Insinerator
Insinerator
Fakta: Segala jenis insinerator, gasifikasi, pyrolisis tetap akan menghasilkan produk
residu beracun yang berpotensi mencemari lingkungan dan kesehatan manusia
Fakta: Insinerator dan waste to energy system menghasilkan emisi rumah kaca lebih tinggi
dari pada pembakaran batu bara
Insenerator menghasilkan lebih banyak CO2 per unit listrik daripada Pembangkit Listrik dari batu
bara.
Berdasarkan EPA, insenerator “waste to energy” menghasilkan gas emisi rumah kaca lebih
tinggi dari pada mencegah, memakai kembali (reuse) dan mendaur ulang (recycle) material yang
sama . Sebaliknya, 42% emisi gas rumah kaca di Amerika Serikat dapat berkurang dengan
strategi minim sampah atau zero waste seperti source reduction, recycling, dan composting.
#4 Mitos: Insinerator atau PLTSa menghasilkan listrik secara efektif
Menurut DLH, sampah di Indonesia hampir 70% adalah sampah organik dan basah. Artinya,
sangat tidak efektif jika sampah rumah tangga kita diproses dengan metode pembakaran. Hal ini
dikarenakan sampah basah memiliki nilai kalori yang rendah sehingga menghasilkan energi yang
juga sangat rendah. Incenerator biasa memiliki efisiensi 19-27% untuk menghasilkan listrik.
Selain itu, incenerator juga mendorong masyarakat untuk meninggalkan budaya memilah
sampah dari rumah. Akibatnya, banyak material yang sebetulnya bernilai ekonomis dan bisa di
daur ulang berakhir di pembakaran saja. It’s such a waste of energy.
Selain itu, jika dibandingkan dengan teknologi pembangkit listrik lainnya, Insinerator atau
PLTSa juga merupakan teknologi yang paling mahal. Berdasarkan laporan Energy Information
Administration (EIA), membangun dan mengoperasikan insenerator waste to energy lebih mahal
daripada pembangkit listrik lainnya, seperti angin, matahari, gas, batu bara, bahkan nuklir.
https://sustaination.id/insinerator-sebagai-solusi-untuk-masalah-sampah-indonesia-tepatkah/