Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sindrom nefrotik merupakan gangguan klinik ditandai dengan peningkatan


protein, penurunan albumin dalam darah (hipoalbuminemia), edema, dan serum
kolesterol yang tinggi dan lipoprotein densitas rendah (hiperlipidemia). (Brunner &
Suddarth, 2001).
Insiden lebih tinggi pada laki-laki dari pada perempuan. Mortalitas dan
prognosis anak dengan sindrom nefrotik bervariasi berdasarkan etiologi, berat, luas
kerusakan ginjal, usia anak, kondisi yang mendasari,, dan responnya terhadap
pengobatan.
Berdasarkan penelitian univariant terhadap 46 pasien, didapatkan insiden
terbanyak sindrom nefrotik berada pada kelompok umur 2-6 tahun sebanyak 25
pasien (54,3 %). Dan terbanyak pada laki-laki dengan jumlah 29 pasien dengan rasio
1,7:1. Insiden sindrom nefrotik pada anak dalam kepustakaan di Amerika Serikat dan
Inggris adalah 2-4 kasus baru per 100.000 anak pertahun. Di negara berkembang,
insidennya lebih tinggi, dilaporkan insiden sindrom nefrotik pada anak di Indonesia
adalah 6 kasus per 100.000 anak pertahun. Dengan adanya insiden ini, diharapkan
perawat lebih mengenali tentang penyakit nefrotik dan mengaplikasikan rencana
keperawatan terhadap pasien nefrotik.

B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Mengetahui penerapan asuhan keperawatan pasien dengan sindrom nefrotik

2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui definisi sindrom nefrotik
b. Mengetahui fisologi sindrom nefrotik
c. Mengetahui factor-faktor yang mempengaruhi sindrom nefrotik
d. Mengetahui etiologi sindrom nefrotik
e. Mengetahui manifestasi klinis sindrom nefrotik
f. Mengetahui penatalaksanaan medis dan keperawatan pada sindrom nefrotik
g. Menggambarkan asuhan keperawatan pasien tentang pengkajian, analisa
data, diagnosa, perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi proses/ hasil pada
pasien dengan sindrom nefrotik
BAB II

TINJAUAN TEORI
A. Pengertian

Sindrom nefrotik adalah kumpulan gejala klinis yang timbul dari kehilangan
protein karena kerusakan glomerulus yang difus. (Luckmans, 1996 : 953).

Sindrom nefrotik adalah penyakit dengan gejala edema, proteinuria,


hipoalbuminemia dan hiperkolesterolemia kadang-kadang terdapat hematuria,
hipertensi dan penurunan fungsi ginjal. (Ngastiyah, 1997).

B. Etiologi

Sebab penyakit sindrom nefrotik yang pasti belum diketahui, akhir-akhir ini
dianggap sebagai suatu penyakit autoimun. Jadi merupakan suatu reaksi antigen-
antibodi. Umumnya para ahli membagi etiologinya menjadi:

1. Sindrom nefrotik bawaan


Gejalanya adalah edema pada masa neonatus. Sindrom nefrotik jenis ini
resisten terhadap semua pengobatan. Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah
pencangkokan ginjal pada masa neonatus namun tidak berhasil. Prognosis buruk dan
biasanya penderita meninggal dalam bulan-bulan pertama kehidupannya.

2. Sindrom nefrotik sekunder


Disebabkan oleh:
a. Malaria kuartana atau parasit lain.
b. Penyakit kolagen seperti lupus eritematosus diseminata, purpura anafilaktoid.

c. Glumeronefritis akut atau glumeronefritis kronis, trombosis vena renalis.

d. Bahan kimia seperti trimetadion, paradion, penisilamin, garam emas, sengatan


lebah, racun oak, air raksa.

e. Amiloidosis, penyakit sel sabit, hiperprolinemia, nefritis membranoproliferatif


hipokomplementemik.
3. Sindrom nefrotik idiopatik ( tidak diketahui sebabnya )

Berdasarkan histopatologis yang tampak pada biopsi ginjal dengan


pemeriksaan mikroskop biasa dan mikroskop elektron, Churg dkk membagi dalam
4 golongan yaitu: kelainan minimal,nefropati membranosa, glumerulonefritis
proliferatif dan glomerulosklerosis fokal segmental.

C. Tanda dan Gejala

Tanda dan gejala yang muncul pada anak yang mengalami Sindrom nefrotik adalah:

1. Oedem umum ( anasarka ), terutama jelas pada muka dan jaringan periorbital.
2. Proteinuria dan albuminemia.

3. Hipoproteinemi dan albuminemia.

4. Hiperlipidemi khususnya hipercholedterolemi.

5. Lipid uria.

6. Mual, anoreksia, diare.

7. Anemia, pasien mengalami edema paru.

D. Klasifikasi

Whaley dan Wong (1999 : 1385) membagi tipe-tipe sindrom nefrotik:

1. Sindrom Nefrotik Lesi Minimal ( MCNS : minimal change nephrotic syndrome).

Kondisi yang sering menyebabkan sindrom nefrotik pada anak usia sekolah.
Anak dengan sindrom nefrotik ini, pada biopsi ginjalnya terlihat hampir normal bila
dilihat dengan mikroskop cahaya.

2. Sindrom Nefrotik Sekunder


Terjadi selama perjalanan penyakit vaskuler seperti lupus eritematosus
sistemik, purpura anafilaktik, glomerulonefritis, infeksi system endokarditis,
bakterialis dan neoplasma limfoproliferatif.

3. Sindrom Nefrotik Kongenital

Factor herediter sindrom nefrotik disebabkan oleh gen resesif autosomal.


Bayi yang terkena sindrom nefrotik, usia gestasinya pendek dan gejala awalnya
adalah edema dan proteinuria. Penyakit ini resisten terhadap semua pengobatan
dan kematian dapat terjadi pada tahun-yahun pertama kehidupan bayi jika tidak
dilakukan dialysis.

E. Patofisiologi

Kelainan yang terjadi pada sindrom nefrotik yang paling utama adalah
proteinuria sedangkan yang lain dianggap sebagai manifestasi sekunder. Kelainan ini
disebabkan oleh karena kenaikan permeabilitas dinding kapiler glomerulus yang
sebabnya belum diketahui yang terkait dengan hilannya muatan negative gliko protein
dalam dinding kapiler. Pada sindrom nefrotik keluarnya protein terdiri atas campuran
albumin dan protein yang sebelumnya terjadi filtrasi protein didalam tubulus terlalu
banyak akibat dari kebocoran glomerolus dan akhirnya diekskresikan dalam urin.
(Husein A Latas, 2002 : 383).

Akibat dari pergeseran cairan ini volume plasma total dan volume darah arteri
menurun dibandingkan dengan volume sirkulasi efektif, sehingga mengakibatkan
penurunan volume intravaskuler yang mengakibatkan menurunnya tekanan perfusi
ginjal. Hal ini mengaktifkan system rennin angiotensin yang akan meningkatkan
konstriksi pembuluh darah dan juga akan mengakibatkan rangsangan pada reseptor
volume atrium yang akan merangsang peningkatan aldosteron yang merangsang
reabsorbsi natrium ditubulus distal dan merangsang pelepasan hormone anti diuretic
yang meningkatkan reabsorbsi air dalam duktus kolektifus. Hal ini mengakibatkan
peningkatan volume plasma tetapi karena onkotik plasma berkurang natrium dan air
yang direabsorbsi akan memperberat edema. (Husein A Latas, 2002: 383).
Stimulasi renis angiotensin, aktivasi aldosteron dan anti diuretic hormone akan
mengaktifasi terjadinya hipertensi. Pada sindrom nefrotik kadar kolesterol, trigliserid,
dan lipoprotein serum meningkat yang disebabkan oleh hipoproteinemia yang
merangsang sintesis protein menyeluruh dalam hati, dan terjadinya katabolisme lemak
yang menurun karena penurunan kadar lipoprotein lipase plasma. Hal ini dapat
menyebabkan arteriosclerosis. (Husein A Latas, 2002: 383).

F. Penatalksanaan medis dan keperawatan


1. Penatalaksanaan Keperawatan

a. Diperlukan tirah baring selama masa edema parah yang menimbulkan


keadaan tidak berdaya dan selama infeksi yang interkuten. Juga dianjurkan
untuk mempertahankan tirah baring selama diuresis jika terdapat kehilangan
berat badan yang cepat.
b. Diit. Pada beberapa unit masukan cairan dikurangi menjadi 900 sampai 1200
ml/ hari dan masukan natrium dibatasi menjadi 2 gram/ hari. Jika telah terjadi
diuresis dan edema menghilang, pembatasan ini dapat dihilangkan. Usahakan
masukan protein yang seimbang dalam usaha memperkecil keseimbangan
negatif nitrogen yang persisten dan kehabisan jaringan yang timbul akibat
kehilangan protein. Diit harus mengandung 2-3 gram protein/ kg berat badan/
hari. Anak yang mengalami anoreksia akan memerlukan bujukan untuk
menjamin masukan yang adekuat.
c. Perawatan kulit. Edema masif merupakan masalah dalam perawatan kulit.
Trauma terhadap kulit dengan pemakaian kantong urin yang sering, plester
atau verban harus dikurangi sampai minimum. Kantong urin dan plester
harus diangkat dengan lembut, menggunakan pelarut dan bukan dengan cara
mengelupaskan. Daerah popok harus dijaga tetap bersih dan kering dan
scrotum harus disokong dengan popok yang tidak menimbulkan kontriksi,
hindarkan menggosok kulit.
d. Perawatan mata. Tidak jarang mata anak tertutup akibat edema kelopak mata
dan untuk mencegah alis mata yang melekat, mereka harus diswab dengan air
hangat.
e. Perawatan spesifik meliputi: mempertahankan grafik cairan yang tepat,
penimbnagan harian, pencatatan tekanan darah dan pencegahan dekubitus.
f. Dukungan bagi orang tua dan anak. Orang tua dan anak sering kali tergangu
dengan penampilan anak. Pengertian akan perasan ini merupakan hal yang
penting. Penyakit ini menimbulkan tegangan yang berta pada keluarga
dengan masa remisi, eksaserbasi dan masuk rumah sakit secara periodik.
Kondisi ini harus diterangkan pada orang tua sehingga mereka mereka dapat
mengerti perjalanan penyakit ini. Keadaan depresi dan frustasi akan timbul
pada mereka karena mengalami relaps yang memaksa perawatan di rumahn
sakit.

2. Penatalaksanaan Medis
a. Kemoterapi:
Prednisolon digunakan secra luas. Merupakan kortokisteroid yang
mempunyai efek samping minimal. Dosis dikurangi setiap 10 hari hingga
dosis pemeliharaan sebesar 5 mg diberikan dua kali sehari. Diuresis
umumnya sering terjadi dengan cepat dan obat dihentikan setelah 6-10
minggu. Jika obat dilanjutkan atau diperpanjang, efek samping dapat terjadi
meliputi terhentinya pertumbuhan, osteoporosis, ulkus peptikum, diabeters
mellitus, konvulsi dan hipertensi. Jika terjadi resisten steroid dapat diterapi
dengan diuretika untuk mengangkat cairan berlebihan, misalnya obat-abatan
spironolakton dan sitotoksik ( imunosupresif ). Pemilihan obat-obatan ini
didasarkan pada dugaan imunologis dari keadaan penyakit. Ini termasuk
obat-obatan seperti 6-merkaptopurin dan siklofosfamid.
b. Penatalaksanaan krisis hipovolemik. Anak akan mengeluh nyeri abdomen
dan mungkin juga muntah dan pingsan. Terapinya dengan memberikan infus
plasma intravena. Monitor nadi dan tekanan darah.
c. Pencegahan infeksi. Anak yang mengalami sindrom nefrotik cenderung
mengalami infeksi dengan pneumokokus kendatipun infeksi virus juga
merupakan hal yang menganggu pada anak dengan steroid dan siklofosfamid.

G. Komplikasi
1. Malnutrisi
Hipoalbuminemia yang berat dan berlangsung lama dapat menyebabkan keadaan
malnutrisi dan memperburuk keadaan umum penderia.
2. Infeksi sekunder
Setiap penderita sindrom nefrotik sangat peka terhadap infeksi sekunder renal
maupun ekstra renal. Kepekaan terhadap infeksi ini berhubungan dengan gangguan
mekanisme pertahanan tubuh yaitu penurunan globulin gama serum.
3. Fenomen tromboemboli.
Sindrom nefrotik mempunyai sifat hiperkoagulasi dan dapat menimbulkan
tromboemboli pada pembulu darah arteri maupun vena misalnya trombosis vena
renalis.
4. Penyakit jantung iskemik
Hiperlipidemia ( kenaikan serum kolesterol total ) yang berlangsung lama dan tidak
terkontrol mungkin mempercepat proses aterosklerosis pembuluh darah koroner,
aorta dan arteria reanalis.
5. Gagal ginjal akut
Adanya kerusakan pada glomerulo mengakibatkan adanya penurunan faal ginjal,
mekanisme penurunan faal ini tidak diketahui secara pasti namun mungkin
berhubungan dengan factor non renal.

H. Pemeriksaan penunjang
1. BJ urine meninggi
2. Hipoalbuminemia
3. Kadar urine normal
4. Anemia defisiensi besi
5. LED meninggi
6. Kalsium dalam darah sering merendah
7. Kadang-kdang glukosuria tanpa hiperglikemia.
8. Biopsy ginjal

I. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian

a. Lakukan pengkajian fisik, termasuk pengkajian luasnya edema.


b. Kaji riwayat kesehatan, khususnya yang berhubungan dengan
adanya peningkatan berat badan dan kegagalan fungsi ginjal.
c. Observasi adanya manifestasi dari Sindrom nefrotik : Kenaikan
berat badan, edema, bengkak pada wajah ( khususnya di sekitar mata yang
timbul pada saat bangun pagi , berkurang di siang hari ), pembengkakan
abdomen (asites), kesulitan nafas ( efusi pleura ), pucat pada kulit, mudah
lelah, perubahan pada urin ( peningkatan volum, urin berbusa ).
d. Pengkajian diagnostik meliputi meliputi analisa urin untuk
protein, dan sel darah merah, analisa darah untuk serum protein ( total
albumin/globulin ratio, kolesterol ) jumlah darah, serum sodium.

2. Prioritas Diagnosa Keperawatan


a. Kelebihan volume cairan b. d. penurunan tekanan osmotic plasma.
Perubahan pola nafas b.d. penurunan ekspansi paru.
b. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d. anoreksia.
c. Resti infeksi b.d. menurunnya imunitas, prosedur invasif Intoleransi
aktivitas b.d. kelelahan.
d. Gangguan integritas kulit b.d. immobilitas.
e. Gangguan body image b.d. perubahan penampilan.
f. Gangguan pola eliminasi:diare b.d. mal absorbsi.
3. Perencanaan Keperawatan
a. Kelebihan volume cairan b. d. penurunan tekanan osmotic plasma
Tujuan: tidak terjadi akumulasi cairan dan dapat mempertahankan
keseimbangan intake dan output.
KH: menunjukkan keseimbangan dan haluaran, tidak terjadi peningkatan
berat badan, tidak terjadi edema.
Intervensi:
1) Pantau, ukur dan catat intake dan output cairan
2) Observasi perubahan edema

3) Batasi intake garam


4) Ukur lingkar perut
5) timbang berat badan setiap hari
b. Perubahan pola nafas b.d. penurunan ekspansi paru.
Tujuan: Pola nafas adekuat
KH: frekuensi dan kedalaman nafas dalam batas normal
Intervensi:
1) auskultasi bidang paru
2) pantau adanya gangguan bunyi nafas
3) berikan posisi semi fowler
4) observasi tanda-tanda vital
5) kolaborasi pemberian obat diuretik

c. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d. anoreksia.


Tujuan: kebutuhan nutrisi terpenuhi
KH: tidak terjadi mual dan muntah, menunjukkan masukan yang
adekuat, mempertahankan berat badan
Intervensi:
1) tanyakan makanan kesukaan pasien
2) anjurkan keluarga untuk mrndampingi anak pada saat makan
3) pantau adanya mual dan muntah
4) bantu pasien untuk makan
5) berikan makanan sedikit tapi sering
6) berikan informasi pada keluarga tentang diet klien

d. Resti infeksi b.d. menurunnya imunitas, prosedur invasif.


Tujuan: tidak terjadi infeksi
KH: tidak terdapat tanda-tanda infeksi, tanda-tanda vitl dalam batas
normal, leukosit dalam batas normal.
Intervensi:
1) cuci tangan sebelum dan sesudah tindakan
2) pantau adanya tanda-tanda infeksi
3) lakukan perawatan pada daerah yang dilakukan prosedur invasif
4) anjurkan keluarga untuk mrnjaga kebersihan pasien
5) kolaborasi pemberian antibiotik

e. Intoleransi aktivitas b.d. kelelahan.


Tujuan: pasien dapat mentolerir aktivitas dan mrnghemat energi
KH: menunjukkan kemampuan aktivitas sesuai dengan kemampuan,
mendemonstrasikan peningkatan toleransi aktivitas
Intervensi:
1) pantau tingkat kemampuan pasien dalan beraktivitas
2) rencanakan dan sediakan aktivitas secara bertahap
3) anjurkan keluarga untuk membantu aktivitas pasien
4) berikan informasi pentingnya aktivitas bagi pasien

f. Gangguan integritas kulit b.d. immobilitas.


Tujuan: tidak terjadi kerusakan integritas kulit
KH: integritas kulit terpelihara, tidak terjadi kerusakan kulit
Intervensi:
1) inspeksi seluruh permukaan kulit dari kerusakan kulit dan iritasi
2) berikan bedak/ talk untuk melindungi kulit
3) ubah posisi tidur setiap 4 jam
4) gunakan alas yang lunak untuk mengurangi penekanan pada kulit.

g. Gangguan body image b.d. perubahan penampilan.


Tujuan: tidak terjadi gangguan boby image
KH: menytakan penerimaan situasi diri, memasukkan perubahan
konsep diri tanpa harga diri negatif
Intervensi:
1) gali perasaan dan perhatian anak terhadap penampilannya
2) dukung sosialisasi dengan orang-orang yang tidak terkena infeksi
3) berikan umpan balik posotif terhadap perasaan anak

h. Gangguan pola eliminasi:diare b.d. mal absorbsi.


Tujuan: tidak terjadi diare
KH: pola fungsi usus normal, mengeluarkan feses lunak
Intervensi:
1) observasi frekuensi, karakteristik dan warna feses
2) identifikasi makanan yang menyebabkan diare pada pasien
3) berikan makanan yang mudah diserap dan tinggi serap.

DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddarth. 2001. Medical Surgical Nursing (Perawatan Medikal Bedah), alih
bahasa: Monica Ester. Jakarta : EGC.

Carpenito, L. J.1999. Hand Book of Nursing (Buku Saku Diagnosa Keperawatan), alih
bahasa: Monica Ester. Jakarta: EGC.

Doengoes, Marilyinn E, Mary Frances Moorhouse. 2000. Nursing Care Plan: Guidelines for
Planning and Documenting Patient Care (Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman
Untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien), alih bahasa: I Made
Kariasa. Jakarta: EGC.

Donna L, Wong. 2004. Pedoman Klinis Keperawatan Anak, alih bahasa: Monica Ester.
Jakarta: EGC.

Husein A Latas. 2002. Buku Ajar Nefrologi. Jakarta: EGC.

Ngastiyah. 1997. Perawatan Anak Sakit. Jakarta: EGC.

Price A & Wilson L. 1995. Pathofisiology Clinical Concept of Disease Process (Patofisiologi
konsep klinis proses-proses penyakit), alih bahasa: Dr. Peter Anugrah. Jakarta:
EGC.

Anda mungkin juga menyukai