Anda di halaman 1dari 25

Ketika Ratifikasi Perjanjian Internasional ternyata tidak Cukup

untuk Melindungi TKI di Luar Negeri

Oleh: DR. Wisnu Aryo Dewanto, S.H., LL.M., LL.M.

1. Abstrak
Tulisan ini bertujuan untuk memberikan pencerahan kepada
masyarakat awam dan hukum, khususnya mereka yang bergerak
dalam perlindungan buruh migran, mengenai efek hukum dari
tindakan ratifikasi yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia
dan mengapa TKI di luar negeri tidak mendapat perlindungan
hukum secara maksimal meskipun Pemerintah Indonesia telah
meratifikasi Konvensi Buruh Migran 1990. Tulisan ini
berusaha untuk memberikan gambaran mengenai status hukum
perjanjian internasional dalam sistem hukum di Indonesia,
termasuk proses pengintegrasian dan penerapan dalam sistem
hukum dan sistem peradilan di Indonesia. Dalam proses
penerapan perjanjian internasonal di pengadilan, tulisan ini
akan menjelaskan konsep self-executing treaty dan non-self-
executing treaty yang pernah menjadi “kontroversial” dalam
hal pemahaman di Indonesia. Lebih lanjut, tulisan ini ingin
mengajukan hipotesa bahwa John Austin tidak salah ketika
mengatakan “The law obtaining between nations is not
positive law; for every positive law is set by a given
sovereign to a person or persons in a State of subject to
its author.”1

Keywords: Ratifikasi, perjanjian internasional, perlindungan


hukum, status perjanjian internasional

2. Pendahuluan
“Untuk melindungi buruh migran Indonesia di luar negeri,
Pemerintah Indonesia wajib meratifikasi Konvensi Buruh
Migran 1990”, ini adalah ucapan dari 156 elemen masyarakat
yang menggugat Pemerintah Indonesia secara class-action di
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat karena tidak segera
meratifikasi Konvensi Buruh Migran 1990. Pemerintah
Indonesia dianggap telah melakukan perbuatan melawan hukum

DR. Wisnu Aryo Dewanto, S.H., LL.M., LL.M. adalah dosen tetap di Fakultas
Hukum Universitas Surabaya di Surabaya dan saat ini sedang menjabat sebagai
Ketua Program Studi Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Surabaya.
Menyelesaikan studi S-3 di Program Doktor Fakultas Hukum Universitas Gadjah
Mada Yogyakarta (2011). Menyelesaikan S-2 di Australia (1999) dan Amerika
Serikat (2003), serta S-1 di Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta
(1997).
1
Robert F. Turner, 1998, International Law Really is Law, International &
National Security Law Practice Group Newsletter, Volume 2, Issue 1, Spring,
hlm. 1.
karena telah lalai memberikan perlindungan hukum kepada TKI
di luar negeri dengan tidak segera meratifikasi Konvensi
tersebut. Kemudian muncul pertanyaan, apakah benar karena
belum meratifikasi Konvensi Buruh Migran 1990 TKI kita di
luar negeri tidak mendapatkan perlindungan hukum?

Benar bahwa PBB melalui ILO membuat Konvensi Buruh Migran


1990 dengan tujuan untuk melindungi para buruh migran yang
bekerja di luar wilayah negaranya karena mereka seringkali
menjadi warganegara kelas dua di wilayah negara lain dan
rentan mendapat perlakuan yang diskriminatif dari
warganegara maupun negara tempat mereka bekerja. Dalam Pasal
7 Konvensi ini mengatur tentang non-diskriminasi dalam hak-
hak, yang berbunyi “Negara-negara pihak dari Konvensi ini,
sesuai dengan instrument internasional tentang hak asasi
manusia, untuk menghormati dan memastikan bahwa semua buruh
migran dan anggota keluarganya yang berada dalam wilayah
mereka atau tunduk pada jurisdiksi mereka, agar memperoleh
hak yang diatur dalam Konvensi ini...”

Hal yang penting yang wajib dicermati oleh semua elemen


masyarakat hukum dalam Konvensi ini adalah pada bagian
penerapan Konvensi ini, di mana Pasal 73 Ayat 1 dari
Konvensi ini menegaskan bahwa “Negara-negara pihak berjanji
untuk menyerahkan laporan mengenai upaya/usaha legislatif,
yudikatif dan administratif dan upaya-upaya lain yang telah
mereka lakukan untuk melaksanakan ketentuan dalam Konvensi
ini kepada Sekretaris Jenderal PBB...”

Kata ratifikasi sering kita dengan dalam hubungannya antara


negara dengan perjanjian internasional. Ratifikasi dimaknai
sebagai pengikatan diri dari suatu negara terhadap seuatu
perjanjian internasional dan negara wajib untuk melaksanakan
kewajiban-kewajiban internasional yang dibebankan oleh
perjanjian internasional tersebut. Tindakan ratifikasi oleh
negara sebenarnya merupakan tahapan pengintegrasian
perjanjian internasional ke dalam sistem hukum nasional
suatu negara, belum sampai tahap implementasi. Namun
demikian, tahap integrasi dan implementasi perjanjian
internasional seringkali dicampuraduk menjadi satu sehingga
menimbulkan kebingungan dalam memahami makna ratifikasi itu
sendiri.

Mempelajari perjanjian internasional di Indonesia tidak


semudah membalikkan tangan karena model yang digunakan oleh
Indonesia sangat unik dan tidak lazim dan penggunaan kata
juga seringkali menipu para peneliti dalam memahami proses
pengintegrasian dan penerapan perjanjian internasional di
Indonesia. Kasus-kasus penganiayaan terhadap TKI di luar
negeri yang sering diberitakan oleh media nasional Indonesia
sebenarnya tidak ada hubungannya dengan diratifikasi atau
tidak diratifikasinya Konvensi ini karena banyak negara-
negara di Eropa yang tidak meratifikasi Konvensi ini tetapi
memperlakukan buruh migran dengan baik, seperti Jerman,
Belanda, Perancis, Italia, Belgia dan Inggris.

Oleh karena itu, tulisan ini ingin mencerahkan pandangan


masyarakat, khususnya masyarakat hukum, bahwa proses
ratifikasi tidaklah cukup untuk membuat suatu perjanjian
dapat dilaksanakan oleh negara-negara dan tidak ada hubungan
kausalitas antara perlindungan TKI di luar negeri dengan
ketidaksegeraan Pemerintah Indonesia meratifikasi Konvensi
Buruh Migran 1990.

3. Analisis
3.1. Proses Integrasi Perjanjian Internasional
Konvensi Wina 1969 tentang Hukum Perjanjian
Internasional mengatur cara-cara perjanjian
internasional berintegrasi ke dalam sistem hukum
nasional negara-negara. Pengikatan diri negara ke dalam
suatu perjanjian internasional dapat melalui proses
tandatangan, tandatangan ad referendum, ratifikasi dan
aksesi. Namun, Boer Mauna hanya menjelaskan dua hal
saja yaitu melalui tandatangan dan/atau ratifikasi.2
Istilah tandatangan, menurut O’Connell, adalah tindakan
akhir dari seorang wakil berkuasa penuh suatu negara
dalam suatu perundingan dan merupakan persetujuan
negaranya atas isi dari perjanjian internasional yang
dibuat.3 Selanjutnya, Schwarzenberger berpendapat bahwa
tandatangan bisa jadi merupakan pernyataan setuju untuk
diikat oleh suatu perjanjian internasional, jika
perjanjian tersebut tidak mensyaratkan ratifikasi.
Pendapat ini diamini oleh O’Connell dengan mengatakan
“Ratification is only required when the treaty so
specifies or so implies.”4

Proses selanjutnya adalah ratifikasi, di mana Pasal 2


Konvensi Wina 1969 mengatur sebagai berikut
2
Boer Mauna, 2001, Hukum Internasional: Pengertian, Peranan dan Fungsi dalam
Era Dinamika Global, Alumni, Bandung, hlm. 16.
3
Budiono Kusumohamidjojo, 1986, Suatu Studi terhadap Aspek Operasional
Konvensi Wina 1969 tentang Hukum Perjanjian Internasional, Bunacipta, Bandung,
hlm. 5.
4
Edy Suryono, 1984, Praktik Ratifikasi Perjanjian Internasional di Indonesia,
Remaja Karya, Bandung, hlm. 24.
“’ratification’, ‘acceptance’, ‘accession’ mean in
each case the international act so named whereby a
State establishes on the International plane its
consent to be bound by a treaty.” Menurut kaczorowska,
proses ratifikasi umumnya menggambar dua tindakan
prosedural yang berbeda, yaitu ratification in
international sense dan ratification in municipal
sense.5 Berdiskusi tentang integrasi perjanjian
internasional ke dalam sistem hukum nasional negara-
negara adalah membicarakan konsep ratifikasi yang
pertama dan ini merupakan kewenangan mutlak dari
lembaga eksekutif untuk membuat dan meratifikasi
perjanjian internasional. Hal ini selaras dengan
definisi yang ada dalam Pasal 2 di atas bahwa
ratifikasi merupakan tindakan internasional dari negara
untuk terikat oleh perjanjian di level internasional.
Dengan kata lain, tindakan ratifikasi yang dilakukan
oleh negara tidak memberikan akibat hukum apapun kepada
negara di level nasional.

Mengapa negara harus mengikatkan diri pada perjanjian


internasional? Pengikatan diri pada perjanjian
internasional bisa berarti dua hal yaitu karena negara
tersebut ingin membuat perjanjian internasional yang
bersangkutan berlaku secara universal atau ada
kepentingan nasional dari negara tersebut yang
diakomodir oleh perjanjian internasional. Pasal 87
Konvensi Buruh Migran 1990 menyatakan bahwa “The
present Convention shall enter into force on the first
day of the month following a period of three months
after the date of the deposit of the twentieth
instrument of ratification or accession.” Pasal ini
menunjukkan bagaimana Konvensi Buruh Migran 1990
berlaku secara universal, yaitu jika sudah ada 20
negara meratifikasi atau aksesi. Contoh kedua adalah
ketika Indonesia mengikatkan diri pada UNCLOS 1982, di
mana ada kepentingan Indonesia yang diakomodir dalam
Konvensi tersebut, yaitu diakuinya negara kepulauan
sebagai salah satu bentuk negara, yang mana Indonesia
adalah merupakan negara kepulauan terbesar di dunia.
Jika kita melihat pandangan dari Bierly, sebenarnya ada
dua alas an mengapa negara harus selalu memperhatikan
kaidah-kaidah hukum internasional, antara lain doktrin
hak dasar (ius cogen) dan doktrin positivisme. Yang
pertama menjelaskan bahwa prinsip-prinsip dalam hukum
5
Alina Kaczorowska, 2002, Public International law, Old Bailey Press, hlm.
227-228.
internasional adalah merupakan prinsip-prinsip hukum
utama bagi negara-negara sebagai subyek utama dari
hukum internasional. Selanjutnya, yang kedua adalah
hukum internasional adalah sekumpulan kaidah yang
diterima oleh negara-negara dan mengikat bagi negara
yang menerima dan tidak mengikat bagi negara yang tidak
menerima. Bierly tidak menampik bahwa meskipun hukum
internasional adalah iu cogen tapi tidak semua negara
mau menerima dan mematuhinya.6

Dalam proses pengintegrasian perjanjian internasional


ke dalam sistem hukum nasional negara-negara sangat
bergantung sistem yang berlaku di negara-negara
tersebut, yaitu apakah negara tersebut memberlakukan
sistem pemisahan kekuasaan secara murni ataukah seperti
yang berlaku di Amerika Serikat yaitu sistem checks
and balances. Perbedaan sistem ketatanegaraan yang
berlaku di negara-negara secara tidak langsung akan
memberikan arti yang berbeda pada proses ratifikasi.

3.2. Arti Ratifikasi bagi Negara-Negara


Dalam penerimaan perjanjian internasional ke dalam
sistem hukum negara ada dua teori yang mendasari, yaitu
teori inkorporasi dan teori transformasi.7 Teori
inkorporasi adalah teori yang memandang hukum
internasional adalah bagian dari hukum nasional
sehingga perjanjian internasional yang diratifikasi
oleh negara akan menjadi bagian dari hukum nasional
negara tersebut. Sebaliknya teori transformasi
menjelaskan bahwa hukum internasional dan hukum
nasional adalah dua sistem hukum yang berbeda dan
terpisah sehingga hukum internasional hanya dapat
menjadi bagian dari hukum nasional melalui proses
transformasi berupa peraturan hukum yang dibuat oleh
lembaga legislatif. Dalam teori ini ada dua pandangan
yang berbeda yaitu pandangan yang bersifat ‘hard’ dan
‘soft’. Bagi pandangan yang bersifat hard, hukum
internasional hanya dapat menjadi bagian dari hukum
nasional melalui tindakan legislatif saja, sedangkan
menurut pandangan kedua, hukum internasional dapat
menjadi bagian hukum nasional melalui tindakan
legislatif dan yudikatif. Tindakan yudikatif ini

6
Sam Suhaedi Admawiria, 1968, Pengantar Hukum Internasional I, Alumni,
Bandung, hlm. 39-41.
7
Andrew D. Mitchell, 2000, Genocide, Human Rights Implementation and the
Relationship between International and Domestic Law: Nulyarimma v. Thompson,
24 Melb. U. L. Rev., Melbourne University Law Review, hlm. 26.
maksudnya adalah hukum internasional dapat menjadi
bagian hukum nasional melalui putusan pengadilan.8

Keberadaan dua pandangan dalam teori transformasi tidak


lepas dari perbedaan sistem hukum yang dianut oleh
negara, yaitu Eropa kontinental dan anglosakson. Di
Eropa kontinental dengan jelas terdapat pemisahan
kekuasaan antara pembuat undang-undang dan pengadilan,
di mana pengadilan tidak memiliki kebebasan untuk
melakukan penemuan hukum. Hakim hanyalah menafsirkan
ketentuan hukum yang dibuat oleh lembaga legislatif.
Selain itu, putusan hakim hanya memiliki kekuatan hukum
bagi para pihak yang bersengketa saja dan tidak berlaku
secara umum. Ini berbeda dengan negara-negara penganut
anglosakson, di mana meskipun ada pemisahan kekuasaan
tetapi hakim memiliki kewenangan untuk menemukan hukum
(judge-made-law) sehingga putusan dari hakim tidak
berlaku bagi pihak-pihak yang bersengketa tetapi juga
berlaku masyarakat umum.

Kemudian, muncul satu teori yang dikenalkan oleh J.G.


Starke, yang mana teori ini tampaknya paling sesuai
dengan praktik-praktik yang dilakukan oleh negara-
negara saat ini. Teori tersebut adalah teori delegasi,
di mana teori ini mendelegasikan pada konstitusi
masing-masing negara untuk menentukan kapan dan
bagaimana kaidah-kaidah hukum internasional dapat
diterima dan berlaku dalam hukum nasional negara-
negara.9

3.2.1. Amerika Serikat


Dalam hal penerimaan perjanjian internasional
di Amerika Serikat, secara konstitusional
proses ini menjadi kewenangan antara Presiden
dan Senat. Berbeda dalam hal perjanjian yang
berbentuk “executive agreements” di mana ini
menjadi kewenangan Presiden dan Kongres.

Pasal 6 Konstitusi Amerika Serikat menyatakan


bahwa “All Treaties shall be the supreme law
of the Land.” Oleh karena itu, perjanjian
internasional memiliki kedudukan yang tinggi
di Amerika Serikat, yakni selevel dengan
hukum federal. Namun demikian, Amerika
8
Ibid., hlm. 27.
9
J.G. Starke, 1984, Introduction to International Law, Butterworth, London,
hlm. 73-74.
Serikat juga mengenal doktrin “later-in-time”
yang berarti bahwa hukum federal yang baru
akan mengalahkan hukum federal yang lama jika
substansinya bertentangan.10 Ini berarti
bahwa jika ada perjanjian internasional yang
telah diratifikasi oleh Pemerintah Amerika
Serikat dan kemudian ada peraturan federal
yang dibuat oleh Kongres yang substansi
bertentangan dengan perjanjian internasional
yang sebelumnya, maka hukum federal yang baru
yang dimenangkan.

Presiden Amerika Serikat sangat bergantung


pada persetujuan Senat ketika akan
meratifikasi perjanjian internasional.11
Ketika Senat menyetujui keinginan Presiden
untuk meratifikasi perjanjian internasional,
maka persetujuan Senat memiliki makna ganda,
yaitu selain menyetujui keinginan Presiden
untuk meratifikasi perjanjian internasional,
juga membuat perjanjian internasional berlaku
di Amerika Serikat.

Apakah dengan merujuk Pasal 6 Konstitusi


Amerika Serikat dan persetujuan Senat maka
semua perjanjian internasional yang
diratifikasi dapat diterapkan di Amerika
Serikat? Hal ini sering menjadi perdebatan
karena Amerika Serikat menurut teori adalah
negara monisme, tetapi dalam praktiknya ia
menggunakan pendekatan dualisme. Kondisi ini
terjadi karena Senat memiliki kewenangan
untuk menentukan status perjanjian
internasional yang telah diratifikasi oleh
Presiden melalui RUDs yang akan dilampirkan
pada saat Presiden menyerahkan dokumen
ratifikasi kepada Sekretariat Jenderal PBB.
RUDs ini bertujuan untuk membatasi
pelaksanaan perjanjian internasional di
12
pengadilan Amerika Serikat. Adapun tujuan
Senat memberlakukan RUDs ini adalah untuk

10
Aalt Willem dan Philipp Kiiver, 2007, Constitutions Compared: An
Introduction Comparative Constitutional Law, Intersentia, Antwerpen, hlm. 56.
11
Lihat: Pasal 2 s.2 Konstitusi Amerika Serikat bahwa “He shall have Power,
by and with the Advice and Consent of the Senate, to make Treaties...”
12
Jordan J. Paust, Joan M. Fitzpatrick dan Jon M. Van Dyke, 2000,
International Law and Litigation in the US, West Group, hlm. 219-220.
melindungi hak-hak dari Amerika Serikat agar
perjanjian internasional yang telah
diratifikasi tidak menggantikan peraturan
hukum federal atau kebijakan negara yang
telah dibuat, dan untuk membatasi kekuasaan
pengadilan untuk menerapkan hukum
internasional di persidangan.13

3.2.2. Kanada
Kanada adalah negara yang menganut sistem
hukum campuran, di mana seluruh provinsi di
Kanada menganut sistem common law kecuali
Provinsi Quebec yang menganut sistem civil
law. Secara umum, perbedaan dari dua sistem
hukum ini dapat dilihat dari sumber hukumnya,
di mana sumber hukum dari sistem common law
adalah hukum tidak tertulis atau hukum yang
berkembang di masyarakat. Situasi ini
mempengaruhi peran dan fungsi dari hakim, di
mana hakim memiliki peran yang besar dalam
menemukan hukum dan menciptakan hukum yang
bersifat umum dan mengikat bagi masyarakat.
Sebaliknya, di Provinsi Quebec, hukum yang
digunakan adalah hukum tertulis dan hakim
tidak memiliki peran sebesar pada hakim
dengan sistem common law karena hakim di
sistem civil law tidak memiliki kewenangan
untuk menciptakan hukum, tetapi hanya
menafsirkan peraturan hukum yang dibuat oleh
lembaga legislatif.

Sebagai negara federasi, kewenangan untuk


membuat perjanjian internasional ada di
tangan Pemerintah Federal Kanada. Sullivan
menjelaskan bahwa kewenangan untuk melakukan
tindakan ekstrateritorial secara eksklusif
dipegang oleh Pemerintah Federal Kanada,
sedangkan pemerintah provinsi tidak memiliki
kewenangan tersebut.14

Dalam sistem ketatanegaraan Kanada, khususnya


berkaitan dengan perjanjian internasional,
terdapat pemisahan kekuasaan yang jelas dan
tegas antara lembaga eksekutif dan lembaga
13
Ibid., hlm. 527-531.
14
R. Sullivan, 1987, Jurisdiction to Negotiate and Implement Free Trade
Agreements in Canada, 24 U.W.O.L. Rev. 63, 64-71 (Revised 1993), hlm. 64.
legislatif, di mana lembaga eksekutif
memiliki kewenangan untuk mengadakan hubungan
luar negeri dan masuk ke dalam berbagai
perjanjian internasional. Namun demikian,
perjanjian internasional yang telah
dinegosiasikan oleh Pemerintah Federal Kanada
hanya sebatas mengikat Kanada sebagai negara
yang merupakan subyek hukum internasional.
Penerapan perjanjian internasional di level
nasional menjadi kewenangan mutlak dari
Parlemen Federal Kanada dan Parlemen
provinsi.15 Sistem pemisahan ini bertujuan
untuk mencegah lembaga eksekutif
mengesampingkan kewenangan yang dimiliki oleh
lembaga legislatif dengan menjadi pihak pada
setiap perjanjian internasional tanpa
mempedulikan situasi dan kondisi nasional
Kanada.16

Dalam kasus Labor Conventions, Pemerintah


Kanada berupaya untuk menerapkan tiga
Konvensi yang telah diratifikasi dalam
Konferensi Buruh Internasional, tetapi
Pemerintah Federal harus mendapat persetujuan
dari Parlemen provinsi karena substansi dari
Konvensi Buruh tersebut berakibat hukum pada
hak dan kewajiban buruh yang berada di
seluruh provinsi di Kanada. Sebagaimana yang
dinyatakan oleh Lord Atkin bahwa “Where the
subject matter of a treaty comes from
provincial legislative competence, only
province may enact implementing
legislation.”17

3.2.3. Australia
Pemerintah Australia dalam menjalankan roda
pemerintahannya menggunakan sistem
“responsible government” di mana dalam sistem
ini pemerintah eksekutif bertanggungjawab

15
Melanie Mallet, A Primer on Treaty Making and Treaty Implementation in
Canada, Original Constribution, hlm. 2.
16
Ibid.
17
George Slyz, 1997, International Law in National Courts, 28 N.Y.U. J. Int’l
& Pol. 65, New York University Journal International Law and Politics, hlm.
82.
kepada parlemen dan pada akhirnya
bertanggungjawab kepada rakyat.18

Dalam hal mengadakan hubungan luar negeri,


Pemerintah Federal Australia memiliki
kewenangan untuk melakukan negosiasi dan
meratifikasi perjanjian internasional.
Terkait dengan kewenangan tersebut, High
Court Australia menyebutkan bahwa “The
Federal Executive through the Crown’s
representative possesses exclusive and
unfettered treaty making power.”19

Selanjutnya dalam hal pembuatan perjanjian


internasional, Pemerintah Federal terlepas
dari campurtangan Parlemen Commonwealth
Australia, sebagaimana yang disampaikan oleh
Gareth Evans bahwa “The Constitutional power
to enter into treaties is one that belongs
to the Governor-General in Council. The
Commonwealth Parliament, inconsequence, has
no formal function to exercise by way of
review or oversight of international
conventions, treaties, and agreements which
the Federal Government is considering
signing.”20 Kemudian, Gareth Evans
menjelaskan mengenai bagaimana akibat hukum
peratifikasian perjanjian internasional di
Australia, bahwa perjanjian internasional
tidak dapat diterapkan secara langsung di
dalam sistem hukum Australia tanpa
persetujuan dari Parlemen Commonwealth.

Dalam s.61 Konstitusi Australia ada pembedaan


kekuasaan untuk membuat perjanjian
internasional dan untuk menerapkan perjanjian
internasional. Kekuasaan yang pertama
dipegang oleh Pemerintah Federal Australia,
sedangkan kekuasaan kedua dipegang secara
eksklusif oleh Parlemen Commonwealth, yang
mana berperan penting untuk
18
Michael Legg, 2002, Indigenous Australia and International Law: Racial
Discrimination, Genocide and Reparations, 20 Berkeley J. Int’l L. 387,
Berkeley Journal of International law, hlm. 390.
19
Brian R. Opeskin & Donald R. Rothwell, 1995, The Impact of Treaties in
Australia Federalism, 27 Case W. Res. J. Int’l L., 1, Case Western Reserve
Journal of International Law, hlm. 5.
20
Ibid.
mengimplementasikan hak dan kewajiban dalam
perjanjian internasional ke dalam peraturan
hukum Australia.21

Dalam kasus Dietrich, High Court menjelaskan


bahwa “Ratification of the ICCPR as an
executive act has no direct legal effect
upon domestic law; the rights and
obligations contained in the ICCPR are not
incorporated into Australian law unless and
until specific legislation is passed
implementing provisions.”22

Ada hal yang menarik di dalam sistem hukum


Australia terkait dengan implementing
legislation yang dibuat oleh Parlemen
Commonwealth dalam hal kekuatan hukumnya,
bahwa meskipun Parlemen telah membuat
implementing legislation atas sebuah
perjanjian internasional, belum tentu
perjanjian tersebut dapat diterapkan di
pengadilan nasional Australia jika tidak ada
kalimat yang memberikan kekuatan hukum pada
perjanjian yang bersangkutan. Kondisi ini
dapat diamati dalam beberapa perjanjian
internasional yang telah diratifikasi dan
diberikan implementing legislation, seperti
Konvensi Anti Diskriminasi Rasial yang
diimplementasikan melalui UU Anti
Diskriminasi Rasial 1975 (Cth), di mana Pasal
7 UU ini menyatakan bahwa UU ini memberikan
kekuatan hukum pada Konvensi tersebut. Namun,
tidak demikian dengan Konvensi Genocida, di
mana meskipun Pemerintah Federal Australia
telah meratifikasi tetapi UU Genocida 1949
(Cth) tidak memberikan kekuatan hukum pada
Konvensi ini untuk berlaku di Australia,
melainkan hanya bentuk persetujuan formal

21
Gareth Evans, 1995, International Treaties: Their Impacts on Australia, A
Speech on the International Treaties Conference, Canberra, Australia, di
http://www.australianpolitics.com/foreign/treaties/85-09-04treaties-
evans.shtml
22
Rosalie Balkin, International Law and Domestic Law, dalam Sam Blay, Ryszard
Piotrowicz & Martin Tsamenvi (ed), 2005, Public International Law: An
Australian Perspective, 2nd Edition, Oxford University Press, Victoria, hlm.
122.
atas tindakan ratifikasi yang telah dilakukan
oleh Pemerintah Federal.23

3.2.4. Indonesia
Proses ratifikasi perjanjian perjanjian
internasional di Indonesia secara penuh
menjadi kewenangan lembaga eksekutif. Dalam
proses ratifikasi perjanjian internasional,
Indonesia mengadopsi model checks and
balances dari Amerika Serikat, tetapi akibat
hukum dari tindakan ratifikasi menjadi
berbeda ketika memasuki tahap persetujuan
oleh DPR. Perjanjian internasional yang akan
diratifikasi oleh Presiden Indonesia melalui
tahap persetujuan DPR terlebih dahulu dalam
rangka melaksanakan Pasal 11 Ayat 1 UUDNRI
1945.

Persetujuan DPR diwujudkan dalam bentuk UU


pengesahan perjanjian internasional yang
tidak memiliki makna apapun kecuali hanya
sebagai bentuk persetujuan formal DPR kepada
Presiden. Melalui perkara Nomor 33/PUU-
IX/2011, Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia telah memutuskan bahwa UU
pengesahan perjanjian internasional bukan
merupakan obyek untuk dilakukan judicial
review karena UU pengesahan perjanjian
internasional bukan merupakan UU transformasi
dari perjanjian internasional. Oleh karena
itu, makna persetujuan DPR tidak sama dengan
makna persetujuan Senat Amerika Serikat
karena di Indonesia persetujuan DPR tidak
membuat perjanjian internasional berlaku di
pengadilan nasional Indonesia, sedangkan
persetujuan Senat Amerika Serikat membuat
perjanjian internasional berlaku di
pengadilan Amerika Serikat kecuali ditentukan
lain. Dengan demikian, ratifikasi di
Indonesia memiliki dua arti, yaitu pertama
adalah untuk membuat perjanjian internasional
berlaku secara universal, sebagaimana yang
diatur dalam pasal 24 Konvensi Wina 1969, dan
kedua adalah sebagai pengikatan diri
Indonesia sebagai negara di level
internasional.
23
Ibid., hlm. 124-125.
Kesulitan dalam memahami makna ratifikasi di
Indonesia adalah karena ada beberapa istilah
perjanjian internasional yang diartikan
berbeda oleh para pakar hukum di Indonesia
sehingga menimbulkan pemahaman yang bermacam-
macam. Paling tidak penulis menemukan tiga
hal, yaitu ratification, implementing
legislation, dan self-executing treaty dan
non-self-executing treaty.

Pertama adalah “ratification”, di mana kata


ini diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia
dengan istilah pengesahan. Di dalam Pasal 9
Ayat 2 UU Perjanjian Internasional menyatakan
bahwa “Pengesahan perjanjian internasional
sebagaimana yang dimaksud dalam Ayat 1
dilakukan dengan undang-undang atau keputusan
presiden.” Dengan dibuatnya UU pengesahan
perjanjian internasional oleh DPR, mahasiswa
hukum di Indonesia percaya bahwa yang
meratifikasi perjanjian internasional adalah
DPR, bukan Presiden, padahal kewenangan untuk
meratifikasi perjanjian internasional secara
ekslusif dimiliki oleh lembaga eksekutif,
dalam hal ini Presiden. UU pengesahan
perjanjian internasional sebenarnya hanyalah
merupakan bentuk persetujuan formal dari DPR
kepada Presiden dalam rangka melaksanakan
Pasal 11 UUDNRI 1945. Selanjutnya, istilah UU
pengesahan sebenar tidak sesuai dengan
peruntukannya karena bertentangan dengan asas
lex superior derogat legi inferiori, dan
seharusnya UU tersebut adalah UU persetujuan.
Persetujuan perjanjian internasional dengan
menggunakan keputusan presiden pun juga hal
yang bertentangan dengan sistem pemisahan
kekuasaan (baca: checks and balances) karena
lembaga eksekutif membuat dan menyetujui
sendiri perjanjian internasional yang dibuat.
Sebagai perbandingan di Amerika Serikat, ada
perbedaan antara treaty dengan executive
agreement, di mana yang pertama harus
mendapat persetujuan dari Senat, dan yang
kedua harus mendapat persetujuan dari
Kongres.
Kedua adalah “implementing legislation”, di
mana ini terjemahan dari peraturan pelaksana,
di mana seringkali diidentikkan dengan
peraturan pemerintah untuk menjalankan
undang-undang, padahal implementing
legislation ini di negara-negara lain adalah
undang-undang yang dibuat oleh parlemen.
Ketidakpahaman penegak hukum di Indonesia
mengenai istilah implementing legislation ini
terlihat dari kasus Konvensi New York 1958
tentang Pengakuan dan Pelaksanaan Putusan
Arbitrase Asing, di mana Mahkamah Agung
Republik Indonesia tiba-tiba mengeluarkan
Peraturan Mahkamah Agung yang diakui sebagai
implementing legislation (peraturan
pelaksana) dari Konvensi New York 1958.
Tentunya hal ini bertentangan dengan tugas
dan fungsi lembaga yudikatif karena
implementing legislatif bukan produk hukum
tetapi produk politik yang dimiliki oleh
lembaga legislatif, dalam hal ini adalah DPR.

Terakhir adalah istilah self-executing


treaty dan non-self-executing treaty. Sebelum
penulis melakukan penelitian terhadap dua
variabel ini, penulis menemukan definisi
keduanya adalah sebagai berikut: self-
executing treaty adalah perjanjian yang
berlakunya tanpa proses ratifikasi, dan non-
self-executing treaty adalah perjanjian yang
berlakunya melalui proses ratifikasi. Dua
definisi di atas sangat bertolakbelakang
dengan definisi awal yang dipahami di Amerika
Serikat, antara lain: self-executing treaty
adalah perjanjian internasional yang
diratifikasi secara ipso facto menjadi bagian
dari hukum nasional suatu negara tanpa
memerlukan implementing legislation.24
Sebaliknya, non-self-secuting treaty adalah
perjanjian internasional yang diratifikasi
tidak dapat diterapkan secara langsung di
pengadilan tanpa adanya implementing
25
legislation.

24
Thomas Buerghental, 1992, Self-Executing and Non-Self-Executing Treaties in
National and International Law, Extract from the Recueil de cours, Volume 235,
Martinus Nijhoff Publisher, the Netherlands, hlm. 368.
25
Ibid.
Berbicara self-executing treaty dan non-
self-executing treaty adalah berbicara
mengenai implementasi perjanjian
internasional di level nasional (baca:
pengadilan), bukan berbicara mengenai proses
integrasi atau pengikatan diri negara
terhadap perjanjian internasional. Kekeliruan
memahami beberapa konsep perjanjian
internasional di Indonesia menimbulkan
perdebatan mengenai faham yang dianut oleh
Indonesia, apakah monisme atau dualisme, dan
status perjanjian internasional di Indonesia,
apakah Indonesia mengenal dan mengakui konsep
self-executing treaty dan non-self-executing
treaty.

3.3. Penerapan Perjanjian Internasional di Indonesia


Dalam hubungan antara hukum internasional dan hukum
nasional, terdapat negara-negara yang sistem hukumnya
tidak mengijinkan perjanjian internasional yang telah
diratifikasi dapat diterapkan secara langsung di
pengadilan nasionalnya. Negara-negara yang menganut
sistem seperti ini diidentikkan dengan negara dualisme.
Dan di negara-negara dengan faham ini, semua perjanjian
internasional bersifat non-self-executing, dengan kata
lain, perjanjian internasional tidak dapat diterapkan
secara langsung kecuali ditransformasikan terlebih
dahulu ke dalam bentuk peraturan perundang-undangan
yang diakui di negara-negara tersebut agar dapat
memiliki kekuatan hukum di pengadilan.

Namun demikian, meskipun ada negara-negara yang sama-


sama menganut faham dualisme tetapi dalam
implementasinya setiap negara tidak sama karena mereka
memiliki tradisi hukum yang berbeda. Sebagai contoh di
Kanada, meskipun negara ini menganut faham dualisme
tetapi metode pendekatannya menggunakan metode soft
transformation, artinya penerapan perjanjian
internasional dapat dilakukan oleh lembaga legislatif
dan lembaga yudikatif.26 Sebaliknya, Inggris adalah
negara dualisme dengan pendekatan hard transformation
karena doktrin Parliamentary Sovereignty27 dan hakim

26
Andrew D. Mitchell, loc. cit.
27
Ina Nazarova, 2002, Alienating ‘Human’ from ‘Right’: US and UK Non-
Compliance with Asylum Obligations under International Human Rights Law, 25
Fordham Int’l L.J. 1335, Fordham International law Journal, hlm. 1360.
tidak memiliki kewenangan untuk melakukan judicial
review atas peraturan perundang-undangan yang dibuat
oleh Parlemen Inggris karena yang dapat menyatakan
suatu undang-undang inkonstitusional adalah Parlemen
sendiri.28

3.3.1. Indonesia adalah Negara Dualisme


Perdebatan apakah Indonesia menganut faham
monisme ataukah dualisme sebenarnya telah
dijelaskan dalam peraturan perundang-undangan
dan praktik ketatanegaraan di Indonesia. Bagi
negara-negara yang menganut monisme dapat
diketahui dari adanya pasal-pasal di dalam
konstitusi mereka yang mengatur hubungan
antara perjanjian internasional dan hukum
nasional. Sebagai contoh adalah Amerika
Serikat yang mengatur hubungan antara kedua
hukum tersebut dalam Pasal 629 Konstitusi
Amerika Serikat, Perancis mengaturnya dalam
Pasal 5530 Konstitusi Perancis 1958, Belanda
menempatkannya pada Pasal 9431 Grundwet,
Rusia mengaturnya pada Pasal 15 Ayat 432
Konstitusi Rusia, Jepang meletakkannya pada
Pasal 98 Ayat 233 Konstitusi Jepang 1947, dan
beberapa negara yang mengakui hukum kebiasaan
internasional sebagai hukum tertinggi di
negaranya, seperti Jerman.34 Sebaliknya, di
negara-negaa dualisme, pada umumnya
konstitusi negara mereka tidak mengatur
hubungan keduanya karena keutamaan ada pada

28
Aalt Willem & Philipp Kiiver, op. cit., hlm. 108.
29
“…all Treaties …shall be the supreme law of the land.”
30
“Treaties or agreements duly ratified or approved shall, upon publication,
prevail over Acts of Parliament, subject, in regard to each agreement or
treaty, to its application by the other party.”
31
“Statutory regulations in force within the Kingdom shall not be applicable
if such application is in conflict with provisions of treaties that are
binding on all persons or resolutions by international organizations.”
32
“The general recognized principles and norms of international law and the
international treaties of the Russian Federation shall constitute part of its
legal system. If an international treaty of the Russian Federation establishes
other rules than those stipulated by the law, the rules of the international
treaty shall apply.”
33
“The treaties concluded by Japan and the established law of nations shall
be faithfully observed.”
34
Lihat: Pasal 25 Grundgesetz: “The general rules of public international law
constitute an integral part of federal law. they take precedence over statutes
and directly create rights and duties for inhabitants of the federal
territory.”
hukum nasional, seperti Indonesia, Australia
dan Kanada. Selain itu, ke-dualisme-an
Indonesia terletak dari adanya implementing
legislation (baca: undang-undang) yang
diundangkan untuk memberikan kekuatan hukum
pada norma-norma perjanjian internasional
yang telah diratifikasi oleh Pemerintah
Indonesia. Proses transformasi ini merupakan
ciri khas dari negara-negara dualisme,
seperti UU Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak
Cipta yang merupakan pengejahwantahan dari
Berne Convention for the Protection of
literary and Artistic Works, UU Nomor 6 Tahun
1996 tentang Perairan Indonesia adalah
penjabaran dari UNCLOS 1982, UU Nomor 21
Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Perdagangan Orang yang merupakan
penjabaran dari Konvensi tentang Penghapusan
Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan
dan lainnya.

Khusus di Indonesia, kekuasaan tertinggi


untuk dapat atau tidaknya perjanjian
internasional diimplementasikan di negara
dualisme adalah pada lembaga legislatif
karena lembaga ini yang memiliki kewenangan
untuk membuat peraturan perundang-undangan.
DPR, ketika akan membuat undang-undang
transformasi, harus melihat kembali
kewajiban-kewajiban internasional apa yang
diemban oleh Indonesia sebagai negara pihak
dari suatu perjanjian internasional agar
dapat diterapkan di Indonesia (baca:
pengadilan). Konsep ini disebut dengan konsep
Konskenniemi, bahwa “International law acts
sort of conscience for state authorities,
then we are using international law as a
sounding board for domestic policy and law.
We rely then on international law not as a
law per se but a moment of sober second
thought instead. International law would not
strictly require the character of law to
accomplish this. And it could still offer
courts additional reasons why a given case
ought to be decided one way or another.”35
35
David Haljan, 2014, Separating Powers: International Law Before National
Courts, T.M.C. Asser Press, hlm. 289.
Hal di atas yang menjadikan hakim-hakim di
Indonesia tidak berpedoman pada perjanjian
internasional karena hakim tidak terikat oleh
perjanjian internasional yang disepakati oleh
lembaga eksekutif, melainkan terikat oleh
peraturan hukum yang dibuat oleh DPR. Namun,
sebenarnya hakim-hakim di Indonesia, jika
mau, dapat menggunakan perjanjian
internasional sebagai alat bantu untuk
menginterpretasikan hukum nasional yang
secara substansi bertentangan dengan kaidah-
kaidah hukum internasional.

Penjelasan di atas menunjukkan bagaimana


status perjanjian internasional di Indonesia
bahwa Indonesia tidak mengenal perjanjian
self-executing karena semua perjanjian
internasional yang telah diratifikasi oleh
Pemerintah Indonesia secara teori adalah
bersifat non-self-executing karena wajib
dibuatkan implementing legislation (baca:
undang-undang). Selain itu, perjanjian
internasional bukan salah satu sumber hukum
yang diakui dan diterima secara langsung di
pengadilan karena Pasal 7 UU Nomor 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan, tidak memasukkan perjanjian
internasional sebagai salah satu sumber hukum
di Indonesia.

Jika muncul pendapat yang menyatakan bahwa


Indonesia mengenal perjanjian internasional
self-executing, itu karena mereka masih
menggunakan definisi yang tidak sesuai dengan
filosofi dari konsep perjanjian internasional
self-executing dan non-self-executing. UU
Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian
Internasional juga mengakomodir kesalahan
tersebut sehingga menimbulkan kesalahpahaman
mengenai konsep dua jenis perjanjian ini.
Pasal 15 Ayat 1 UU ini menjelaskan
“...Pemerintah Indonesia dapat membuat
perjanjian internasional yang berlakunya
setelah penandatanganan...” Kata “berlaku”
yang dimaksud sering dimaknai dengan berlaku
di level nasional (implementasi perjanjian
internasional di pengadilan), padahal berlaku
di sini adalah berlaku di level international
(pengikatan diri negara pada perjanjian
internasional). Dan Schwarzenberger mengamini
hal tersebut jika perjanjian yang
bersangkutan tidak mensyaratkan ratifikasi.

3.3.2. Perbandingan Model Penerapan Perjanjian


Internasional antara Indonesia dengan Amerika
Serikat
Berbicara penerapan perjanjian internasional
harus diawali dengan proses pengintegrasian
perjanjian internasional ke dalam sistem
hukum negara-negara. Selain itu, kita juga
harus mengamati praktik konstitusional
termasuk tradisi hukum yang berlaku di
negara-negara tersebut.

Proses pengintegrasian perjanjian


internasional di Amerika Serikat diawali
dengan proses negosiasi yang dilakukan
Presiden atas perjanjian internasional.
Sebagai negara monisme (Pasal 6 Konstitusi
Amerika Serikat) sehingga sistem hukumnya
mengakui adanya perjanjian internasional
self-executing dan non-self-executing. Oleh
karena itu, Pemerintah Amerika Serikat harus
sangat berhati-hati dengan perjanjian
internasional yang akan diratifikasi, oleh
karena itu, persetujuan dari Senat merupakan
kewajiban yang tidak boleh dilanggar oleh
Presiden karena Senat adalah pihak yang dapat
menentukan apakah perjanjian internasional
yang akan diratifikasi oleh Presiden dapat
diterapkan di pengadilan nasional Amerika
Serikat atau tidak. Pada awalnya kewenangan
untuk menentukan sifat self-executingness
dari perjanjian internasional dipegang oleh
hakim, seperti dalam kasus Sei Fujii.36
Namun, seiring berjalannya waktu, kewenangan
tersebut berpindah kepada Senat karena
penetapan tersebut merupakan bagian dari
proses politik. Senat Amerika Serikat
memiliki kewenangan untuk menolak dan
menyetujui perjanjian internasional yang akan
36
Rebecca Walace, 1992, International Law, 2nd Edition, Sweet & Maxwell,
London, hlm. 50.
diratifikasi oleh Presiden melalui mekanisme
RUDs, yang mana ini akan membatasi
keberlakuan perjanjian internasional di
pengadilan nasional Amerika Serikat.37
Keterlibatan Senat dalam menentukan sifat
perjanjian internasional terlihat dalam
beberapa perjanjian internasional HAM,
seperti ICCPR, Konvensi Anti Penyiksaan,
Konvensi Genosida dan lainnya. Kewenangan
Senat ini bertujuan untuk melindungi hak-hak
Amerika Serikat agar perjanjian internasional
yang diratifikasi tidak mengganti peraturan
hukum federal atau kebijakan negara yang
telah dibuat, dan untuk membatasi kekuasaan
pengadilan untuk menerapkan perjanjian
internasional.38 Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa secara teori Amerika
Serikat adalah negara monisme, tetapi dalam
praktiknya Amerika Serikat menerapkan konsep
dualisme.

Bertolakbelakang dengan Indonesia, di mana


Indonesia adalah negara dualisme tetapi ingin
menerapkan konsep monisme. Hal ini jelas
terlihat dari isu mengenai ratifikasi
Konvensi Buruh Migran 1990, di mana seakan-
akan Pemerintah Indonesia telah melakukan
kesalahan yang sangat fatal karena tidak
segera meratifikasi Konvensi Buruh Migran
1990 sehingga menyebabkan banyak TKI di luar
negeri yang tidak mendapat perlindungan hukum
yang layak. Sebagaimana yang dijelaskan di
atas, tindakan ratifikasi tidak cukup kuat
untuk memaksa warganegara suatu negara untuk
tidak melakukan tindakan penyiksaan kepada
buruh migran karena ratifikasi perjanjian
internasional hanya untuk membuat perjanjian
internasional berlaku secara universal dan
mengikat negara di level internasional.
Apalagi Konvensi Buruh Migran 1990 adalah
perjanjian internasional yang menurut
sifatnya adalah perjanjian non-self-
37
Jordan J. Paust, Joan M. Fitzpatrick & Jon M. Van Dyke, op. cit., hlm. 219-
220.
38
Chrissy Fox, 2003, Implication of the US’ Reservations and NSE Declaration
to the ICCPR for Capital Offenders and Foreign Relation, Comments, 11 Tul. J.
Int’l & Comp. L. 303, Tulane Journal of International dan Comparative Law,
hlm. 527-531.
executing sehingga memerlukan implementing
legislation untuk penerapannnya.
Peratifikasian Konvensi Buruh Migran 1990
sebenarnya sangat menguntungkan bagi kaum
pekerja migran di Indonesia karena Indonesia
harus mematuhi kewajiban-kewajiban
internasional yang diemban oleh negara-negara
pihak dalam Konvensi ini. Hukum Indonesia
tidak mampu menjangkau TKI di luar negeri
karena jurisdiksi Indonesia dibatasi oleh
jurisdiksi negara lain.

Hal yang sering dimaknai keliru oleh


masyarakat hukum adalah konsep melaksanakan
kewajiban internasional diidentikkan dengan
konsep monisme, padahal dua konsep ini sangat
berbeda, di mana yang pertama bergerak di
level internasional, sedangkan yang kedua
merupakan pertanyaan di level nasional.
Ketika Pemerintah Indonesia menghormati hak
kekebalan pejabat diplomatik asing di
Indonesia adalah kewajiban internasional yang
harus dijalankan dalam hubungan antarnegara
sesuai dengan Konvensi Wina 1961 tentang
Hubungan Diplomatik, bukan merupakan konsep
monisme karena konsep monisme, sebagaimana
dijelaskan di atas, merupakan isu tentang
penerapan perjanjian internasional di
pengadilan nasional suatu negara.39

4. Kesimpulan
Dari analisis di atas, maka dapat disimpulkan bahwa gugatan
class-action yang dilakukan oleh LSM karena Pemerintah
Indonesia tidak segera meratifikasi Konvensi Buruh Migran
1990 adalah tindakan yang tidak beralasan dan menunjukkan
bahwa para pemohon tidak memahami konsep pengintegrasian
perjanjian internasional ke dalam sistem hukum di Indonesia.
Dengan Pemerintah Indonesia meratifikasi Konvensi Buruh 1990
maka yang sebenarnya diuntungkan adalah kaum buruh migran
yang bekerja di Indonesia karena Pemerintah Indonesia
memiliki kewajiban internasional untuk melaksanakan
kewajiban-kewajiban yang diemban oleh negara pihak.
Ratifikasi tidak cukup untuk membuat perjanjian
internasional dipatuhi oleh negara dan diimplementasi di
39
Jacob Dolinger, 1993, Brazilian Supreme Court Solutions for Conflict
between Domestic and International Law: An Exercise in Eclecticism, 22 Cap. U.
L. Rev. 1041, hlm. 1045.
level nasional karena setiap negara memiliki tradisi hukum
yang berbeda-beda dan seringkali perjanjian internasional
yang telah diratifikasi tidak dapat dilaksanakan dengan baik
sesuai yang diharapkan karena negara-negara lebih melindungi
kepentingan nasional dan warganegaranya. Itikad baik dan
perlindungan terhadap hak asasi manusia sebenarnya adalah
jawaban dari semua kegalauan atas minimnya perlindungan
terhadap TKI di luar negeri. Dan pendapat John Austin bahwa
hukum internasional yang dibuat oleh negara-negara bukan
merupakan hukum positif yang berlaku bagi kepentingan
individu adalah ternyata benar karena tindakan ratifikasi
yang dilakukan Pemerintah Indonesia tidak mampu melindungi
kepentingan TKI di luar negeri!
DAFTAR PUSTAKA
 Boer Mauna, 2001, Hukum Internasional: Pengertian,
Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global, Alumni,
Bandung.

 Aalt Willem dan Philipp Kiiver, 2007, Constitutions


Compared: An Introduction Comparative Constitutional
Law, Intersentia, Antwerpen.

 Alina Kaczorowska, 2002, Public International law, Old


Bailey Press.

 Andrew D. Mitchell, 2000, Genocide, Human Rights


Implementation and the Relationship between
International and Domestic Law: Nulyarimma v. Thompson,
24 Melb. U. L. Rev., Melbourne University Law Review.

 Brian R. Opeskin & Donald R. Rothwell, 1995, The Impact


of Treaties in Australia Federalism, 27 Case W. Res. J.
Int’l L., 1, Case Western Reserve Journal of
International Law.

 Budiono Kusumohamidjojo, 1986, Suatu Studi terhadap


Aspek Operasional Konvensi Wina 1969 tentang Hukum
Perjanjian Internasional, Bunacipta, Bandung.

 Chrissy Fox, 2003, Implication of the US’ Reservations


and NSE Declaration to the ICCPR for Capital Offenders
and Foreign Relation, Comments, 11 Tul. J. Int’l &
Comp. L. 303, Tulane Journal of International dan
Comparative Law.

 David Haljan, 2014, Separating Powers: International


Law before National Courts, T.M.C. Asser Press.

 Edy Suryono, 1984, Praktik Ratifikasi Perjanjian


Internasional di Indonesia, Remaja Karya, Bandung.

 Gareth Evans, 1995, International Treaties: Their


Impacts on Australia, A Speech on the International
Treaties Conference, Canberra, Australia, di
http://www.australianpolitics.com/foreign/treaties/85-
09-04treaties-evans.shtml

 George Slyz, 1997, International Law in National


Courts, 28 N.Y.U. J. Int’l & Pol. 65, New York
University Journal International Law and Politics.
 Ina Nazarova, 2002, Alienating ‘Human’ from ‘Right’: US
and UK Non-Compliance with Asylum Obligations under
International Human Rights Law, 25 Fordham Int’l L.J.
1335, Fordham International law Journal.

 J.G. Starke, 1984, Introduction to International Law,


Butterworth, London.

 Jacob Dolinger, 1993, Brazilian Supreme Court Solutions


for Conflict between Domestic and International Law: An
Exercise in Eclecticism, 22 Cap. U. L. Rev. 1041.

 Jordan J. Paust, Joan M. Fitzpatrick dan Jon M. Van


Dyke, 2000, International Law and Litigation in the US,
West Group.

 Melanie Mallet, A Primer on Treaty Making and Treaty


Implementation in Canada, Original Constribution.

 Michael Legg, 2002, Indigenous Australia and


International Law: Racial Discrimination, Genocide and
Reparations, 20 Berkeley J. Int’l L. 387, Berkeley
Journal of International law.

 R. Sullivan, 1987, Jurisdiction to Negotiate and


Implement Free Trade Agreements in Canada, 24 U.W.O.L.
Rev. 63, 64-71 (Revised 1993).

 Rebecca Walace, 1992, International Law, 2nd Edition,


Sweet & Maxwell, London.

 Robert F. Turner, 1998, International Law Really is


Law, International & National Security Law Practice
Group Newsletter, Volume 2, Issue 1, Spring.

 Rosalie Balkin, International Law and Domestic Law,


dalam Sam Blay, Ryszard Piotrowicz & Martin Tsamenvi
(ed), 2005, Public International Law: An Australian
Perspective, 2nd Edition, Oxford University Press,
Victoria.
 Sam Suhaedi Admawiria, 1968, Pengantar Hukum
Internasional I, Alumni, Bandung.

 Thomas Buerghental, 1992, Self-Executing and Non-Self-


Executing Treaties in National and International Law,
Extract from the Recueil de cours, Volume 235, Martinus
Nijhoff Publisher, the Netherlands.

Anda mungkin juga menyukai