Anda di halaman 1dari 5

SERAT PANGAN DALAM PRODUK PANGAN FUNGSIONAL

Engrid Juni Astuti

Abstrak
Pangan fungsional adalah pangan yang secara alami maupun telah melalui proses
mengandung satu atau lebih senyawa yang berdasarkan kajian-kajian ilmiah dianggap
mempunyai fungsi-fungsi fisiologis tertentu yang bermanfaat bagi kesehatan. pangan
fungsional bermanfaat untuk mencegah penyakit, meningkatkan imunitas, memperlambat
proses penuaan, serta meningkatkan penampilan fisik. Kecenderungan masyarakat untuk
mengkonsumsi makanan sebagai sumber zat gizi serta untuk menjaga kesehatan semakin
meningkat karena tingginya biaya pemeliharaan kesehatan. Serat pangan sampai saat ini
adalah komponen yang paling banyak digunakan dalam pangan fungsional. Serat disarankan
untuk dikonsumsi dalam rangka mengantisipasi pola makan kurang sehat, serta membantu
menghindari gizi lebih dan penyakit degeneratif yang menyertainya. American Dietetic
Association (ADA) merekomendasikan konsumsi serat pangan bagi orang dewasa sekitar 20-
35 gram perhari.

Kata Kunci : Serat Pangan, Pangan Fungsional

Pendahuluan
Serat pangan termasuk polisakarida non pati (NSP) yang terdiri atas komponen selulosa
dan non selulosa, keduanya merupakan polimer gula sederhana (Barasi, 2009). Serat pangan
merupakan bagian dari karbohidrat yang tidak dapat dicerna oleh enzim pencernaan. Serat
pangan banyak terdapat pada dinding sel sayuran dan buah-buahan (Winarno, 1997).
Serat pangan adalah komponen yang paling dikenal oleh masyarakat dibandingkan
dengan komponen lain. Serat disarankan untuk dikonsumsi dalam rangka mengantisipasi pola
makan kurang sehat, serta membantu menghindari gizi lebih dan penyakit degeneratif yang
menyertainya. Serat pangan sampai saat ini adalah komponen yang paling banyak digunakan
dalam pangan fungsional. Serat dedak beras dan serat dedak gandum dan berbagai jenis gum
adalah contoh serat pangan yang sering ditambahkan ke dalam pangan fungsional. Umumnya
serat pangan yang larut di dalam air seperti polydextrose digunakan dalam minuman
fungsional. Pengaruh fisiologis yang diberikan serat pangan, antara lain mengatur fungsi usus,
mencegah penyakit divertikulosis, mencegah konstipasi, mengendalikan kolesterol darah,
mengatur kadar gula darah, mencegah kegemukan dan mengurangi resiko terhadap kanker
kolon (Fardiaz, 1995).

Pangan Fungsional
Pangan fungsional adalah pangan yang secara alami maupun telah melalui proses
mengandung satu atau lebih senyawa yang berdasarkan kajian-kajian ilmiah dianggap
mempunyai fungsi-fungsi fisiologis tertentu yang bermanfaat bagi kesehatan. Pangan
fungsional dikonsumsi sebagaimana layaknya makanan atau minuman, mempunyai
karakteristik sensori berupa penampakan, warna, tekstur dan cita rasa yang dapat diterima
oleh konsumen, serta tidak memberikan kontraindikasi dan efek samping terhadap
metabolisme zat gizi lainnya jika digunakan dalam jumlah yang dianjurkan. Meskipun
mengandung senyawa yang bermanfaat bagi kesehatan, pangan fungsional tidak berbentuk
kapsul, tablet atau bubuk yang berasal dari senyawa alami.(Badan POM, 2001).
Pangan fungsional dibedakan dari suplemen makanan atau obat berdasarkan
penampakan dan pengaruhnya terhadap kesehatan. Kalau obat fungsinya terhadap penyakit
168
bersifat kuratif, maka pangan fungsional hanya bersifat membantu pencegahan suatu penyakit
(Badan POM, 2001).
Pangan fungsional tidak hanya pangan alamiah tetapi juga pangan yang telah
difortifikasi / diperkaya dan memberikan efek potensial yang bermanfaat untuk kesehatan jika
dikonsumsi sebagai bagian dari menu pangan yang bervariasi secara teratur pada dosis yang
efektif. (American Dietic Association, 1999).
Pangan fungsional atau FOSHU (Food for Specified Health Use) didefinisikan sebagai
makanan yang berdasarkan pengetahuan tentang hubungan antara makanan atau komponen
makanan dan kesehatan diharapkan mempunyai manfaat kesehatan tertentu. Departemen
Kesehatan Jepang telah mengidentifikasi 12 golongan komponen yang dapat meningkatkan
kesehatan yaitu : 1) serat pangan; 2) oligosakarida; 3) gula alkohol; 4) asam lemak tidak jenuh
(polyunsaturated Fatty Acid; PUFA); 5) asam amino, peptida dan protein; 6) glikosida ; 7)
alkohol dan fenol; 8) kolin (lesitin); 9) bakteri asam laktat; 10) mineral; 11) isoprenoid dan
vitamin; 12) Phytochemicals yang umumnya bersifat antioksidan. (Broek, 1993).
Kecenderungan masyarakat untuk mengkonsumsi makanan sebagai sumber zat gizi
serta untuk menjaga kesehatan semakin meningkat baik di negara maju maupun dinegara
berkembang termasuk indonesia. Pada tahun 1997, konsumen Amerika Serikat
membelanjakan US$12,70 miliar untuk suplemen pangan dan angka tersebut meningkat 13%
pertahun (Aarts 1998 dalam Witwer 1999).
Di Indonesia kecenderungan tersebut telah dimanfaatkan oleh industri farmasi dan
makanan untuk mempromosikan produk-produknya melalui pencantuman klaim kesehatan
pada label produk maupun iklannya. Berdasarkan data Badan POM, produk suplemen
makanan meningkat cukup pesat baik yang di produksi dalam negeri maupun yang diimpor.
Menurut Milner (2000) adanya tiga alasan yang mendukung peningkatan minat terhadap
pangan fungsional yaitu tingginya biaya pemeliharaan kesehatan, peraturan yang mendukung
dan penemuan-penemuan ilmiah.
Keberadaan pangan fungsional tidak hanya bermanfaat bagi masyarakat atau
konsumen, tetapi juga bagi pemerintah maupun industri pangan. Bagi konsumen, pangan
fungsional bermanfaat untuk mencegah penyakit, meningkatkan imunitas, memperlambat
proses penuaan, serta meningkatkan penampilan fisik. Bagi industri pangan, pangan
fungsional akan memberikan kesempatan yang tidak terbatas untuk secara inovatif
memformulasikan produk-produk yang mempunyai nilai tambah bagi masyarakat. Selanjutnya
bagi pemerintah, adanya pangan fungsional akan menurunkan biaya untuk pemeliharaan
kesehatan masyarakat.
Berbagai jenis pangan fungsional telah beredar dipasaran, mulai dari produk susu
probiotik tradisionl seperti yogurt, khefir, dan coumiss sampai produk susu rendah lemak siap
dikonsumsi yang mengandung serat larut. Juga produk yang mengandung ekstrak serat yang
bersifat larut yang berfungsi menurunkan kolesterol dan mencegah obesitas. Untuk minuman
telah tersedia berbagai minuman berkhasiat menyehatkan tubuh yang mengandung komponen
aktif rempah-rempah seperti kunyit asam, minuman sari jahe, sari temulawak, beras kencur,
serbat dan bandrek.

Serat Pangan
Sejumlah polisakarida bukan pati umumnya berupa pembentuk tekstur dalam bahan
pangan, khususnya pangan nabati, tidak dapat dicerna oleh tubuh (Winarno, 1997). Secara
kolekif kelompok ini disebut polisakarida non pati (non starch polysaccarides atau NSP), yang
merupakan komponen utama serat pangan (Bender, 2003). Serat pangan dikelompokkan
berdasarkan kemampuannya larut air menjadi serat pangan larut (Soluble dietary fiber atau
SDF) dan serat pangan tidak larut (insoluble dietary fiber atau IDF).
169
Beberapa contoh NSP antara lain selulosa, hemiselulosa dan inulin yang termasuk IDF,
lalu pektin, gum dan musil tanaman yang termasuk SDF. Selulosa merupakan polimer rantai
lurus dari glukosa dengan ikatan β-(1-4) yang tidak dapat terhidrolisis oleh enzim amilase.
Hemiselulosa merupakan polisakarida yang tersusun dari xilosa, galaktosa, glukosa dan
monosakarida lainnya yang terikat bersama-sama. Pektin merupakan polimer yang tersusun
dari asam galakturonat dan monosakarida lain, banyak ditemukan pada dinding sel tanaman,
gum adalah polimer dari galaktosa, asam glukoronat dan monosakarida lain, ditemukan dalam
eksudat dari batang tanaman, sedangkan musil adalah polimer dari galaktosa, mannosa, dan
monosakarida lain yang ditemukan dalam rumput laut (Wardlaw, 1999). Komponen lain yang
penting dari serat pangan yaitu lignin yang bukan termasuk karbohidrat tetapi merupakan
polimer kompleks dari berbagai jenis alkohol aromatik (Bender, 2003).
Serat pangan tidak dapat dicerna oleh enzim-enzim pencernaan manusia, tetapi
sebagian komponen serat larut air dapat difermentasi oleh bakteri usus menghasilkan produk
yang dapat diserap dan dimetabolisme menjadi energi.(Bender, 2003). Beberapa komponen
serat dapat lolos dari pencernaan dalam usus halus menuju kolon relatif tanpa perubahan.
Dalam kolon komponen serat yang berbeda mengalami degradasi bakterial yang bertingkat.
Pektin, gum dan musil nyaris sempurna difermentasi, sedangkan lignin yang bukan karbohidrat
utuh dikeluarkan. Produk hasil fermentasi tersebut berupa asam lemak rantai pendek (short
chain fatty acid = SCFA) seperti asam asetat, propionat dan butirat, produk lainnya yaitu air,
karbon, dioksida, hidrogen, dan metana. Asam lemak rantai pendek hasil fermentasi tersebut
dapat diserap oleh sel mukosa kolon untuk dijadikan sebagai sumber energinya (Sardesai,
2003).
Efek fisiologis dari serat pangan bagi tubuh terutama adalah dalam saluran pencernaan,
dimana komponen yang berbeda memberikan efek yang berlainan pula. Dalam mulut serat
menstimulasi aliran saliva dan meningkatkan volume makanan. Saat melewati lambung serat
larut air dan komponen kental serat menunda pengosongan isi lambung. Dalam usus halus,
serat larut membentuk larutan kental sehingga menghambat digesti dan absorbsi karbohidrat
dan lemak, sehingga cenderung memperlambat absorbsi glukosa dan memperkecil kadar
kolesterol plasma darah. Berlawanan halnya dengan serat pangan tidak larut, didalam kolon
komponen serat larut segera didegradasi oleh bakteri sehingga tidak mempengaruhi bobot
feses dan tidak menimbulkan efek laksatif (Sardesai, 2003). Serat pangan tidak larut dapat
memperbesar volume feses dan mempercepat pengeliminasiannya sehingga mengurangi
transit time dan mengurangi resiko pembentukan kanker colorectal.
Respon fisiologis dari konsumsi serat pangan menjadi dasar para pakar
menghubungkan diet kaya serat dengan penurunan resiko terhadap penyakit kronis non infeksi
pada saluran pencernaan seperti konstipasi, penyakit divertikular dan kanker kolon, gangguan
sistem sirkulasi tubuh seperti atherosklerosis dan penyakit jantung koroner (PJK), serta
gangguan metabolisme seperti obesitas dan diabetes (Sardesai, 2003).
Peran serat dalam diabetes mellitus. Serat larut yang berbentuk viskus dapat
memperpanjang waktu pengosongan lambung. Serat larut guar dan pektin memperpanjang
waktu transit di usus, sebaliknya serat tidak larut memperpendek waktu transit di usus. Serat
makanan berpengaruh juga pada pelepasan hormon intestinal dapat mengikat kalsium, zat
besi, seng, dan zat organik lainnya, juga dapat mengikat kolesterol dan asam empedu
sehingga berpengaruh pada sirkulasi enterohepatik kolesterol. Dalam usus besar serat dapat
difermentasi oleh bakteri kolon dan dapat menghasilkan asam lemak rantai pendek yang
dapat menghambat mobilisasi asam lemak dan mengurangi glukoneogenesis. Hal ini akan
berpengaruh pada pemakaian glukosa, sekresi insulin dan pemakaian glukosa oleh hati
(Waspadji, 1989).

170
Peran serat dalam pencegahan kanker kolon. Serat makanan terutama yang terdiri dari
selulosa, hemiselulosa dan lignin sebagian besar tidak dapat dihancurkan oleh enzim-enzim
dan bakteri di dalam traktus digestivus. Serat makanan ini akan menyerap air didalam kolon,
sehingga volume feses menjadi lebih besar dan akan merangsang syaraf pada rektum,
sehingga menimbulkan keinginan untuk defikasi. Dengan demikian tinja yang mengandung
serat akan lebih mudah dieliminir atau dengan kata lain transit time yaitu kurun waktu antara
masuknya makanan dan dikeluarkannya sebagai sisa makanan yang tidak dibutuhkan tubuh
menjadi lebih singkat. Waku transit yang pendek, menyebabkan kontak antara zat-zat iritatif
dengan mukosa kolorektal menjadi singkat, sehingga dapat mencegah terjadinya penyakit di
kolon dan rektum. Disamping menyerap air, serat makanan juga menyerap asam empedu
sehingga hanya sedikit asam empedu yang dapat merangsang mukosa kolorektal, sehingga
timbulnya karsinoma kolorektal dapat dicegah (Daldiyono, et al, 1990).
American Dietetic Association (ADA) merekomendasikan konsumsi serat pangan bagi
orang dewasa sekitar 20-35 gram perhari. Sebuah studi menunjukkan bahwa konsumsi serat
pangan lebih dari 25 gram perhari dapat menurunkan resiko terkena penyakit jantung 36% dan
konsumsi 29 gram serat perhari dapat menurunkan resiko serangan jantung sebesar 41%
(Wardlaw, 1999). ADA (2002) juga melaporkan bahwa serat pangan dalam bentuk terasosiasi
bersama-sama substansi lain dalam matriks alami bahan pangan akan lebih efektif manfaat
fisiologisnya dibandingkan dengan bentuk isolat murninya.
Serat pangan yang terkandung dalam bahan pangan akan mempengaruhi sifat fisiknya.
Beberapa jenis pangan telah diketahui dapat dijadikan sebagai sumber serat pangan dalam
diet yang terbukti efektif pengaruhnya terhadap kesehatan fungsi fisiologis tubuh, terutama
serat larut produk serealia seperti oat bran, khususnya β-glukan (sayar et al, 2005) dan
psyllium, suatu produk konsentrat serat larut dari beberapa tanaman anggota genus Plantago
(Trautwein, 1999)

Kesimpulan
Pangan fungsional mempunyai prospek cerah sehingga peluang pengembangan produk
baru yang dapat diterima konsumen secara luas masih terbuka lebar terutama dari bahan
makanan yang mengandung serat pangan. Serat pangan adalah komponen yang paling
dikenal oleh masyarakat dibandingkan dengan komponen lain. Serat disarankan untuk
dikonsumsi dalam rangka mengantisipasi pola makan kurang sehat, serta membantu
menghindari gizi lebih dan penyakit degeneratif yang menyertainya. Serat pangan sampai saat
ini adalah komponen yang paling banyak digunakan dalam pangan fungsional.
Pengaruh fisiologis yang diberikan serat pangan, antara lain mengatur fungsi usus,
mencegah penyakit divertikulosis, mencegah konstipasi, mengendalikan kolesterol darah,
mengatur kadar gula darah, mencegah kegemukan dan mengurangi resiko terhadap kanker
kolon. American Dietetic Association (ADA) merekomendasikan konsumsi serat pangan bagi
orang dewasa sekitar 20-35 gram perhari.

Daftar Pustaka
American Dietic Association. 1999. Functional Food-Position of ADA. J.Am.Diet. Assoc. 99 :
1278 – 1285.
Badan Pengawas Obat dan Makanan. 2001. Lokakarya Kajian Penyusunan Standar
Pangan Fungsional. Bogor.
Barasi, ME, 2009, At a Glance : Ilmu Gizi, Erlangga, Jakarta
Bender, DA. 2003. Introduction to Nutrition and Metabolism. 3rd ed. Taylor & Francis.
London
171
Broek, A. 1993. Functional Food : the Japanese approach. IFI 1/2 : 4-9
Daldiyono, Ismail A, Rani AA, Manan C & Sumadibrata R. 1990. Kanker kolon dan peran diit
tinggi serat : Kejadian di negara barat. Gizi Indonesia, 15(1), 73-75
Fardiaz, D. 1995. Health Benefit of Soluble Fiber and oligosaccharides in Functional
Foods. Makalah disampaikan pada seminar On Ingredients of Functional Foods – pfizer,
Surabaya
Milner, JA, 2000, Functional Foods : the US Perspective, Am. J.Clin.Nutr. (71)
(suppl):1.954s-1.959s
Sardesai, V.M. 2003, Introduction of Clinical Nutrition. 2nd ed. Marcel Dekker Inc. New York
Sayar, S. JL. Jannink dan PJ. White. In vitro bile acid binding of flours from oat lianes
varying in percentage and molecular weight distribution of β-glucan. J. Of Agric.
And Food Chemistry. 53 : 8797-8803
Trautwein, E.A, A.Kunath-Rau, dan HF Erbersdobler. 1999. Increased fecal bile acid
excretion and changes in the circulating bile acid pool are involved in the
hypocholesterolemic and gallstone preventive action of psyllium in hamsters. J of
Nutrition. 129 (4) : 896-902
Wardlaw, G,M. 1999. Perspective in Nutrition. 4th ed. McGraw-Hill. Boston
Waspadji S. 1989; 1990. Diabetes Mellitus dan Serat. Gizi Indonesia. Vol XIV, No. 2 dan Vol
XV, No.1
Winarno, F.G. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. PT Gramedia, Jakarta
Witwer, R.S, 1999, Marketing Bioactive Ingredients In Food Product. Food Technol. 53(4) :
50-53

172

Anda mungkin juga menyukai