Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam ilmu fiqih talaq Secara etimologis, berarti melepas ikatan talak
berasal dari kata iṭlaq yang berarti melepaskan atau meninggalkan1Dalam
terminologi syariat, talak berarti memutuskan atau membatalkan ikatan
pernikahan, baik pemutusan itu terjadi pada masa kini (jika talak itu berupa talak
bain) maupun pada masa mendatang, yakni setelah iddah (jika talak berupa talak
raj’i) dengan menggunakan lafadz tertentu. Abdul Djamali dalam bukunya,
hukum Islam, mengatakan bahwa perceraian merupakan putusnya perkawinan
antar suami-istri dalam hubungan keluarga2

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana definisi talak itu sendiri didalam hadits ?
2. Apa saja implikasi yang terjadi dari adanya talak tersebut didalam hadits ?

C. Tujuan
1. Mengetahui pengertian dan ruang lingkup talak secara utuh.
2. Memahami permasalahan talak dalam hukum Islam khususnya sumber hadits
Nabi.

1
Abu Malik kamal, Fikih sunnah Wanita. (Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2007), 230.
2
Abdul Djamali, Hukum Islam, (Bandung: Mandar Maju, 1997), 95.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Hadits Pertama

‫اص ٍل‬ ِ ‫ف ب ْ ِن َو‬ ِ ‫َح دَّ ث َن َ ا كَ ث ِ ي ُر بْ ُن ع ُ ب َ ي ْ ٍد َح دَّ ث َن َ ا ُم َح َّم د ُ بْ ُن َخ ا لِ ٍد ع َ ْن ُم ع َ ِر‬


َ‫ّللا ُ عَ ل َ ي ْ ِه َو س َ ل َّ م‬
َّ ‫ص ل َّ ى‬
َ ِ ‫ار عَ ْن ا بْ ِن ع ُ َم َر عَ ْن ال ن َّ ب ِ ي‬ ٍ َ ‫ار ب ِ بْ ِن ِد ث‬ ِ ‫عَ ْن ُم َح‬
ُ ‫ّللا ِ ت َع َ ا ل َ ى ال ط َّ ََل‬
‫ق‬ ُ َ ‫ق َ ا لَ أ َ ب ْ غ‬
َّ ‫ض ا لْ َح ََل ِل إ ِ ل َ ى‬

Artinya : Telah menceritakan kepada kami [Katsir bin 'Ubaid], telah


menceritakan kepada kami [Muhammad bin Khalid] dari [Mu'arrif bin Washil]
dari [Muharib bin Ditsar] dari [Ibnu Abbas] dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam
beliau bersabda: "Perkara halal yang paling Allah benci adalah perceraian.3

Syarah Hadits : Melalui sabdanya Nabi saw memberikan peringatan keras


kepada ummatnya untuk tidak menjadikan mainan urusan perceraian, meskipun
bercerai itu bukanlah perbuatan yang diharamkan, akan tetapi perceraian yang
tidak didasari dengan niat karena Allah dan dibingkai dengan ibadah akan menjadi
kehinaan dimata Allah dan dimata manusia. Kalaupun perceraian harus terjadi,
perlu diketahui bahwa Islam telah menggariskan hukum dan aturannya,
sebagaimana disebutkan ulama. lafadz ‫ ابغض الحالل‬adalah isim sifat (kata sifat)
yang bermakna isim tafdhil (superlative) yang berwazan ‫ افعل‬statusnya sebagai
mubtada'. Adapun lafadz ‫ ابغض‬disandarkan kepada kata ‫( الحالل‬isim ma'rifat).
Menurut ketentuan ilmu nahwu jika isim tafdhil disandarkan pada isim ma'rifat
maka bermakna ‫( من‬dari) jadi lafadz ‫ابغض من الحالل اى ابغض الحالل‬berarti "yang
paling dibenci dari sesuatu yang halal".‫الى هللا‬ hurf jar yang bermakna ‫عند‬
(dzorfiyah). Jadi ‫ الى هللا اى عند هللا‬bermakna "di sisi Allah" ‫ الطالق‬khabar al- mubtada'
dari lafadz ‫ ابغض‬yang artinya yaitu yang paling dibenci Allah dari sesuatu yang

3
Sulaiman abu Dawud, Sunan Abi Daud, (Beirut : Dar Al-Fikr, 1994) N0.1863.
halal itu adalah thalaq. Dari sini mempunyai implikasi hukum thalaq itu boleh
dalam artian halal namun dibenci oleh Allah.
Hadits thalaq yang diriwayatkan oleh Abu Dawud di atas menunjukkan bahwa di
antara jalan yang halal itu ada yang dimurkai oleh Allah jika tidak dipergunakan
sebagaimana mestinya. Seperti menjatuhkan thalaq tanpa alasan yang dibenarkan
selagi masih ada jalan untuk menghindarkannya.
\ Fiqih : Putusnya perkawinan dengan sebab-sebab yang dapat dibenarkan
itu dapat terjadi dalam dua keadaan: Kematian salah satu pihak dan Putus akibat
perceraian.4Sedangkan Rukun talak ada empat, yaitu :5
1. Suami
 Dengan syarat berakal, balig dan atas kemaunnya sendiri
2. Istri
 Dengan syarat masih dalam kekuasaan suami yang sah
3. Shigat
4. Sengaja
B. Hadits Kedua

‫ض‬ ْ َ‫طلَّق‬
ٌ ‫ام َراَتَهُ َو ِه َي َحا ِئ‬ َ ُ‫ع ْن ُه َما ا َنَّه‬
َ ُ‫ع َم َر َر ِض َي هللا‬
ُ ‫هللا ْب ِن‬ َ ‫ع َْن َنافِ ٍع ع َْن‬
ِ ‫ع ْب ِد‬
ِ‫س ْو ِل هللا‬
ُ ‫ب َر‬ َّ ‫ع َم ُر ْب ِن ا ْل َخ‬
ِ ‫طا‬ ُ ‫سا َ َل‬ َ َ‫ ف‬,‫سل َم‬ َ ‫ع َل ْي ِه و‬
َ ُ‫صلَّى هللا‬
َ ِ‫س ْو ِل هللا‬ َ ‫علَى‬
ُ ‫ع ْه ِد َر‬ َ
‫ ُم ْر ْه فَ ْليُ َرا‬: ‫سل َم‬
َ ‫علَ ْي ِه و‬
َ ُ‫صلَّى هللا‬ ُ ‫سل َم ع َْن ذَ ِلكَ فَقَا َل َر‬
َ ِ‫س ْو ِل هللا‬ َ ‫علَ ْي ِه و‬
َ ُ‫صلَّى هللا‬
َ
,‫سكَ بَ ْع ُد‬ َ ‫ ث ُ َّم ا ِْن شَا َء ا َ ْم‬,‫يض ث ُ َّم ت َ ْط ُه َر‬
ُ ‫ ث ُ َّم ت َ ِح‬, ‫س ْك َها َحتَّى ت َ ْط ُه َر‬ ِ ‫ ث ُ َّم ِليُ ْم‬, ‫ِج ْع َها‬
.‫سا ُء‬ َ ُ ‫ فَتِ ْلكَ ا ْل ِع َّدةُ التِي اَ َم َر هللاُ ا َ ْن ت‬,‫س‬
َ ِ‫طلَّقَ لَ َها الن‬ َّ ‫طلَّقَ قَ ْبلَس ا َ ْن يَ َم‬َ ‫َوا ِْن شَا َء‬

Artinya: “Dari Nafi’ dari Abdullah bin Umar RA, sesungguhnya dia menceraikan
istrinya yang sedang haid pada masa Rasulullah SAW. Umar bin Khattab
bertanya kepada Rasulullah SAW tentang hal itu, maka Rasulullah SAW
bersabda. “Perintahkan dia untuk kembali (rujuk) kepada istrinya, hendaklah dia
menahannya hingga suci, lalu haid dan suci lagi. Kemudian jika mau dia dapat
menahannya sesudah itu, dan jika mau dia dapat menceraikannya sebelum
4
Abdul Djamali, op . cit, 94.
5
ABD. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat. (Jakarta: Kencana, 2003), 201-205.
menyentuhnya (menggaulinya). Itulah iddah yang diperintahkan Allah untuk
menceraikan perempuan-perempuan”.6

Syarah Hadits : Imam Az-Zuhri memberi tambahan dalam riwayatnya


seperti pada pembahasan “dari Salim, sesungguhnya Ibnu Umar mengabarkan
kepadanya bahwa Rasulullah SAW marah karena hal itu”. Dalam riwayat ini
terdapat asumsi bahwa larangan talak pada masa haid telah ada sebeluum kejadian
itu, sebab jika tidak demikian tentu Rasulullah SAW tidak marah karena yang
belum ada larangannya.

Para ulama berbeda pendapat tentang kewajiban untuk kembali, menurut


Imam Malik dan Ahmad adalah wajib, namun yang masyhur dari Imam Ahmad
dan juga pendapat jumhur hukumnya mustahab (disukai). Dalil yang mewajibkan
karena adanya perintah terhadap hal itu. Namun Al-Asyhab salah seorang ulama
madzhab maliki berpendapat jika perempuan itu telah suci maka berakhirlah
perintah untuk rujuk. Dari kalangan ulama Madzhab Syafi’i, mereka sepakat bila
suami menceraikan instrinya sebelum dukhul dan istri sedang haid, maka tidak
diperintahkan untuk rujuk. Imam Syafi’i berkata “mungkin yang dimaksud
dengan yang terdapat dalam riwayat Nafi, untuk memastikan bersihnya rahim dari
janin setelah haid, agar ketika diceraikan, istri mengetahui iddahnya, baik sebab
kehamilan atau haid. Hikmahnya apabila suami menahan istrinya dalam waktu
yang dihalalkan baginya uutuk bercerai, maka tampak faidhah rujuk, karena hal
itu bisa memperlama dia tinggal dengan istrinya, dan mungkin dia melakukan
hubungan intim dan hilang dihatinya permasalahan untuk menceraikan istrinya.7

Fiqih : Dalam hadits tersebut diatas terjadinya perceraian ketika haid


membuat sahabat Umar bin Khattab menanyakan perihal tersebut kepada Nabi
Muhammad SAW mengenai kebolehannya dari kejadian tersebut . Sehingga

6
Muttafaq ‘alaih (Shahiih al-Bukhari (IX/482, no. 5332), Shahiih Muslim (II/1093, no. 1471). Al-
Bukhari Muhammad Bin Ismail Abu Abdullah. Shahih Bukhori. (t.tp: daarut thuqinnajah: 1422 H).
7
Abdul Aziz Abdullah bin Baz, Fathul Baari, (Jakarta : Pustaka Azzam, 2008) h.2-16.
ulama fiqih membagi talak menjadi dua katagori yaitu talak sunnah dan talak
bid'ah.8

 Talak Sunnah

Talak yang dilakukan sesuai dengan ketentuan syariat Islam, yakni menjatuhkan
satu kali talak, kemudian dilanjutkan dengan rujuk, lalu ditalak untuk kedua kali,
kemudian dirujuk kembali dan setelah itu suami dapat terus mempertahankan
istrinya dengan baik atau melepaskannya dengan cara yang baik pula. Maksud
melepaskan dengan cara terbaik ialah ketika perempuan yang diceraikan tersebut
dalam keadaan setelah suci dari haid, nifas atau sebelum disetubuhi. Artinya, istri
yang ditalak pada masa suci yang belum digauli akan langsung menghadapi
‘iddahnya hingga tiga kali haid, sementara istri yang ditalak pada saat hamil akan
langsung menghadapi ‘iddahnya hingga dia melahirkan (sebagaimana Ibnu
Taimiyah menerangkan dalam Majmu’ al-Fatawa).

 Talak Bid'ah

Talak yang diucapkan ketika suami menalak istri sebanyak tiga kali dengan satu
kali ucapan, menalak tiga kali dengan terpisah -pisah, dan keadaan istri ketika
ditalak sedang haid, nifas atau dalam keadaan suci tetapi sudah disetubuhi pada
masa suci tersebut. (Inilah pendapat empat imam mazhab yang masyhur (Abu
Hanifah, Malik, asy-Syafi’i, dan Ahmad), al-Bukhari, dan jumhur (mayoritas)
ulama, yang dirajihkan asy-Syaukani dalam as-Sail al-Jarrar dan al-Albani).

C. Hadits Ketiga

‫ب قَا َل‬
ٍ ‫ش َها‬ ُ ‫ث قَا َل َح َّدثَنِى‬
ِ ‫ع َق ْي ٌل ع َِن ا ْب ِن‬ ُ ‫ع َف ْي ٍر َقا َل َح َّدثَنِى اللَّ ْي‬ َ ‫َح َّدثَنَا‬
ُ ُ‫س ِعي ُد ْبن‬
‫ام َرأَةَ ِرفَاعَةَ ا ْلقُ َر ِظ ِى َجا َءتْ إِلَى‬
ْ ‫الزبَ ْي ِر أ َ َّن عَائِش ََة أ َ ْخبَ َرتْهُ أ َ َّن‬
ُّ ُ‫أ َ ْخبَ َرنِى ع ُْر َوةُ ْبن‬
َّ‫فَ َبت‬ َ َ‫ّللاِ ِإ َّن ِرفَاعَة‬
‫طلَّقَ ِنى‬ َّ ‫سو َل‬ُ ‫ فَقَا َلتْ َيا َر‬- ‫ صلى هللا عليه وسلم‬- ِ‫ّللا‬ َّ ‫سو ِل‬ُ ‫َر‬
‫ِمثْ ُل‬ ُ‫ َو ِإنَّ َما َم َعه‬، ‫ير ا ْلقُ َر ِظ َّى‬ َّ ‫الرحْ َم ِن ْب َن‬
ِ ‫الز ِب‬ َ ُ‫ َو ِإ ِنى َن َكحْ تُ َب ْع َده‬،
َّ ‫ع ْب َد‬ َ
‫طَلَ ِقى‬

8
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 4, (Jakarta : Cakrawala Publishing, 2009), 32.
‫ِين أ َ ْن ت َ ْر ِج ِعى إِلَى‬
َ ‫ « لَعَلَّ ِك ت ُ ِريد‬- ‫ صلى هللا عليه وسلم‬- ِ‫ّللا‬ ُ ‫ قَا َل َر‬. ‫ا ْل ُه ْدبَ ِة‬
َّ ‫سو ُل‬
.ُ‫س ْيلَتَه‬ ُ ‫س ْيلَت َ ِك َوتَذُو ِقى‬
َ ‫ع‬ ُ َ‫ َحتَّى َيذُوق‬، َ‫ ال‬، َ‫ِرفَاعَة‬
َ ‫ع‬
Artinya :Memberitahukan oleh Sa'id bin Ufair kepada kami, memberitahukan
Ukail kepadaku, dari Ibnu Syihab berkata : mengkhabarkan Urwah bin Jubair
kepadaku, sesungguhnya Aisyah Mengkhabarkan kepadanya bahwa istri Rifa'ah
datang kepada Rasulullah SAW lalu berkata : wahai Rasulullah sesungguhnya
Rifa'ah telah menjatuhkan talak kepadaku dengan talak tiga. Lalu aku menikahi
Abdurrahman bin Zubair sesudahnya, tapi miliknya hanya seperti seujung kain.9
Rasulullah SAW bersabda "barangkali engkau ingin kembali kepada Rifa'ah?
tidak, hingga dia (Abdurrahman bin Zubair) mencicipi madumu dan engkau
mencicipi madunya.10

Syarah Hadits : Usailah (madu) yang dimaksud dalam hadits di atas


menurut jumhur (mayoritas ulama) adalah kelezatan ketika hubungan intim, yaitu
ketika ujung kemaluan suami telah tenggelam pada kemaluan istri walau tidak
keluar mani nantinya. Ketika mantan istri telah menikah dengan pria lain dan
terjadi perceraian lalu kembali pada suami yang dulu, maka talak tiga yang dulu
sudah kembali nihil. Jika terjadi talak, maka dihitung mulai dari nol lagi.
Demikian ijma’ para ulama. Ibnu Qudama rahimahullah berkata, ‘Meskipun
dengan penegasan Nabi sallallahu’alaihi wa sallam dengan menjelaskan maksud
dari kitabullah Ta’ala, bahwa dia (Istri) tidak dihalalkan untuk (suami) pertama
sampai dia menikmati madu (suami) kedua dan dia juga menikmati madu (wanita
tersebut). Maka tidak dapat dipalingkan ke selainnya dan tidak diperkenankan
seorang pun berpendapat kepada selainnya.11

Fiqih : Imam Syafi’i berpendapat bahwa talak seperti ini hukumnya


mubah dan dianggap talak tiga. Imam Malik, Imam Abu Hanifah dan pendapat
terakhir dari Imam Ahmad menyatakan bahwa talak ini dihukumi haram dan tetap

9
Hudbatuts-tsaub maknanya adalah kemaluan suami lembek/lunak seperti ujung kain, sehingga
tidak bisa memuaskan [An-Nihaayah].
10
HR. Bukhari no. 5260 dan Muslim no. 1433. Al-Bukhari Muhammad Bin Ismail Abu Abdullah. op.
cit, 414.
11
Ibnu Qudamah, Al-Mughni, penerjemah, ( Jakarta : Pustaka Azzam 2008), 549.
dianggap talak tiga.Sedangkan ulama Zhohiri, Ibnu Taimiyah dan muridnya Ibnul
Qayyim berpendapat bahwa talak tiga dalam sekali ucap dihukumi haram dan
dianggap hanya satu talak (bukan tiga kali talak). Pendapat ini juga menjadi
pendapat kebanyakan tabi’in.12 Dalil yang mendukung talak tiga jatuhnya satu
dalam satu kali ucapakn ialah dari Thowus, dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata :

ِ َ‫ق الثََّل‬
‫ث‬ ُ ‫سنَتَي ِْن ِم ْن ِخَلَفَ ِة‬
ُ َ‫ع َم َر َطَل‬ َ ‫ َوأ َ ِبى بَ ْك ٍر َو‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ِ‫ّللا‬ َّ ‫سو ِل‬ َ ‫ع َلى‬
ُ ‫ع ْه ِد َر‬ َ ‫ق‬ ُ َ‫كَانَ ال َّطَل‬
.‫ع َلي ِْه ْم‬ َ ‫ستَعْجَ لُوا ِفى أ َ ْم ٍر قَ ْد كَانَتْ لَ ُه ْم ِفي ِه أَنَاةٌ َفلَ ْو أَ ْم‬
َ ‫ض ْينَاه‬ ْ ‫اس قَ ِد ا‬ ِ ‫ع َم ُر ْبنُ ا ْل َخ َّطا‬
َ َّ‫ب ِإنَّ الن‬ ُ ‫اح َدةً َف َقا َل‬ ِ ‫َو‬
َ ‫فَأ َ ْمضَا ُه‬
‫ع َلي ِْه ْم‬

Artinya : Di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakr, lalu dua
tahun di masa khilafah ‘Umar muncul ucapan talak tiga dalam sekali ucap.
‘Umar pun berkata, “Manusia sekarang ini sungguh tergesa-gesa dalam
mengucapkan talak tidak sesuai dengan aturan Islam yang dulu pernah berlaku,
yaitu talak itu masih ada kesempatan untuk rujuk. Karena ketergesa-gesaan ini,
aku berharap bisa mensahkan talak tiga sekali ucap.” Akhirnya ‘Umar pun
mensahkan talak tiga sekali ucap dianggap telah jatuh tiga kali talak.13

Catatan :

ٍ‫الَ ﻃََلَقَ وَالَ عِتَاقَ فِيْ إِﻏَْلَق‬

Artinya : “Tidak ada Talak dan membebaskan budak dalam keadaan (hati/akal)
tertutup” (HR Abu Dawud, Hasan Irwa ul-ghalil 7/114).

Para ulama sepakat bahwa suami yang berakal sehat, balig dan bebas
dalam menentukan pilihan diperbolehkan menjatuhkan talak, dan talaknya
dinyatakan sah. Jika seorang suami gila, masih anak-anak atau dalam keadaan
terpaksa, maka talak yang dijatuhkannya dianggap sia-sia sekalipun keluar dari
mulutnya sendiri. Hal tersebut didukung juga dengan hadits riwayat Tirmidzi
yang berbunyi : pena diangkat karena tiga: orang yang tidur sampai dia bangun,

12
Abu Malik Kamal, Shahih Fikih Sunnah 2, (Jakarta : Pustaka Azzam), 278-290.
13
HR. Muslim no. 1472.
anak-anak sampai dia balig dan orang gila sampai akalnya sehat.14 Dalam
beberapa perkara ulama berbeda pendapat yakni sebagai berikut :

 Talak Karena Paksaan

Menurut imam Malik, Syafi'i, Ahmad dan Abu Daud yang berdasarkan pendapat
sahabat oleh Umar, Ibnu Umar, Ali dan Ibnu Abbas bahwa talak tersebut tidak
sah.

Sedangkan menurut Abu Hanifah talak tersebut tetap sah

 Talak Ketika Mabuk

Mayoritas ulama berpendapat bahwa jatuh talaknya ketika mabuk karena dia
sendiri yang merusak akalnya.

Sedangkan sebagian ulama termasuk pandangan sahabat Utsman bahwa orang


mabuk disamakan dalam keadaan gila sehingga ia bebas dari akibat hukum.

 Talak Main-Main

Nayoritas ulama menjatuhkan sah talak tersebut dengan bersandar pada riwayat
Abu Daud yang berbunyi : ada tiga perkara jika dilakukan dengan sungguh-
sungguh maka dianggap benar dan jika dilakukan dengan bermain-main juga tetap
dianggap benar yaitu nikah, talak dan rujuk.

Sedangkan pendapat mazhab Hambali dan Malik mensyaratkan adanya keridhaan


dari apa yang diucapkan oleh orang yang menjatuhkan talak, sehingga talak diatas
tidak sah.15

14
HR. Tirmidzi, Ath-Thalaq bab Ma'Jaa fi Thalaq Al-Ma'tuh, 1191.
15
Sesungguhnya talak dilakukan dengan disertai dengan tekad dan niat". HR. Bukhari, Kitab An-
Nikah,Jilid VII, 57.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian diatas penulis membuat beberapa kesimpulan dalam
karya ini sebagai berikut :
1. Talak merupakan suatu pemisah atau pembatalan akad yang telah terjadi
antar pasangan suami dan istri yang menyebabkan putusnya hak dan
kewajibannya masing-masing setelah adanya ikrar yang diucapkan oleh si
suami terhadap istrinya dalam satu shigat yang jelas ataupun sindiran
dengan niat berpisah diantara keduanya.
2. Hukum talak adalah halal tergantung keadaan situasi dan kondisi, sehingga
ketika terpenuhi rukun dan syarat talak tersebut akan menghasilkan akibat
hukum bagi pasangan suami dan istri yang bercerai, baik yang bisa rujuk
kembali ataupun harus melalui akad terbaru dengan berbagai syarat, demi
menjaga keharmonisan dan kekeluargaan yang relegius dan bahagia.

B. Saran
Meskipun penulis menginginkan kesempurnaan dalam penyusunan
makalah ini akan tetapi pada kenyataannya masih banyak kekurangan yang perlu
penulis perbaiki. Hal ini dikarenakan masih minimnya pengetahuan penulis. Oleh
karena itu kritik dan saran yang membangun dari para pembaca sangat penulis
harapkan sebagai bahan evaluasi untuk kedepannya.
DAFTAR PUSTAKA

 Kamal, Abu Malik. Fikih sunnah Wanita. Jakarta: Pena Pundi


Aksara, 2007.
 Djamali, Abdul. Hukum Islam. Bandung: Mandar Maju, 1997.
 Abu Dawud, Sulaiman. Sunan Abi Daud. Beirut : Dar Al-Fikr,
1994.
 Rahman Ghazaly, Abd. Fiqh Munakahat. Jakarta: Kencana,
2003.
 Al-Bukhari, Muhammad Bin Ismail Abu Abdullah. Shahih
Bukhori. t.tp: daarut thuqinnajah: 1422 H.
 Abdullah bin Baz, Abdul Aziz. Fathul Baari. Jakarta : Pustaka
Azzam, 2008.
 Sayyid Sabiq. Fikih Sunnah 4.Jakarta : Cakrawala Publishing,
2009.
 Ibnu Qudamah. Al-Mughni. Jakarta : Pustaka Azzam, 2008.

Anda mungkin juga menyukai