya ptosis dan

senyum yang horizontal dan miastenia gravis biasanya selalu disertai dengan adanya

kelemahan pada otot wajah.

Pada pemeriksaan fisik, terdapat kelemahan otot-otot palatum, yang menyebabkan

suara penderita seperti berada di hidung (nasal twang to the voice) serta regurgitasi

makanan terutama yang bersifat cair ke hidung penderita. Selain itu, penderita miastenia

gravis akan mengalami kesulitan dalam mengunyah serta menelan makanan, sehingga

dapat terjadi aspirasi cairan yang menyebabkan penderita batuk dan tersedak saat minum.

Kelemahan otot bulbar juga sering terjadi pada penderita dengan miastenia gravis. Ditandai

dengan kelemahan otot-otot rahang pada miastenia gravis yang menyebakan penderita sulit

untuk menutup mulutnya, sehingga dagu penderita harus terus ditopang dengan tangan.

Otot-otot leher juga mengalami kelemahan, sehingga terjadi gangguan pada saat fleksi serta

ekstensi dari leher.

Otot-otot anggota tubuh atas lebih sering mengalami kelemahan dibandingkan otot-

otot anggota tubuh bawah. Musculus deltoid serta fungsi ekstensi dari otot-otot pergelangan

tangan serta jari-jari tangan sering kali mengalami kelemahan. Otot trisep lebih sering

terpengaruh dibandingkan otot bisep.Pada ekstremitas bawah, sering kali terjadi kelemahan

melakukan dorsofleksi jari-jari kaki dibandingkan dengan melakukan plantarfleksi jari-jari

kaki dan saat melakukan fleksi panggul.

Hal yang paling membahayakan adalah kelemahan otot-otot pernapasan yang dapat

menyebabkan gagal napas akut, dimana hal ini merupakan suatu keadaan gawat darurat dan

tindakan intubasi cepat sangat diperlukan. Kelemahan otot-otot faring dapat menyebabkan

kolapsnya saluran napas atas dan kelemahan otot-otot interkostal serta diafragma dapat
menyebabkan retensi karbondioksida sehingga akan berakibat terjadinya hipoventilasi.

Sehinggga pengawasan yang ketat terhadap fungsi respirasi pada pasien miastenia gravis

fase akut sangat diperlukan.

Kelemahan sering kali mempengaruhi lebih dari satu otot ekstraokular, dan tidak

hanya terbatas pada otot yang diinervasi oleh satu nervus kranialis. Serta biasanya

kelemahan otot-otot ekstraokular terjadi secara asimetris. Hal ini merupakan tanda yang

sangat penting untuk mendiagnosis suatu miastenia gravis. Kelemahan pada muskulus

rektus lateralis dan medialis akan menyebabkan terjadinya suatu pseudointernuclear

ophthalmoplegia, yang ditandai dengan terbatasnya kemampuan adduksi salah satu mata

yang disertai nistagmus pada mata yang melakukan abduksi.

Untuk penegakan diagnosis miastenia gravis, dapat dilakukan pemeriksaan dengan

cara penderita ditugaskan untuk menghitung dengan suara yang keras. Lama kelamaan

akan terdengar bahwa suaranya bertambah lemah dan menjadi kurang terang. Penderita

menjadi anartris dan afonis. Setelah itu, penderita ditugaskan untuk mengedipkan matanya

secara terus-menerus dan lama kelamaan akan timbul ptosis. Setelah suara penderita

menjadi parau atau tampak ada ptosis, maka penderita disuruh beristirahat.. Kemudian

tampak bahwa suaranya akan kembali baik dan ptosis juga tidak tampak lagi. Untuk

memastikan diagnosis miastenia gravis, dapat dilakukan beberapa tes antara lain:

1. Tes klinik sederhana:

a). Tes watenberg/simpson test : memandang objek di atas bidang antara kedua bola mata >

30 detik, lama-kelamaan akan terjadi ptosis (tes positif).

b). Tes pita suara : penderita disuruh menghitung 1-100, maka suara akan menghilang

secara bertahap (tes positif).


2. Uji Tensilon (edrophonium chloride)

Untuk uji tensilon, disuntikkan 2 mg tensilon secara intravena, bila tidak terdapat reaksi

maka disuntikkan lagi sebanyak 8 mg tensilon secara intravena. Segera setelah tensilon

disuntikkan kita harus memperhatikan otot-otot yang lemah seperti misalnya kelopak mata

yang memperlihatkan adanya ptosis. Bila kelemahan itu benar disebabkan oleh miastenia

gravis, maka ptosis itu akan segera lenyap. Pada uji ini kelopak mata yang lemah harus

diperhatikan dengan sangat seksama, karena efektivitas tensilon sangat singkat.

3. Uji Prostigmin (neostigmin)

Pada tes ini disuntikkan 3 cc atau 1,5 mg prostigmin methylsulfat secara intramuskular

(bila perlu, diberikan pula atropin ¼ atau ½ mg). Bila kelemahan itu benar disebabkan oleh

miastenia gravis maka gejala-gejala seperti misalnya ptosis, strabismus atau kelemahan lain

tidak lama kemudian akan lenyap.

4. Elektrodiagnostik

Pemeriksaan elektrodiagnostik dapat memperlihatkan defek pada transmisi neuro muscular

melalui 2 teknik :

a) Single-fiber Electromyography (SFEMG)

SFEMG mendeteksi adanya defek transmisi pada neuromuscular fiber berupa peningkatan

titer dan fiber density yang normal. Karena menggunakan jarum single-fiber, yang

memiliki permukaan kecil untuk merekam serat otot penderita, sehingga SFEMG dapat

mendeteksi suatu titer (variabilitas pada interval interpotensial diantara 2 atau lebih serat

otot tunggal pada motor unit yang sama) dan suatu fiber density (jumlah potensial aksi dari

serat otot tunggal yang dapat direkam oleh jarum perekam).


b) Repetitive Nerve Stimulation (RNS)

Pada penderita Miastenia gravis terdapat penurunan jumlah reseptor asetilkolin, sehingga

pada RNS terdapat adanya penurunan suatu potensial aksi.

5. Laboratorium

a) Antistriated muscle (anti-SM) antibody

Tes ini menunjukkan hasil positif pada sekitar 84% pasien yang menderita timoma

dalam usia kurang dari 40 tahun. Sehingga merupakan salah satu tes yang penting pada

penderita miastenia gravis. Pada pasien tanpa timoma anti-SM Antibodi dapat

menunjukkan hasil positif pada pasien dengan usia lebih dari 40 tahun.

b) Anti-muscle-specific kinase (MuSK) antibodies.

Hampir 50% penderita miastenia gravis yang menunjukkan hasil anti-AChR Ab

negatif (miastenia gravis seronegarif), menunjukkan hasil yang positif untuk anti-MuSK

Ab.

c) Antistriational antibodies

Antibodi ini bereaksi dengan epitop pada reseptor protein titin dan ryanodine

(RyR). Antibodi ini selalu dikaitkan dengan pasien timoma dengan miastenia gravis pada

usia muda. Terdeteksinya titin/RyR antibody merupakan suatu kecurigaaan yang kuat akan

adanya timoma pada pasien muda dengan miastenia gravis.Hal ini disebabkan dalam serum

beberapa pasien dengan miastenia gravis menunjukkan adanya antibodi yang berikatan

dalam pola cross-striational pada otot rangka dan otot jantung penderita.
d) Anti-asetilkolin reseptor antibodi

Hasil dari pemeriksaan ini dapat digunakan untuk mendiagnosis suatu miastenia

gravis, dimana terdapat hasil yang postitif pada 74% pasien. 80% dari penderita miastenia

gravis generalisata dan 50% dari penderita dengan miastenia okular murni menunjukkan

hasil tes anti-asetilkolin reseptor antibodi yang positif. Pada pasien timoma tanpa miastenia

gravis sering kali terjadi false positive anti-AChR antibody.

6. Gambaran Radiologi

Dapat dilakukan dalam posisi anteroposterior dan lateral. Pada roentgen thorak,

thymoma dapat diidentifikasi sebagai suatu massa pada bagian anterior mediastinum. Hasil

roentgen yang negatif belum tentu dapat menyingkirkan adanya thymoma ukuran kecil,

sehingga terkadang perlu dilakukan chest Ct-scan untuk mengidentifikasi thymoma pada

semua kasus Miastenia gravis, terutama pada penderita dengan usia tua. MRI pada otak dan

orbita sebaiknya tidak digunakan sebagai pemeriksaan rutin. MRI dapat digunakan apabila

diagnosis Miastenia gravis tidak dapat ditegakkan dengan pemeriksaan penunjang lainnya

dan untuk mencari penyebab defisit pada saraf otak.

2.8 Diagnosis Banding (3)

Beberapa diagnosis banding untuk menegakkan diagnosis miastenia gravis, yaitu

adanya ptosis atau strabismus dapat juga disebabkan oleh lesi nervus III pada beberapa

penyakit selain miastenia gravis, antara lain : Meningitis basalis (tuberkulosa atau luetika),

Infiltrasi karsinoma anaplastik dari nasofaring, Aneurisma di sirkulus arteriosus Willisii,

Paralisis pasca difteri, Pseudoptosis pada trachoma, Apabila terdapat suatu diplopia yang
transient maka kemungkinan adanya suatu sklerosis multipleks, Sindrom Eaton-Lambert

(Lambert-Eaton Myasthenic Syndrome).

2.9 Penatalaksanaan(3)

1. Terapi Medikamentosa

Meskipun tidak ada penelitian tentang obat yang telah dilaporkan dan tidak ada

konsensus yang jelas pada strategi pengobatan, myasthenia gravis (MG) adalah salah satu

gangguan neurologis yang paling dapat diobati. Beberapa faktor (misalnya, tingkat

keparahan, distribusi, kecepatan perkembangan penyakit) harus dipertimbangkan sebelum

terapi dimulai atau diubah. Terapi Farmakologis termasuk obat antikolinesterase dan agen

imunosupresif, seperti kortikosteroid, azatioprin, siklosporin, plasmaferesis, dan immune

globulin intravena (IVIG).

2. Rehabilitasi Medik

Stimulasi elektrikal

TENS (Transcutaneous Electrical Nerve Stimulation) merupakan suatu cara penggunaan

energi listrik guna merangsang sistem saraf melalui permukaan kulit. TENS dapat

berfungsi untuk menghasilkan kontraksi otot dengan frekuensi 30Hz dengan lama

pemberian 15 menit, diberikan 2 kali seminggu selama 6 kali terapi dan dievaluasi.

Massage

10 kali gerakan per otot, 2x sehari sampai pasien mengalami perbaikan.

ROM Exercise

10 kali gerakan, 2x sehari sampai pasien mengalami perbaikan.


Bagan 1.Alur penatalaksanaan Miastenia Gravis

Diagnosis MG

MG okular MG generalisata MG krisis

Antikolinesterase
MRI kepala (pyridostigmine) Intensive care unit
(+)→reasses

Antikolinesterase Evaluasi untuk thimektomi


(pyridostigmine) Indikasi : thimoma atau MG
generalisata
Evaluasi resiko operasi, FVC

Jika tidak
Resiko bagus Resiko jelek Plasmaparesis atau
memuaskan
FVC bagus FVC jelek IVIg

Thimektomi perbaikan Tidak ada


perbaikan

Evaluasi status klinis,


immunosupresan bila ada
indikasi

Imunosupresan
2.10 Prognosis (3)

a) Tanpa pengobatan angka kematian MG 25-31%


b) MG yang mendapat pengobatan, angka kematian 4%
c) 40% hanya gejala okuler

Dalam myasthenia gravis (MG) okuler, lebih dari 50% kasus berkembang ke

myasthenia gravis (MG) umum dalam waktu satu tahun, remisi spontan <10%. Sekitar 15-

17% pasien akan tetap mengalami gejala okular selama masa tindak lanjut rata-rata hingga

17 tahun. Pasien-pasien inidisebut sebagai myasthenia gravis (MG) okular. Sisanya

mengembangkan kelemahan umum dandisebut sebagai generalized myasthenia gravis

(MG). Sebuah studi dari 37 pasien myastheniagravis (MG) menunjukkan bahwa kehadiran

thymoma terkait dengan gejala yang lebih buruk.


BAB III
PENUTUP

Miastenia gravis adalah penyakit yang menyerang hubungan antara sistem saraf (nervus)

dan sistem otot (muskulus). Penyakit miastenis gravis ditandai dengan kelemahan dan kelelahan

pada beberapa atau seluruh otot, dimana kelemahan tersebut diperburuk dengan aktivitas terus

menerus atau berulang-ulang. Miastenia gravis adalah penyakit autoimun yang menyerang

neuromuskular junction.

Myasthenia Gravis jarang ditemui. Angka kejadian Myasthenia Gravis adalah 1 dari

20.000 orang. Biasanya penyakit ini menyerang orang berusia 20-50 tahun. Wanita lebih sering

menderita penyakit ini. Rasio perbandingan pria dan wanita adalah 6:4.

Penyakit Miastenia gravis ditandai dengan adanya kelemahan dan kelelahan. Kelemahan

otot terjadi seiring dengan penggunaan otot secara berulang, dan semakin berat dirasakan di

akhir hari. Gejala ini akan menghilang atau membaik dengan istirahat.

Diagnosis Myasthenia Gravis ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan

pemeriksaan penunjang. Tatalaksana yang diberikan dapat berupa terapi medikamentosa dan

rehabilitasi medik yaitu stimulasi elektrikal (TENS) dan ROM exercise. Prognosis Myasthenia

Gravis tanpa pengobatan, angka kematian adalah 25-31%, sedangkan yang mendapat

pengobatan, angka kematiannya 4%.


DAFTAR PUSTAKA

1. Gravis B. 2016. Bahan Ajar 1 Miasthenia Gravis. Fakultas Kedokteran Universitas


Hasanuddin.
2. Wijayanti IAS. 2016. Tinjauan Pustaka Aspek Klinis dan Penatalaksanaan Miastenia
Gravis. Bagian/SMF Neurologi FK Udayana RSUP Sanglah.
3. Pribadi HA. 2013. Referat Miastenia Gravis. Fakultas Kedokteran Universitas
Tanjungpura.

Anda mungkin juga menyukai