Anda di halaman 1dari 9

Hak-Hak Mayit Yang Wajib Ditunaikan : Menshalatkannya

HAK-HAK MAYIT YANG WAJIB DITUNAIKAN

Oleh
Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi

Ada empat perkara yang merupakan hak mayit yang wajib ditunaikan oleh siapa saja
yang menghadirinya, baik dari keluarga mayit atau bukan, yaitu memandikannya,
mengkafaninya, menShalatinya dan menguburkannya.

Hak Ketiga: Menshalatkannya Shalat Jenazah Shalat jenazah hukumnya fardhu kifayah,
berdasarkan perintah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam beberapa hadits, di
antaranya hadits Zaid bin Khalid al-Juhani, bahwasanya ada seorang laki-laki dari
Sahabat Rasulullah meninggal pada perang Khaibar, kemudian Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam dikabarkan tentang hal itu, lalu beliau bersabda:

‫ِهلل ِلفلفلتوشلناَ ِلملتاَلعهَه ِلفلولجودلناَ ِلخورززا ِدمون ِلخوردز ِاولليهَهوودد ِلل‬.‫ا‬


‫حلبهَكوم ِلغلل ِدفيِ ِلسدبويدل ِ د‬ ‫س ِلدلذلد ل‬
‫َ ِإدلن ِ ل‬:‫َ ِلفلقاَلل‬,‫ك‬
‫صاَ د‬ ‫ِهلل ِلفلتلغليلر و‬.‫حدبهَكوم‬
‫ت ِهَوهَجووهَه ِاللناَ د‬ ‫صللووا ِلعللىَ ِ ل‬
‫صاَ د‬ ‫ل‬
‫هَيلساَدوىِ ِددورلهلمويدن‬

“Shalatilah sahabat kalian.” Maka berubahlah raut muka para Sahabat mendengar
ucapan beliau, lalu beliau bersabda, “Sesungguhnya teman kalian telah melakukan
kecurangan dalam jihad fii sabilillah.” Kemudian kami memeriksa bekalnya dan kami
temukan kain sulaman milik Yahudi yang harganya tidak sampai dua dirham. [1]

Dikecualikan Hukum Wajibnya Shalat Jenazah Atas Dua golongan


Pertama: Anak kecil yang belum baligh ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma berkata, “Telah
meninggal Ibrahim putera Rasulullah, umurnya saat itu delapan belas bulan, dan
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menshalatinya.” [2]

Kedua: Orang yang mati syahid Diriwayatkan dari Anas Radhiyallahu anhu, ia berkata,
“Para syuhada’ Uhud tidak dimandikan, dan mereka dikuburkan bersama darah-darah
mereka, juga mereka tidak dishalati.” [3]

Akan tetapi tidak wajibnya shalat bukan berarti menafikan disyari’atkannya shalat atas
dua golongan tersebut.

Diriwayatkan dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, ia berkata: “Dihadapkan kepada


Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mayit seorang anak kecil dari kaum Anshar,
maka beliau menshalatinya…” [4]

Dan diriwayatkan juga dari ‘Abdullah bin Zubair Radhiyallahu anhuma, ia berkata,
“Bahwasanya pada perang Uhud Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
memerintahkan untuk membawa jenazah Hamzah, kemudian jasadnya ditutupi dengan
selembar kain, lalu beliau menshalatinya dan bertakbir sembilan kali takbir, selanjutnya
dishaffkan di hadapannya jenazah yang lain (korban perang Uhud), kemudian beliau
menshalati mereka dan jenazah Hamzah juga.” [5]

Semakin banyak orang yang shalat jenazah, maka itu lebih utama dan bermanfaat bagi
jenazah, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

‫صللىَ ِلعللويده ِأ هَلمةة ِدملن ِاولهَموسلددمويلن ِليوبلهَهَغوولن ِدماَلئةة ِهَكللهَهوم ِليوشلفهَعوولن ِللهَه ِإد ل‬
َ‫ل ِ ه‬
‫شدفهَعووا ِدفويده‬ ِّ‫لماَ ِدمون ِلملي ت‬.
‫ت ِهَت ل‬

“Tidaklah seorang mayit dishalatkan oleh kaum muslimin yang mencapai seratus orang
yang semuanya berhak memberi syafa’at kecuali mereka akan memberi syafa’at
baginya.”[6]

Juga dalam riwayat yang lain beliau bersabda:

‫ل ِلشويزئاَ ِإد ل‬
َ‫ل ِلشلفلعهَههَم ِ ه‬
‫ا ِدفويده‬ ‫ل ِهَيوشدرهَكوولن ِدباَ د‬ ‫َ ِلفليقهَووهَم ِلعللىَ ِلجلناَلزدتده ِألورلبهَعوولن ِلرهَج ز‬,‫ت‬
‫ل ِ ل‬ َ‫ِهلللماَ ِدمون ِلرهَجتِّل ِهَموسلدتِّم ِليهَمو ه‬.

“Tidaklah seorang muslim meninggal, kemudian dia dishalatkan oleh empat puluh laki-
laki yang tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apa pun, maka Allah akan
memberinya syafa’at.” [7]

Disunnahkan untuk membuat tiga shaff di belakang imam walaupun jumlah jama’ahnya
sedikit, sebagaimana yang diriwayatkan dari Martsad al-Yazani, dari Malik bin Hubairah,
ia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

‫ل ِألوولج ل‬
‫ب‬ ‫ف ِدملن ِاولهَموسلددمويلن ِإد ل‬ َ‫صللىَ ِلعللويده ِلثلللثهَة ِ ه‬
ِّ‫صفهَوو ت‬ ‫ت ِلفهَي ل‬
َ‫ت ِليهَموو ه‬
ِّ‫ِهلللماَ ِدمون ِلملي ت‬.

“Tidaklah seseorang meninggal, kemudian dishalatkan oleh tiga shaff dari kaum
muslimin kecuali wajiblah atasnya (mendapat syafa’at).”

Berkata Martsad, “Malik selalu membagi shaff orang yang menshalati jenazah menjadi
tiga shaff, berdasarkan hadits ini.” [8]

Jika terdapat banyak jenazah laki-laki dan perempuan, boleh menshalatkan jenazah
tersebut satu-persatu masing-masing dengan satu shalat dan ini adalah hukum asalnya.
Boleh juga menshalati semua jenazah tersebut hanya dengan satu shalat dan
meletakkan jenazah laki-laki -walaupun anak kecil- di dekat imam dan jenazah
perempuan mendekati arah Kiblat, sebagaimana yang diriwayat-kan dari Nafi’, dari Ibnu
‘Umar bahwasanya ia menshalati sembilan jenazah sekaligus, seraya mengaturnya
dengan posisi jenazah laki-laki mendekati imam, jenazah perempuan mendekati arah
Kiblat dan menjadikan mereka dalam satu shaff sambil meletakkan jenazah Ummu
Kultsum binti ‘Ali, isteri ‘Umar bin al-Khaththab, juga putranya yang bernama Zaid
bersama mereka. Dan yang menjadi imam saat itu Sa’id bin al-‘Ash, sedang di antara
makmum terdapat Ibnu ‘Abbas, Abu Hurairah, Abu Sa’id dan Abu Qatadah, kemudian
diletakkan anak kecil tersebut di dekat imam. Seorang laki-laki mengingkari hal tersebut
sambil melihat ke arah Ibnu ‘Abbas, Abu Hurairah, Abu Sa’id dan Abu Qatadah, ia
berkata, “Apa-apaan ini!’ Maka mereka semua berkata, “Inilah Sunnah.” [9]

Dimana Tempat Shalat Jenazah? Shalat jenazah boleh dilakukan di masjid, berdasarkan
riwayat dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, ia berkata, “Ketika Sa’ad bin Abi Waqqash
Radhiyallahu anhu wafat, isteri-isteri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta
supaya jenazahnya dibawa ke dalam masjid agar mereka bisa menshalatkannya, maka
para pembawa jenazah memenuhi permintaan mereka dan meletakkannya di dekat
kamar mereka, lalu mereka menshalatkannya. Selanjutnya jenazah Sa’ad dibawa keluar
melalui pintu jenazah yang mengarah ke tempat biasanya orang-orang duduk. Lalu
isteri-isteri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendengar kabar bahwasanya
orang-orang mencela hal itu sambil berkata, “Belum pernah selama ini jenazah dibawa
ke dalam masjid (ini adalah hal yang baru).” Ketika ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma
mendengar hal itu, ia berkata, “Sungguh sangat cepat orang mencela sesuatu yang
mereka tidak ada ilmu tentangnya, mereka mengecam kami karena membawa jenazah
ke dalam masjid, padahal tidaklah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menshalati
Suhail bin Ba-idha’ melainkan di tengah-tengah masjid.” [10]

Tetapi lebih utama jika shalat jenazah dilaksanakan di luar masjid, di suatu tempat yang
memang khusus dipersiapkan untuk shalat jenazah, sebagaimana yang diperaktekkan
pada zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan hal ini merupakan yang lebih
sering beliau lakukan.

Diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Orang-orang Yahudi


datang menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan membawa seorang
laki-laki dan perempuan dari kaum mereka yang telah melakukan zina, lalu beliau
memerintahkan agar mereka dirajam, maka mereka pun dirajam di dekat tempat yang
biasa digunakan untuk shalat jenazah yang terletak di samping masjid.” [11]

Dan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Bahwasanya Rasulullah


Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberitahu kami atas wafatnya raja Najasyi pada hari
dimana ia meninggal, kemudian beliau keluar ke tempat shalat (jenazah), lalu beliau
membuat shaff dan bertakbir empat kali.”[12]

Dilarang shalat jenazah di antara kuburan, berdasarkan hadits Anas Radhiyallahu anhua
bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang menshalatkan jenazah di
antara kuburan. [13]

Dimana Tempat Berdirinya Imam? Diriwayatkan dari Abu Ghalib al-Khayyath, dia
berkata, “Aku pernah menyaksikan Anas bin Malik menshalati jenazah laki-laki, maka
dia berdiri di samping kepala mayit, manakala jenazah laki-laki itu telah dibawa,
dihadapkan kepadanya jenazah perempuan dari Quraisy atau Anshar, lalu dikatakan
kepadanya, ‘Wahai Abu Hamzah (Anas) ini adalah jenazah Fulanah binti Fulan,
shalatilah ia.’ Maka dia pun menshalatkannya dan dia berdiri di tengah-tengah jenazah
itu. Saat itu ikut hadir bersama kami al-‘Ala-i bin Ziyad al-‘Adawi, ketika dia melihat
perbedaan tempat berdirinya Anas saat menshalati jenazah laki-laki dan perempuan,
dia pun bertanya, ‘Wahai Abu Hamzah, apakah memang demikian posisi berdirinya
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam saat menshalati mayit sebagaimana yang engkau
lakukan?’ Dia pun menjawab, ‘Ya, memang demikian.’ Kemudian al-‘Ala-i menoleh ke
arah kami sambil berkata, ‘Peliharalah oleh kalian (Sunnah ini).’”[14]

Tata Cara Shalat Jenazah Boleh bertakbir saat shalat jenazah sebanyak empat, lima
hingga sembilan kali, maka hendaklah ini dilakukan sesekali dan pada kesempatan yang
lain menggunakan yang lainnya.

Adapun bertakbir empat kali, maka hal ini berdasarkan pada hadits Abu Hurairah
Radhiyallahu anhua, ia berkata, “Bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
memberitahu kami atas wafatnya raja Najasyi pada hari dimana ia meninggal, kemudian
beliau keluar ke tempat shalat (jenazah), lalu beliau membuat shaff dan bertakbir empat
kali.” [15]

Sedangkan dalil tentang bertakbir lima kali adalah hadits dari ‘Abdurrahman bin Abi
Laila, dia berkata, “Zaid bin Arqam bertakbir pada saat shalat jenazah empat kali dan
pada kesempatan yang lain lima kali, maka aku pun bertanya kepadanya tentang hal itu,
maka dia menjawab, “Beginilah dahulu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bertakbir.” [16]

Adapun bertakbir enam atau tujuh kali, terdapat beberapa hadits mauquf yang
menerangkan akan hal ini, namun hukumnya termasuk dalam hadits-hadits yang marfu’
karena diriwayatkan bahwa sebagian Sahabat utama melakukan hal ini di hadapan
Sahabat yang lainnya dan tidak ada seorang pun dari mereka yang menentangnya, di
antaranya:

Pertama:
Diriwayatkan dari ‘Abdullah bin Ma’qil, bahwasanya ‘Ali bin Abi Thalib menshalatkan
jenazah Sahal bin Hanif, dan dia bertakbir enam kali, kemudian dia menoleh kepada
kami sambil berkata, “Dia termasuk ahli Badar.”[17]

Kedua:
Dan dari Musa bin ‘Abdillah bin Yazid, dia berkata, “Bahwasanya ‘Ali menshalatkan
jenazah Abu Qatadah, kemudian ia bertakbir tujuh kali dan sesungguhnya Abu Qatadah
adalah ahli Badar.” [18]

Ketiga:
Juga dari ‘Abdu Khair, dia berkata, “Bahwasanya ‘Ali bertakbir enam kali saat
menshalatkan ahli Badar, saat menshalati Sahabat yang lainnya dia bertakbir lima kali,
dan jika menshalatkan orang selain mereka dia bertakbir empat kali.”[19]

Adapun bertakbir sembilan kali, maka dalilnya adalah apa yang diriwayatkan dari
‘Abdullah bin Zubair Radhiyallahu anhu bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
menshalati jenazah Hamzah dan beliau bertakbir sembilan kali.[20]
Disyari’atkan Mengangkat Kedua Tangan Pada Saat Takbir Yang Pertama
Diriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Abbas bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam mengangkat kedua tangannya pada takbir yang pertama ketika shalat Jenazah,
kemudian beliau tidak mengulanginya lagi.” [21]

Kemudian meletakkan tangan kanan di atas telapak tangan, pergelangan dan lengan
tangan sebelah kiri, lalu meletakkan keduanya di atas dada, sebagaimana yang
diriwayatkan dari Suhail bin Sa’ad, dia berkata, “Bahwasanya orang-orang diperintahkan
untuk meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri di saat shalat.” [22]

Selanjutnya membaca surat al-Faatihah dan surat yang lainnya setelah melakukan takbir
yang pertama, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Thalhah bin ‘Abdillah bin ‘Auf, dia
berkata, “Aku pernah shalat Jenazah di belakang Ibnu ‘Abbas dan saat itu ia membaca
surat al-Faatihah dan sebuah surat lainnya. Ia sengaja mengeraskan bacaannya agar aku
mendengarnya, setelah selesai shalat aku memegang tangannya dan menanyakan hal
itu, ia pun menjawab, ‘Aku sengaja mengeraskan suaraku agar engkau mengetahui
bahwa ini adalah Sunnah dan haq.’” [23]

Dan dibaca secara sirri (pelan tidak terdengar), sebagaimana yang diterangkan dalam
hadits Abu Umamah bin Sahl, ia berkata: “Termasuk Sunnah dalam shalat Jenazah untuk
membaca surat al-Faatihah secara pelan tidak terdengar (sirr) setelah takbir yang
pertama, kemudian bertakbir tiga kali, lalu salam ketika takbir yang terakhir.” [24]

Setelah itu dilanjutkan dengan melakukan takbir yang kedua dan membaca shalawat
kepada Nabi Shallallau ‘alaihi wa sallam. Ini semua berdasarkan hadits Abu Umamah
yang telah disebutkan tadi, bahwasanya ada seorang Sahabat yang mengabarinya,
“Sesungguhnya termasuk Sunnah dalam shalat Jenazah agar imam bertakbir, kemudian
membaca surat al-Faatihah setelah takbir yang pertama secara sirr, lalu dilanjutkan
dengan membaca shalawat atas Nabi dan berdo’a dengan ikhlas untuk si mayit pada tiga
takbir yang berikutnya, dan dia tidak membaca padanya satu surat pun, kemudian
setelah itu dia salam dengan sirr pula.” [25]

Kemudian dilanjutkan dengan melakukan takbir yang berikutnya, dan mengikhlaskan


do’a untuk si mayit pada sisa takbir tersebut, berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam :

َ‫ت ِلفأ لوخلد ه‬


‫صووا ِللهَه ِاللدلعاَلء‬ ‫صللويهَتوم ِلعللىَ ِاوللملي د‬
‫ِهللإلذا ِ ل‬.

“Jika kalian menshalatkan jenazah, maka do’akanlah ia dengan penuh keikhlasan.” [26]

Hendaklah berdo’a dengan do’a-do’a yang telah diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam, di antaranya do’a yang diriwayatkan dari ‘Auf bin Malik Radhiyallahu
anhu, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menshalatkan jenazah, maka
aku hapalkan do’a yang beliau baca, yaitu:
َ‫َ ِلولنلقده ِدملن ِاوللخلطاَلياَ ِلكلماَ ِهَيلنققىَ ِاوللثوو ه‬,‫َ ِلولولسوع ِلمودلخللهَه ِلواوغدسولهَه ِدباَوللماَدء ِلواللثولدج ِلواوللبلردد‬,‫َ ِلوألوكدروم ِهَنهَزللهَه‬,‫ف ِلعونهَه‬
‫ب‬ َ‫لالللهَهلم ِاوغدفور ِللهَه ِلواورلحومهَه ِلولعاَدفده ِلواوع ه‬
‫ل‬ ‫و‬
‫ب ِالقوبدر‬ ‫ل‬ ‫و‬ ‫ل‬ ‫ل‬ ‫ل‬
‫َ ِلوأدعذهَه ِدمون ِلعذا د‬,‫خلهَه ِاللجنة‬ ‫و‬ ‫و‬ ‫ل‬
‫جده ِلوأود د‬‫َ ِلوزووزجاَ ِخويزرا ِدمون ِزوو د‬,‫س ِلوألوبددولهَه ِلدازرا ِلخويزرا ِدمون ِلدادرده ِلوأوهل ِخويزرا ِدمون ِأوهلدده‬
‫ل‬ ‫ل‬ ‫ل‬ ‫ل‬ ‫ل‬ ‫ز‬ ‫ل‬ ‫ض ِدملن ِاللدلن د‬ َ‫والْوبلي ه‬
‫ب ِاللناَدر‬ ‫ِهلللولعلذا د‬.

‘Ya Allah ampunilah dan rahmatilah dia, bebaskanlah ia dan maafkanlah, dan
tempatkanlah ia di tempat yang mulia (Surga), lapangkanlah kuburnya, dan
mandikanlah ia dengan air, salju dan embun, bersihkanlah ia dari kesalahannya
sebagaimana kain putih dibersihkan dari kotoran, dan gantikanlah baginya rumah yang
lebih baik dari rumahnya, keluarga yang lebih baik dari keluarganya, dan isteri yang
lebih baik dari isterinya, dan masukkanlah ia ke dalam Surga serta jauhkanlah ia dari
adzab kubur dan adzab Neraka.’”

Berkata ‘Auf bin Malik, “Aku berharap seandainya aku yang menjadi mayit itu.”[27]

Disyari’atkan untuk berdo’a di antara takbir yang terakhir dan salam. Hal ini
berdasarkan hadits Abu Ya’fur, dari ‘Abdullah bin Abi Aufa, ia berkata, “Aku
menyaksikannya (yaitu Ibnu Abi Aufa) melakukan takbir dalam shalat Jenazah empat
kali, kemudian dia berdiri sejenak -berdo’a- kemudian berkata, ‘Apakah kalian
menyangka aku bertakbir lima kali?’ Yang hadir menjawab, ‘Tidak.’ Dia pun berkata,
‘Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertakbir empat kali.’” [28]

Setelah itu, melakukan salam dua kali seperti salam dalam shalat fardhu, ke sebelah
kanan dan kiri, berdasarkan hadits ‘Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu, dia berkata,
“Tiga hal yang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu melakukannya namun
ditinggalkan oleh manusia, salah satunya adalah mengucapkan salam ketika shalat
jenazah, sebagaimana salam dalam shalat.” [29]

Diperbolehkan hanya dengan satu salam yang pertama saja, berdasarkan hadits Abu
Hurairah Radhiyallahu anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat
jenazah, kemudian beliau bertakbir empat kali serta salam satu kali. [30]

Tidak Dibolehkan Menshalatkan Jenazah Pada Waktu-Waktu Yang Dilarang Padanya


Mengerjakan Shalat Kecuali Karena Darurat Berdasarkan hadits ‘Uqbah bin ‘Amir, dia
berkata, “Ada tiga waktu di mana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kami
untuk shalat dan menguburkan mayit padanya, yaitu ketika matahari terbit hingga
meninggi, ketika tengah hari hingga matahari condong ke barat, dan ketika matahari
hampir terbenam hingga terbenam.” [31]

Keutamaan Shalat Jenazah dan Mengantarnya (Ke Kuburan) Diriwayatkan dari Abu
Hurairah Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:

‫صلغهَرهَهملاَ ِدموثلل ِأ هَهَحتِّد‬ ‫صللىَ ِلعللىَ ِلجلناَلزتِّة ِلوللوم ِليوتلبوعلهاَ ِلفللهَه ِقيلرا ة‬
‫َ ِأل و‬:‫َ ِدقويلل ِلولماَ ِدقويلرالطاَدن؟ِ ِلقاَلل‬,‫ٌ ِلفإدون ِلتدبلعلهاَ ِلفللهَه ِدقويلرالطاَدن‬،‫ط‬ ‫د‬ ‫ِهلللمون ِ ل‬.

“Barangsiapa yang menshalati jenazah, kemudian dia tidak mengantarnya (ke kuburan),
maka dia mendapatkan satu qirath. Jika dia mengantarnya, maka baginya dua qirath.”
Para Sahabat bertanya, “Berapa ukuran dua qirath itu?” Beliau menjawab, “Ukuran
terkecilnya seperti gunung Uhud.” [32]

Dan keutamaan dalam mengantar jenazah ini hanya khusus untuk laki-laki, berdasarkan
pada larangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada para wanita untuk
mengikuti jenazah, dan ini merupakan larangan yang maknanya penyucian. Telah
diriwayatkan dari Ummu ‘Athiyah, dia berkata, “Kami (wanita) dilarang ikut mengantar
jenazah tetapi larangan itu tidak dikeraskan atas kami.” [33]

Diharamkan mengiringi jenazah dengan hal-hal yang bertentangan dengan syari’at dan
telah diterangkan dalam beberapa dalil tidak boleh mengiringinya dengan dua perkara,
yaitu menangis dengan suara keras dan mengiringinya dengan dupa/kemenyan,
sebagaimana sabda beliau:

‫ت لولل لناتر‬ ‫للتعتتببعع اتللجنَا للزةل بب ل‬.


‫صتو ت‬

“Janganlah kalian iringi jenazah dengan rintihan suara dan api.” [34]

Dan termasuk dalam hal-hal yang dilarang adalah mengeraskan suara dzikir di depan
jenazah, karena hal itu adalah bid’ah, berdasarkan riwayat Qais bin ‘Ibad, ia berkata,
“Para Sahabat Rasulullah membenci mengeraskan suara di dekat jenazah.” [35]

Disebabkan juga karena hal ini merupakan bentuk penyerupaan dengan adat umat
Nasrani, sesungguhnya mereka (Nasrani) mengeraskan suara mereka saat membaca
Injil dan dzikir dengan suara sendu bertalu-talu yang melambangkan rasa
belasungkawa. Dan lebih buruk dari itu, mengiringinya dengan alat-alat musik yang
dimainkan dengan irama penuh haru, sebagaimana yang banyak dilakukan di negara-
negara Islam karena meniru orang-orang kafir. Hanya kepada Allah-lah kita mohon
pertolongan.

Diwajibkan Untuk Mempercepat Langkah Saat Mengusung Mayit Tetapi Bukan Dengan
Lari-Lari Kecil
Berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

‫ضععتونلهع لعتن برلقاببعكتم‬


‫ك فللشرَر تل ل‬ ‫ فلإ بتن تلعكتن ل‬,‫ألتسبرععتوا بباتللجنَا للزبة‬.
‫ لوإبتن تعكتن لغتيلر لذلب ل‬,‫صالبلحةة فلختيرْر تعقلددعمتونللها لعللتيبه‬

“Segerakanlah pemakaman jenazah, jika ia termasuk orang-orang yang berbuat


kebaikan, maka kalian telah menyerahkan kebaikan itu kepadanya, dan jika dia bukan
termasuk orang yang berbuat kebaikan, maka kalian telah melepaskan kejelekan dari
pundak-pundak kalian.” [36]

Boleh berjalan di depan dan di belakang jenazah. Juga di sebelah kiri dan kanannya, tapi
dengan jarak yang tidak terlalu jauh dengan mayit, kecuali orang yang mengendarai
kendaraan, maka ia harus berjalan di belakang jenazah, sebagaimana yang diterangkan
dalam hadits al-Mughirah bin Syu’bah bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:

‫ لواتللمابشىِ لحتي ع‬,‫ف اتللجلنَائببز‬


‫ث لشالء بمتنَلها‬ ‫ب لختل ل‬
‫لالررابك ع‬.

“Orang yang mengendarai kendaraan hendaknya berjalan di belakang jenazah,


sedangkan yang berjalan kaki boleh sebelah mana saja yang dia suka.” [37]

Tetapi berjalan di belakang jenazah lebih utama, karena hal ini sesuai dengan sabda
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

‫لواترببععوا اتللجلنَائبلز‬.

“Dan ikutilah jenazah.”

Dan hal ini diperkuat lagi dengan perkataan ‘Ali Radhiyallahu anhu, “Berjalan di
belakang jenazah lebih utama dari pada berjalan di depannya, sebagaimana keutamaan
orang yang shalat berjama’ah dari orang yang shalat sendiri.” [38]

Apa Yang Harus Diucapkan Oleh Orang Yang Masuk Atau Melewati Kuburan
Diriwayatkan dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, ia bertanya, “Wahai Rasulullah, apa
yang harus aku ucapkan untuk mereka (mayit)?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Ucapkanlah:

‫ لوإبرنا إبتن لشالء اع ببعكتم للللبحقعتولن‬,‫ لويلترلحعم اع اتلعمتستلتقبدبمتيلن بمرنَا لواتلعمتستلأتبخبرتيلن‬,‫لالرسللعم لعللىِ ألتهبل الددليابر بملن اتلعمتؤبمنَبتيلن لواتلعمتسلببمتيلن‬.

‘Semoga keselamatan selalu dilimpahkan kepada penghuni perkampungan ini dari


kaum muslimin dan mukminin, dan semoga Allah merahmati orang-orang yang telah
terdahulu dari kita dan juga mereka yang datang belakangan, dan insya Allah kami akan
menyusul kalian semua.” [39]

Juga dari Sulaiman bin Buraidah Radhiyallahu anhuma, dari ayahnya, dia berkata,
“Bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan kepada kami jika
kami keluar menuju kuburan agar mengucapkan:

‫ ألتسئلعل ال للنَا ل لوللعكعم اتللعافبيلةل‬,‫ لوإبرنا إبتن لشالء اع ببعكتم للللبحقعتولن‬,‫لالرسللعم لعللتيعكتم ألتهلل الددليابر بملن اتلعمتؤ بمنَبتيلن لواتلعمتسلببمتيلن‬.

“Semoga keselamatan selalu dilimpahkan kepada penghuni perkampungan ini dari


kaum muslimin dan mukminin, dan insya Allah kami akan menyusul kalian semua, dan
aku memohon kepada Allah agar memberikan keselamatan kepada kita semua.’”[40]
Read more https://almanhaj.or.id/1875-hak-hak-mayit-yang-wajib-ditunaikan-
menshalatkannya.html

Anda mungkin juga menyukai