Anda di halaman 1dari 14

Kelompok 2:

Eri Ariyanti (211317081)


Atikah Rahmah (211317097)
Gus Rijal Mujahidin (211317099)

A. Studi Pendidikan Islam di Masa Sahabat


1. Masa khalifah Abu Bakar As Shidiq(632-634)
Masa awal kekhalifahan Abu Bakar diguncang pemberontakan oleh
orang-orang murtad, orang-orang yang mengaku sebagai nabi dan
orang-orang yang enggan membayar zakat. Berdasarkan hal ini Abu
Bakar memusatkan perhatiannya untuk memerangi para pemberontak
yang dapat mengacaukan keamanan dan memengaruhi orang-orang
Islam yang masih lemah imannya untuk menyimpang dari ajaran Islam.
Dengan demikian, dikirimlah pasukan untuk menumpas para
pemberontak di Yamamah. Dalam penumpasan ini banyak umat Islam
yang gugur, yang terdiri dari sahabat dekat Rasulullah dan para hafiz
Al-Qur'an, sehingga mengurangi jumlah sahabat yang hafal Al-Qur'an.
Oleh karena itu, Umar ibn Khatab menyarankan kepada khalifah Abu
Bakar untuk mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur'an. kemudian untuk
merealisasikan saran tersebut diutuslah Zaid bin Tsabit untuk
mengumpulkan semua tulisan al-Qur'an. Pola pendidikan pada masa
Abu Bakar masih seperti pada masa Nabi, baik dari scgi matcri maupun
lembaga pendidikannya.1

Dari segi materi pendidikan Islam terdiri atas pendidikan tauhid atau
keimanan, akhlak, ibadah, kesehatan, dan lain sebagainya.

a. Pendidikan keimanan, yaitu menanamkan bahwa satu-satunya yang


wajib disembah adalah Allah.

1
Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2007), 44-
45.
b. Pendidikan akhlak, seperti adab masuk rumah orang, sopan santun
bertetangga, bergaul dalam masyarakat, dan lain sebagainya.
c. Pendidikan ibadah seperti pelaksanaan shalat puasa dan haji.
d. Kesehatan seperti tentang kebersihan, gerak gerik dalam shalat
merupakan didikan untuk memperkuat jasmani dan rohani.

Asama Hasan Fahmi mengatakan bahwa kuttab didirikan oleh orang-


orang Arab pada masa Abu Bakar dan pusat pembelajaran pada masa ini
adalah Madinah, sedangkan yang bertindak sebagai tenaga pendidik
adalah para sahabat Rasul yang terdekat. Lembaga pendidikan Islam
adalah masjid, masjid dijadikan sebagai benteng pertahanan rohani,
tempat pertemuan dan lembaga pendidikan Islam. Selain itu, juga
digunakan sebagai tempat shalat berjamaah, membaca Al-Qur'an, dan
lain sebagainya.2

Berdasarkan uraian di atas, penulis berkesimpulan bahwa pelaksanaan


pendidikan Islam pada masa khalifah Abu Bakar ini bertempat di masjid.
Selain dijadikan sebagai tempat shalat berjamaah dan membaca al-
Qur’an, masjid juga dijadikan sebagai benteng pertahanan rohani
sekaligus tempat pertemuan dan lembaga pendidikan Islam.

2. Masa Umar bin Khatab (13-23 H: 634-644 M)


Sesuai dengan kedudukan manusia sebagai makhluk yang mulia,
pikiran perasaan dan kemampuan berbuat merupakan komponen dari
kemuliaan' dan kesempurnaan yang melengkapi ciptaan (kejadian)
manusia. Abu Bakar telah menyaksikan persoalan yang timbul di
kalangan kaum muslimin setelah Nabi wafat, berdasarkan hal inilah Abu
Bakar menunjuk penggantinya yaitu Umar bin Khatab, yang tujuannya
adalah untuk mencegah supaya tidak terjadi perselisihan dan perpecahan
di kalangan umat Islam, kebijakan Abu Bakar tersebut ternyata diterima
masyarakat. Pada masa khalifah Umar bin Khatab, kondisi politik dalam

2
Ibid., 45.
keadaan stabil, usaha perluasan wilayah Islam memperoleh hasil yang
gemilang. Wilayah Islam pada masa Umar bin Khatab meliputi
Semenanjung Arabia, Palestina, Syiria, Irak, Persia, dan Mesir.

Dengan meluasnya wilayah Islam mengakibatkan meluas pula


kehidupan dalam segala bidang. Untuk memenuhi kebutuhan ini
diperlukan manusia yang memiliki keterampilan dan keahlian, sehingga
dalam hal ini diperlukan pendidikan.

Pada masa khalifah Umar bin Khatab, sahabat-sahabat yang sangat


berpengaruh tidak diperbolehkan untuk keluar daerah kecuali atas izin
dari khalifah dan dalam waktu yang terbatas. Jadi, kalau ada diantara
umat Islam yang ingin belajar hadis harus pergi ke Madinah. ini berarti
bahwa penyebaran ilmu dan pengetahuan para sahabat dan tempat
pendidikan adalah terpusat di Madinah. Dengan meluasnya wilayah
Islam sampai keluar jazirah Arab, tampaknya khalifah memikirkan
pendidikan Islam di daerah-daerah yang baru ditaklukkan itu. Untuk itu,
Umar bin Khatab memerintahkan para panglima perangnya. Apabila
mereka berhasil menguasai satu kota, hendaknya mereka mendirikan
masjid sebagai tempat ibadah dan pendidikan.

Berkaitan dengan masalah pendidikan ini, khalifah Umar bin Khatab


merupakan seorang pendidik yang melakukan penyuluhan pendidikan
di kota Madinah, beliau juga menerapkan pendidikan di masjid-masjid
dan pasar-pasar serta mengangkat dan menunjuk guru-guru untuk tiap-
tiap daerah yang ditaklukkan itu, mereka bertugas mengajarkan isi al-
Qur‘an dan ajaran Islam lainnya, seperti fikih kepada penduduk yang
baru masuk Islam.

Di antara sahabat-sahabat yang ditunjuk oleh Umar bin Khatab ke


setiap daerah adalah Abdurahman bin Ma‘qal dan Imran bin al-Hashim.
Kedua orang ini ditempatkan di Basyrah. Abdurrahman bin Ghanam
dikirim ke Syiria dan Hasan bin Abi Jabalah dikirim ke Mesir. Adapun
metode yang mereka pakai adalah guru duduk di halaman masjid
sedangkan murid melingkarinya.

Meluasnya kekuasaan Islam, mendorong kegiatan pendidikan Islam


bertambah besar, karena mereka yang baru menganut agama Islam ingin
menimba ilmu keagamaan dari sahabat-sahabat yang menerima
langsung dari Nabi. Pada masa ini telah terjadi mobilitas penuntut ilmu
dari daerah-daerah yang jauh dari Madinah, sebagai pusat agama Islam.

Pada masa khalifah Umar bin Khatab, mata pelajaran yang diberikan
adalah membaca dan menulis al-Qur'an dan menghafalnya serta belajar
pokok pokok agama Islam. Pendidikan pada masa Umar bin Khatab ini
lebih maju dibandingkan dengan sebelumnya. Pada masa ini tuntutan
untuk belajar bahasa Arab juga sudah mulai tampak, orang yang baru
masuk Islam dari daerah yang ditaklukkan harus belajar bahasa Arab,
jika ingin belajar dan memahami pengetahuan Islam. Oleh karena itu,
pada masa ini sudah terdapat pengajaran bahasa Arab.

Berdasarkan hal di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa


pelaksanaan pendidikan di masa khalifah Umar bin Khatab lebih maju.
sebab selama Umar memerintah negara berada dalam keadaan stabil dan
aman. ini disebabkan di samping telah ditetapkannya masjid sebagai
pusat pendidikan, juga telah terbentuknya pusat-pusat pendidikan Islam
di berbagai kota dengan materi yang dikembangkan, baik dari segi ilmu
bahasa, menulis, dan pokok ilmu- ilmu lainnya. Pendidikan dikelola di
bawah pengaturan gubernur yang berkuasa saat itu, serta diiringi
kemajuan di berbagai bidang, seperti jawatan pos, kepolisian, baitulmal,
dan sebagainya. Adapun sumber gaji para pendidik pada waktu itu
diambilkan dari daerah yang ditaklukan dan dari baitulmal.3

3. Masa Khalifah Usman bin Affan (23-35 H: 644-656 M)

3
Ibid., 46-47.
Nama lengkapnya adalah Usman ibn Abil Ash ibn Umaiyah. Beliau
masuk Islam atas seruan Abu Bakar Siddiq. Usman bin Affan adalah
termasuk saudagar besar dan kaya dan sangat pemurah menafkahkan
kekayaannya untuk kepentingan umat Islam. Usman diangkat menjadi
khalifah hasil dari pemilihan panitia enam yang ditunjuk oleh khalifah
Umar bin Khatab menjelang beliau akan meninggal. Panitia yang enam
adalah: Usman, Ali bin Abi Thalib, Thalhah, Zubair bin Awwam, Saad
bin Abi Waqash, dan Abdurrahman bin’Auf.
Pada masa khalifah Usman bin Affan, pelaksanaan pendidikan islam
tidak jauh berbeda dengan masa sebelumnya. Pendidikan di masa ini
hanya melanjutkan apa yang telah ada, namun hanya sedikit terjadi
perubahan yang mewarnai pendidikan Islam. Para sahabat yang
berpengaruh dan dekat dengan Rasulullah yang tidak diperbolehkan
meninggalkan Madinah di masa khalifah Umar, diberikan kelonggaran
untuk keluar dan menetap di daerah-daerah yang mereka sukai.
Kebijakan ini sangat besar pengaruhnya bagi pelaksanaan pendidikan di
daerah-daerah.
Proses pelaksanaan pola pendidikan pada masa Usman ini lebih
ringan dan lebih mudah dijangkau oleh seluruh peserta didik yang ingin
menuntut dan belajar Islam dan dari segi pusat pendidikan juga lebih
banyak, sebab pada masa ini para sahabat bisa memilih tempat yang
mereka inginkan untuk memberikan pendidikan kepada masyarakat.
Khalifah Usman sudah merasa cukup dengan pendidikan yang sudah
berjalan, namun begitu ada satu usaha yang cemerlang yang telah terjadi
di masa ini yang berpengaruh luar biasa bagi pendidikan Islam, yaitu
untuk mengumpulkan tulisan ayat-ayat al-Qur‘an. Penyalinan ini terjadi
karena perselisihan dalam bacaan al-Qur‘an. Berdasarkan hal ini,
khalifah Usman memerintahkan kepada tim untuk penyalinan tersebut,
adapun tim tersebut adalah: Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Zaid
bin Ash, dan Abdurrahman bin Harist.
Bila terjadi pertikaian bacaan, maka harus diambil pedoman kepada
dialek suku Quraisy, sebab al-Qur'an ini diturunkan menurut dialek
mereka sesuai dengan lisan Quraisy, karena al-Qur'an diturunkan
dengan lisan Quraisy. Zaid bin Tsabit bukan orang Quraisy sedangkan
ketiganya adalah orang Quraisy.
Tugas mendidik dan mengajar umat pada masa Usman bin Affan
diserahkan pada umat itu sendiri, artinya pemerintah tidak mengangkat
guru-guru, dengan demikian para pendidik sendiri melaksanakan
tugasnya hanya dengan mengharapkan keridhaan Allah.
Bahwa pada masa khalifah Usman bin Affan tidak banyak terjadi
perkembangan pendidikan, kalau dibandingkan dengan masa
kekhalifahan Umar bin Khatab. Sebab pada masa khalifah Usman
urusan pendidikan diserahkan saja kepada rakyat. Dan apabila dilihat
dari segi kondisi pemerintahan Usman banyak timbul pergolakan dalam
masyarakat sebagai akibat ketidaksenangan mereka terhadap kebijakan
Usman yang mengangkat kerabatnya dalam jabatan pemerintahan.4
4. Masa Khalifah Ali bin Abi Thalib (35-40 H: 656-661 M)
Ali bin Abi Thalib bin Abdul Muthalib adalah putra dari paman
Rasulullah dan suami dari Fatimah anak Rasulullah. Ali bin Abi Thalib
diasuh dan dididik oleh Nabi. Ali terkenal sebagai anak yang mula-mula
beriman kepada Rasulullah.
Ali adalah khalifah yang ke empat setelah Usman bin Affan. Pada
pemerintahannya sudah diguncang peperangan dengan Aisyah (istri
Nabi) beserta Talhah dan Abdullah bin Zubair karena kesalahpahaman
dalam menyikapi pembunuhan terhadap Usman. Peperangan di antara
mereka disebut Perang Jamal (unta) karena Aisyah menggunakan
kendaraan unta. Setelah berhasil mengatasi pemberontakan Aisyah,
muncul pemberontakan lain. sehingga masa kekuasaan khalifah ini tidak
Pernah mendapatkan ketenangan dan kedamaian.

4
Ibid., 48-49
Muawiyah sebagai gubernur di damaskus memberontak untuk
menggulingkan kekuasaannya. Peperangan lni disebut dengan
peperangan Shiffin, karena terjadi di Shiffin. Ketika tentara Muawiyah
terdesak oleh pasukan Ali, maka Muawiyah segera mengambil siasat
untuk menyatakan tahkim (penyelesaian dengan adil dan damai).
Semula Ali menolak, tetapi karena desakan sebagian tentaranya
akhirnya Ali menerimanya, namun tahkim malah menimbulkan
kekacauan. Sebab Muawiyah bersifat curang. sebab dengan tahkim
Muawiyah berhasil mengalahkan Ali dan mendirikan pemerintahan
tandingan di Damaskus. Sementara itu, sebagian tentara yang
menentang keputusan Ali dengan cara tahkim, meninggalkan Ali dan
membuat kelompok tersendiri yaitu khawarij.
Berdasarkan uraian di atas, pada masa Ali telah terjadi kekacauan
dan pemberontakan, sehingga di masa ia berkuasa pemerintahannya
tidak stabil. Dengan kericuhan politik pada masa Ali berkuasa, kegiatan
pendidikan Islam mendapat hambatan dan gangguan. Pada saat itu Ali
tidak sempat lagi memikirkan masalah pendidikan, sebab keseluruhan
perhatiannya ditumpahkan pada masalah keamanan dan kedamaian bagi
masyarakat Islam. Dengan demikian, pola pendidikan pada masa
khulafaurrasyidin tidak jauh berbeda dengan masa Nabi yang menekan
pada pengajaran baca tulis dan ajaran-ajaran Islam yang bersumber pada
al-Qur'an dan Hadis Nabi.
Adapun pusat-pusat pendidikan pada masa khulafaur rasyidin sebagai
berikut:
a. Mekkah
Guru pertama di Mekkah adalah Muaz bin Jabal yang
mengajarkan Al-Qur‘an dan fikih.
b. Madinah
Sahabat yang terkenal antara lain: Abu Bakar, Usman bin Affan.
Ali bin Abi Thalib, dan sahabat-sahabat lainnya.
c. Basrah
Sahabat yang termasyhur antara lain: Abu Musa Al-Asy'ary, dia
adalah seorang ahli fikih dan Al-Qur'an.
d. Kuffah
Sahabat-sahabat yang termasyhur di sini adalah Ali bin Abi
Thalib dan Abdullah bin Mas‘ud. Abdullah bin Mas‘ud mengajarkan
Al-Qur‘an. ia adalah ahli tafsir dan hadis.
e. Damsyik (Syam)
Setelah Syam (Syiria) menjadi bagian negara Islam dan
penduduknya banyak beragama Islam, maka khalifah Umar
mengirim tiga orang guru ke negara itu. Yang dikirim itu adalah
Mu'az bin Jabal, Ubaidah, dan Abu Darda‘. Ketiga sahabat ini
mengajar di Syam pada tempat yang berbeda. Abu Darda’ di
Damsyik, Mu'az bin Jabal di Palestina, dan Ubaidah di Mesir.5
B. Studi Islam Pada Masa Dinasti Umayyah
Dinasti Umayyah meneruskan tradisi kemajuan dalam berbagai bidang
yang telah dilakukan masa kekuasaan sebelumnya, yaitu masa kekuasaan
khulafaur rasyidin. Dalam bidang peradaban, Dinasti Umayyah telah
menemukan jalan yang lebih luas ke arah pengembangan dan perluasan
berbagai bidang ilmu pengetahuan, dengan bahasa Arab sebagai media
utamanya.
Menurut Jurji Zaidan (George Zaidan) beberapa kemajuan dalam
bidang pengembangan ilmu pengetahuan sebagai berikut:
1. Pengembangan Bahasa Arab
Para penguasa Dinasti Umayyah telah menjadikan islam sebagai
daulah (negara), kemudian dikuatkannya dan dikembangkanlah bahasa
arab dalam wilayah kerajaan islam. Upaya tersebut dilakukan dengan
menjadikan bahasa arab sebagai bahasa resmi dalam tata usaha negara
dan pemerintahan.
2. Marbad Sebagai Kota Pusat Kegiatan Ilmu

5
Ibid., 49-50.
Dinasti Umayyah mendirikan kota kecil sebagai pusat kegiatan ilmu
pengetahun dan kebudayaan. Pusat kegiatan ilmu dan kebudayaan itu
dinamakan Marbad. Di kota inilah berkumpul para pujangga, filsuf,
ulama, penyair, dan cendekiawan lainnya.
3. Ilmu Qiraat
Ilmu qiraat adalah ilmu seni baca al-Quran. Ilmu ini merupakan ilmu
syariat tertua, yang telah dibina sejak zaman khulafaaur rasyidin.
Kemudian masa Dinasti Ummayah dikembangluaskan.
4. Ilmu Tafsir
Untuk memahami Al-Quran sebagai kitab suci diperlukan interpretasi
pemahaman secara komprehensif. Pada masa perintisan ilmu tafsir,
ulama yang membukukan ilmu tasir yaitu Mujahid.
5. Ilmu Hadis
Ketika kaum muslimin telah berusaha memahami Al quran, mereka
juga membutuhkan ucapan-ucapan Nabi yang disebut hadis. lalu
munculah usaha untuk mengumpulkan hadis, menyelidiki asal usulnya,
sehingga menjadi satu ilmu yang berdiri sendiri yang dinamakan ilmu
hadis.

6. Ilmu Fiqh
Para penguasa membutuhkan adanya peraturan-peraturan untuk
menjadi pedoman dalam menyelesaikan masalah. Mereka kembali lagi
kepada Al-Quran dan Hadis serta mengeluarkan syariat dan kedua
sumber tersebut untuk mengatur pemerintahan dan memimpin rakyat.
Al-Quran adalah dasar fiqh islam, dan zaman ini ilmu fiqh telah menjadi
satu cabang ilmu syariat yang berdiri sendiri.
7. Ilmu Nahwu
Pada masa Dinasti Umayyah karena wilayahnya berkembang secara
luas, khususnya ke wilayah di luar Arab, maka ilmu nahwu sangat
diperlukan. Hal tersebut karena bertambahnya orang-orang Ajam (non
Arab) yang masuk islam, sehingga keberadaan bahasa Arab sangat
dibutuhkan. Oleh karena itu, dibukukanlah ilmu nahwu dan
berkembanglah satu cabang ilmu yang penting untuk mempelajari
berbagai ilmu agama islam.
8. Ilmu Jughrafi dan Tarikh
Adanya pengembangan dakwah islam ke daerah-daerah baru yang
luas dan jauh menimbulkan gairah untuk mengarang ilmu jughrafi (ilmu
bumi atau geografi) serta ilmu tarikh.
9. Usaha Penerjemahan
Pada masa Dinasti Umayyah dimulai penerjemahan buku-buku ilmu
pengetahuan dari bahasa-bahasa lain ke dalam bahasa Arab. Akan tetapi
gerakan penerjemahan ini baru berkembang secara pesat pada zaman
Dinasti Abbasiyah.6
C. Studi Islam Pada Masa Dinasti Abbasiyah
Pada masa puncak keemasan kota Baghdad di masa pemerintahan
khalifah Harun al-Rasyid (786 – 809 M), dan anaknya al-Makmun (813 –
833 M), dari kota inilah memancar sinar kebudayaan dan peradaban Islam
ke seluruh dunia. Kebesarannya tidak terbatas pada negeri Arab, tetapi
meliputi seluruh negeri Islam. Baghdad ketika itu menjadi pusat peradaban
dan kebudayaan yang tertinggi di dunia.
Istana Harun al-Rasyid yang megah dijadikannya sebagai pusat
pengembangan ilmu pengetahuan dalam berbagai cabang ilmu. Di situ
berkumpul para ilmuwan dan orang-orang terpelajar dari berbagai penjuru
dunia. Dana besar disumbangkan Harun untuk melayani mereka sekaligus
disumbangkannya untuk pengembangan berbagai cabang ilmu
pengetahuan, pendidikan, agama dan kesenian.
Keluarga bangsawan Persia, yaitu Barmaki menjadi penyokong utama
bagi Harun, baik dalam mengelola urusan pemerintahan maupun
pengembangan ilmu pengetahuan. Dalam mengelola urusan pemerintahan,

6
Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2009), 133-
136.
Yahya bin Khalid (dari keluarga Barmaki) diangkat Harun menjadi Wazir
dan penasehatnya. Empat orang anaknya, yaitu: Fazal, Ja’far, Musa dan
Muhammad diangkat Harun menjadi pejabat negara. Mereka sangat cekatan
dan memiliki kemampuan administrasi yang tinggi. Dalam memajukan ilmu
pengetahuan, mereka ini berlomba-lomba memberikan hadiah yang mahal
kepada para penyair dan pencipta karya. Selain itu, pengembangan ilmu
pengetahuan dan intelektual di Baghdad dapat ditunjang oleh kesejahteraan
hidup para cendikiawan. Kaum sarjana itu telah dapat berpola hidup mewah.
Di masa khalifah al-Makmun, pertemuan-pertemuan ilmiah tidak lagi
dilaksanakan di istana. Tetapi dia membangun tempat pertemuan yang
dipusatkan di “Balai Ilmu” atau “Baitul Hikmah”. Balai ilmu itu senantiasa
ramai dikunjungi oleh ahli-ahli ilmu, ahli-ahli hukum, ahli-ahli pikir, sastra,
ahli agama dan bahasa. Mereka memperbincangkan dan bertukar pikiran
dalam segala macam permasalahan ilmu pengetahuan. Bahkan dalam
bidang kesusasteraan, al-Makmun sendiri yang memimpin pertemuan-
pertemuannya yang dihadiri oleh para ahli sastra. Hal itu berlangsung
selama masa pemerintahannya.
Untuk lebih pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan intelektual,
dan sebagai perwujudan kecintaan al-Makmun terhadap ilmu pengetahuan,
dia memfungsikan “balai ilmu” itu ke dalam tiga fungsi: Pertama, sebagai
akademi, kedua, sebagai perpustakaan, dan ketiga, sebagai tempat
penerjemahan berbagai macam ilmu pengetahuan. Sebagai akademi, “balai
ilmu” itu dijadikan tempat pertemuan diskusi-diskusi yang dihadiri berbagai
kalangan. Mereka itu adalah ahli-ahli filsafat Yunani, aliran filsafat India,
tokoh Syi’ah, tokoh Khawarij, dan tokoh-tokoh Sunni, termasuk juga dari
non-muslim. Banyak diantara tokoh-tokoh non-muslim itu setelah
mengadakan diskusi-diskusi dengan sukarela mereka memeluk Islam.
Sebagai perpustakaan, dijadikan pertemuan berbagai macam ilmu
pengetahuan yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, yang lebih
dikenal dengan “Perpustakaan Baitul Hikmah”. Dan sebagai balai
penerjemahan, khalifah menggaji banyak ahli dari berbagai cabang ilmu,
juga memberikan kepada mereka hadiah-hadiah berupa emas seberat buku
yang diterjemahkannya. Dengan demikian di masa al-Makmun terdapat tiga
macam aktivitas pengembangan ilmu, pertama, digalakkannya diskusi-
diskusi ilmiah di kalangan para tokoh dan ahli. Kedua, dilakukannya
penerjemahan buku-buku secara besar-besaran ke dalam bahasa Arab.
Ketiga, didirikannya perpustakaan sebagai tempat penyimpanan buku-buku
tersebut. Untuk tiga hal itu al-Makmun bertindak sebagai motor
penggeraknya. Hal itu membuktikan keintelektualan al-Makmun dan
kecintaannya kepada ilmu pengetahuan.7
Selain berfungsi sebagai biro penerjemahan, lembaga ini juga dikenal
sebagai pusat kajian akademis dan perpustakaan umum, serta memiliki
sebuat observatorium. Pada saat itu, observatorium-observatorium yang
banyak bermunculan juga berfungsi sebagai pusat-pusat pembelajaran
astronomi. Fungsi pembelajaran itu persis sama dengan rumah sakit, yang
pada awal kemunculannya sekaligus berfungsi sebagai pusat pendidikan
kedokteran. Akan tetapi, akademi Islam pertama yang menyediakan
berbagai kebutuhan fisik untuk mahasiswanya, dan menjadi model bagi
pembangunan akademi-akademi lainnya adalah Nizhamiyah yang didirikan
pada tahun 1051-1067 oleh Nizham Al-Mulk, seorang menteri dari Persia
pada kekhalifahan Bani Saljuk, sultan Alp Arslan, dan Maliksyah, yang juga
penyokong Umar Al-Khayyam.
Perpustakaan (khizanat al-kutub) dibangun di Syiraz oleh penguasa
Buwaihi, Adud Ad-Dawlah (977-982) yang semua buku-bukunya disusun
diatas lemari-lemari, didaftar dalam katalog, dan diatur dengan baik oleh
staf administrator yang berjaga secara bergiliran. Pada abad yang sama, kota
Basrah memiliki sebuah perpustakaan yang di dalamnya para sarjana
bekerja dan mendapatkan upah dari pendiri perpustakaan. Dan kota Rayy
terdapat sebuah tempat yang disebut Rumah Buku. Dikatakan bahwa tempat

7
Syamruddin Nasution, Sejarah Peradaban Islam, (Riau: Yayasan Pusaka Riau, 2013), 197-
201.
itu menyimpan ribuan manuskrip yang diangkut oleh lebih dari empat ratus
ekor unta. Seluruh naskah itu kemudian didaftar dalam sepuluh jilid katalog.
Selain perpustakaan, gambaran tentang budaya baca pada periode ini
bias juga dilihat dari banyaknya took buku. Toko-toko itu, yang juga
berfungsi sebagai agen pendidikan, mulai muncul sejak awal kekhalifahan
Abbasiyah. Al-Ya’qub meriwayatkan bahwa pada masanya (sekitar 891)
ibukota negara diramaikan oleh lebih dari seratus toko buku yang berderet
di satu ruas jalan yang sama.8

Pada masa dinasti ini berkembang ilmu pengetahuan agama, seperti ilmu
Al quran, qiraat, hadis, fiqh, ilmu kalam, bahasa dan sastra.
Empat mazhab fiqh tumbuh dan berkembang pada masa Dinasti
Abbasiyah. Imam Abu Hanifah adalah pendiri Mazhab Hanafi. Imam Malik
bin Anas banyak menulis hadis dan pendiri Mazhab Maliki. Muhammad bin
Idris Ash Syafi’i adalah pendiri Mahzab Syafi’i. Ahmad bin Hambal adalah
pemdiri Mahzab Hambali. Disamping itu berkembang pula ilmu filsafat,
logika, metafisika, matematika, ilmu alam, geografi, aljabar, aritmatika,
mekanika, astronomi, musik, kedokteran, dan kimia.9

8
Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2016), 136-137.
9
Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2009), 144-
145.
DAFTAR PUSTAKA

Amin, Samsul Munir. (2009). Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Sinar Grafika

Offset.

Nasution, Syamruddin. (2013). Sejarah Peradaban Islam. Riau: Yayasan


Pusaka Riau.

Nizar, Samsul. (2007). Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana Prenada


Media Grup.

Supriyadi, Dedi. (2016). Sejarah Peradaban Islam. Bandung: Pustaka Setia.

Anda mungkin juga menyukai