Anda di halaman 1dari 3

#1 Mitos: Incenerator tidak menghasilkan polusi dan emisi berbahaya ke udara

dan lingkungan sekitar

Fakta: Segala jenis insinerator, gasifikasi, pyrolisis tetap akan menghasilkan produk
residu beracun yang berpotensi mencemari lingkungan dan kesehatan manusia

Segala jenis insenerator,gasifikasi, pirolisis tetap akan menghasilkan produk residu


beracun. Artinya, sampah yang dibakar tidak akan ernah habis atau hilang. Teknologi
pembersih pada insinerator hanya akan mengubah bentuk polutan gas beracun
menjadi bentuk lain seperti kedalam ash, boiler slag, waste water dll yang akhirnya
akan dilepas ke lingkungan, seperti ke sungai atau ke TPA B3. Polutan ini
mengandung racun berbahaya seperti dioxin, furan, dan logam berat lain seperti
merkuri, lead, acid. Polutan ini bisa tidak terlihat mata karena sangat kecil hingga
berukuran nano (10-9 m). Insenerator dengan teknologi pengontrol polusi paling
canggih yang ada saat ini pun tidak bisa menangkap partikel nano ini. Polutan ini bisa
masuk ke dalam paru-paru, aliran darah manusia, hewan ternak, dan tumbuhan yang
tumbuh di sekitar insenerator. Polutan ini menyebabkan resiko seperti kanker,
penyakit jantung, asma, strokes, cacat fisik dan mental pada janin.

#2 Mitos: Insinerator dan waste to energy system itu ramah lingkungan

Fakta: Insinerator dan waste to energy system menghasilkan emisi rumah kaca lebih tinggi
dari pada pembakaran batu bara

Insenerator menghasilkan lebih banyak CO2 per unit listrik daripada Pembangkit Listrik dari batu
bara.

Berdasarkan EPA, insenerator “waste to energy” menghasilkan gas emisi rumah kaca lebih
tinggi dari pada mencegah, memakai kembali (reuse) dan mendaur ulang (recycle) material yang
sama . Sebaliknya, 42% emisi gas rumah kaca di Amerika Serikat dapat berkurang dengan
strategi minim sampah atau zero waste seperti source reduction, recycling, dan composting.
#4 Mitos: Insinerator atau PLTSa menghasilkan listrik secara efektif

Fakta: Waste to energy is a waste OF energy

Menurut DLH, sampah di Indonesia hampir 70% adalah sampah organik dan basah. Artinya,
sangat tidak efektif jika sampah rumah tangga kita diproses dengan metode pembakaran. Hal ini
dikarenakan sampah basah memiliki nilai kalori yang rendah sehingga menghasilkan energi yang
juga sangat rendah. Incenerator biasa memiliki efisiensi 19-27% untuk menghasilkan listrik.
Selain itu, incenerator juga mendorong masyarakat untuk meninggalkan budaya memilah
sampah dari rumah. Akibatnya, banyak material yang sebetulnya bernilai ekonomis dan bisa di
daur ulang berakhir di pembakaran saja. It’s such a waste of energy.

#6 Mitos: Insinerator atau PLTSa adalah solusi pengelolaan sampah yang


murah

Fakta: Incenerator merupakan investasi pengolahan sampah yang mahal sekali


Pengolahan sampah dengan insinerator waste to energy atau PLTSa 50 lebih tinggi daripada
metode TPA. Di Amerika serikat, biaya ini dikenal dengan istislah tipping fee yaitu biaya yang
dibayarkan oleh si pemilik sampah kepada pemilik fasilitas pengolahan sampah. Tipping fee bisa
juga diberikan kepada pengelola kompos dan pemilik industri daur ulang, seperti bank sampah.
Tapi biasanya di bank sampah, tipping fee dibayarkan dari si pengelola kepada si pemilik
sampah.

Selain itu, jika dibandingkan dengan teknologi pembangkit listrik lainnya, Insinerator atau
PLTSa juga merupakan teknologi yang paling mahal. Berdasarkan laporan Energy Information
Administration (EIA), membangun dan mengoperasikan insenerator waste to energy lebih mahal
daripada pembangkit listrik lainnya, seperti angin, matahari, gas, batu bara, bahkan nuklir.

https://sustaination.id/insinerator-sebagai-solusi-untuk-masalah-sampah-indonesia-tepatkah/

Anda mungkin juga menyukai