Anda di halaman 1dari 12

PATOFISIOLOGI SINDROMA KARDIORENAL TIPE 4

M. Fakhruddin Fakhry

PENDAHULUAN
Penyakit ginjal kronik (PGK) merupakan masalah kesehatan global yang terjadi di
seluruh dunia. Hampir di setiap negara terjadi peningkatan prevalensi hipertensi,
hiperlipidemia, dan diabetes yang berakibat peningkatan insidensi PGK. Di Amerika serikat
diperkirakan 30 juta orang (13% dari total populasi) telah menderita PGK. Berdasarkan data
Riskesdas 2013 didapatkan prevalensi gagal ginjal kronik di Indonesia sekitar 0,2% (500 ribu
orang) (McCullough et al, 2013; Kemenkes RI, 2013).
Jantung dan ginjal merupakan dua organ yang berhubungan sangat erat. Kelainan
salah satu organ akan mengakibatkan kelainan pada organ yang lain. Pasien PGK memiliki
resiko 10-20 kali lebih tinggi untuk mengalami kematian karena kejadian kardiovaskular
dibandingkan populasi umum. Meskipun metode perawatan pada penyakit kardiovaskular
(PKV) telah berkembang dengan pesat beberapa dekade terakhir ini namun kejadian
kardiovaskular masih menjadi penyebab utama kematian pada pasien PGK. Lebih dari
separuh kematian pada pasien PGK disebabkan oleh kejadian kardiovaskular seperti gagal
jantung kongestif, infark miokard, dan kematian jantung mendadak. Menurut data dari
Indonesia Renal Registry (IRR) pada tahun 2012 didapatkan 47% pasien PGK di Indonesia
meninggal karena kejadian kardiovaskular (Pernefri, 2012; McCullough et al, 2013; Granata
et al, 2016).
Bahasan mengenai interaksi jantung dan ginjal tersebut telah memunculkan sebuah
terminologi baru yakni sindroma kardiorenal (cardiorenal syndrome). Sindroma kardiorenal
(SKR) tipe 4 dapat didefinisikan sebagai kelainan kronik fungsi ginjal yang menyebabkan
terjadinya penyakit jantung. Seiring dengan meningkatnya prevalensi penyakit ginjal kronik,
sindroma kardiorenal tipe 4 menjadi masalah kesehatan yang serius yang dikaitkan dengan
angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi (Clementi et al, 2013).
Pemahaman mengenai patofisiologi sindroma kardiorenal memegang peranan penting
sebagai dasar manajemen penatalaksanaan pasien dengan sindrom kardiorenal. Dalam
tinjauan kepustakaan ini akan dibahas secara khusus mengenai patofisiologi sindroma
renokardiak kronik atau SKR tipe 4.

1
DEFINISI
Terminologi Sindroma kardiorenal (SKR) pertama kali digunakan oleh Ledoux pada
tahun 1951 yang menunjukkan kondisi kombinasi gagal jantung dan gagal ginjal. Menurut
konsensus terbaru, SKR didefinisikan sebagai gangguan pada jantung dan ginjal, di mana
gangguan akut maupun kronik pada salah satu organ dapat memicu gangguan akut maupun
kronik pada organ yang lain (McCullough et al, 2013).
Konsensus Acute Dialysis Quality Initiative (ADQI) membagi sindroma kardiorenal
menjadi 5 subtipe
Tabel 1. Klasifikasi pembagian SKR (McCullough et al, 2013)
SKR tipe 1 (Sindrom Kardiorenal Akut)
Perburukan fungsi jantung akut (Acutely decompensated congestive heart failure)
menyebabkan gangguan ginjal akut
SKR tipe 2 (Sindroma Kardiorenal Kronik)
Abnormalitas kronik pada fungsi jantung (chronic congestive heart failure) menyebabkan
gangguan gagal ginjal kronik yang progresif dan permanen
SKR tipe 3 (Sindroma Renokardiak Akut)
Perburukan fungsi ginjal akut (acute kidney injury ) menyebabkan gangguan jantung akut
(gagal jantung akut)
SKR tipe 4 (Sindroma Renokardiak Kronik)
Penyakit ginjal kronik menyebabkan penurunan fungsi jantung, hipertrofi jantung, fibrosis,
dan peningkatan resiko terjadinya kejadian kardiovaskular
SKR tipe 5 (Sindroma Kardiorenal Sekunder)
Kondisi sistemik (sepsis) menyebabkan gangguan akut jantung dan ginjal

Dari tabel di atas SKR tipe 4 dapat didefinisikan sebagai sindroma di mana terjadi
Penyakit ginjal kronik menyebabkan penurunan fungsi jantung, hipertrofi jantung, fibrosis,
dan peningkatan resiko terjadinya kejadian kardiovaskular (McCullough et al, 2013).

EPIDEMIOLOGI
Penyakit ginjal kronik (PGK) telah menjadi masalah kesehatan yang bersifat global.
Di Amerika diperkirakan sebesar 17% dari populasi (30 juta orang) telah menderita PGK.
Penyakit ginjal kronik ditandai dengan penurunan laju filtrasi glomerulus <60 ml/ menit/1,73
m2 selama > 3 bulan atau adanya kerusakan ginjal > 3 bulan, berupa kelainan struktural atau
fungsional. Penurunan GFR dikaitkan dengan meningkatnya angka morbiditas dan mortalitas.
Populasi PGK memiliki angka mortalitas lebih tinggi karena penyakit kardiovaskular
dibandingkan populasi umum. Angka mortalitas akan semakin meningkat seiring

2
bertambahnya stadium PGK. Prevalensi terjadinya penyakit kardiovaskular pada pasien PGK
yang menjalani hemodialisis mencapai angka 80%. Pasien berusia 25-35 tahun yang
menjalani renal replacement therapy (RRT) memiliki angka mortalitas 375 kali lebih besar
dibandingkan populasi normal dengan kejadian kardiovaskular sebagai penyebab kematian
paling banyak sebesar 50% (NKF, 2002; Pateinakis & Papagianni, 2011; House, 2012).
Pada suatu studi didapatkan hubungan antara penurunan eGFR dengan meningkatnya
angka kematian dan kejadian kardiovaskular termasuk angka rawat inap karena penyakit
arteri koroner, gagal jantung, stroke, dan penyakit arteri perifer. Pada studi Atheroslerosis
Risk in Community (ARIC) angka eGFR <60 ml/ menit/1,73 m2 berhubungan dengan
meningkatnya kejadian penyakit arteri perifer atau gagal jantung. Menurut data laporan
tahunan United States Renal Data System 2007 didapatkan komorbid kardiovaskular pada
pasien yang menjalani dialisis yaitu gagal jantung kongestif sebesar 34%, penyakit
aterosklerotik jantung sebesar 22,5%, stroke sebesar 10%, dan penyakit pembuluh darah
perifer sebesar 15% (Pateinakis & Papagianni, 2011; House, 2012).
Selain penurunan eGFR, adanya proteinuria juga dikaitkan dengan meningkatnya
kejadian kematian karena kardiovaskular. Adanya mikro atau makroalbuminuria yang disertai
dengan penurunan eGFR merupakan prediktor kematian karena kardiovaskular pada pasien
dengan diabetes maupun non-diabetes. Pada salah satu studi didapatkan bahwa adanya
proteinuria berhubungan dengan meningkatnya angka kejadian infark miokard. Derajat
keparahan proteinuria merupakan prediktor yang lebih kuat daripada eGFR dalam
menentukan prognosis dari pasien dengan PGK (Pateinakis & Papagianni, 2011).
PATOFISIOLOGI
Patofisiologi dari sindroma kardiorenal tipe 4 sangat kompleks dan terdiri dari
berbagai macam mekanisme. Patofisiologi dari SKR tipe 4 bersifat progresif yang berarti
dengan semakin meningkatnya stadium PGK maka jumlah mekanisme yang berperan dalam
proses patofisiologi SKR akan bertambah banyak. Patofisiologi tersebut juga bersifat dua
arah yang berarti kondisi pada suatu organ akan mempengaruhi organ yang lain (House,
2012).

3
Gambar 1. Patofisiologi terjadinya sindroma kardiorenal tipe 4 (McCullough et al, 2013)

Faktor risiko kardiovaskular pada pasien PGK dapat dibagi menjadi faktor risiko
tradisional dan faktor risiko non-tradisional (CKD-related risk factors). Kedua jenis faktor
risiko tersebut memainkan peran penting dalam patofisiologi SKR tipe 4. Faktor risiko
tradisional meliputi faktor genetik, usia, jenis kelamin, riwayat keluarga, hipertensi,
dislipidemia, dan diabetes melitus. Sedangkan CKD-related risk factors meliputi kelainan
metabolik dan hemodinamik yang disebabkan oleh PGK seperti volume overload, anemia,
keradangan kronis, dan lain sebagainya (Pateinakis & Papagianni, 2011; House, 2012).

Hiperaktifitas sistem saraf simpatis


Ginjal merupakan organ yang memiliki inervasi yang terdiri dari kemoreseptor dan
baroreseptor. Baroreseptor merupakan reseptor yang berespon terhadap perubahan perfusi
dan tekanan pada ginjal, sedangkan kemoreseptor adalah reseptor yang berespon terhadap
metabolit iskemik dan racun uremik. Saraf aferen yang terdapat di ginjal ini berhubungan
dengan bagian otak yang mengatur tekanan darah dan aktivitas sistem saraf simpatis. Adanya
jejas di ginjal mengaktivasi saraf aferen ginjal yang memicu otak untuk meningkatkan
aktivitas sistem saraf simpatis. Metabolit iskemik dapat mengaktivasi kemoreseptor ginjal
sehingga meningkatkan aktivitas sistem saraf simpatis yang bertujuan untuk mengarahkan
aliran darah menuju area yang mengalami iskemik (Campese, 2014).
Pada pasien PGK terjadi penurunan bioavailabilitas nitrit oxide (NO) karena stres
oksidatif, inflamasi, racun uremik dan akumulasi inhibitor NOS seperti asymmetric
dimethylarginine (ADMA) yang menyebabkan terjadinya overaktivitas kronik dari sistem

4
saraf simpatis. Nitrit oxide memiliki efek inhibisi pada aktivitas sistem saraf simpatis. Stres
oksidatif juga bisa memicu overaktivitas saraf simpatis. Akumulasi reactive oxygen species
(ROS) mengakibatkan peningkatan aktivitas sistem saraf simpatis dan tekanan darah. Stres
oksidatif mengurangi bioavailabilitas NO yang juga mengakibatkan overaktivitas saraf
simpatis. kadar Angiotensin II (AT II) yang tinggi pada pasien PGK mengakibatkan aktivasi
dari sistem saraf simpatis. Angiotensin II mampu mencapai area di otak yang mengatur
ativitas saraf simpatis. Selain itu, AT II juga mampu meningkatkan aktivitas NE di saraf
simpatis dengan cara meningkatkan proses pelepasan dan mengurangi proses pengambilan
kembali NE (Schwedhelm & Boger, 2011; Campese, 2014).
Aktivitas sistem saraf simpatis pada pasien PGK juga dipengaruhi oleh beberapa
mekanisme lain seperti penurunan tonus dopaminergik sentral, penurunan sensitivitas
baroreseptor, peningkatan β endorfin plasma dan β lipotropin, peningkatan serum leptin, dan
penurunan availabilitas renalase (Campese, 2014).
Overaktivasi dari sistem saraf simpatis akan menyebabkan efek kronotropik
(peningkatan denyut jantung), inotropik (peningkatan kontraktilitas), dromotropik
(peningkatan konduksi atrioventrikuler), dan bathmotropik (peningkatan eksitabilitas).
Aktivasi sistem saraf simpatis juga meningkatkan resistensi pembuluh darah perifer, retensi
air dan sodium, serta aktivasi RAS. Overaktivitas dari sistem saraf simpatis yang berlangsung
terus menerus akan mempercepat terjadinya hipertensi dan gagal jantung (Chrapko et al,
2014).

Overload volume dan Overload tekanan


Abnormalitas struktur dan fungsi ventrikel kiri merupakan hal yang umum pada
pasien PGK. Hipertrofi miokard berhubungan dengan berkurangnya densitas kapiler yang
menyebabkan ketidakseimbangan antara kebutuhan dan suplai oksigen sehingga terjadi
iskemi. Proses iskemi berulang akan memicu apoptosis sel miokard dan penumpukan kolagen
serta matriks ekstraseluler yang menyebabkan fibrosis interstitial. Jaringan fibrotik akan
menyebabkan kekakuan pada ventrikel kiri, meningkatkan tekanan pengisian ventrikel kiri,
mengganggu pengisian diastolik, serta disfungsi diastolik. Fibrosis miokard juga semakin
memperparah iskemi yang pada akhirnya akan meningkatkan resiko aritmia ventrikuler dan
kematian jantung mendadak (Segal et al, 2014).
Hipertrofi ventrikel kiri (LVH) merupakan proses adaptif dari ventrikel kiri untuk
mengompensasi meningkatnya beban kerja jantung yang disebabkan oleh peningkatan
afterload (pressure overload), peningkatan preload (volume overload) atau kombinasi
5
keduanya. Peningkatan afterload disebabkan oleh hipertensi arterial, kekakuan arteri, dan
stenosis katup aorta yang menimbulkan penebalan konsentrik dari dinding jantung
(concentric hypertrophy) yang bertujuan untuk menambah tekanan sistolik intraventrikuler.
Peningkatan preload dapat disebabkan oleh kondisi hipervolemia, anemia, dan aliran darah
bertekanan tinggi pada fistula arteriovenous. Volume overload akan memicu dilatasi
hipertrofi kiri (LVH eksentrik) (Segal et al, 2014).
Faktor non-hemodinamik juga berperan dalam terjadinya LVH dan kardiomiopati
pada pasien PGK. Hiperfosfatemia dihubungkan dengan tekanan darah tinggi, peningkatan
massa ventrikel kiri, dan disfungsi diastolik. Kadar ATII yang berlebihan memicu hipertrofi
miosit, fibrosis interstitial, penyakit mikrovaskular, serta gangguan konduksi, pemanjangan
QT, dan aritmia. Kadar serum aldosteron yang tinggi memicu fibrosis miokard.
Overaktivitas saraf simpatik memicu remodelling ventrikel kiri. Kadar asymmetric
dimethylarginine (ADMA) yang tinggi juga memicu terjadinya LVH dan disfungsi ventrikel
kiri, penebalan intima media arteri karotis, dan merupakan prediktor kematian pada pasien
yang menjalani hemodialisis (House, 2012).

Keadaan uremik
Fungsi ginjal yang terus menurun akan menyebabkan timbulnya kondisi uremia, yaitu
kondisi akumulasi berbagai macam racun seperti β2-microglobulin, guanidines, phenols,
indoles, aliphatic amines, furans, polyols, nucleosides, dicarboxylic acids, carbonyls, leptin,
parathyroid hormone, erythropoiesis inhibitors, dan sitokin pro-inflamasi. Kumpulan racun
uremik ini dapat menyebabkan peningkatan stres oksidatif, inflamasi, percepatan proses
atherosklerosis, dan peningkatan tajam terjadinya morbiditas dan mortalitas terkait kejadian
kardiovaskular pada pasien PGK (House, 2012).
Mekanisme PGK menyebabkan terjadinya fibrosis jantung belum terlalu banyak
dipahami, namun dari beberapa studi terbaru menunjukkan bahwa komponen racun uremik
seperti indoxyl sulfate dan p-cresol dapat menyebabkan terjadinya proses fibrosis jantung.
indoxyl sulfate mampu mempengaruhi proses fibrosis jantung melalui sintesis TGF-β, tissue
inhibitor of metalloproteinase-1 (TIMP-1) dan α1 collagen. Racun uremik juga mampu
mempengaruhi proses cardiac remodelling melalui aktivasi jalur p38 MAPK, p42/44 MAPK,
dan NF-κB. Kebanyakan racun uremik merupakan zat yang bersifat non-polar dan
mempunyai ikatan protein yang kuat sehingga sampai saat ini kebanyakan mesin HD
konvensional belum mampu melakukan filtrasi dengan sempurna (McCullough et al, 2013).

6
Kondisi inflamasi pada pasien PGK
Banyak faktor yang berpengaruh dalam aktivasi proses inflamasi pada pasien PGK.
Berkurangnya klirens ginjal menyebabkan banyak sitokin proinflamasi yang bersirkulasi
dalam tubuh. Kondisi uremik juga meyebabkan terjadinya stres oksidatif dan stres karbonil
yang bersifat pro-inflamasi. Asidosis metabolik juga menjadi sebab terjadinya inflamasi pada
Kondisi PGK (Akchurin & Kaskel, 2015).
Pada pasien PGK terutama pasien yang menjalani hemodialisis rentan terkena infeksi
dan kejadian trombosis seperti infeksi terkait kateter, infeksi akses HD, AV shunt yang
mengalami trombosis, serta kejadian peritonitis pada pasien dialisis peritoneal. Hal tersebut
meningkatkan kejadian inflamasi dalam tubuh pasien. Racun uremik diduga mempengaruhi
terjadinya intestinal dysbiosis pada pasien PGK yang akan meningkatkan resiko terjadinya
translokasi bakteri usus menuju sirkulasi tubuh yang pada akhirnya akan memicu proses
inflamasi. Kondisi defisiensi vitamin D pada PGK memicu terjadinya disfungsi imun yang
juga menyebabkan terjadinya inflamasi. Jaringan adiposa visceral pada pasien PGK memiliki
ekspresi mRNA yang tinggi untuk memproduksi sitokin pro inflamasi seperti TNF-α, CD68,
adiponectin receptor-1, dan monocyte chemo attractant protein-1(Akchurin & Kaskel, 2015).
Kondisi inflamasi pada pasien PGK berhubungan erat dengan kejadian kardiovaskular
seperti terjadinya aterosklerosis yang lebih awal. Inflamasi pada pasien PGK juga memicu
terjadinya anemia dan resistensi erythropoietin (Epo). Inflamasi akan menurunkan produksi
Epo, mengurangi aktivitas stimulasi Epo pada proses eritropoiesis, dan meningkatkan
produksi hepcidin yang mengganggu metabolisme besi (Akchurin & Kaskel, 2015).

Jejas oksidatif dan disfungsi endotel


Stres oksidatif merupakan kondisi akumulasi radikal bebas yang disebabkan oleh
ketidakseimbangan antara produksi radikal bebas dan proses degradasinya oleh antioksidan.
Reactive oxygen species (ROS) diproduksi saat terjadi proses respiratory burst di sel fagosit.
ROS merupakan komponen penting dalam mekanisme tubuh terhadap patogen asing. Ketika
terjadi produksi berlebihan dari ROS akan mengakibatkan terjadinya peningkatan agregasi
platelet, vasokonstriksi, dan terjadinya proses aterosklerosis (Sundaram et al, 2014).
Sel endotel memainkan peranan penting dalam mengatur homeostasis dan tonus
vaskular melalui produksi berbagai macam faktor vasoaktif. Saat terjadi stres oksidatif akan
terjadi penurunan nitric oxide (NO) dan peningkatan endothelin-1 (ET-1) yang diduga
menjadi mekanisme penting yang terjadi pada disfungsi endotel. NO merupakan vascular
derived relaxing factor yang dapat merangsang pembentukan cyclic guanosine

7
monophosphate (cGMP), menghambat ekspresi AT II dan ET-induced protein kinase C
(PKC), mengaktivasi ekspresi c-fos proto oncogen pada sel miokard yang berfungsi
mencegah proliferasi sel miokard dan hipertrofi jantung. Penurunan NO akan menyebabkan
disfungsi endotel dan perburukan dari komplikasi lain seperti aterosklerosis, anemia, agregasi
platelet, dan amiloidosis (Peng et al, 2014).
ET-1 merupakan faktor vasoaktif yang disekresi oleh pembuluh darah. Kadar
endothelin meningkat pada kondisi gagal jantung kronik dan PGK. ET-1 memicu
pertumbuhan sel fibroblas jantung dan sintesis kolagen yang menyebabkan terjadinya
hipertrofi jantung. ET-1 juga mengaktivasi RAAS, platelet derived growth factor (PDFG),
sintesis dan pelepasan transforming growth factor (TGF), merangsang proliferasi sel miokard
yang berujung pada hipertrofi miokard (Peng et al, 2014).
Disfungsi endotel akan mengakibatkan jejas pada endotel yang akan diikuti oleh
proses agregasi makrofag dan akumulasi kolesterol sehingga terbentuk foam cell. Proses
tersebut akan menginduksi sekresi mediator pro-inflamasi yaitu tumor necroting factor
(TNF), interleukin-1 (IL1), dan IL-6 dan terjadinya aterosklerosis (Sundaram et al, 2014).
Beberapa studi menunjukkan bahwa stres oksidatif menginduksi beberapa jalur sinyal
yang menyebabkan terjadinya hipertrofi kardiomiosit seperti (GTP-binding protein Ras,
mitogen activated protein kinase, protein kinase C, tyrosine kinase Src, Jun-nuclear kinase)
dan faktor-faktor transkripsi (𝜅B, activator-protein-1, Ets), yang merangsang ekspresi matrix
metalloproteinases. ROS juga mengaktifkan jalur sinyal apoptosis kinase-1 dan nuclear
factor 𝜅B, yang terlibat dalam proses hipertrofi kardiomiosit (Peng et al, 2014).

Sistem renin angiotensin aldosteron


Renin-angiotensin-aldosterone system (RAAS) dikenal sebagai regulator tekanan
darah. RAAS menjaga keseimbangan cairan dan elektrolit melalui efek yang ditimbulkan
pada jantung, pembuluh darah, dan ginjal. Adanya overaktivitas dari RAAS akan
menyebabkan peningkatan volume darah dan tekanan atrial, fibrosis, kondisi protrombik, dan
perjelekan jejas vaskuler yang pada akhirnya menimbulkan komplikasi PKV (Heras et al,
2012).
Angiotensin II (AT II) merupakan oktapeptida yang menjadi efektor utama RAAS.
AT II memiliki berbagai macam efek seperti vasokonstriktor, (mengurangi kapasitas
pembuluh darah), meningkatkan sekresi aldosteron (memicu retensi garam), meningkatkan
rasa haus dan pelepasan hormon antidiuretik (memicu konservasi air), meningkatkan
kontraksi miokard (meningkatkan cardiac output), dan meningkatkan akitivitas sistem saraf
8
simpatis. Mekanisme tersebut di atas memiliki manfaat sebagai respon apabila terjadi
kehilangan cairan intravaskuler, namun dalam jangka waktu yang lama justru akan berbalik
menjadi bumerang bila terjadi kondisi dekompensasi (Heras et al, 2012).
AT II menyebabkan terjadinya kerusakan kardiovaskular dengan cara memicu
pertumbuhan sel, inflamasi, dan fibrosis. AT II juga menginduksi terjadinya disfungsi endotel
melalui aktivasi faktor transkripsi seperti nuclear factor-κβ, sehingga terjadi inflamasi pada
otot polos pembuluh darah. AT II juga menyebabkan terjadinya remodelling vaskular melalui
hiperplasia otot polos pembuluh darah dan miokard serta deposisi matriks ekstraseluler.
Overekspresi reseptor AT II pada jaringan adiposa memicu inhibisi aktivitas peroxisome
proliferator–activated receptor-gamma (PPAR)-γ yang menyebabkan terjadinya resistensi
insulin. AT II juga mampu menurunkan produksi nitric oxide melalui penghambatan nitric
oxide synthase (Heras et al, 2012).
Aldosteron juga memiliki peranan dalam terjadinya kelainan kardiovaskular karena
efek mitogenik pada jenis sel di pembuluh darah, jantung, dan ginjal. Mekanisme lain yang
melibatkan aldosteron yaitu inflamasi, stres oksidatif, aktivasi AT II, dan percepatan fibrosis.
Aldosteron juga memiliki efek melukai endotelium yang dapat mempengaruhi kenaikan
tekanan darah (Schrier et al, 2010).

Mineral bone disorder


Pada pasien PGK dapat terjadi mineral bone disorder (MBD) yang ditandai oleh
menurunnya jumlah inhibitor proses kalsifikasi (fetuin-A,matrix GLa protein, osteopontin,
dan pyrophosphate), retensi fosfat, gangguan dari regulator metabolisme mineral (vitamin D,
parathormone, osteoprotegerin, dan bone morphogenetic proteins), dan hiperparatiroidisme
sekunder. Hal tersebut mengakibatkan terjadinya kalsifikasi pembuluh darah dan katup
jantung yang mempercepat terjadinya proses arteriosklerosis dan menambah kekakuan
dinding pembuluh darah. Kalsifikasi pembuluh darah berkaitan dengan angka kematian
karena kejadian vaskuler pada pasien PGK (Pateinakis & Papagianni, 2011).
Fibroblast Growth Factor-23 (FGF-23) didapatkan meningkat pada pasien PGK. FGF-
23 merupakan peptida yang mampu merangsang ekskresi fosfat dengan menahan sintesis
vitamin D3 dan menghambat resorpsi fosfat di nefron proksimal. Kenaikan FGF-23 dalam
waktu yang lama akan menyebabkan terjadinya remodelling jantung dan LVH. FGF-23 dapat
meningkatkan kekakuan pembulu darah, disfungsi endotel, dan kalsifikasi vaskular
(McCullough et al, 2013).

9
Efek renal replacement therapy
Pelaksanaan hemodialisis (HD) dapat memperberat proses inflamasi yang terjadi pada
pasien PGK. Kontak yang terjadi antara darah dan membran dialisis menginduksi aktivasi
komplemen, NO, dan produksi sitokin. Mekanisme yang kedua yaitu darah yang terpapar
oleh kontaminan yang mungkin terdapat dalam dialisat akan menstimulasi aktivitas monosit.
Mekanisme yang ketiga yaitu adanya kemungkinan infeksi pada kateter atau graft pasien
yang menjalani HD yang dapat menjadi penyebab proses inflamasi (Clementi et al, 2013).
Pasien dengan peritoneal dialisis memiliki peningkatan resiko morbiditas
kardiovaskular karena volume overload, inflamasi, stres oksidatif, infeksi, malnutrisi,
disfungsi endotel, dan aterosklerosis (Clementi et al, 2013).
Kondisi overload cairan mudah terjadi pada pasien hemodialisis dengan fistula
arteriovenous. Hal ini akan mengakibatkan peningkatan beban kerja jantung yang berakibat
hipertrofi sebagai mekanisme kompensasi. LVH akan meningkatkan konsumsi oksigen
sehingga rawan untuk timbul iskemik yang berakibat kematian miosit dan timbulnya fibrosis
yang disertai dilatasi serambi dan disfungsi sistolik. Pada proses hemodialisis terjadi
pergerakan abnormal pada dinding jantung yang disebabkan oleh perpindahan cepat volume
darah yang non-fisiologis. Abnormalitas gerakan tersebut berakibat terjadinya iskemia
sehingga meningkatkan kejadian aritmia pada pasien hemodialisis (House, 2013).

Peran post translational modification


Post translational modification (PTM) dari protein akhir-akhir ini telah menjadi
pembahasan yang menarik dalam hubungan antara PGK dan PKV. PTM merupakan
perubahan kovalen dari protein atau peptida yang disebabkan oleh pembelahan proteolitik
atau penambahan molekul pada satu asam amino atau lebih. PTM yang paling banyak
dilaporkan yaitu karbamilasi, glikasi, dan oksidasi yang menyebabkan pembentukan protein
yang “sakit” (Granata et al, 2016).
Karbamilasi adalah reaksi spontan non-enzimatik dari amino primer atau gugus bebas
sulfhydryl suatu protein dengan isocyanate. Seiring dengan menurunnya fungsi ginjal,
metabolit seperti urea dan derivatnya yaitu cyanate dan amonia akan meningkat sehingga
jumlah carbamylated proteins akan meningkat. Proses karbamilasi dari caeruloplasmin akan
meningkatkan stres oksidatif dengan cara mengurangi aktivitas ferroxidase, carbamylated
HDL akan memicu akumulasi kolesterol, sedangkan carbamylated LDL memicu apoptosis
endotel. Proses tersebut di atas terlibat dalam patogenesis penyakit aterosklerotik (Granata et
al, 2016).

10
Glikasi adalah reaksi non-enzimatik pengurangan gula dari sebuah kelompok amino
dari asam amino, asam nukleat, lemak, dan protein. Proses ini menghasilkan advanced
glycation end products (AGEs) pada pasien diabetes. Konsentrasi AGE meningkat pada
kondisi PGK karena berkurangnya kemampuan ekskresi ginjal. AGE dapat merubah susunan
pembuluh darah sehingga menambah kekakuan arteri, kalsifikasi pembuluh darah, dan
pembesaran ventrikel kiri (Granata et al, 2016).
Oksidasi atau karbonilasi adalah proses kehilangan elektron atau penambahan oksigen
atau kehilangan hidrogen yang menghasilkan reactive oxygen species (ROS). ROS akan
menyebabkan proses pembelahan atau oksidasi asam amino yang mengakibatkan perubahan
struktural dan fungsional suatu protein. LDL yang teroksidasi, advanced oxidation protein
products (AOPP) dan protein carbonyls merupakan pertanda stres oksidatif pada pasien
PGK. LDL yang teroksidasi mempengaruhi kekakuan dinding pembuluh darah yang dapat
mengakibatkan terjadinya PKV (Granata et al, 2016).

RINGKASAN

SKR tipe 4 dapat didefinisikan sebagai sindroma di mana terjadi kondisi penurunan
fungsi ginjal kronik yang menyebabkan terjadinya gangguan jantung kronis. Patofisiologi
dari sindroma kardiorenal tipe 4 sangat kompleks, bersifat progresif dan dua arah. Faktor
risiko terjadinya PKV pada pasien PGK terbagi menjadi dua yaitu faktor risiko tradisional
dan faktor risiko non-tradisional (CKD-related risk factors). Faktor risiko tradisional meliputi
usia, jenis kelamin, hipertensi, dislipidemia, diabetes mellitus, merokok, hipertrofi ventrikel
kiri. Sedangkan CKD-related risk factors meliputi abnormalitas metabolik dan hemodinamik
terkait PGK dan komplikasi dari penurunan fungsi ginjal seperti anemi, volume overload,
kondisi uremik, overaktivitas saraf simpatis, dan lain sebagainya. Kedua jenis faktor risiko
tersebut memainkan peran penting dalam patofisiologi SKR tipe 4. Post translational
modification (PTM) dari protein juga memiliki pengaruh dalam patofisiologi terjadinya SKR
tipe 4. Dengan pemahaman yang lebih baik mengenai patofisiologi SKR tipe 4 diharapkan
adanya perkembangan atau terobosan baru dalam manajemen penatalaksanaan pasien dengan
sindrom kardiorenal tipe 4.
DAFTAR PUSTAKA
Akchurin M & Kaskel F, 2015. Update on Inflammation in Chronic Kidney Disease. Blood
Purification,39:84–92.
Ardhanari S, Alpert M, Aggarwal K, 2014. Cardiovascular Disease in Chronic Kidney
Disease: Risk factors, pathogenesis and prevention. Advances in Peritoneal Dialysis.
30: 40-53.

11
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan RI, 2013. Riset
Kesehatan Dasar 2013. Riskesdas, 2013:95.
Campese VM, 2014. Patophysiology of Resistant Hypertension in Chronic Kidney Disease.
Seminar Nephrology, 34:571-576.
Chrapko B, Grzebalska A, Nocuń A, Książek A, Drop A, 2014. Cardiac sympathetic
hyperactivity in chronic kidney disease - a comparison between haemodialysis and
peritoneal dialysis patients. Nuclear Medicine Review, 17: 75–82.
Clementi A, Virzì GM, Goh CY, Cruz DN, Granata A, Vescovo G, Ronco C, 2013.
Cardiorenal Syndrome Type 4: A Review. Cardiorenal Medicine, 3:63–70.
Granata A, Clementi A, Virzì GM, Brocca A, Cal M, Scarfia VR, Zanoli L, Ronco C, Corrao
S, Malatino L, 2016. Cardiorenal syndrome type 4: From chronic kidney disease to
cardiovascular impairment. European Journal of Internal Medicine, 3147:1-6.
House AA, 2012. Cardio-Renal Syndrome Type 4: Epidemiology, Pathophysiology and
Treatment. Seminars in Nephrology, 32:40-48.
McCullough PA, Kellum JA, Mehta RL, Murray PT, Ronco C, 2013. ADQI Consensus on
AKI Biomarkers and Cardiorenal Syndromes. Contributions to Nephrology, 182:158–
173.
National Kidney Foundation, 2002 . K/DOQI clinical practice guidelines for chronic kidney
disease: evaluation ,classification, and stratification. American Journal of Kidney
Disease. 39:S1-S266.
Park J, 2012. Cardiovascular Risk in Chronic Kidney Disease: Role of the Sympathetic
Nervous System. Cardiology Research and Practice, 2012:1-8.
Pateinakis P & Papagianni A, 2011. Cardiorenal Syndrome Type 4—Cardiovascular Disease
in Patients with Chronic Kidney Disease: Epidemiology, Pathogenesis, and
Management. International Journal of Nephrology, 2011:1-8.
Peng T, Hu Z, Wu L, Li D, Yang X, 2014. Correlation Between Endothelial Dysfunction and
Left Ventricular Remodeling in Patients with Chronic Kidney Disease. Kidney Blood
Pressure Research, 39:420-426.
Pernefri, 2012. Fifth report of Indonesia renal registry. IRR, 5:19.
Schrier RW, Masoumi A, Elhassan E (2010) Aldosterone: Role in Edematous Disorders,
Hypertension, Chronic Renal Failure, and Metabolic Syndrome. Clinical journal of
American society of Nephrology, 5: 1132-1140.
Schwedhelm E & Boger RH, 2011. The role of asymmetric and symmetric dimethylarginines
in renal disease. Nature Review of Nephrology, 7:275-85.
Segall L, Nistor I, Covic A, 2014. Heart Failure in Patients with Chronic Kidney Disease: A
Systematic Integrative Review. BioMed Research International, 2014: 1-21.

12

Anda mungkin juga menyukai