Ratifikasi Tak Cukup Melindungi Pekerja Migran
Ratifikasi Tak Cukup Melindungi Pekerja Migran
1. Abstrak
Tulisan ini bertujuan untuk memberikan pencerahan kepada
masyarakat awam dan hukum, khususnya mereka yang bergerak
dalam perlindungan buruh migran, mengenai efek hukum dari
tindakan ratifikasi yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia
dan mengapa TKI di luar negeri tidak mendapat perlindungan
hukum secara maksimal meskipun Pemerintah Indonesia telah
meratifikasi Konvensi Buruh Migran 1990. Tulisan ini
berusaha untuk memberikan gambaran mengenai status hukum
perjanjian internasional dalam sistem hukum di Indonesia,
termasuk proses pengintegrasian dan penerapan dalam sistem
hukum dan sistem peradilan di Indonesia. Dalam proses
penerapan perjanjian internasonal di pengadilan, tulisan ini
akan menjelaskan konsep self-executing treaty dan non-self-
executing treaty yang pernah menjadi “kontroversial” dalam
hal pemahaman di Indonesia. Lebih lanjut, tulisan ini ingin
mengajukan hipotesa bahwa John Austin tidak salah ketika
mengatakan “The law obtaining between nations is not
positive law; for every positive law is set by a given
sovereign to a person or persons in a State of subject to
its author.”1
2. Pendahuluan
“Untuk melindungi buruh migran Indonesia di luar negeri,
Pemerintah Indonesia wajib meratifikasi Konvensi Buruh
Migran 1990”, ini adalah ucapan dari 156 elemen masyarakat
yang menggugat Pemerintah Indonesia secara class-action di
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat karena tidak segera
meratifikasi Konvensi Buruh Migran 1990. Pemerintah
Indonesia dianggap telah melakukan perbuatan melawan hukum
DR. Wisnu Aryo Dewanto, S.H., LL.M., LL.M. adalah dosen tetap di Fakultas
Hukum Universitas Surabaya di Surabaya dan saat ini sedang menjabat sebagai
Ketua Program Studi Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Surabaya.
Menyelesaikan studi S-3 di Program Doktor Fakultas Hukum Universitas Gadjah
Mada Yogyakarta (2011). Menyelesaikan S-2 di Australia (1999) dan Amerika
Serikat (2003), serta S-1 di Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta
(1997).
1
Robert F. Turner, 1998, International Law Really is Law, International &
National Security Law Practice Group Newsletter, Volume 2, Issue 1, Spring,
hlm. 1.
karena telah lalai memberikan perlindungan hukum kepada TKI
di luar negeri dengan tidak segera meratifikasi Konvensi
tersebut. Kemudian muncul pertanyaan, apakah benar karena
belum meratifikasi Konvensi Buruh Migran 1990 TKI kita di
luar negeri tidak mendapatkan perlindungan hukum?
3. Analisis
3.1. Proses Integrasi Perjanjian Internasional
Konvensi Wina 1969 tentang Hukum Perjanjian
Internasional mengatur cara-cara perjanjian
internasional berintegrasi ke dalam sistem hukum
nasional negara-negara. Pengikatan diri negara ke dalam
suatu perjanjian internasional dapat melalui proses
tandatangan, tandatangan ad referendum, ratifikasi dan
aksesi. Namun, Boer Mauna hanya menjelaskan dua hal
saja yaitu melalui tandatangan dan/atau ratifikasi.2
Istilah tandatangan, menurut O’Connell, adalah tindakan
akhir dari seorang wakil berkuasa penuh suatu negara
dalam suatu perundingan dan merupakan persetujuan
negaranya atas isi dari perjanjian internasional yang
dibuat.3 Selanjutnya, Schwarzenberger berpendapat bahwa
tandatangan bisa jadi merupakan pernyataan setuju untuk
diikat oleh suatu perjanjian internasional, jika
perjanjian tersebut tidak mensyaratkan ratifikasi.
Pendapat ini diamini oleh O’Connell dengan mengatakan
“Ratification is only required when the treaty so
specifies or so implies.”4
6
Sam Suhaedi Admawiria, 1968, Pengantar Hukum Internasional I, Alumni,
Bandung, hlm. 39-41.
7
Andrew D. Mitchell, 2000, Genocide, Human Rights Implementation and the
Relationship between International and Domestic Law: Nulyarimma v. Thompson,
24 Melb. U. L. Rev., Melbourne University Law Review, hlm. 26.
maksudnya adalah hukum internasional dapat menjadi
bagian hukum nasional melalui putusan pengadilan.8
10
Aalt Willem dan Philipp Kiiver, 2007, Constitutions Compared: An
Introduction Comparative Constitutional Law, Intersentia, Antwerpen, hlm. 56.
11
Lihat: Pasal 2 s.2 Konstitusi Amerika Serikat bahwa “He shall have Power,
by and with the Advice and Consent of the Senate, to make Treaties...”
12
Jordan J. Paust, Joan M. Fitzpatrick dan Jon M. Van Dyke, 2000,
International Law and Litigation in the US, West Group, hlm. 219-220.
melindungi hak-hak dari Amerika Serikat agar
perjanjian internasional yang telah
diratifikasi tidak menggantikan peraturan
hukum federal atau kebijakan negara yang
telah dibuat, dan untuk membatasi kekuasaan
pengadilan untuk menerapkan hukum
internasional di persidangan.13
3.2.2. Kanada
Kanada adalah negara yang menganut sistem
hukum campuran, di mana seluruh provinsi di
Kanada menganut sistem common law kecuali
Provinsi Quebec yang menganut sistem civil
law. Secara umum, perbedaan dari dua sistem
hukum ini dapat dilihat dari sumber hukumnya,
di mana sumber hukum dari sistem common law
adalah hukum tidak tertulis atau hukum yang
berkembang di masyarakat. Situasi ini
mempengaruhi peran dan fungsi dari hakim, di
mana hakim memiliki peran yang besar dalam
menemukan hukum dan menciptakan hukum yang
bersifat umum dan mengikat bagi masyarakat.
Sebaliknya, di Provinsi Quebec, hukum yang
digunakan adalah hukum tertulis dan hakim
tidak memiliki peran sebesar pada hakim
dengan sistem common law karena hakim di
sistem civil law tidak memiliki kewenangan
untuk menciptakan hukum, tetapi hanya
menafsirkan peraturan hukum yang dibuat oleh
lembaga legislatif.
3.2.3. Australia
Pemerintah Australia dalam menjalankan roda
pemerintahannya menggunakan sistem
“responsible government” di mana dalam sistem
ini pemerintah eksekutif bertanggungjawab
15
Melanie Mallet, A Primer on Treaty Making and Treaty Implementation in
Canada, Original Constribution, hlm. 2.
16
Ibid.
17
George Slyz, 1997, International Law in National Courts, 28 N.Y.U. J. Int’l
& Pol. 65, New York University Journal International Law and Politics, hlm.
82.
kepada parlemen dan pada akhirnya
bertanggungjawab kepada rakyat.18
21
Gareth Evans, 1995, International Treaties: Their Impacts on Australia, A
Speech on the International Treaties Conference, Canberra, Australia, di
http://www.australianpolitics.com/foreign/treaties/85-09-04treaties-
evans.shtml
22
Rosalie Balkin, International Law and Domestic Law, dalam Sam Blay, Ryszard
Piotrowicz & Martin Tsamenvi (ed), 2005, Public International Law: An
Australian Perspective, 2nd Edition, Oxford University Press, Victoria, hlm.
122.
atas tindakan ratifikasi yang telah dilakukan
oleh Pemerintah Federal.23
3.2.4. Indonesia
Proses ratifikasi perjanjian perjanjian
internasional di Indonesia secara penuh
menjadi kewenangan lembaga eksekutif. Dalam
proses ratifikasi perjanjian internasional,
Indonesia mengadopsi model checks and
balances dari Amerika Serikat, tetapi akibat
hukum dari tindakan ratifikasi menjadi
berbeda ketika memasuki tahap persetujuan
oleh DPR. Perjanjian internasional yang akan
diratifikasi oleh Presiden Indonesia melalui
tahap persetujuan DPR terlebih dahulu dalam
rangka melaksanakan Pasal 11 Ayat 1 UUDNRI
1945.
24
Thomas Buerghental, 1992, Self-Executing and Non-Self-Executing Treaties in
National and International Law, Extract from the Recueil de cours, Volume 235,
Martinus Nijhoff Publisher, the Netherlands, hlm. 368.
25
Ibid.
Berbicara self-executing treaty dan non-
self-executing treaty adalah berbicara
mengenai implementasi perjanjian
internasional di level nasional (baca:
pengadilan), bukan berbicara mengenai proses
integrasi atau pengikatan diri negara
terhadap perjanjian internasional. Kekeliruan
memahami beberapa konsep perjanjian
internasional di Indonesia menimbulkan
perdebatan mengenai faham yang dianut oleh
Indonesia, apakah monisme atau dualisme, dan
status perjanjian internasional di Indonesia,
apakah Indonesia mengenal dan mengakui konsep
self-executing treaty dan non-self-executing
treaty.
26
Andrew D. Mitchell, loc. cit.
27
Ina Nazarova, 2002, Alienating ‘Human’ from ‘Right’: US and UK Non-
Compliance with Asylum Obligations under International Human Rights Law, 25
Fordham Int’l L.J. 1335, Fordham International law Journal, hlm. 1360.
tidak memiliki kewenangan untuk melakukan judicial
review atas peraturan perundang-undangan yang dibuat
oleh Parlemen Inggris karena yang dapat menyatakan
suatu undang-undang inkonstitusional adalah Parlemen
sendiri.28
28
Aalt Willem & Philipp Kiiver, op. cit., hlm. 108.
29
“…all Treaties …shall be the supreme law of the land.”
30
“Treaties or agreements duly ratified or approved shall, upon publication,
prevail over Acts of Parliament, subject, in regard to each agreement or
treaty, to its application by the other party.”
31
“Statutory regulations in force within the Kingdom shall not be applicable
if such application is in conflict with provisions of treaties that are
binding on all persons or resolutions by international organizations.”
32
“The general recognized principles and norms of international law and the
international treaties of the Russian Federation shall constitute part of its
legal system. If an international treaty of the Russian Federation establishes
other rules than those stipulated by the law, the rules of the international
treaty shall apply.”
33
“The treaties concluded by Japan and the established law of nations shall
be faithfully observed.”
34
Lihat: Pasal 25 Grundgesetz: “The general rules of public international law
constitute an integral part of federal law. they take precedence over statutes
and directly create rights and duties for inhabitants of the federal
territory.”
hukum nasional, seperti Indonesia, Australia
dan Kanada. Selain itu, ke-dualisme-an
Indonesia terletak dari adanya implementing
legislation (baca: undang-undang) yang
diundangkan untuk memberikan kekuatan hukum
pada norma-norma perjanjian internasional
yang telah diratifikasi oleh Pemerintah
Indonesia. Proses transformasi ini merupakan
ciri khas dari negara-negara dualisme,
seperti UU Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak
Cipta yang merupakan pengejahwantahan dari
Berne Convention for the Protection of
literary and Artistic Works, UU Nomor 6 Tahun
1996 tentang Perairan Indonesia adalah
penjabaran dari UNCLOS 1982, UU Nomor 21
Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Perdagangan Orang yang merupakan
penjabaran dari Konvensi tentang Penghapusan
Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan
dan lainnya.
4. Kesimpulan
Dari analisis di atas, maka dapat disimpulkan bahwa gugatan
class-action yang dilakukan oleh LSM karena Pemerintah
Indonesia tidak segera meratifikasi Konvensi Buruh Migran
1990 adalah tindakan yang tidak beralasan dan menunjukkan
bahwa para pemohon tidak memahami konsep pengintegrasian
perjanjian internasional ke dalam sistem hukum di Indonesia.
Dengan Pemerintah Indonesia meratifikasi Konvensi Buruh 1990
maka yang sebenarnya diuntungkan adalah kaum buruh migran
yang bekerja di Indonesia karena Pemerintah Indonesia
memiliki kewajiban internasional untuk melaksanakan
kewajiban-kewajiban yang diemban oleh negara pihak.
Ratifikasi tidak cukup untuk membuat perjanjian
internasional dipatuhi oleh negara dan diimplementasi di
39
Jacob Dolinger, 1993, Brazilian Supreme Court Solutions for Conflict
between Domestic and International Law: An Exercise in Eclecticism, 22 Cap. U.
L. Rev. 1041, hlm. 1045.
level nasional karena setiap negara memiliki tradisi hukum
yang berbeda-beda dan seringkali perjanjian internasional
yang telah diratifikasi tidak dapat dilaksanakan dengan baik
sesuai yang diharapkan karena negara-negara lebih melindungi
kepentingan nasional dan warganegaranya. Itikad baik dan
perlindungan terhadap hak asasi manusia sebenarnya adalah
jawaban dari semua kegalauan atas minimnya perlindungan
terhadap TKI di luar negeri. Dan pendapat John Austin bahwa
hukum internasional yang dibuat oleh negara-negara bukan
merupakan hukum positif yang berlaku bagi kepentingan
individu adalah ternyata benar karena tindakan ratifikasi
yang dilakukan Pemerintah Indonesia tidak mampu melindungi
kepentingan TKI di luar negeri!
DAFTAR PUSTAKA
Boer Mauna, 2001, Hukum Internasional: Pengertian,
Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global, Alumni,
Bandung.