Anda di halaman 1dari 24

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayahnya,
sehingga kami dapat menyusun tugas ini tepat pada waktunya. Penulisan makalah ini bertujuan
untuk memenuhi tugas mata kuliah FARMAKOLOGI DASAR dengan tema “OBAT-OBAT
PENYAKAT KOLINOSEPTOR”. Selain itu, tujuan penulisan makalah ini adalah untuk
memberikan penjelasan tentang pengertian imunologi.

Terlepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik
dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu penting bagi kami untuk
menyempurnakan materi tersebut agar lebih bermanfaat bagi para pembaca dan menerima segala
saran dan kritik dari pembaca.

Akhir kata kami mengucapkan terima kasih kepada pembaca yang menyempatkan diri
untuk membaca makalah ini, semoga makalah ini dapat diambil manfaatnya.

Mataram,

Penyusun
DAFTAR ISI

Kata Pengantar
Daftar Isi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Saraf Pusat
B. Sistem Saraf Otonom
C. Obat-obat Penyakat Kolinoseptor
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Semua makhluk hidup di dunia ini memiliki bagian-bagian tubuh yang sangt unik dan
memiliki manfaat dan kegunaanya masing-masing. Bagian tubuh itu agar dapat bergerak
maka di perlukannya suatu organ pengontrol.

Sistem saraf otonom adalah bagian sistem saraf tepi yang mengatur fungsi viseral
tubuh. Sistem saraf otonom terutama diaktifkan oleh pusat-pusat yang terletak di medula
spinalis, batang otak, dan hipotalamus. Juga, bagian korteks serebri khususnya korteks
limbik, dapat menghantarkan impuls ke pusat-pusat yang lebih rendah sehingga demikian
mempengaruhi pengaturan otonomik.

Sistem saraf otonom disusun oleh serabut saraf yang berasal dari otak. Fungsi sistem
saraf simpatik dan parasimpatik selalu berlawanan (antagonis). Dua perangkat neuron dalam
komponen otonom pada sistem saraf perifer adalah neuron aferen atau sensorik dan neuron
eferen atau motorik. Neuron aferen mengirimkan impuls ke sistem saraf pusat, dimana
impuls itu diinterprestasikan. Neuron eferen menerima impuls (informasi) dari otak dan
meneruskan impuls ini melalui medulla spinalis ke sel-sel organ efektor. Jalur eferen dalam
sistem saraf otonom dibagi menjadi dua cabang yaitu saraf simpatis dan saraf parasimpatis.
Dimana kedua sistem saraf ini bekerja pada organ-organ yang sama tetapi menghasilkan
respon yang berlawanan agar tercapainya homeostatis (keseimbangan). Kerja obat-obat pada
sistem saraf simpatis dan sistem saraf parasimpatis dapat berupa respon yang merangsang
atau menekan.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan sistem saraf?
2. Apa yang dimaksud dengan sistem saraf otonom?
3. Apa saja obat-obat penyakat kolinoseptor?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui apa itu sistem saraf
2. Untuk mengetahui apa itu sistem saraf otonom
3. Untuk mengetahui apa saja obat-obat penyakat kolinoseptor
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Sistem Saraf


Sistem saraf merupakan salah satu bagian yang menyusun sistem koordinasi yang
bertugas menerima rangsangan, menghantarkan rangsangan ke seluruh bagian tubuh, serta
memberikan respons terhadap rangsangan tersebut. Pengaturan penerima rangsangan
dilakukan oleh alat indera, pengolah rangsangan dilakukan oleh saraf pusat yang kemudian
meneruskan untuk menanggapi rangsangan yang datang dilakukan oleh sistem saraf dan alat
indera.
Sistem saraf dibedakan atas 2 divisi anatomi yaitu sistem saraf pusat (SSP) yang
terdiri dari otak dan medulla spinalis, serta sistem saraf tepi yang merupakan sel-sel saraf
yang terletak diluar otak dan medulla spinalis yaitu saraf-saraf yang masuk dan keluar sistem
saraf pusat. Sistem saraf tepi selanjutnya dibagi dalam divisi eferen yaitu neuron yang
membawa sinyal dari otak dan medulla spinalis ke jaringan tepi, serta divisi aferen yang
membawa informasidari perifer ke sistem saraf pusat.
Bagian eferen sistem saraf tepi selanjutnya dibagi dalam 2 subdivisifungsional utama,
yaitu sistem somatik dan sistem otonom. Eferen somatik dapat dipengarui oleh kesadaran
yang mengatur fungsi-fugsi seperti kontraksi otot untuk memndahkan suatu benda.
Sedangkan sistem otonom tidak dipengaruhi kesadaran dalam mengatur kebutuhan tubuh
sehari-hari. Sistem saraf otonom terutama terdiri atas saraf motorik visera (eferen) yang
menginevarsi otot polos organ visera, otot jantung, pembuluh darah dan kelenjar eksokrin.
Berikut digambarkan secara singkat tentang pembagian sistem saraf pada manusia :
B. Sistem Saraf Otonom
Sistem saraf otonom bersama-sama dengan sistem endokrin mengkoordinasikan
pengaturan dan integrasi fungsi-fungsi tubuh. Sistem endokrin mengirimkan sinyal pada
jaringan targetnya melalui hormon yang kadarnya bervariasi dalam darah. Sebaliknya, sistem
saraf menghantarkannya melalui transmisi impuls listrik secara sepat melalui serabut-serabut
saraf yang berakhir pada organ efektor, dan efek khusus akan timbul sebagai akibat
pelepasan substansi neuromediator.
Sistem saraf otonom (SSO) disebut juga susunan saraf vegetatif, meliputi antara lain
simpul
saraf-saraf dan ganglia (majemuk dari ganglion = saraf) yang merupakan persarafan ke
otot polos dari berbagai organ ( bronchia, lambung, usus, pembuluh darah, dan lain-lain).
termasuk kelompok ini pula adalah, otot jantung (lurik) serta beberapa kelenjar (ludah,
keringat, dan pencernaan). Dengan demikian, SSO tersebar luas diseluruh tubuh dan
fungsinya adalah mengatur secara otomatis keadaan fisiologi yang konstan, seperti suhu
badan, tekanan dan perearan darah, serta pernapasan.
Pada bagian diatas dimuat efek-efek terpenting dari perangsangan SO (saraf simpatik)
dan SP (saraf parasimpaik) terhadap berbagai organ tubuh. Jadi dapat disimpulkan, stimulasi
susunan adrenergik menimbulkan reaksi yang perlu guna meningkatkan penggunaan zat-zat
oleh tubuh, seperti bila kita berada dalam keadaan aktif dan memerlukan energi. Sebaliknya,
bila susunan kolinergik dirangsang, maka akan timbul efek dengan tujuan menghemat
penggunaan zat-zat yang membutuhkan enersi. Hal ini terjadi bila tubuh berada dalam
keadaan istrahat atau tidur. Dalam tubuh yang sehat terdapat keseimbangan antara kedua
kelompok saraf tersebut.
C. Obat-obat Penyakat Kolinoseptor

Kolinoseptor termasuk anggota keluarga yang terhubung dengan protein G


(muskarinik) atau kanal ion (nikotinik) yang didasarkan pada mekanisme sinyalisasi
transmembrannya. Reseptor muskarinik mengandung tujuh domain transmembran dimana
ketiga lengkungan sitoplasmiknya terhubung dengan protein G yang berfungsi sebagai
transduser.

Agonis kolinoreseptor dibagi dalam subgrup yaitu muskarinik dan nikotinik


berdasarkan afinitas terhadap reseptor khususnya, begitu juga antagonis yang bekerja pada
reseptor ini dibagi ke dalam dua kelompok besar yaitu : bahan antimuskuranik dan bahan
antinikotinik. Obat-obat penyekat reseptor nikotinik terdiri atas penyakat-penyakat ganglion
dan penyekat-penyekat pada pertemuan neuromuskular.

Reseptor muskarinik terletak dimembran plasma sel didalam saraf pusat, didalam
organ-organ yang dienervasi oleh saraf-saraf parasimpatis dan dibeberapa jaringan yang tidak
diinervasi saraf-saraf tersebut, seperti sel endotel dan dijaringan yang inervasi oleh saraf
simpatik kolinergik pascaganglionik.
Reseptor nikotinik merupakan bagian dari polipeptida transmembran yang subunitnya
membentuk kanal ion kation. Reseptor ini terletak di membran plasma sel-sel parasimpatik
dan simpatis pascaganglionik diganglion otonom, di membran otot yang diinervasi oleh serat
motorik somatik dan di sistem saraf pusat.

 Obat Antimuskarinik
Obat golongan ini seperti atropin dan skopolamin bekerja menyekat reseptor
muskarinik yang menyebabkan hambatan semua fungsi muskarinik. Selain itu, obat ini
menyekat sedikit perkecualian neuron simpatis yang juga kolinergik, seperti saraf
simpatis yang menuju ke kelenjar keringat. Bertentangan dengan obat agonis kolinergik
yang kegunaan terapeutiknya terbatas, maka obat penyekat kolinergik ini sangat
menguntungkan dalam sejumlah besar situasi klinis. Karena obat ini tidak menyekat
reseptor nikotinik, maka obat antimuskarinik ini sedikit atau tidak mempengaruhi
sambungan saraf otot rangka atau ganglia otonom.
Antimuskarinik ini bekerja dialat persarafi serabut pascaganglion kolinergik. Pada
ganglion otonom dan otot rangka, tempat asetilkolin juga bekerja penghambatan oleh
atropin hanya terjadi pada dosis sangat besar. Kelompok obat ini memperlihatkan kerja
yang hampir sama tetapi dengan afinitas yang sedikit berbeda terhadap berbagai alat;
pada dosis kecil (sekitar 0,25 mg) misalnya, atropin hanya menekan sekresi airl iur,
mukus, bronkus dan keringat. Sedangkan dilatasi pupil, gangguan akomodasi dan
penghambatan nasofagus terhadap jantung baru terlihat pada dosis yang lebih besar (0,5 –
1,0mg). Dosis yang lebih besar lagi diperlukan untuk menghambat peristalsis usus dan
sekresi kelenjar di lambung. Beberapa subtipe reseptor muskarinik telah diidentifikasi
saat ini. Penghambatan pada reseptor muskarinik ini mirip denervasi serabut
pascaganglion kolinergik dan biasanya efek adrenergik menjadi lebih nyata.
Antimuskarinik memperlihatkan efek sentral terhadap susunan saraf pusat, yaitu
merangsang pada dosis kecil dan mendepresi pada dosis toksik.
Banyak sekali antikolinergik disintesis dengan maksud mendapatkan obat dengan
efek selektif terhadap gangguan tertentu disertai efek samping yang lebih ringan. Saat ini
terdapat antimuskarinik yang digunakan untuk :
(1) Mendapatkan efek perifer tanpa efek sentral misalnya, antispasmodik;
(2) Penggunaan lokal pada mata sebagai midriatikum;
(3) Memperoleh efek sentral misalnya, obat untuk penyakit Parkinson;
(4) Efek bronkodilatasi; dan
(5) Memperoleh efek hambatan pada sekresi lambung dan gerakan saluran cerna.
a. Atropin

Atropin alkaloid belladonna, memiliki afinitas kuat terhadap reseptor


muskarinik, di mana obat ini terikat secara kompetitif, sehingga mencegah asetilkolin
terikat pada tempatnya di reseptor muskarinik. Atropin menyekat reseptor muskarinik
baik di sentral maupun di saraf tepi. Kerja obat ini berlangsung sekitar 4 jam kecuali
bila diteteskan ke dalam mata, maka kerjanya bahkan sampai berhari-hari.

Farmakodinamik

Hambatan oleh atropin bersifat reversible dan dapat diatasi dengan pemberian
asetilkolin dalam jumlah berlebihan atau pemberian antikolinesterase. Atropin
memblok asetilkolin endogen maupun eksogen, tetapi hambatannya jauh lebih kuat
terhadap yang eksogen.

 Susunan Saraf Pusat

Atropin merangsang medula oblongata dan pusat lain di otak. Dalam


dosis 0,5 mg (untuk orang Indonesia mungkin ± 0,3 mg) atropin merangsang
N.Vagus dan frekuensi jantung berkurang. Efek penghambatan sentral pada dosis
ini belum terlihat. Depresi yang timbul khusus dibeberapa pusat motorik dalam
otak, dapat menghilangkan tremor yang terlihat pada parkinsonisme.
Perangsangan respirasi terjadi sebagai akibat dilatasi bronkus, tetapi dalam hal
depresi respirasi oleh sebab tertentu, atropin tidak berguna merangsang respirasi.
Bahkan pada dosis yang besar sekali, atropin menyebabkan depresi nafas,
eksitasi, disorientasi, delirium, halusinasi dan perangsangan lebih jelas dipusat-
pusat lebih tinggi. Lebih lanjut terjadi depresi dan paralisis medulla oblongata.

 Mata

Alkaloid belladonna menghambat M.constrictor pupilae dan M.Ciliaris


lensa mata, sehingga menyebabkan midriasis dan siklopegia (paralisis mekanisme
akomodasi). Midriasis mengakibatkan fotofobia, sedangkan siklopegia
menyebabkan hilangnya daya melihat jarak dekat.

Sesudah pemberian 0,6 mg atropine SK pada mulanya terlihat efek


terhadap kelenjar eksokrin, terutama hambatan salvias, serta brakikardi sebagai
hasil perangsangan N.Vagus, midriasis baru terlihat dengan dosis yang lebih
tinggi (>1 mg). Mula timbulnya midriasis tergantung dari besarnya dosis, dan
hilangnya lebih lambat daripada hilangnya efek terhadap kelenjar liur. Pemberian
lokal pada mata menyebabkan perubahan yang lebih cepat dan berlangsung lama
sekali (7-12 hari). Hal ini disebabkan atropin sukar dieliminasi dari cairan bola
mata. Midriasis oleh alkaloid belladonna dapat diatasi oleh pilokarpin, eserin atau
DFP. Tekanan intraokular pada mata yang normal tidak banyak mengalami
perubahan.tetapi pada penderita glaukoma, penyeluran dari cairan intraokular
akan terhambat, terutama pada glaukoma sudut sempit, sehingga dapa
meningkatkan tekanan intraokular. Hal ini disebabkan karena dalam keadaan
midriasis muara saluran schlemm yang terletak disudut bilik depan mata
menyempit, sehingga terjadi bendungan cairan bola mata.

 Saluran Nafas
Alkaloid belladonna mengurangi sekret hidung, mulut, faring dan bronkus.
Pemakaiannya adalah pada medikasi preanastetik untuk mengurangi sekresi
lender pada jalan nafas. Sebagai bronkodilator, atropin tidak berguna dan jauh
lebih lemah daripada epinefrin atau aminofilin. Ipratropium bromida merupakan
antimuskarinik yang memperlihatkan bronkodilatasi berarti secara khusus.

 Sistem kardiovaskular

Pengaruh atropin terhadap jantung bersifat bifastik. Dengan dosis 0,25-0,5


mg yang biasa digunakan, frekuensi jantung berkurang, mugkin disebabkan
karena perangsangan nukleus N.Vagus. Brakikardi biasanya tidak nyata dan tidak
disertai perubahan tekanan darah atau curah jantung. Pada dosis lebih dari 2 mg,
yang biasanya hanya digunakan pada keracunan insektisida organosfat, terjadi
hambatan N.Vagus dan timbul suatu takikardi. Atropin dalam hal ini lebih efektif
daripada skopolamin. Obat ini juga dapat menghambat brakikardi yang
ditimbulkan oleh obat kolinergik. Atropin tidak mempengaruhi pembuluh darah
maupun tekanan darah secara langsung, tetapi menghambat vasodilatasi oleh
asetikolin atau ester kolin yang lain. Atropin tidak berefek terhadap sirkulasi
darah bila diberikan sendiri, karena pembuluh darah hampir tidak dipersarafi
parasimpatik. Dilatasi kapiler pada bagian muka dan leher terjadi pada dosis yang
besar dan toksik. Kelainan ini mungkin dapat dikacaukan dengan penyakit yang
menyebabkan kemerahan kulit didaerah tersebut, vasodilatasi ini disertai dengan
naiknya suhu kulit, Hipotensi ortostatik kadang-kadang dapat terjadi setelah
pemberian dosis 2 mg.

 Saluran Cerna

Karena bersifat menghambat peristaltis lambung dan usus, atropin juga


disebut obat antispasmodik. Penghambatan terhadap asetkolin eksogen (atau ester
kolin) terjadi lengkap, tetapi terhadap asetikolin endogen hanya terjadi parsial.
Atropin menyebabkan berkurangnya sekresi liur dan sebagian juga sekresi
lambung. Pada tukak pektik, atropin sedikit saja mengurangi sekresi HCl, karena
sekresi asam ini lebih dibawah control fase gaster daripada oleh N.Vagus. Gejala-
gejala ulkus peptikum setelah pemberian atropin terutama dikurangi oleh
hambatan motilitas lambung, inipun memerlukan dosis yang selalu disertai
dengan keringnya mulut. Tetapi sekali terjadi blokade, maka blokade akan
tertahan untuk waktu yang agak lama. Atropin hampir tidak mengurangi sekresi
cairan pankreas, empedu dan cairan usus, yang lebih banyak dikontrol oleh faktor
hormonal.

Antimuskarinik yang lebih selektif ialah pirenzepin yang afinitasnya lebih


jelas pada reseptor M1, konstante disosiasi pirenzepin pada M1, kira-kira 5 kali
konstante disosiasi pada M2.

Pirenzepin bekerja lebih selektif menghambat sekresi asam lambung dan


pepsin pada dosis yang kurang mempengaruhi organ lain. Sekresi asam lambung
pada malam hari dapat diturunkan sampai 44%. Dengan dosis 100 mg sehari,
sekresi saliva dan motilitas kolon berkurang. Pengosongan lambung dan faal
pankreas tidak dipengaruhi obat ini.

 Otot polos lain

Saluran kemih dipengaruhi oleh atropin dalam dosis agak besar (kira-kira
1 mg). Pada piolegram akan terlihat dilatasi kaliks, pelvis, ureter dan kandung
kemih. Hal ini dapat mengakibatkan retensi urin. Retensi urin disebabkan urin
disebabkan relaksasi M. destrusor konstriksi sfingter uretra. Bila ringan akan
berupa kesulitan miksi yaitu penderita harus mengejan sewaktu miksi. Efek
antispasmodik pada saluran empedu, tidak cukup kuat untuk menghilangkan kolik
yang disebabkan oleh batu dalam saluran empedu. Pada uterus yang inervasi
otonomnya berbeda dari otot polos lainnya, tidak terlihat relaksasi, sehingga
atropin hampir tidak bermamfaat untuk pengobatan nyeri haid.

 Kelenjar eksokrin

Kelenjar eksokrin yang paling jelas dipengaruhi oleh atropin ialah kelenjar
liur dalam mulut serta bronkus. Untuk menghambat aktivitas kelenjar keringat
diperlukan dosis yang lebih besar; kulit menjadi kering, panas dan merah terutama
dibagian muka dan leher. Hal ini menjadi lebih jelas lagi pada keracunan yaitu
seluruh suhu badan meningkat. Efek terhadap kelenjar air mata dan air susu tidak
jelas.

Farmakokinetik

Alkaloid belladonna mudah diserap dari semua tempat, kecuali kulit.


Pemberian atropin sebagai obat tetes mata, terutama pada anak dapat menyebabkan
absorbsi dalam jumlah yang cukup besar lewat mukosa nasal, sehingga menimbulkan
efek sistemik dan bahkan keracunan. Untuk mencegah hal ini perlu dilakukan
penekanan kantus internus mata setelah penetesan obat agar larutan atropin tidak
masuk ke rongga hidung, terserap dan menyebabkan efek sistemik. Dari sirkulasi
darah, atropin cepat memasuki jaringan dan kebanyakan mengalami hidrolisis
enzimatik oleh hepar. Sebagian diekskresi melalui ginjal dalam bentuk asal.

Atropin mudah diserap, sebagian dimetabolisme di dalam hepar dan dibuang


dari tubuh terutama melalui air seni. Masa paruhnya sekitar 4 jam.

Efek Samping

Efek samping antimuskarinik hampir semuanya merupakan efek


farmakodinamik obat. Pada orang muda efek samping mulut kering, gangguan miksi,
meteorisme sering terjadi, tetapi tidak membahayakan. Pada orang tua efek sentral
terutama sindrom demensia, dapat terjadi. Memburuknya retensi urin pada pasien
dengan hypertrofi prostat dan penglihatan pada pasien glaukoma, menyebabkan obat
ini kurang diterima. Efek samping sentral kurang pada pemberian antimuskarinik yang
bersifat ammonium kuartener. Walaupun demikian selektifitas hanya berlaku pada
dosis rendah dan pada dosis toksik semuanya dapat terjadi.

Muka merah setelah pemberian atropin bukan alergi melainkan efek samping
sehubungan vasodilatasi pembuluh darah di wajah. Alergi terhadap atropin tidak
sering ditemukan.

Atropin kadang-kadang menyebabkan keracunan, terutama pada anak, karena


kesalahan dalam menghitung dosis, atau sewaktu meracik obat kombinasi, karena itu
atropin tidak dianjurkan diberikan pada anak-anak di bawah 4 tahun. Telah dijelaskan
di atas bahwa kadang-kadang obat tetes matapun dapat menyebabkan keracunan bila
tidak dilakukan tindakan untuk mengurangi absorpsinya. Keracunan terjadi akibat
makan buah dari tanaman yang mengandung alkaloid belladonna, misalnya kecubung.
Walaupun gejala keracunan obat ini sangat mengejutkan, kematian dapat terjadi. Telah
dilaporkan bahwa dosis 500–1000 mg masih belum merupakan dosis fatal. Sebaliknya
pada anak, dosis 10 mg mungkin menyebabkan kematian. Perbedaan dalam dosis fatal
ini mungkin berdasarkan reaksi idiosinkrasi dan kepekaan seseorang. Karena itu, tiap
keracunan alkaloid belladonna tidak boleh dianggap tidak berbahaya.
Atropin dapat menyebabkan mulut kering, penglihatan mengabur, mata rasa
berpasir, takikardia dan konstipasi. Efeknya terhadap SSP termasuk rasa capek,
bingung, halusinasi, delinium, yang mungkin berlanjut menjadi depresi, kolaps
sirkulasi dan sistem pernapasan dan kematian. Pada individu yang lebih tua,
pemakaian atropine dapat menimbulkan midriasis dan sikloplegi dan keadaan ini
cukup gawat karena dapat menyebabkan serangan glaukoma berulang setelah
menjalani kondisi tenang.

Diagnosis keracunan atropin tidak akan meleset, asal saja kemungkinan


keracunan ini diingat pada tiap keadaan toksik dengan gejala sentral ditambah dengan
midriasis, kulit merah dan kering serta takikardi. Teoritis diagnosis dapat ditegakkan
bila sesudah suntikan 10 mg metakolin, tidak terlihat gejala-gejala kolinergik yaitu
salvias, berkeringat, lakrimasi dan lain-lainnya, namun hal ini jarang dibutuhkan.

Pengobatannya ialah dengan bilas lambung bila obat baru saja ditelan dan
pemasangan klisma untuk mempercepat pengeluaran obat ini dari usus. Eksitasi dapat
dikurangi dengan barbiturat kerja singkat, kloralhidrat atau diazepam dengan dosis
secukupnya saja. Bila ada depresi napas perlu dilakukan napas buatan. Bila penderita
tidak sadar untuk waktu yang lama, keseimbangan elektrolit perlu dimonitor dan
diperbaiki. Kateterisasi perlu dikerjakan bila penderita mengalami retensi urin. Kamar
perlu digelapkan untuk melindungi retina dari cahaya yang berlebihan.

Dosis

Dosis atropin umumnya berkisar antara seperempat sampai 1 mg. Untuk


keracunan antikolinesterase digunakan dosis 2 mg/kali. Dosis untuk mengatasi
keracunan kolinergik pada anak adalah 0,04 mg/kgBB per kali.

Obat Sintetik Mirip Atropin

Karena efek tambahan atropin begitu banyak dan tidak menyenangkan, maka
telah disintesis banyak zat untuk mendapatkan obat dengan kerja yang agak selektif.
Usaha ini ditujukan untuk obat yang bekerja khusus terhadap mata, ulkus peptikum
dan penyakit parkinson. Pada umumnya efek farmakodinamik tidak banyak berbeda
dengan atropin.

Ekstrak Belladona ialah ekstrak yang mengandung campuran alkaloid.


Homatropin ialah obat semisintetik, kekuatannya 1/10 dari atropin. Hanya digunakan
sebagai midriatik (larutan 2-5 % homatropin HBr), karena mula kerjanya cepat dan
efeknya hilang dalam 24 jam.

Homatropin metilbromida juga obat semisintetik, dipakai sebagai obat


antispasmodik (dosis oral 2,5-5 mg). Sifat penghambat ganglionnya lebih nyata
daripada atropin.

Skopolamin metilbromida memperlihatkan efek sentral kurang dari


skopolamin, lebih lemah daripada atropin, tetapi kerjanya bertahan lebih lama, yaitu
kira-kira 8 jam. Dosis oral adalah 2,5 mg.

Metantelin bromida memperlihatkan efek penghambat ganglion yang lebih


besar daripada atropine, terutama digunakan untuk ulkus peptic dengan dosis 50-100
mg. Propantelin Br lebih kuat daripada metantelin Br.

Oksifenonium menghambat ganglion lebih kuat, daripada metantelin bromida.


Terutama dipakai untuk ulkus peptikum dengan dosis 5 mg.

Sedian

Banyak sekali me-too drugs dalam golongan ini yang semuanya tidak
memberikan keuntungan yang mencolok dari segi efektifitasnya, toksisitas dan harga.

Penggunaan Klinis

 Oftalmik

Biasanya dipakai lokal untuk menimbulkan midriasis pada beberapa


keadaan. Minyasalnya diperlukan untuk melakukan funduskopi, menghilangkan
daya akomodasi sewaktu pemeriksaan refraksi dan untuk beberapa keadaan
infeksi misalnya iritis, iridosiklitis dan keratitis. Infeksi mata di bagian depan
mata ini sering mengakibatkanperlekatan antara iris dengan lensa atau kornea.
Untuk menghindari ini, iris perlu ditarik jauh dari tempat persentuhan dengan
lensa.

Atropin biasanya dipakai dengan kekuatan larutan 1 %, dua atau tiga tetes
larutan ini cukup untuk menyebabkan midriasis selama beberapa hari selama
seminggu. Dalam keadaan infeksi perlu diberi dua atau tiga kali sehari untuk
mendapatkan efek penuh. Tentu pengobatan dengan antibiotik harus disertakan.

Homatropin sebagai obat tetes mata (2-5 %) bekerja lebih pendek, yaitu
kira-kira 24 jam.

Tropikamid 1% diberikan 2 tetes selang 5 menit menimbulkan sikloplegia


dan midriasis dalam 20-35 menit. Fungsi akomodasi kembali dalam 2-6 jam.

Semua penderita yang diberi antikolinergik sebagai obat tetes mata harus
diperiksa dahulu untuk menentukan adanya glaukoma, karena penyakit ini
merupakan kontraindikasi utama antikolinergik. Peninggian tekanan intraokuler
terus-menerus dapat menyebabkan kebutaan.

 Saluran cerna

Antikolinergik digunakan untuk menghambat motilitas lambung dan usus.


Terutama dipakai pada ulkus peptikum dan sebagai pengobatan simtomatik pada
berbagai keadaan misalnya disentri, kolitis, diverticulitis dan kolik karena obat
atau obat lain. Dosis untuk biasanya sangat bervariasi dan harus disesuaikan untuk
tiap penderita sedemikian rupa, sehingga gejala-gejala tambahan dirasakan
seminimal mungkin. Beberapa macam diare yang disertai faktor psikis perlu
tambahan obat penenang. Sedangkan diare non-spesifik biasanya akan berhenti
sendiri dalam beberapa hari bila isi kolon telah bersih. Tentu tidak boleh
dilupakan pemberian oralit bila kehilangan cairan banyak.

Dalam pengobatan ulkus peptikum, atropin atau antikolinergik lain dalam


dosis yang biasa digunakan tidak cukup untuk menghambat sekresi asam
lambung.
 Saluran napas

Antikolinergik dapat berguna untuk mengurangi ekskresi lendir hidung


dan saluran napas secara simtomatis, misalnya untuk rhinitis akut, koriza dan hay
fever. Terapi antikolinergik tidak memperpendek masa penyakit.

Indikasi Lain

Medikasi preanestetik, atropin berguna untuk mengurangi sekresi lendir jalan


napas pada anastesi, terutama pada anastesi inhalasi dengan gas-gas yang merangsang.

Atropin kadang-kadang berguna untuk menghambat N.Vagus pada bradikardi


atau sinkope akibat refleks sinus karotis yang hiperaktif. Beberapa jenis blok A-V
yang disertai dengan hiperaktivitas vagus dapat diperbaiki dengan atropin.

Terhadap otot polos, efek relaksasi uterus oleh atropin tidak dapat diandalkan
dan zat ini hampir tidak berguna untuk nyeri haid. Efektivitasnya terhadap kolik ginjal
atau saluran empedu juga tidak dapat dikatakan konsisten dan untuk ini perlu
dikombinasi dengan petidin atau analgesik lain.

Atropin berguna untuk mengantagonis gejala parasimpatomimetik yang


menyertai pengobatan kolinergik pada miastenia gravis. Obat ini tidak mengganggu
efek kolinergik terhadap otot rangka.

b. Skopolamin

Skopolamin, alkaloid belladonna lainnya, dapat menimbulkan efek tepi yang


sama dengan efek atropin. Tetapi efek skopolamin lebih nyata pada SSP dan masa
kerjanya lebih lama dibandingkan atropin. Obat ini menyebabkan kerja khusus
sebagai berikut :

Efek

Skopolamin merupakan salah satu obat anti mabuk perjalanan yang paling
efektif. Obat ini menimbulkan pula efek penumpukan daya ingat jangka pendek.
Bertolak belakang dengan atropin, obat ini menyebabkan sedasi, rasa mengantuk,
tetapi pada dosis yang lebih tinggi bahkan menimbulkan kegelisahan/kegaduhan.

Pengunaan Terapi

Walaupun mirip dengan atropin, indikasi obat ini terbatas pada pencegahan
mabuk perjalanan dan penumpukan daya ingat jangka pendek. Sebagaimana obat
lainnya untuk kondisi yang sejenis, maka penggunaan untuk maksud pencegahan jauh
lebih efektif daripada pengobatan mabuk yang benar-benar telah terjadi. Efek
amnesik skopolamin ini justru dapat dimanfaatkan untuk membantu prosedur
anastesi.

Farmakokinetik dan Efek Samping

Aspek ini persis sama seperti atropin.

c. Ipratropium

Ipatropium bromida ialah suatu derivat metal atropin, jadi juga sebagai
ammonium kuartener; efek aktivitas sebagai bronkodilator bila diinhalasi tidak sekuat
beta-agonis. Obat diindikasikan mengatasi bronkokonstriksi yang tidak dapat diatasi
lagi dengan teofilin atau beta-2 agonis atau bila kedua obat tersebut tidak terterima
oleh pasien.

Pada pemberian secara inhalasi ipratropium bromida tidak mempengaruhi


kekentalan, produksi, mapun proses pembersihan mukus. Obat ini juga praktis tidak
diserap sehingga jarang menimbulkan efek samping sistemik.

Efektivitas obat mencapai puncaknya antara 1-2 jam setelah inhalasi dan
bertahan 3-5 jam. Toleransi tidak terjadi dalam pemakaian sampai 5 tahun. Obat ini
diperkirakan cukup aman untuk penderita dengan glaukoma atau hipertrofi prostat.

Penyedotan ipratropium, suatu turunan kuartener atropin, bermanfaat untuk


pengobatan asma dan penyakit paru obstruktif menahun pada pasien yang tidak cocok
menelan agonis adrenergik.
 Penyakat Ganglion
Penyakat ganglionik ini secara spesifik bekerja terhadap reseptor nikotinik,
barangkali dengan menyekat kanal ion ganglia otonom. Obat ini menunjukkan tidak
adanya selektivitas terhadap ganglia simpatis maupun parasimpatis dan tidak efektif
sebagai antagonis neuromuskular. Oleh karena itu, obat ini menghentikan semua keluaran
sistem saraf otonom pada reseptor nikotinik. Respon yang teramati memang kompleks
dan sulit diduga, sehingga tidak mungkin memperoleh kerja yang selektif. Dengan
demikian maka penyekat ganglionik sangat jarang digunakan untuk maksud terapi saat
ini. Tetapi, obat ini sering digunakan sebagai alat dalam eksperimen farmakologi.
a. Nikotin
Suatu komponen dari rokok sigaret, nikotin memiliki sejumlah kerja yang
kurang menyenangkan. Tergantung pada dosis, nikotin mendepolarisasi ganglia,
menimbulkan pertama kali gejala pacuan dan kemudian diikuti oleh paralisis dari
semua ganglia. Efek pacunya kompleks, termasuk peningkatan tekanan darah,
pertambahan denyut jantung (akibat pelepasan transmiter dari ujung saraf adrenergik
dan medulla adrenalis), serta peningkatan peristalsis dan sekresi. Pada dosis lebih
tinggi, tekanan darah justru menurun karena penyekatan ganglionik dan aktivitas
saluran cerna dan otot-otot kandung kemih terhenti.
Nikotin adalah zat aktif dalam tembakau. Meskipun obat ini sekarang
tidak lagi digunakan dalam terapi (kecuali dalam terapi penghentian merokok).
Nikotin tetap penting karena nomor 2 setelah kafein digunakan paling banyak sebagai
stimulan SSP dan kedua dari alkohol sebagai obat yang paling banyak disalah
gunakan. Kombinasi dengan ter dan karbon monoksida yang ditemukan dalam asap
rokok, nikotin merupakan faktor resiko serius untuk penyakit paru dan
kardiovaskular, berbagai kanker dan penyakit lainnya.

Mekanisme Kerja
Pada dosis rendah, nikotin menyebabkan stimulasi ganglion dengan
depolarisasi. Pada dosis tinggi, nikotin menyebabkan penghambatan ganglionik.
Reseptor nikotin terdapat dalam SSP tempat kerja serupa terjadi.
Kerja
 SSP
Nikotin sangat larut dalam lipid dan dengan mudah melewati sawar otak
darah. Dengan merokok atau memberikan dosis nikotin yang rendah akan
menyebabkan euphoria ringan dan meningkatkan kesadaran, serta relaksasi dan
memperbaiki atensi, daya belajar, menyelesaikan masalah dan waktu reaksi. Nikotin
dosis tinggi menyebabkan paralisis pernapasan pusat dan hipotensi hebat karena
paralisis medula.
 Efek perifer
Efek perifer nikotin cukup kompleks. Stimulasi ganglion simpatik dan
medula adrenal meningkatkan tekanan darah dan nadi. Penggunaan tembakau
berbahaya pada pasien hipertensi. Banyak pasien dengan penyakit vaskular perifer
mengalami eksaserbasi gejala setelah merokok. Sebagai contoh, vasokonstriksi
akibat nikotin dapat menurunkan aliran darah koroner, mempengaruhi pasien angina.
Stimulasi ganglia parasimpatik juga meningkatkan aktifitas motorik pencernaan.
Pada dosis tinggi, tekanan darah turun dan aktifitas saluran pencernaan dan otot
kandung kemih berhenti akibat penghambatan nikotin pada ganglia parasimpatik.
Farmakokinetik
Nikotin sangat larut lipid. Akibatnya absorbsi mudah terjadi pada mukosa
mulut, paru, mukosa pencernaan dan kulit. Nikotin melewati plasenta dan dikeluarkan
dalam air susu ibu yang menyusui. Lebih dari 90% nikotin diisap dari asap yang
diabsorbsi. Bersihan nikotin menyangkut metabolism dalam paru dan hati dan
ekskresi urin. Toleransi terhadap efek toksik nikotin terjadi cepat, sering dalam hari-
hari setelah penggunaan dimulai.
Efek Samping
Efek nikotin pada SSP termasuk iritasi dan tremor. Nikotin dapat juga
menyebabkan kram pencernaan, diare dan peningkatan denyut jantung dan tekanan
darah. Selain itu, merokok meningkatkan metabolisme beberapa obat.
b. Trimetafan
Trimetafan adalah obat penyekat ganglionik nikotinik bekerja singkat dan
bersifat kompetitif yang harus diberikan secara infus intravena. Saat ini trimetafan
digunakan untuk menurunkan tekanan darah dalam keadaan darurat seperti hipertensi
yang disebabkan oleh edema paru atau parahnya aneurisma aorta bila obat lain tidak
dapat digunakan.
c. Mekamilamin
Mekamilamin menyekat kompetitif ganglia nikotinik. Lama kerjanya
berkisar 10 jam setelah pemberian tunggal. Ambilan obat melalui penyerapan oral
baik, berbeda dengan trimetafan.
 Penyekat Neuromuskular
Obat penyekat neuromuskular ini strukturnya analog dengan asetilkolin dan
bekerja baik sebagai antagonis (tipe nondepolarisasi) maupun agonis (tipe depolarisasi)
terhadap reseptor yang terdapat cekungan sambungan neuromuskular. Penyekat
neuromuskular bermanfaat secara klinik selama operasi guna melepaskan otot secara
sempurna tanpa memperbanyak obat anastesi yang sebanding dalam melemaskan otot.
Kelompok kedua pelemas otot, pelemas otot sentral digunakan untuk mengontrol tonus
otot spastik.
a. Penyekat nondepolarisasi (kompetitif)
Obat pertama yang mampu menyekat sambungan neuromuskular otot
rangka adalah kurare, yang dipakai oleh pemburu alam di daerah amazon di Amerika
Selatan untuk melumpuhkan binatang buruannya. Obat tubokurarin akhirnya
dimurnikan dengan baik dan dikenalkan dalam klinik pada awal tahun 1940-an. Obat
penyekat neuromuskular jelas mempertinggi tingkat keamanan anestesi karena obat
anastesi yang dibutuhkan untuk sampai ke tingkat melemaskan otot tidak perlu terlalu
banyak.

Mekanisme Kerja
 Pada dosis rendah
Obat penyekat neuromuskular nondepolarisasi bergabung dengan reseptor
nikotinik dan mencegah pengikatan asetilkolin. Obat ini justru mencegah
depolarisasi membran sel otot dan menghambat kontraksi otot. Karena obat ini
bersaing dengan asetilkolin pada reseptor, maka disebut penyakit kompetitif.
Kerjanya dapat dimusnahkan dengan memperbanyak kadar asetilkolin pada celah
sinaptik, sebagai contoh pemberian obat penghambat kolinesterase seperti
neostigmin atau edrofonium. Ahli anestesi sering menggunakan strategi ini untuk
mempersingkat lama penyekatan neuromuskular.
 Pada dosis tinggi
Penyakit nondepolarisasi menghadang kanal ion pada cekungan. Keadaan
ini menyebabkan pelemahan transmisi neuromuskular lebih lanjut dan
mengurangi kemampuan obat penghambat asetilkolinesterase untuk
menghilangkan kerja obat pelemas otot nondepolarisasi.
Efek
Tidak semua otot sama pekanya terhadap penyekatan oleh obat penyekat
kompetitif. Otot-otot kecil yang berkontraksi cepat pada muka dan mata sangat peka
sekali dan dilumpuhkan pertama kali, kemudian diikuti oleh otot jari-jari. Setelah itu
otot tungkai dan lengan; leher, dan batang tubuh dilumpuhkan, kemudian otot sela iga
terganggu dan terakhir otot diafragma lumpuh.
Penggunaan Terapi
Obat penyekat ini digunakan dalam terapi sebagai obat pelengkap dalam
anatesi selama operasi guna melemaskan otot rangka.
Farmakokinetik
Semua obat penyekat neuromuskular disuntikkan intravena karena
penyerapannya peroral sedikit sekali. Obat ini menembus membran dan tidak masuk
ke dalam sel atau melintas sawar darah otak. Kebanyakan obat ini tidak
dimetabolisme; kerjanya diakhiri dengan cara penyebaran kembali. Sebagai contoh,
tubokurarin, pankuronium, mivakurium, metokurin dan doksakurium diekskresikan
ke dalam urin dalam bentuk utuh. Atrikurium dihancurkan spontan di dalam plasma
dan dengan hidrolisis ester. Obat aminosteroid (vekuronium dan rokuronium)
diasetilasi dalam hati dan bersihannya akan memanjang pada pasien dengan penyakit
hepar. Obat ini diekskresi dalam bentuk utuh ke dalam empedu.
b. Obat depolarisasi
Mekanisme kerja
Obat penyekat neuromuskular depolarisasi, suksinilkolin melekat pada
reseptor nikotinik dan bekerja mirip asetilkolin untuk mendepolarisasi sambungan.
Tidak seperti asetilkolin yang segera dirusak oleh asetilkolinesterase, maka obat
depolarisasi ini kadarnya tetap tinggi dalam celah sinaptik dan tetap lekat pada
reseptor dalam jangka waktu yang relatif lama dan terus menerus memacu reseptor.
Obat depolarisasi ini mula-mula membuka kanal natrium yang berhubungan dengan
reseptor nikotinik yang menyebabkan depolarisasi reseptor (fase I). Keadaan ini
menimbulkan suatu gerakan berkerut sesekali pada otot (fasikulasi). Ikatan yang
berlanjut dari obat depolarisasi ini melumpuhkan reseptor sehingga tidak mampu lagi
menstransmisi impuls yang lebih lanjut. Setelah beberapa saat, maka depolarisasi
berlanjut, ini justru menimbulkan repolarisasi bertahap seiring dengan menutupnya
kanal natrium atau tersekat. Keadaan ini tidak memungkinkan (tahan) terhadap
depolarisasi (fase II) dan terjadi kelumpuhan fleksid.
Efek
Urutan kelumpuhan mungkin sedikit berbeda, tetapi sebagaimana yang
terjadi pada penyakit kompetitif, otot-otot pernapasan lumpuh belakangan.
Suksinilkolin mengawali efeknya dengan fasikulasi otot secara singkat, kemudian
dilanjutkan dengan lumpuh dalam beberapa menit. Obat ini tidak menyebabkan
penyekatan ganglion kecuali pada dosis tinggi, walaupun sebenarnya obat ini
memacu secara lemah pelepasan histamin. Dalam keadaan normal, lama kerja
suksinilkolin sangat singkat sekali, karena obat ini cepat sekali dirusak oleh
kolinesterase dalam plasma.
Penggunaan Terapi
Karena mula kerjanya cepat dan lama kerja singkat, suksinilkolin berguna
sewaktu intubasi endotrakeoal cepat dibutuhkan selama induksi anestesi (kerja cepat
sangat penting untuk mencegah aspirasi kandungan lambung selama intubasi). Obat
ini digunakan juga selama terapi syok elektrokonvulsif.
Farmakokinetik
Suksinilkolin disuntikkan intravena. Kerjanya yang sangat singkat
(beberapa menit saja) disebabkan oleh hidrolisis cepat kolinesterase dalam plasma.
Oleh karena itu, obat ini biasanya diberikan dalam bentuk infus terus-menerus.
Efek Samping
 Hipertermia
Bila halotan digunakan sebagai anastesi, maka pemberian suksinilkolin
terkadang menyebabkan hipertermia sangat berat (dengan gejala kaku otot dan
panas tubuh yang sangat tinggi) pada orang yang dasar genetiknya peka. Pada
keadaan demikian harus diobati dengan mendinginkan segera tubuh pasien
dengan pemberian dantrolen, yang menghambat pelepasan Ca- dari retikulum
sarkoplasmik sel otot yang berarti mengurangi produksi panas dan melemaskan
tonus otot.
 Apnea
Pasien yang dasar genetiknya berkaitan dengan defisiensi kolinesterase
plasma atau adanya bentuk atipikal dari enzim tersebut sering terjadi apnea (tidak
dapat bernapas) karena kelumpuhan otot diafragma.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Sistem saraf merupakan salah satu bagian yang menyusun sistem koordinasi yang
bertugas menerima rangsangan, menghantarkan rangsangan ke seluruh bagian tubuh, serta
memberikan respons terhadap rangsangan tersebut. Sistem saraf dibedakan atas 2 divisi
anatomi yaitu sistem saraf pusat (SSP) yang terdiri dari otak dan medulla spinalis, serta
sistem saraf tepi yang merupakan sel-sel saraf yang terletak diluar otak dan medulla spinalis
yaitu saraf-saraf yang masuk dan keluar sistem saraf pusat. Sistem saraf tepi selanjutnya
dibagi dalam divisi eferen yaitu neuron yang membawa sinyal dari otak dan medulla spinalis
ke jaringan tepi, serta divisi aferen yang membawa informasidari perifer ke sistem saraf
pusat. Bagian eferen sistem saraf tepi selanjutnya dibagi dalam 2 subdivisifungsional utama,
yaitu sistem somatik dan sistem otonom.
Agonis kolinoreseptor dibagi dalam subgrup yaitu muskarinik dan nikotinik
berdasarkan afinitas terhadap reseptor khususnya, begitu juga antagonis yang bekerja pada
reseptor ini dibagi ke dalam dua kelompok besar yaitu : bahan antimuskuranik dan bahan
antinikotinik. Obat-obat penyekat reseptor nikotinik terdiri atas penyakat-penyakat ganglion
dan penyekat-penyekat pada pertemuan neuromuskular.

B. Saran
Makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Untuk itu, kami mengharapkan kritik dan
saran yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai