Anda di halaman 1dari 1

nama itu melintas begitu saja di linimasa Twitter beberapa tahun lalu.

Seseorang yang saya follow


membagikan salah satu tautan artikel dari Mojok. Kalau tidak salah berarti benar, sekitar tahun 2016.
Apakah saya mengeklik tautan itu? Tentu saja, tidak.

Jujur saja, pada saat itu saya tidak suka membaca. Di tahun itu juga, saya berusaha untuk menjadi
relawan sebuah TBM di Bekasi untuk menggaungkan gerak literasi. Padahal, saya nggak suka baca, loh.
Untuk arti kata literasi itu sendiri pun saya tidak tahu. Lantas apa yang saya tahu? Ya, saya cuma tahu
hore-horenya aja.

Saya sempat sok-sokan memotret buku lalu mengunggah di media sosial sambil menulis caption “salam
literasi”. Logikanya gimana coba? Nggak suka baca tapi mengajak orang untuk suka baca. Apakah buku
itu benar-benar saya baca sepenuhnya? Tentu saja tidak. Eh, saya baca, deh. Bagian sampul belakangnya
doang, sih. Hehehee.

Lain hari dalam kegiatan di TBM itu, ada beberapa teman yang mengobrol tentang Mojok. Saya
nimbrung, tapi hanya menyimak. Apa yang saya dapatkan tentang Mojok? Ada bermacam-macam
penilaian. Teman yang satu bilang Mojok adalah media satire. Teman yang satunya lagi bilang Mojok itu
media sarkas, dan teman yang lainnya sampai bilang kalau Mojok itu media kafir. OMG, media kafir,
Bosque~

Anda mungkin juga menyukai