Anda di halaman 1dari 4

RESENSI PILGUB KALBAR 2018: KEBERAGAMAN MODAL PEMBANGUNAN

Oleh: Rahmad Djailani

Terbit di Pontianak Post: Rabu, 11 Juli 2018

Pada perhelatan Pilgub Kalbar 2007, saya pernah membuat tulisan di harian daerah
dengan judul: Sebuah Renungan Atas Pilgub Kalbar 2007, yang terbit pada tanggal 27 November
2017 di harian AP Post dan Metro. Tulisan itu, saya muat lagi di media ini dengan sedikit
penyesuaian konteks dan konten serta tambahan wawasan, namun dalam substansi dan pesan
yang sama.
Pilgub Kalbar yang dilangsungkan 27 Juni 2018 lalu merupakan perhelatan politik ketiga
dalam konteks Pilkada Langsung, dan yang pertama dalam kontek Pilkada Serentak yang paling
akbar yang diselenggarakan sendiri oleh, dari dan untuk masyarakat Kalbar dalam rangka
memilih pemimpin dari anak negeri sendiri, setelah pada masa lalu dipilih atas dasar suara
aklamasi dewan. Sejak era reformasi dimulai 1998, kebangkitan daerah untuk menunjukkan
eksistensi dan potensi dirinya semakin kuat dan mengeruak ke permukaan menembus bingkai
kekuasaan yang sebelumnya teramat sentralistik, baik dalam dimensi politik, ekonomi bahkan
sosial-budaya. Tiap daerah dengan leluasa menampilkan kekhasannya masing-masing, seolah
hendak mengatakan “kami pun bisa membangun dan membanggakan daerah kami sendiri”
tanpa harus “diatur” secara masiv oleh struktur kekuasaan sentralistik dengan berbagai
“pedoman dan panduan” yang mematahkan dan mematikan kreasi dan inovasi daerah untuk
maju dan berkembang. Salah satu dimensi yang begitu cepat sisi adaptasi dan penetrasinya ke
dalam struktur sosial di level daerah adalah dimensi politik berupa hadirnya pemilihan kepala
daerah secara langsung; singkat: bukan dipilih oleh anggota DPRD tapi dipilih rakyat, dengan
metode yang sama yaitu suara terbanyak (majority rule voting).
Tak ayal setelah kran politik bernama desentralistik dan otonomi daerah terbuka dan
diberi keleluasaan, tiap lapisan dalam struktur masyarakat Indonesia yang sangat beraneka,
mulai berbenah dan memperbaiki kualitas diri agar bisa bersaing secara sehat dengan daerah-
daerah lain dalam sektor sosial, ekonomi, sosial-budaya dan politik. Khususnya di bidang politik,
sejak saat itu, komposisi kekuasaan baik pada tataran politik dalam struktur legislatif,
eksekutif, serta yudikatif berangsur semakin variatif. Bahkan, yang sebelumnya didominasi
oleh elemen berbasis etnis tertentu, kini sudah berwarna namun tetap tidak meninggalkan
karakteristik struktur sosial dan budaya lokal. Warna -warni dalam struktur kekuasaan politik di
Kalimantan Barat semakin menampakkan kebhinekaan. Lihat saja komposisi keanggotaan
DPRD di kabupaten/kota dan provinsi, sudah ada keterwakilan dari etnis Melayu, Dayak,
Madura, Cina (Tionghoa), Batak, Bugis, Jawa, dan campuran. Begitu pula pada kedudukan kepala
daerah, masing-masing bupati/walikota dan gubernur beserta wakilnya masing-masing, sudah
pernah dan ada yang diisi dari keterpilihan etnis terbesar di provinsi ini, yaitu Melayu dan
Dayak. Artinya, kesempatan untuk memasuki wilayah kekuasaan lokal di daerah dengan ciri
khas sungai terpanjang dan produksi buah durian terbesar di Indonesia, tersedia, terbuka dan
dapat diraih oleh semua lapisan masyarakat tanpa diskriminatif.
Heterogenitas etnis masyarakat Kalbar terutama yang dominan dan memiliki akar
sejarah paling kuat di daerah ini turut mewarnai kehadiran para kandidat yang bertarung
di pentas demokrasi langsung. Ikatan emosional etnis yang dikaitkan dengan religi
membuat nuansa kontestasi antar kandidat dan pendukungnya semakin bermakna setelah
mengetahui hasil hitung cepat (quick count) dari Lembaga Survei hingga menunggu hasil akhir
hitung manual (real count) oleh KPU. “Siapakah yang memperoleh suara terbanyak atau
menang?”. Pihak Kami atau Pihak Mereka! Suasana batin setiap kandidat beserta tim
pemenangnya serta pendukungnya tidak menentu melihat fluktuasi perolehan suara yang
dimuat di beberapa media massa lokal. Jika pada masa kampanye, berita utama (headline) dan
setiap lembaran media massa lokal diwarnai dengan wajah-wajah optimis para kandidat dan
pendukungnya yang penuh semangat dan optimistik, kini headline media massa (cetak dan
elektronik) dan media sosial (medsos) diwarnai dengan tabel perolehan suara dan isu-isu
yang memancing sentimen sosial yang membuat gaduh masyarakat umum, elit politik, pelaku
ekonomi, dan tentunya aparat keamanan dan pertahanan. Belum lagi, hari pertama masuk
sekolah dilangsungkan sehari setelah agenda rapat pleno rekapitulasi perolehan hasil Pilgub.
Hampir di setiap sudut kota hingga kampung, di setiap lantai rumah dan ruang gedung,
hingga di setiap pertemuan antar kelompok dan individu di persimpangan jalan/gang, semuanya
membicarakan bahkan memperdebatkan proses dan hasil perolehan suara dari kelompoknya
sendiri dan kelompok “saingannya”. Hal ini menandakan bahwa budaya politik
masyarakat Kalbar tidak lagi pada level parokhial (pasif), tetapi sudah kaula-partisipan
(aktif). Di antara mereka bukan saja para praktisi politik, akademisi/teknokrasi, birokrat,
pelaku bisnis, tetapi juga para penganggur tak kentara atau penganggur banyak acara
(pengacara). Dari pembicaraan di antara mereka ada yang merasa optimis ada juga yang pesimis.
Setelah memprediksi hasil penghitungan suara, mereka mulai memproyeksi masa depan Kalbar
di tangan kandidat tertentu yang kelak memimpin Kalbar 5 tahun ke depan. Apakah janji - janji
politik yang dikoar-koarkan pada waktu kampanye dan debat publik akan terealisasikan secara
tunai ataukah sedekar “kredit”, yang pada akhirnya hanya menjadi catatan hutang yang akan
ditagih kembali di akhir masa jabatannya dan di periode berikutnya bila kembali ikut kontestasi.
Di sisi lain, apakah benefit dari ongkos politik sudah dihabiskan dan modal sosial yang
sudah dikerahkan oleh kandidat pemenang selama masa persiapan hingga pelaksanaan pilgub
akan dinikmati hanya oleh pasangan kandidat dan penduduk fanatiknya saja, ataukah oleh
semua lapisan masyarakat Kalbar tanpa diskriminasi etnis, religi, kaum, golongan atau status?
Apapun hasilnya, seharusnya semua pihak yang terlibat langsung maupun tidak langsung
dalam gawai politik akbar tingkat provinsi di negeri Kalbar ini harus kembali kepada
pemahaman dan kesadaran yang sama. Pertama, Pilgub Langsung bukanlah panggung
pertarungan hidup-mati dan juga bukan ending goal dari sebuah perjuangan politik. Pilgub
hanyalah sebuah mekanisme prosedural yang digunakan sebagai sarana seleksi dan rekrutmen
politik untuk mendapatkan seorang pemimpin bagi sebuah komunitas lokal. Substansinya
adalah mendapatkan pemimpin daerah yang lebih responsif, responsibel dan akuntabel, namun
ia tidak terlepas ikatan prinsip-prinsip negara kesatuan dan hukum nasional. Seorang pemimpin
terpilih yang mengaku sebagai warga negara Indonesia, maka ia wajib hukumnya mengamalkan
falsafah Pancasila dan mengamankan UUD 1945. Azas-azas ketuhanan, kemanusiaan dan
keberadaban, persatuan, musyawarah, dan keadilan harus diletakkan sebagai pondasi utama,
bingkai, dan atap dalam mengisi pundi-pundi pembangunan di Kalbar. Sebaliknya, egoisme dan
fanatisme sempit kedaerahan, religi, maupun etnisitas yang digunakan untuk mengusung
strategi pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan sehingga mengalahkan integrasi
sosial yang sudah mapan harus dikikis habis, bahkan jika masih terjadi harus menjadi musuh
bersama (common enemy).
Kedua, Pilgub Langsung adalah sarana pendidikan politik bagi masyarakat yang
mengaku menjunjung nilai-nilai demokrasi, peradaban, dan pro-kemapanan. Apapun realitas
politik yang terjadi, itu adalah output dari sebuah sistem yang selama ini kita bangun secara
bersama. Jika masa lalu sekelompok orang atau golongan merasa tidak berdaya
(powerless) atau di bawah tekanan (underpresure) penguasa dari kelompok atau golongan
lain yang berkuasa (powerful), hal itu tidaklah mesti dimaknai sebagai set up dari kehendak
kelompok yang berkuasa saat itu. Semua sistem, baik sistem ekonomi, sistem sosial, maupun
sistem politik, bekerja atas dasar terjadinya interaksi yang stabil dari sub-sub sistem yang ada di
dalamnya. Artinya, semua pihak turut andil bagi bekerjanya sistem tersebut, baik disadari atau
tidak disadari. Misalnya, ketidakmampuan segmen masyarakat tertentu dalam mengakses sektor
pemerintahan, pendidikan, dan ekonomi, bukan saja disebabkan oleh kuatnya determinasi suatu
kelompok atau kelompok lain, tetapi juga oleh ketidakpedulian atau ketidakmampuan suatu
kelompok tertentu akibat kelalaian sendiri untuk bangkit memperkuat modal sosial, modal
ekonomi, dan modal politik guna mencari peluang bagi penguatan status sosial, status ekonomi,
dan status politik dalam usaha mengimbangi kekuatan kelompok yang berkuasa. Dalam kondisi
tersebut, terjadi interaksi plus-minus. Karena itu, momentum kemenangan atau kekalahan
dalam Pilgub Langsung bukan untuk mempertajam stigmatisasi di atas ke arah destruktif dan
degradasi, tetapi justru menjadi langkah baru untuk memperbaiki sistem yang lebih konstruktif,
kondusif, dan diperuntukan bagi semua bidang kehidupan di daerah ini untuk proyeksi jangka
panjang.
Ketiga, sirkulasi elit kekuasaan dalam sistem politik demokrasi adalah suatu keniscayaan.
Tidak ada kekuasaan yang kokoh baik secara personal maupun secara kolektif, baik berdasarkan
ikatan primordial (kesukuan, adat-istiadat, religi, kekerabatan) atau ikatan paternalistik
(dinasti). Mekanisme prosedural selalu diimbangi dengan mekanisme substansial, setiap konflik
selalu disediakan resolusi, baik secara politik maupun secara hukum. Sistem politik demokrasi
membuka ruang bagi siapa yang berusaha maka dia akan mendapatkan; seperti benih yang kau
taburkan, begitulah kamu akan menuai (man jadda wa jadaa/as you sow, so shall you reaps).
Kalah-menang adalah konsekuensi dari sebuah kontestasi. Kekalahan bukan jalan buntu atau
akhir dari segalanya tapi kesempatan untuk meraih kemenangan melalui jalan (pada
kesempatan) lain. Karena demokrasi yang sehat adalah kemenangan untuk semua. Yang menang
tidak jumawa dan yang kalah pun tidak binasa; kedua-duanya tetap berada di wadah yang sama.
Keempat, Pilgub Langsung harusnya menjadi media bagi berlangsungnya resolusi konflik
dalam suatu daerah, bukan sebaliknya menjadi pemicu konflik (trigger of conflict). Dikatakan
resolusi, sebab sesungguhnya tidak ada yang salah dengan sistem Pilgub Langsung yang didesain
secara fair, transparan dan akuntabel, meskipun dalam tahap-tahap pelaksanaannya didapati
beberapa kelemahan dan kesalahan. Pilgub Langsung adalah solusi untuk mencari pemimpin
daerah yang menjadi wakil ba gi penanganan segala urusan masyarakat atau kepentingan
umum (public good/interest). Jika, seorang pemimpin terpilih justru mengabaikan kepentingan
umum demi kepentingan pribadi, kelompok atau golongan tertentu, --apalagi dalam
masyarakat pluralis seperti Kalbar--, maka pemimpin terpilih tersebut tidak pantas diangkat
sebagai kepala daerah atau kepala wilayah, tetapi lebih cocok sebagai kepala suku yang hidup di
jaman purba, karena pada masa itu pemimpin hanya berpikir sempit ( narrow- minded), buta
huruf, memberlakukan hukum rimba, dan tidak memahami dirinya sebagai makhluk sosial (zoon
politicon). Artinya, Pilgub Langsung merupakan solusi bagi mekanisme pemecahan masalah
daerah. Jika pemimpin terpilih sekarang gagal menunaikan amanah rakyat secara bertanggun
gjawab, maka pada Pilgub selanjutnya pemimpin itu dengan sendirinya akan tereliminasi secara
alami.
Akhir kata, mari jadikan Pilgub Kalbar kali ini sebagai sarana rekruitmen politik,
pendidikan politik, dan resolusi konflik. Atas dasar itu, optimisme untuk membangun Kalbar ke
depan ke arah yang lebih baik, maju dan berperadaban dapat kita benahi bersama, meneruskan
yang baik dan memperbaiki yang kurang. Pilgub Kalbar kali ini bukanlah yang pertama dan
terakhir bagi kesempatan untuk proses sirkulasi mencari pemimpin di daerah ini. Masih terlalu
panjang jangkauan waktu di masa depan untuk kita gunakan sebagai peluang sekaligus
tantangan guna membangun daerah dan masyarakat Kalbar yang masih banyak harus
diperbaiki. Jangan korbankan masa depan anak-anak negeri yang masih bayi, balita, dan
beranjak dewasa terutama masyarakat miskin yang ingin hidup lebih baik hanya dalam rangka
memperjuangkan kepentingan sesaat dengan cara-cara yang sesat-menyesatkan dan merusak-
menyengsarakan. Ambil hikmah atas kesalahan, kekeliruan, kelengahan, dan kegagalan di masa
lalu, dan jadikan semua proses dan hasil dalam pemilihan gubernur/wakil gubernur secara
langsung pada Pilkada Serentak 2018 ini sebagai proses pembelajaran (learning process) yang
berharga. Susun langkah-langkah strategis dan kritis yang bersifat konstruktif dan kondusif
secara bersama-sama agar pemimpin baru Kalbar periode 2018-2023 nanti dapat menjalankan
tugasnya secara optimal sehingga keterbelakangan, kemiskinan, ketertinggalan segera dapat
kita raih bersama-sama. Stigma bahwa daerah Kalimantan Barat sebagai daerah rawan
konflik 3 besar (top three), musti kita bantah dengan menunjukkan identitas diri sebagai daerah
yang paling beradab dan paling dewasa dalam berpolitik. Sejarah kelam masa lalu yang
menghantui kita semua jangan pernah terulang kembali. Semoga.

Penulis adalah Alumnus Politik Lokal dan Otonomi


Daerah, Angkatan X, UGM Yogyakarta, 2007

Anda mungkin juga menyukai