Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

Fraktur adalah hilangnya atau putusnya kontinuitas jaringan keras tubuh.


Fraktur dinamai sesuai dengan regio tubuh yang mengalami diskontinuitas. Fraktur
yang terjadi pada tulang – tulang wajah yaitu tulang frontal, temporal,
orbitozigomaticus, nasal, maksila, dan mandibula,fraktur maksilofasial
diklasifikasikan menjadi fraktur kompleks nasal, kompleks zigoma, dentoalveolar,
maksila, dan mandibula.
Fraktur dentoalveolar didefinisikan sebagai fraktur yang meliputi avulsi,
subluksasi, atau fraktur gigi yang berkaitan dengan fraktur tulang alveolar. Fraktur
dentoalveolar dapat terjadi tanpa disertai dengan fraktur bagian tubuh lainnya,
biaasanya terjadi akibat kecelakaan ringan, seperti jatuh, benturan, berolahraga,
atau iatrogenik.
Epidemiologi fraktur dentoalveolar serupa dengan epidemiologi fraktur
maksilofasial. Menurut penelitian yang pernah dilakukan, dari 100 orang yang
mengalami fraktur didapatkan 5 orang mengalami fraktur dentoalveolar. Penelitian
lain menyebutkan dari 122 sampel pasien trauma terdapat 90 pasien mengalami
fraktur maksilofasial. 8,3% diantaranyan (5 orang) mengalami fraktur
dentoalveolar. Puncak insidensi terjadi pada anak usia 2 – 3 tahun, sebagai akibat
sekunder perkembangan koordinasi neuromuskular. Pada gigi tetap, puncak
insidensi terjadi pada anak usia 10 tahun saat dimulainya aktifitas atletik. Etiologi
yang paling sering dilaporkan adalah kecelakaan lalu lintas dan perkelahian.
Dalam laporan ini dilakukan pembahasan mengenai kasus fraktur
dentoalveolar dengan tujuan untuk mengetahui manifestasi klinis, penegakan,
diagnosis dan tatalaksana untuk kasus tersebut yang menyesuaikan kompetensi
dokter umum.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Fraktur Dentoalveolar


Definisi fraktur secara umum adalah pemecahan atau kerusakan suatu bagian
terutama tulang (Kamus Kedokteran Dorland edisi 29, 2002). Literatur lain
menyebutkan bahwa fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas
jaringan tulang atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh trauma
(Mansjoer, 2000). Berdasarkan definisi-definisi tersebut maka fraktur dentoalveolar
adalah kerusakan atau putusnya kontinuitas jaringan keras pada stuktur gigi dan
alveolusnya disebabkan trauma.

2.2 Klasifikasi Fraktur Dentoalveolar


Jenis fraktur dentoalveolar pada anak diklasifikasikan menjadi beberapa
kejadian. Klasifikasi ini membantu dokter gigi untuk memilih cara penanganan
yang tepat untuk setiap kejadiannya sehingga pasien mendapatkan prognosis yang
baik selama perawatan. Klasifikasi fraktur dentoalveolar juga dapat memberikan
informasi yang komprehensif dan universal untuk mengkomunikasikan mengenai
tujuan perawatan tersebut. Terdapat banyak klasifikasi yang mendeskripsikan
mengenai fraktur dentoalveolar. Klasifikasi yang banyak dijadikan pedoman dalam
penanganan fraktur dentoalveolar adalah klasifikasi menurut World Health
Organization (WHO).
Klasifikasi yang direkomendasikan dari World Health Organization (WHO)
diterapkan pada gigi sulung dan gigi tetap, yang meliputi jaringan keras gigi,
jaringan pendukung gigi dan jaringan lunak rongga mulut. Pada pembahasan ini
klasifikasi WHO yang diterangkan hanya pada trauma yang mengakibatkan fraktur
dentoalveolar, yaitu cedera pada jaringan keras gigi dan pulpa, jaringan periodontal,
dan tulang pendukung (Welbury, 2005)

2
1. Cedera pada jaringan keras gigi dan pulpa.
 Enamel infraction: jenis fraktur tidak sempurna dan hanya berupa retakan
tanpa hilangnya substansi gigi.
 Fraktur email: hilangnya substansi gigi berupa email saja.
 Fraktur email-dentin: hilangnya substansi gigi terbatas pada email dan dentin
tanpa melibatkan pulpa gigi.
 Fraktur mahkota kompleks (complicated crown fracture): fraktur email dan
dentin dengan pulpa yang terpapar.
 Fraktur mahkota-akar tidak kompleks (uncomplicated crown-root fracture):
fraktur email, dentin, sementum, tetapi tidak melibatkan pulpa.
 Fraktur mahkota-akar kompleks (complicated crown-root fracture): fraktur
email, dentin, dan sementum dengan pulpa yang terpapar.
 Fraktur akar: fraktur yang melibatkan dentin, sementum, dan pulpa, dapat
disubklasifikasikan lagi menjadi apikal, tengah, dan sepertiga koronal
(gingiva).

Gambar 2.1 Cedera pada Jaringan Keras Gigi dan Jaringan Pulpa (Fonseca,
2005)

3
2. Cedera pada jaringan periodontal.
 Concussion: tidak ada perpindahan gigi, tetapi ada reaksi ketika diperkusi.
 Subluksasi: kegoyangan abnormal tetapi tidak ada perpindahan gigi.
 Luksasi ekstrusif (partial avulsion): perpindahan gigi sebagian dari soket.
 Luksasi lateral: perpindahan ke arah aksial disertai fraktur soket alveolar.
 Luksasi intrusif: perpindahan ke arah tulang alveolar disertai fraktur soket
alveolar.
 Avulsi: gigi lepas dari soketnya.

Gambar 2.2 Cedera pada Jaringan Periodontal (Fonseca, 2005).

3. Cedera pada tulang pendukung.


1) Pecah dinding soket alveolar mandibula atau maksila : hancur dan tertekannya soket
alveolar, ditemukan pada cedera intrusif dan lateral luksasi.
2) Fraktur dinding soket alveolar mandibula atau maksila : fraktur yang terbatas pada
fasial atau lingual/palatal dinding soket.
3) Fraktur prosesus alveolar mandibula atau maksila : fraktur prosesus alveolar yang
dapat melibatkan soket gigi.
4) Fraktur mandibula atau maksila : dapat atau tidak melibatkan soket alveolar.

4
Gambar 2.3 Cedera pada Tulang Pendukung (Fonseca, 2005).

2.3 Etiologi dan Epidemiologi


Penyebab trauma dibagi menjadi dua, langsung dan tidak langsung. Trauma
langsung jika benturannya itu langsung mengenai gigi, biasanya pada regio
anterior. Trauma tidak langsung terjadi ketika ada benturan rahang bawah ke rahang
atas, gigi patah pada bagian mahkota atau mahkota-akar di gigi premolar dan molar,
dan juga pada kondilus dan simfisis rahang. Faktor yang memengaruhi hasil trauma
adalah kombinasi dari energi impaksi, resiliensi objek yang terkena impaksi, bentuk
objek yang terkena impaksi, dan sudut arah gaya impaksi. (Welburry, 2005).
Penyebab umum trauma adalah terjatuh dengan perbandingan antara 26%
dan 82% dari semua kasus cedera, tergantung pada subpopulasi yang diteliti.
Olahraga merupakan penyebab kedua yang mengakibatkan cedera (Berman, et al.,
2007).
Kasus trauma dentoalveolar pada anak dapat disebabkan kecelakaan lalu lintas,
serangan hewan, perkelahian dan kekerasan dalam rumah tangga. Gigi yang terkena
trauma biasanya hanya satu, kecuali pada kasus kecelakaan dan olahraga. (Cameron
and Widmer, 2008).
Maloklusi dapat menjadi faktor pendukung terjadinya trauma dentoalveolar.

5
Beberapa kondisi yang dapat menyebabkan terjadinya trauma adalah protrusi gigi
anterior pada maloklusi kelas I tipe 2 atau kelas II divisi 1. Insidensi pada anak
dengan kondisi tersebut dua kali dibandingkan anak dengan kondisi oklusi normal.
Anak dengan overjet berlebih juga dapat memiliki faktor resiko lebih tinggi terjadi
trauma dibandingkan dengan anak dengan overjet normal (Holan and McTigue,
2005). Tabel 2.1 menunjukkan probabilitas fraktur gigi incisif sentral maksila
dengan perbedaan overjet.

Tabel 2.1 Probabilitas Kejadian Fraktur Gigi Incisif Sentral Maksila dengan Perbedaan Jarak
Overjet (Finn, 2003).
Overjet Laki-laki Perempuan Semua Anak

< 1 mm 1:25 1:55 1:34

1-5 mm 1:13 1:27 1:18

6-9 mm 1:7 1:11 1:8

10 + mm 1:4 1:10 1:6

Prevalensi trauma gigi anak berkisar dari 10-30% di beberapa negara di


dunia. (Shun-Te Huang, et al., 2005). Data epidemiologi mengenai fraktur gigi anak
di Indonesia belum ditemukan secara pasti, namun ada beberapa laporan makalah
ilmiah yang memperkirakan 2%-5% (Sutadi, 2003). Penelitian yang dilakukan
Sasteria pada 1.348 anak usia 1-12 tahun di Klinik Ilmu Kedokteran Gigi Anak
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia selama periode 1 Januari 1995-31
Desember 1995 menunjukkan bahwa 98 anak (7,27%) mengalami fraktur pada gigi
anterior atas (Sasteria, 1997).
Kejadian terbanyak trauma dentoalveolar terjadi pada usia 2-4 tahun ketika
koordinasi motorik anak sedang berkembang. Trauma sering terjadi di rumah ketika

6
anak sudah mulai mencoba banyak hal baru dan bergerak aktif, sedangkan pada
usia 7-10 tahun anak biasanya mengalami trauma di sekolah ketika mereka sedang
bermain, berlari, bersepeda, dan atau berolahraga. Gigi yang mengalami trauma
pada usia ini biasanya gigi permanen. (Welbury, 2005).
Insidensi trauma dentoalveolar pada anak menurut usia adalah sebagai
berikut: pada usia 5 tahun, 31-40% anak laki-laki dan 16-30% anak perempuan
mengalami trauma. Pada usia 12 tahun 12-33% anak laki-laki dan 4-19 % anak
perempuan mengalami trauma gigi. Insidensi injuri pada laki-laki dua kali lebih
banyak baik pada usia anak maupun dewasa (Welbury, 2005). Literatur lain
menyebutkan rasio insidensi injuri pada anak hampir sama antara laki-laki dan
perempuan (Berman, et.al., 2007). Kasus trauma yang terjadi pada anak sebagian
besar terjadi di daerah anterior terutama incisif sentral (Welbury, 2005), sedangkan
pada bagian posterior biasanya terjadi karena trauma tidak langsung, seperti trauma
pada bagian dagu yang mengakibatkan tekanan berlebih pada bagian maksila (Finn,
2003).
Kejadian yang paling sering terjadi pada anak-anak adalah concussion,
subluksasi, dan luksasi, sedangkan pada gigi permanen adalah fraktur mahkota
tidak kompleks (uncomplicated crown fracture) (Welburry, 2005). Gambar 2.4
menunjukkan persentasi kejadian fraktur menurut klasifikasi cedera pada jaringan
pendukung gigi.

7
Gambar 2.4 Persentasi Kejadian Fraktur (Koch and Poulsen, 2001).

Fraktur dentoalveolar pada anak dapat menyebabkan kerusakan gigi


permanen yang berada di atas atau bawahnya. Hal ini dapat langsung terjadi dari
luka atau infeksi residual yang disebabkan oleh trauma pada gigi anak. Andreasen
dan Ravn menemukan bahwa usia anak pada waktu terjadinya trauma merupakan
faktor yang paling memengaruhi perkembangan kerusakan gigi permanen. Mereka
menemukan bahwa 60% anak di bawah usia 4 tahun dengan trauma pada gigi incisif
menunjukkan anomali klinis pada radiografi gigi permanen pengganti (Dummet,
2006)

8
2.4 Gigi Avulsi
2.4.1 Definisi
Gigi avulsi adalah gigi yang sudah keluar seluruhnya dari soket alveolar
akibat adanya cedera pada gigi. Perawatannya adalah dengan
mereplantasikan gigi tersebut segera setelah terjadinya cedera. Proses
replantasi gigi yang avulsi dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu lamanya
gigi keluar dari soket dan media penyimpanan yang digunakan. Faktor
tersebut sangat penting dalam proses replantasi gigi.

2.4.2 Etiologi
Avulsi merupakan kasus trauma dental yang paling sering terjadi
dibandingkan dengan kasus trauma dental lainnya, yaitu sekitar 16%.
Penyebab gigi avulsi yang paling sering terjadi pada anak-anak adalah ketika
mereka melakukan aktifitas di sekolah. Selain itu, penyebab gigi avulsi yang
sering terjadi adalah ketika mereka melakukan olahraga seperti bermain
sepak bola dan bola basket, berkelahi dan kecelakaan mobil.
Gambaran Klinis
Gambaran klinis yang dapat dilihat dari gigi avulsi adalah dapat
ditemukan bekuan darah di dalam soketnya. Avulsi paling sering terjadi pada
gigi insisivus sentral pada rahang atas. Fraktur pada prosesus alveolaris dan
laserasi pada bibir kemungkinan terlihat bersamaan dengan gigi avulsi.
Gambar.1 Gambaran klinis soket gigi yang avulsi

9
2.4.3 Penatalaksanaan
Gigi avulsi adalah salah satu kasus trauma dental yang memerlukan
perawatan darurat. Penanganan yang tepat akan mempengaruhi prognosisnya.
Ketika terjadi avulsi pada gigi, kita dapat melakukan hal berikut ini
1. Tenangkan anak yang bersangkutan.
2. Carilah gigi yang lepas dan peganglah pada bagian mahkotanya. Jangan
menyentuh bagian akar.
3. Jika gigi kotor, cucilah dibawah air mengalir dan jangan digosok dengan
tujuan agar tetap lembab dalam waktu maksimal 10 detik dan letakkan
kembali gigi ke soketnya. Ketika gigi sudah diposisinya semula, gigitlah
saputangan untuk menjaga agar gigi tetap ditempatnya.
4. Jika tidak memungkinkan untuk mereposisi giginya, letakkan gigi yang
avulsi tersebut ke dalam segelas susu atau tempat penyimpanan lain dan
bawa anak ke klinik gawat darurat. Gigi juga bisa diletakkan di dalam
mulut antara pipi dan gusi jika anak dalam keadaan sadar. Jika pasien
terlalu muda, gigi tersebut bisa ditelannya. Oleh karena itu, sebaiknya beri
instruksi kepada anak untuk meludah disuatu wadah kemudian letakkan
gigi di wadah tersebut. Hindari pemakaian air sebagai tempat
penyimpanannya.
5. Jika ada tempat penyimpanan khusus seperti Hanks Balanced Storage
Medium (HBSS atau saline), media tersebut lebih baik digunakan.
6. Carilah perawatan dental secepatnya. Jika bisa bertemu dokter gigi dalam
waktu 30 menit, maka prognosisnya baik. Jika lebih dari waktu tersebut,
maka prognosis pada giginya akan berkurang 60-80%. Golden periode
untuk melakukan reposisi gigi adalah 2 jam. Jika perawatan replantasi
dilakukan lebih dari 2 jam, maka gigi menjadi non vital dan dilakukan
perawatan selanjutnya yaitu endodonti setelah gigi difiksasi.

2.4.4 Media Penyimpanan


Media penyimpanan adalah media yang digunakan untuk menyimpan gigi
yang avulsi jika gigi tersebut tidak dilakukan replantasi dengan segera. Tujuan

10
diletakkannya gigi yang avulsi di media penyimpanan adalah untuk
memelihara ligamen periodontal dalam waktu yang terbatas sebelum dilakukan
perawatan gigi tersebut. Oleh karena itu, medium yang dapat digunakan adalah
1. Hank’s Balanced Salt Solution (HBSS)
Hank’s Balanced Salt Solution (HBSS) adalah larutan salin standar.
Biasanya, larutan ini digunakan dalam penelitian biomedis yang bertujuan
untuk mendukung pertumbuhan dari berbagai sel. Larutan ini bersifat
biocompatible dengan sel-sel ligamen periodontal karena larutan ini memiliki
osmolalitas yang ideal yaitu 270 sampai dengan 320 mOsm. HBSS
mengandung berbagai nutrien penting yang diperlukan untuk mempertahankan
metabolisme sel yang normal dalam waktu yang lama seperti kalsium, fosfat,
kalium dan glukosa.
2. Susu
Susu memiliki kemampuan untuk mendukung kapasitas klonogenik sel-
sel periodontal pada suhu ruangan sampai dengan 60 menit. Pada temperatur
yang lebih rendah, susu dapat mengurangi pembengkakan sel, meningkatkan
viabilitas sel dan perbaikan penyembuhan sel. Selain itu, susu bertemperatur
rendah memiliki kemampuan untuk mendukung klogenik sel ligamen
periodontal pada gigi avulsi lebih lama 45 menit dibandingkan dengan media
penyimpanan susu pada temperatur ruang yang melindungi viabilitas sel
selama 60 menit.
3. Saline fisiologis
Salin fisiologis adalah larutan yang mengandung 0,9% NaCl yang dapat
digunakan sebagai media penyimpanan gigi avulsi. Penyimpanan pada media
ini tidak menyebabkan pembengkakan pada struktur sel, tetapi kebutuhan
metabolit dan glukosa untuk mempertahankan metabolisme sel yang normal
tidak bisa dipenuhi oleh saline. Media penyimpanan ini tidak
direkomendasikan jika gigi harus disimpan selama satu atau dua jam. Hal ini
disebabkan karena kebutuhan sel untuk mempertahankan metabolisme tidak
terpenuhi.

11
4. Saliva
Saliva dapat digunakan sebagai media penyimpanan karena mempunyai
suhu yang sama dengan suhu kamar. Beberapa penelitian mengatakan bahwa
mendukung penggunaan saliva sebagai media penyimpanan sampai 30 menit
pertama dari waktu cedera terjadi. Jika disimpan lebih dari 30 menit, maka
dapat menimbulkan masalah karena saliva secara alamiah memiliki
mikroorganisme yang dapat menyebabkan infeksi berat pada akar gigi
sehingga menimbulkan kematian pada sel-sel ligament periodontal. Beberapa
penelitian menganjurkan bahwa menyimpan gigi di dalam mulut pasien
(saliva) adalah baik untuk kelangsungan hidup ligamen periodontal. Gigi
tersebut dapat ditahan di vestibulum bukal atau di bawah lidah. Namun, cara
tersebut dapat menimbulkan masalah bagi anak, seperti tertelannya gigi atau
kemungkinan anak mengunyah giginya. Untuk menghindari masalah tersebut,
saliva dapat dikumpulkan di dalam wadah kecil sehingga gigi dapat
dimasukkan ke dalamnya.
5. Air kelapa (Cocos nucifera)
Air kelapa (Cocos nucifera) pada umumnya, air kelapa dikenal sebagai
Tree of Life, yaitu minuman alami yang dihasilkan secara biologis dan dikemas
kedap udara di dalam buah kelapa. Komposisi elektrolit dari air kelapa
menyerupai cairan intraseluler yang lebih erat dari plasma ekstraseluler. Air
kelapa memiliki osmolaritas tinggi karena adanya kandungan gula didalamnya,
terutama glukosa dan fruktosa, juga kaya akan banyak asam amino esensial
antara lain lisin, sistin, fenilalanin, histidin dan tryptophan. Air kelapa unggul
dalam melakukan pemeliharaan untuk kelanggsungan hidup sel-sel ligamen
periodontal karena adanya berbagai nutrisi di dalamnya seperti protein, asam
amino, vitamin dan mineral. Air kelapa memiliki efektifitas yang menyerupai
HBBS dalam menjaga viabilitas sel. Selain memiliki osmolaritas yang lebih
unggul dibandingkan HBBS, air kelapa juga lebih murah dan mudah tersedia,
sehingga air kelapa layak dianjurkan sebagai media penyimpanan gigi avulsi.
Sebagai media penyimpanan, tidak dianjurkan untuk memakai air karena air
bersifat hipotonik dan konsentrasi larutannya tidak memiliki kecocokan untuk

12
menyelamatkan sel yang ada di permukaan akar. Meletakkan gigi avulsi di
saliva (dikeluarkan di dalam gelas) atau di dalam vestibulum lebih baik
daripada gigi tersebut diletakkan di dalam air karena saliva menjaga sel
periodontal dalam waktu kurang dari 30 menit.

2.4.5 Perawatan
Perawatan untuk avulsi gigi adalah dengan melakukan replantasi.
Sebelum melakukan replantasi, sebaiknya soket dicuci dengan larutan saline
supaya tetap bersih. Keberhasilan replantasi tergantung pada tenggang waktu
antara terjadinya avulsi dengan replantasi, luas kerusakan ligamen
periodontium, derajat kerusakan alveolar, dan efektivitas stabilisasi. Faktor
waktu sangat menentukan keberhasilan replantasi. Keberhasilan itu dapat
dicapai apabila pengembalian gigi pada tempatnya dilakukan tidak lebih dari
30 menit sesudah terjadi cedera. Jika lebih dari 2 jam, maka resorbsi akar
hampir tidak terhindarkan lagi. Bila avulsi pada gigi terjadi dalam waktu
kurang dari 30 menit, perawatan jangka pendek yang dapat dilakukan adalah
dengan pengembalian gigi yang avulsi serta mengembalikan stabilisasi gigi
tersebut namun bila lebih dari 30 menit maka perawatan saluran akar dan
splinting harus dilakukan.
Dalam keadaan darurat replantasi sering dilakukan oleh orang
nonprofesional, misalnya memasukkan gigi kembali yang dilakukan oleh orang
tua atau teman pasien. Secara biologis kondisi ligament periodontium dan
sementum sangat rawan jika dikaitkan dengan perlekatan kembali. Apabila
ligamen periodontium mengalami cedera atau ada sementum yang terbuka,
kemungkinan besar akan terjadi ankilosis (fusi antara tulang dan sementum).
Perbaikan suplai vaskular pulpa tidak dimungkinkan lagi, tetapi masih ada
kesempatan jika apeks dalam keadaan terbuka. Selain itu, pemeriksaan klinis
dan radiografis dapat dilakukan untuk mendeteksi nekrosis pulpa pada gigi
yang ditanam kembali karena dapat menyebabkan terjadinya radang dan
mengganggu perlekatan kembali atau dapat menimbulkan lesi periodontal atau
periapical. Kondisi yang cocok untuk replantasi lebih sering ditemukan pada

13
anak-anak, tetapi untuk gigi sulung sebaiknya tidak dilakukan replantasi.
Kehilangan gigi sulung prematur biasanya bukan hal yang serius. Selain itu,
jika dilakukan replantasi gigi bisa menyebabkan resiko merusak gigi permanen
penggantinya.

2.5 Pencegahan Fraktur Dentoalveolar


Hal terbaik yang dilakukan pada fraktur dentoalveolar adalah melakukan
tindakan pencegahan. Pencegahan adalah orientasi utama seorang dokter gigi,
terutama dalam perawatan gigi anak. Terdapat beberapa hal yang dapat dilakukan
untuk mencegah kejadian fraktur dentoalveolar, di antaranya adalah sebagai berikut
(Cameron and Widmer, 2008):
1. Perawatan orthodonti
2. Menggunakan sabuk pengaman saat berkendara
3. Pemakaian helm saat bersepeda
4. Pemakaian mouth protector
5. Penyuluhan kepada para orang tua
Tindakan pencegahan tersebut dilakukan sesuai dengan kondisi. Perawatan
orthodonti dilakukan pada pasien yang memiliki kecenderungan mengalami fraktur
gigi, seperti pada pasien kelas II divisi 1 dengan overjet tinggi.
Pembahasan sebelumnya sudah dijelaskan bahwa pasien dengan overjet tinggi akan
memiliki kecenderungan lebih rentan terjadi fraktur gigi daripada pasien dengan
overjet normal. Hal tersebut memberikan gambaran kepada dokter gigi untuk
menghimbau pasien dengan keadaan overjet tinggi ini untuk melakukan perawatan
orthodonti, sehingga kondisi overjet pasien dapat dikoreksi dan kejadian fraktur
dentoalveolar dapat dihindari.
Penyebab fraktur dentoalveolar berikutnya selain overjet adalah terjadinya
kecelakaan, bukan hanya saat berkendara tetapi juga saat berolahraga. Dokter gigi
dapat menghimbau kepada masyarakat untuk menggunakan sabuk pengaman saat
berkendara dan memakai helm saat bersepeda. Hal ini dapat mengurangi resiko
cedera saat terjadi kecelakaan lalu lintas.
Cedera saat berolahraga dapat dicegah dengan mouth protector. Contoh

14
olahraga yang biasanya membutuhkan alat ini adalah olahraga dinamis, seperti
sepakbola, hoki, baseball, softball, dan lain sebagainya. Ada beberapa jenis mouth
protector yang dapat digunakan sebagai langkah pencegahan terhadap fraktur
dentoalveolar, berikut adalah tipe dari mouth protector (Fonseca, 2005):
1. Stock mouth protectors
Jenis mouth protector ini merupakan tindakan pencegahan yang paling mudah
dan murah. Mouthguard ini dibuat dari lateks atau material silikon dan hanya
menjaga secara minimal karena cukup longgar saat digunakan sehingga harus
dalam kondisi rahang yang tertutup. Jenis ini kurang nyaman saat digunakan karena
menyulitkan pengguna untuk berbicara dan bernafas, selain itu mouthguard ini
mengiritasi gingiva dan vestibula di bagian bukal. Jenis ini kurang
direkomendasikan. Gambar 2.5 menunjukkan stock mouth protector.

Gambar 2.5 Stock Mouth Protector (Fonseca, 2005)

2. Mouth formed protectors


Mouth formed protector paling sering digunakan dan terdiri dari dua jenis,
yaitu shell-liner mouthguard dan thermoplastic guard.
1) Shell-liner mouthguard
Shell-liner mouthguard terdiri dari karet lateks atau plastik yang menutup gigi
maksila. Jenis ini cukup halus dan permukaannya lembut beradaptasi dengan

15
gigi. Kekurangannya adalah pemakaiannya terbatas, jika sering digigit material
yang mendasarinya akan berkurang dan mengilangkan ikatan dengan gigi.
Lapisannya dapat mengeras jika terkena cairan mulut. Pelindung ini tidak
direkomendasikan untuk atlet yang menggunakan braket ortho.
2) Thermoplastic mouthguard
Jenis pelindung ini paling banyak digunakan karena keunggulannya yang
murah, tahan lama, dan dapat dilembutkan kembali serta diadaptasikan jika
retensinya mulai berkurang. Kekurangan dari pelindung ini adalah distorsi dan
pengerasan ketika kontak dengan cairan mulut. Gambar 2.6 menunjukkan
pelindung mulut jenis thermoplastik.

Gambar 2.6 Thermoplastic Mouthguard (Fonseca, 2005)

3. Bimaxillary mouthguard
Penggunaan pelindung mulut ini terfiksasi di mandibula dan cukup nyaman
untuk bernafas secara maksimal. Efektif mencegah cedera karena concussion
dan trauma yang menyebabkan jejas pada kondilus mandibula. Gigi anterior
mandibula juga terproteksi dari trauma yang cukup frontal.

Gambar 2.7 Bimaxillary Mouthguard

16
4. Custom-made mouth protectors
Jenis pelindung mulut ini adalah yang terbaik jika dibandingkan dengan
jenis lainnya dilihat dari retensi, proteksi, rasa, bau, kenyamanan saat berbicara,
dan kebersihannya. Keunggulan tersebut tidak sepenuhnya menjadi bukti bahwa
alat pelindung ini paling baik mencegah dampak buruk dari trauma. Pelindung
ini difabrikasi menggunakan alginat menyesuaikan dengan maksila pasien
tersebut.

Gambar 2.8 Custom-made Mouth Protector (Vito, 2012)

Tindakan yang sudah disebutkan di atas akan berjalan optimal ketika para
orang tua sudah teredukasi dengan baik tentang pencegahan trauma gigi pada
anak-anak. Langkah darurat yang bisa dilakukan ketika terjadi trauma gigi pada
anak juga akan mengurangi keparahan trauma yang mengenai intraoral.

17
18
2.6 Pemeriksaan Penunjang
Panoramic X-Ray

19
BAB III
KESIMPULAN

Fraktur dentoalveolar didefinisikan sebagai fraktur yang meliputi avulsi,


subluksasi, atau fraktur gigi yang berkaitan dengan fraktur tulang alveolar. Fraktur
dentoalveolar diklasifikasikan menjadi tiga yaitu cedera pada tulang pendukung,
cedera pada jaringan periodontal, dan cedera pada jaringan keras gigi dan pulpa.
Avulsi gigi termasuk dalam fraktur dentoalveolar yang didefinisikan sebagai gigi
yang sudah keluar seluruhnya dari soket alveolar akibat adanya cedera pada gigi.
Perawatan dari avulsi gigi adalah dengan mereplantasikan gigi tersebut segera
setelah terjadinya cedera. Proses replantasi gigi yang avulsi dipengaruhi oleh
beberapa faktor yaitu lamanya gigi keluar dari soket dan media penyimpanan yang
digunakan.
Langkah terbaik yang dilakukan agar tidak terjadinya fraktur dentoalveolar adalah
dengan melakukan pencegahan seperti perawatan orthodonti, menggunakan sabuk
pengaman, pemakaian helm saat bersepeda, pemakaian mouth protector,
penyuluhan kepada para orang tua.

20
DAFTAR PUSTAKA

1. Banks P, Brown A Fractures of The Facial Skeleton. Wright; 2001. P. 40 –


2, 72 – 9
2. Grossman LI, Rio OSD. Ilmu endodontik dalam praktek. 11th Ed. Alih
bahasa: Abyono R. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC; 1995. p. 358-
65
3. Killey HC. Fractures of The Middle Third of The Facial Skeleton, Third
Edition. Bristol : Johhn Wright and sons Ltd, 1977
4. Selvi, Zakiah, Intan. Fraktur Dentoalveolar. 2014. Jatinangor : FKG
Universitas Padjajaran.
5. Namirah, Nurul. Prevalensi Fraktur Maksilofasial pada Kasus Kecelakaan
Lalu Lintas di RSUD Andi Makasau Kota Pare – Pare tahun 2013. 2014.
Makassar : FKG Universitas Hassanudin.

21

Anda mungkin juga menyukai