Anda di halaman 1dari 3

Muhammad Mufti Al Achsan

19200013010

Upaya Kontekstualisasi Hukum Islam Ulama Lokal di Kabupaten


Temanggung

Di antara keragaman suku, budaya, bahasa, ras dan agama di


Indonesia, seringkali yang menjadi pemicu utama terjadinya konflik adalah
masalah perbedaan agama.1. Hal ini didukung dengan temuan Badan Pusat
Statistik (BPS) Nasional tahun 2014, yang mengafirmasi bahwa masyarakat
Indonesia cenderung lebih menerima perbedaan suku bangsa ketimbang
perbedaan agama.2
Meski demikian, dari 832 insiden konflik keagamaan yang terjadi
dalam rentang waktu Januari 1990 hingga Agustus 2008, dalam beberapa
kasus tidak semata sebab perbedaan keyakinan. Terdapat faktor lain yang
sering diabaikan, tetapi justru ia menjadi akar bagi permasalahan yang
merambah pada isu agama. St. Aisyah BM menyebut bahwa faktor ekonomi
dan politik sering kali menjadi penyebab konflik keagamaan ketimbang
masalah perbedaan agama itu sendiri.3 Said Agil Husin Munawwar dalam
bukunya Fikih Hubungan Antar Agama juga menyebut bahwa sepanjang data
yang ada, umumnya konflik keagamaan muncul karena persoalan ekonomi,

1
Tahun 1969 konflik antar Islam dan Kristen terjadi di Tasikmalaya. Masa peralihan
Orde Baru ke reformasi, tahun 1998 juga diwarnai dengan konflik yang melibatkan dua agama
yang sama, di Poso. Setahun berselang, 1999, giliran kota Ambon menjadi tempat konflik
Islam-Kristen yang kemudian berulang di tahun 2011. Tahun 2010, kasus penistaan agama
oleh Antonius Richmond di Temanggung mengakibatkan pembakaran sejumlah gereja. Tahun
2015, terjadi insiden pembakarn masjid di Tolikara, Papua oleh oknum dari kalangan Kristen
saat hari raya Idul Fitri. Lihat, Akhmad Jazuli Afandi, “BEST PRACTICE
PEMBELAJARAN TOLERANSI,” Jurnal Nuansa 16, no. 1 (2019): 66.
2
Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Modul Ketahanan Sosial Tahun
2014 yang dilaksanakan Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa kegiatan yang
dilakukan kegiatan oleh sekelompok suku bangsa yang berbeda lebih mudah diterima oleh
masyarakat ketimbang kegiatan dengan latar belakang agama yang berbeda. Sekitar 61,72
persen rumah tangga di Indonesia mendukung adanya kegiatan oleh suku bangsa lain, dan
sekitar 42,81 persen rumah tangga menyatakan sangat setuju/setuju terhadap kegiatan yang
meibatkan agama lain. Lihat Dwi Winanto Hadi dkk, Analisis Sikap Toleransi di Indonesia
dan Faktor-Faktor, (Jakarta: Pusat Data dan Statistik Pendidikan dan Kebudayaan,
Kemendikbud: 2017), 3-4.
3
St Aisyah, “KONFLIK SOSIAL DALAM HUBUNGAN ANTAR UMAT
BERAGAMA,” Jurnal Dakwah Tabligh 15, no. 2 (2014): 197.
tata pemukiman, dan etnisitas yang kemudian diisukan sebagai konflik antar
umat beragama.4
Dalam menanggapi permasalahan antar agama, peran para pemuka
agama adalah sangat signifikan. Dalam konteks ke-Indonesia-an di mana
Islam menjadi agama mayoritas5, tentu saja peran para ulama dalam
membentuk pemahaman keagamaan masyarakat bukanlah hal yang bisa
diabaikan.6 Sebab, bagaimanapun pendidikan dan pemahaman keislaman
masyarakat yang menjadi basis cara pandang mereka terhadap agama lain,
ditentukan oleh apa yang diajarkan para ulama.
Bagi umat Islam pada umumnya, hampir semua permasalahan dalam
kehidupan membutuhkan legitimasi dari ulama—termasuk dalam menjalin
interaksi antar umat beragama—,dimana legitimasi tersebut banyak tertuang
dalam kitab-kitab fikih. Akan tetapi, problemnya adalah; dalam beberapa
kasus yang melibatkan lintas agama, terkadang permasalahan yang muncul
tidak bisa hanya diselesaikan dengan pendapat yang ada dalam literatur fikih.
Seorang Kyai kampung, Achmad Syarif Yahya pernah menulis dalam
catatannya7—yang berisi pengalamannya selama hidup bersama para pemeluk
agama Buddha di desanya—sebagai berikut:

“Pernah seorang pemuda muslim ingin menikahi perempuan Buddha,


anak seorang Mangalia (tokoh agama Buddha tingkat dusun).
Perempuan tersebut bersedia masuk Islam dan telah mendapat restu
dari keluarga… Namun, sebelum pernikahan dilaksanakan, lantaran
ayahnya adalah seorang tokoh dalam agama Buddha, ia memberikan
syarat bahwa pernikahan harus dilaksakan dengan cara Buddha. Jika
pernikahan dilaksanakan dengan cara Islam, hal itu dianggap akan
mencoreng nama baiknya di kalangan Buddha. Pihak laki-laki tentu
saja tidak terima, sebab kedua calon pengantin telah beragama Islam.
Mereka kemudian mendatangi saya. Bersama para tokoh muslim saya
mendiskusikannya untuk mencari jalan keluar, namun tidak ditemukan

4
Said Aqil Husin Al Munawar and Abdul Halim, Fikih Hubungan Antar Agama
(Jakarta: Ciputat Press, 2003), 224.
5
Sekitar 87,18 % dari keseluruhan jumlah penduduk Indonesia beragama Islam, lihat
“Sensus Penduduk 2010 - Penduduk Menurut Wilayah dan Agama yang Dianut | Indonesia,”
BPS, accessed August 26, 2019, http://sp2010.bps.go.id/index.php/site/tabel?tid=321&wid=0.
6
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi pesantren: studi tentang pandangan hidup kyai
(Jakarta: Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial, 1980),
accessed August 26, 2019, http://books.google.com/books?id=cFEJAQAAIAAJ.
7
Bukunya yang berjudul Ngaji Toleransi berisi pengelamannya selama hidup
berdampingan dengan umat agama lain di tempat asalnya; Kabupaten Temanggung. Ahmad
Syarif Yahya, Ngaji Toleransi (Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2017).
solusi, karena (dalam ajaran Islam) seorang muslim tidak mungkin
menikah dengan cara Buddha… Akhirnya keduanya gagal menikah”

Kenyataan ini paling tidak menunjukkan bahwa sebagai pemimpin


agama yang berperan sebagai mediator di antara dua belah pihak yang
berselisih,8 Yahya gagal memberikan solusi bagi permasalahan yang ada.
Padahal dilihat dari kredibilitasnya, ia adalah seorang figur ulama yang tak bisa
dipandang sebelah mata.9 Realitas ini mengafirmasi pernyataan di awal bahwa
permasalahan yang ada di masyarakat yang plural begitu kompleks, sehingga
tidak bisa dicarikan solusi hanya dengan mengemukakan pendapat ulama yang
terdapat dalam kitab fikih. Hal ini menunjukkan akan pentingnya upaya
kontekstualisasi hukum Islam, terlebih dalam masalah hubungan antar agama.

8
Dadang Kahmad, Sosiologi Agama (PT.Remaja Rosdakarya Bandung, 2000), 141.
9
Pendidikan dasar dan menengahnya diperoleh melalui ayahnya yang lekat dengan
tradisi pesantren. Setelah itu ia mandalami Islam lebih lanjut di bawah asuhan seorang ulama
besar Indonesia, KH Maemun Zubair. Saat ini ia menjadi pengasuh di Pondok Pesantren
Ridho Allah di Kecamatan Kaloran, Temanggung. Yahya, Ngaji Toleransi.

Anda mungkin juga menyukai