Anda di halaman 1dari 6

LTM MODUL DERMATOMUSKULOSKELETAL

[Problem-Based Learning]

Nama :
NPM :
Kelas :

Mekanisme Penuaan, Jerawat dan Flora Normal pada Kulit

Pendahuluan
Kulit, organ terbesar manusia baik secara massa dan ukuran, dapat dilihat sebagai sensor tubuh
bagian perifer. Kulit berpartisipasi juga mempertahankan homeostasis tubuh manusia dengan
memiliki peran dalam sistem perdarahan, inervasi, otot, imun, psiko-emosi, endokrin, dan lain-
lain. Meskipun begitu, masalah kulit masih berada di urutan ke-4 dalam nonfatal disease burden
atau beban penyakit tidak fatal di dalam studi Global Burden Disease (GBD) pada tahun 2010
dengan data sejak tahun 1990 hingga 2010 dari 187 negara.1 Kulit berjamur dan jerawat berada
di posisi 10 teratas, selain itu ada pruritus, eczema, impetigo, skabies, serta molluscum
contagiosum. Beban penyakit ini diprediksi akan bertambah seiring populasi semakin tua dan
gaya hidup inaktif dan konsumsi gula, alkohol, dan rokok.

Penuaan Kulit
Kulit yang menua identik dengan kulit yang mengkerut (skin wrinkling). Hal ini berdampak secara
signifikan pada wanita masa setelah menopause (post-menopause), dimana tingkat estrogen
yang rendah berdampak buruk pada fungsi kulit. Penuaan kulit ini dapat dibagi menjadi (1)
penuaan intrinsik (intrinsic aging) yang secara umum dipengaruhi oleh gen dan hormon, serta (2)
penuaan ekstrinsik (extrinsic aging) yang dipengaruhi oleh faktor lingkungan, terutama radiasi
sinar ultraviolet (UV Radiation atau UVR), merokok, pola makan, bahan kimia, trauma, dan lain-
lain. Dampak yang diciptakan oleh UVR ini sangat kuat hingga terdapat desain studi tersendiri
mengenai photo-aging. Kedua tipe penuaan kulit ini memiliki karakteristik yang berbeda dan ada
juga yang sama (overlapping), dimana penting untuk diketahui bahwa ciri penuaan kulit
dipengaruhi secara sama besarnya oleh faktor gen dan lingkungan.2

Penuaan kulit secara intrinsik sifat perubahannya perlahan dan dapat diamati variasi yang cukup
signifikan antar populasi dan etnis, meskipun individu dengan etnis yang sama terpisahkan
secara geografis. Pada dasarnya penuaan kulit intrinsik hanya dapat dilihat pada usia tua dan

1
Hay RJ, Johns NE, HC Williams, Bolliger IW, Dellavalle RP, Margolis DJ, et al. The global burden of
skin disease in 2010: an analysis of the prevalence and impact of skin conditions. Journal of Investigative
Dermatology. 2014;134(6): p. 1527-1534.
2
Tobin DJ. Introduction to skin aging. Journal of Tissue Viability 2017;26(1): p 37-46.
https://doi.org/10.1016/j.jtv.2016.03.002.
memiliki ciri kulit yang lebih polos, halus, pucat, kering, dan kurang elastis.3,4 Perubahan subkutan
juga menyebabkan tampaknya garis-garis ekspresi yang menjadi lebih jelas (exaggerated
expression lines). Penuaan intrinsik terjadi di dalam jaringan itu sendiri, melalui berkurangnya
dermal mast cells, fibroblast, produksi kolagen, dermal-epidermal junction yang merata/hilangnya
rete ridges, dan juga dipengaruhi bagaimana penuaan organ lain mempengaruhi kulit.

Secara bentuk dan fungsinya, epidermis yang semakin rata (yang sebelumnya berundulasi,
perhatikan gambar 1) adalah perubahan yang paling berpengaruh yang disebabkan hilangnya
rete ridges. Hilangnya struktur yang berbentuk undulasi ini mempengaruhi vaskularisasi karena
berkurangnya kontak dengan dermal papillae yang kaya akan kapiler. Hal ini menyebabkan
pengurangan nutrisi, terutama suplai ke epidermis avaskular oleh dermis yang tervaskularisasi.
Secara mekanis, epidermis yang menua secara intrinsik juga dikontrol oleh pemendekan telomer
secara progresif, diperparah oleh kerusakan oksidatif tingkat rendah (low-grade oxidative
damage) terhadap telomer dan konstituen sel lain.5,6

Undulasi pada epidermis7

Penuaan kulit secara ekstrinsik memiliki intervensi yang cukup sulit, kecuali melalui suplementasi
hormon dan lain-lain, pencegahan dan penanganan penuaan ekstrinsik yang terkait dengan
perubahan struktur kulit sangat menjadi perhatian. Faktor eksogen akan mempengaruhi kulit
secara permanen (contoh: pengaruh pro-oksidan dan antioksidan mempengaruhi pergantian sel
melalui modifier neuro-endokrin-imunologi. Sejauh ini, sumber terbesar dari penuaan ekstrinsik

3
Montagna W, Kirchner S, Carlisle K. Histology of sun-damaged skin. J Am Acad Dermatol. 1989;21(5
part 1): p. 907-918.
4
Landau M. Exogenous factors in skin aging. Curr Probl Dermatol. 2007;35: p. 1-13.

5
Kosmadaki MG, Gilchrest BA. The role of telomeres in skin aging/photoaging. Micron. 2004;35: p. 155-
159.
6
Nakamura KI, Izumiyama-Shimomura N, Sawabe M, Arai T, Aoyagi Y, Fujiwara M, et al. Comparative
analysis of telomere lengths and erosion with age in human epidermis and lingual epithelium. J Invest
Dermatol. 2002;119: p. 1014-1019.
7
Aanchal O, Ramam M, Epidermal reaction patterns. Indian Journal of Dermatopathology and Diagnostic
Dermatology. 2015;2(1): p. 1-7.
adalah paparan sinar matahari yang terakumulasi dan tidak terlindungi. Paparan sinar matahari
ini paling banyak mempengaruhi wajah, leher, tangan, dan lebih jarang pada lengan atas dan
kaki bawah. Sebanyak 80% dari penuaan kulit wajah disebabkan oleh paparan sinar UV tingkat
rendah secara kronis, meskipun hal tersebut juga dapat menyebabkan sunburn, tanning,
inflamasi, imunosupresi, dan kerusakan pada jaringan ikat dermal.8,9 Ciri kulit yang menua secara
ekstrinsik adalah kerutan, tekstur kasar, pucat dengan pigmentasi berbintik-bintik, dan hilangnya
elastisitas kulit. Penuaan yang disebabkan oleh UVR ini terkait erat dengan perfusi kutan, dimana
semakin banyak paparan UVR akan mengurangi vaskularisasi kulit.10

Jerawat
Jerawat adalah penyakit inflamasi kronis yang terjadi pada unit pilosebasea.11 Umumnya terjadi
pada pubertas, tapi dapat juga muncul pada orang dewasa.12 Patofisiologinya melibatkan tiga
aktor, yaitu (1) hiperseborea (hipersekresi sebum oleh kelenjar sebasea), (2) keratinisasi folikel
secara abnormal, dan (3) proliferasi Propionibacterium acnes di dalam unit pilosebasea. Interaksi
ketiga hal tersebut menyebabkan lingkungan kutan (cutaneous microenvironment) berubah dan
menyebabkan reaksi inflamasi yang menyebabkan progresi lesi jerawat.2

Kelenjar Sebasea
Produksi sebum diinduksi oleh banyak reseptor berbeda yang diekspresikan oleh kelenjar
sebasea. Reseptor histamin diaktivasi oleh histamin, reseptor DHT hormonal diaktivasi oleh
androgen, reseptor neuromodular secara utama diaktivasi oleh substance P, serta reseptor
corticotrophin‐ releasing hormone (CRH) diaktivasi oleh stres. Penelitian molekular terbaru telah
menunjukkan ada tiga reseptor lain yang diekspresikan oleh sel kelenjar sebasea yang
mengontrol produksi sebum, yaitu reseptor leptin, reseptor IGF-1, dan peroxisome proliferator‐
activated receptors (PPARα, β and γ). Reseptor leptin diaktivasi oleh lemak, dan secara langsung
oleh leptin, yaitu hormon yang disekresikan oleh adiposit yang mengatur berat badan dan
metabolisme lipid. Reseptor IGF-1 distimulasi oleh gula, dan peroxisome proliferator‐ activated
receptors (PPARα, β and γ) oleh asam lemak bebas dan kolesterol. Oleh sebab itu, pengaruh
jenis dan pola makan terhadap jerawat sangat kuat.

8
Young AR. Acute effects of UVR on human eyes and skin. Prog Biophys Mol Biol. 2006;92(1): p. 80-85.
9
Leyden JJ. Clinical features of ageing skin. Br J Dermatol. 1990:122: p. 1-3.

10
Waller JM, Maibach HI. Age and skin structure and function, a quantitative approach (I): blood flow, pH,
thickness, and ultrasound echogenicity. Skin Res Technol. 2005;11: p. 221-235.
11
Moradi Tuchayi S, Makrantonaki E, Ganceviciene R, Dessinioti C, Feldman SR, Zouboulis CC. Acne
vulgaris. Nat Rev Dis Primers 2015;1: 15029.
12
Taylor M, Gonzalez M, Porter R. Pathways to inflammation: acne pathophysiology. Eur J Dermatol
2011;21: p 323–333.
Reseptor yang mengendalikan produksi sebum13
Mikrobioma Kutan
Kulit memiliki flora normal yang terdiri dari virus, bakteri, jamur, dan parasit, yang juga disebut
dengan mikrobiota. Banyak mikrobiota tersebut berusaha untuk mengatur keseimbangan
mereka sendiri dan membantu imunitas manusia. Meskipun hubungan antara manusia dan
mikrobiota tersebut bersifat komensalisme, beberapa mikrobiota tersebut terkait dengan
penyakit inflamasi kulit, seperti P. acne (jerawat) dan Malassezia furfur (seborrhoeic
dermatitis).14,15,16

Pada lingkungan mikrobioma yang seimbang, Staphylococcus epidermidis membatasi kulit dari
kolonisasi berlebihan P. acnes yang dapat menyebabkan inflamasi. Hal ini dilakukan dengan
melepaskan asam suksinat (succinic acid) dan mensupresi IL-6 dan TNF-α yang diinduksi oleh
P. acnes dengan keratinosit. Sebagai flora normal, P. acnes dapat membatasi proliferasi S.
aureus dan S. pyogenes yang merupakan bakteri patogen dan bukan flora normal dengan cara
mengatur pH folikel pilosebasea agar bersifat asam. Oleh sebab itu, jika terdapat gangguan
terhadap keseimbangan flora normal yang ada di kulit, atau juga disebut dengan disbiosis, akan
terjadi aktivasi respons imunitas innate yang berujung pada inflamasi.17 Mengembalikan
keseimbangan flora normal kulit adalah salah satu prinsip dari tata laksana jerawat.

13
Zhang L, Li WH, Anthonavage M, Eisinger M. Melanocortin‐ 5 receptor: a marker of human sebocyte
differentiation. Peptides 2006; 27: 413–420.
14
Findley K, Grice EA. The skin microbiome: a focus on pathogens and their association with skin
disease. PLoS Pathog 2014; 10: e1004436.
15
Grice EA, Kong HH, Renaud G et al. A diversity profile of the human skin microbiota. Genome Res
2008; 18: 1043–1050.
16
Grice EA, Kong HH, Conlan S et al. Topographical and temporal diversity of the human skin
microbiome. Science 2009; 324: 1190–1192.
17
Seite S, Bieber T. Barrier function and microbiotic dysbiosis in atopic dermatitis. Clin Cosmet Investig
Dermatol. 2015;8: p. 479–483.
Flora normal pada epidermis dan dermis kulit18

Situs yang menghasilkan sebum banyak terdapat koloni Propionibacterium yang bersifat lipofilik,
sedangkan bakteri yang dapat bertahan hidup di lingkungan lembab, seperti Staphylococcus dan
Corynebacterium, banyak di area yang lembab juga seperti lipatan siku dan pada kaki. Berbeda
dengan bakteri-bakteri tersebut, komposisi jumlah komunitas jamur tinggal di seluruh tempat.
Jamur dengan genus Malassezia banyak terdapat pada pusat tubuh dan lengan tubuh,
sedangkan tempat-tempat di kaki dikolonisasi oleh kombinasi Malassezia sp., Aspergillus sp.,
Cryptococcus sp., Rhodotorula sp., Epicoccum sp., dan lain-lain. Jumlah bakteri lebih banyak
dibandingkan jamur. Kolonisasi oleh virus DNA eukariotik berbeda antar individu, dan masih perlu
diteliti secara lebih lanjut interaksinya dengan flora normal lain. 18

Mekanisme penuaan kulit wajah dipengaruhi secara intrinsik oleh gen dan hormon, dan secara
ekstrinsik oleh faktor lingkungan seperti merokok dan paparan sinar ultraviolet. Berbagai faktor
tersebut secara utama menyebabkan vaskularisasi epitel berkurang, menyebabkan penuaan kulit
secara general. Jerawat dipengaruhi oleh produksi sebum dan keseimbangan flora normal.
Gangguan terhadap flora normal yang ada akan menyebabkan inflamasi yang menyebabkan
jerawat. Untuk menjaga kulit dari reaksi inflamasi penyebab jerawat, keseimbangan flora normal
kulit harus dipertahankan.

18
Byrd AL, Belkaid Y, Segre JA. The human skin microbiome. Nature Reviews Microbiology. 2018;16: p.
143–155.
Referensi
1. Hay RJ, Johns NE, HC Williams, Bolliger IW, Dellavalle RP, Margolis DJ, et al. The global
burden of skin disease in 2010: an analysis of the prevalence and impact of skin
conditions. Journal of Investigative Dermatology. 2014;134(6): p. 1527-1534.
2. Tobin DJ. Introduction to skin aging. Journal of Tissue Viability 2017;26(1): p 37-46.
https://doi.org/10.1016/j.jtv.2016.03.002.
3. Montagna W, Kirchner S, Carlisle K. Histology of sun-damaged skin. J Am Acad Dermatol.
1989;21(5 part 1): p. 907-918.
4. Landau M. Exogenous factors in skin aging. Curr Probl Dermatol. 2007;35: p. 1-13.
5. Kosmadaki MG, Gilchrest BA. The role of telomeres in skin aging/photoaging. Micron.
2004;35: p. 155-159.
6. Nakamura KI, Izumiyama-Shimomura N, Sawabe M, Arai T, Aoyagi Y, Fujiwara M, et al.
Comparative analysis of telomere lengths and erosion with age in human epidermis and
lingual epithelium. J Invest Dermatol. 2002;119: p. 1014-1019.
7. Aanchal O, Ramam M, Epidermal reaction patterns. Indian Journal of Dermatopathology
and Diagnostic Dermatology. 2015;2(1): p. 1-7.
8. Young AR. Acute effects of UVR on human eyes and skin. Prog Biophys Mol Biol.
2006;92(1): p. 80-85.
9. Leyden JJ. Clinical features of ageing skin. Br J Dermatol. 1990:122: p. 1-3.
10. Waller JM, Maibach HI. Age and skin structure and function, a quantitative approach (I):
blood flow, pH, thickness, and ultrasound echogenicity. Skin Res Technol. 2005;11: p.
221-235.
11. Moradi Tuchayi S, Makrantonaki E, Ganceviciene R, Dessinioti C, Feldman SR, Zouboulis
CC. Acne vulgaris. Nat Rev Dis Primers 2015;1: 15029.
12. Taylor M, Gonzalez M, Porter R. Pathways to inflammation: acne pathophysiology. Eur J
Dermatol 2011;21: p 323–333.
13. Zhang L, Li WH, Anthonavage M, Eisinger M. Melanocortin‐5 receptor: a marker of human
sebocyte differentiation. Peptides 2006; 27: 413–420.
14. Findley K, Grice EA. The skin microbiome: a focus on pathogens and their association
with skin disease. PLoS Pathog 2014; 10: e1004436.
15. Grice EA, Kong HH, Renaud G et al. A diversity profile of the human skin microbiota.
Genome Res 2008; 18: 1043–1050.
16. Grice EA, Kong HH, Conlan S et al. Topographical and temporal diversity of the human
skin microbiome. Science 2009; 324: 1190–1192.
17. Seite S, Bieber T. Barrier function and microbiotic dysbiosis in atopic dermatitis. Clin
Cosmet Investig Dermatol. 2015;8: p. 479–483.
18. Byrd AL, Belkaid Y, Segre JA. The human skin microbiome. Nature Reviews Microbiology.
2018;16: p. 143–155.

Anda mungkin juga menyukai