Tugas 1 Smk3l (Novia Soraya)
Tugas 1 Smk3l (Novia Soraya)
Disusun Oleh:
Novia Soraya
NIM 171121056
Kelas : 3B–KSI
TEMPO.CO, Bandung - Kepala Badan Geologi Rudy Suhendar mengatakan, longsornya Jalan
Gubeng, Surabaya, terkait dengan teknik konstruksi pembangunan basement Rumah Sakit Siloam.
“Failure dalam engineering-nya,” kata Rudy, Rabu, 19 Desember 2018.
Dia mengatakan saat melakukan penggalian untuk basement itu, talud atau tiang-tiangnya cukup
jarang. Akibatnya karena kondisi batuannya masih lepas dan ada air tanah dangkalnya, air
menggerus dan mengalirkannya secara spontan ke daerah bakal basement. “Pas bagian bawah jalan
ambles karena daya dukung tanahnya hilang begitu air dan material bergerak,” ujar Rudy.
Kesimpulannya menurut dia, pada saat melakukan proses teknik konstruksi, tidak memperhatikan
daya dukung tanah dan masalah air tanah di sekitarnya. Padahal ada teknik semacam dewatering
(pengeringan) untuk mengendalikan air tanah maupun permukaan. “Basement di Jakarta juga
banyak, kuncinya pada tekanan air,” katanya.
Jenis tanah di area amblesan itu berdasarkan catatan Badan Geologi tergolong masih urai karena
endapan aluvium. Mekanisme kejadiannya berbeda dengan likuifaksi. “Hanya karena ada air
terpotong penggalian, bagian bawahnya lepas lalu atasnya ambles.” Rudy juga menolak kejadian
itu karena alam melainkan faktor manusia.
Dosen Kelompok Keahlian Rekayasa Struktur Program Studi Teknik Sipil Institur Teknologi
Bandung Herlien D. Setio, pembangunan yang termasuk menggali di suatu daerah yang sudah
terhuni apalagi padat harus ada perlindungan. “Retaining wall namanya, perlindungan untuk tanah-
tanah yang menumpu daerah atau bangunan di tetangganya.”
Dinding penahan tanah itu berupa tiang-tiang pancang atau bor yang dipasang seperti pagar penuh.
Diameter tiangnya juga harus dihitung sesuai keadaan tanah yang ditahan. “Apalagi kalau ada air,
daerah yang tergenang, tekanan air pasti banyak di situ,” kata Herlien.
Dibandingkan dengan kondisi sebelumnya, tanah dalam kondisi stabil di kiri dan kanan jalan yang
dipenuhi bangunan. Pun bukan daerah lereng pinggirannya. “Kayaknya betul gara-gara konstruksi,
karena di bawah Jalan Gubeng itu tadinya nggak ada apa-apa, tanah biasa. Kalau tanah pinggirnya
tidak terganggu mestinya sih dia tetap di situ.”
Dinding penahan tanah itu lazim dipasang ketika pembuatan pondasi gedung maupun
pembangunan basement. Jarak batas dindingnya perlu dihitung benar. “Kecelakaan itu semestinya
bisa dihindari jika dihitung dengan benar.”
Analisis:
Amblasnya konstruksi Jalan Gubeng Kota Surabaya terjadi kerena faktor air dan sifat tanah
terganggu akibat penggalian untuk bangunan basement rumah sakit. Dengan adanya pekerjaan
galian di basement rumah sakit dukung tanahnya hilang begitu air dan material bergerak .Adanya
kandungan air dan sifat tanah tergolong masih urai karena endapan aluvium akan membuat daya
dukung tanah menurun yang menyebabkan daya rekat antara butiran tanah (kohesi tanah) kecil,
gesekan antar partikel menjadi kecil dan terjadi pelepasan antara butir tanah yang membuat
permukaan jalan menjadi amblas karena daya dukungnya kecil.
Solusinya yaitu pembangunan yang termasuk menggali di suatu daerah yang sudah terhuni
apalagi padat harus ada perlindungan. Perlindungan tersebut dengan membangun retaining wall
atau dinding penahan tanah untuk melindungi tanah-tanah yang menumpu daerah atau bangunan
disekitarnya.
Referensi : https://www.soilindo.com/penyebab-kerusakan-jalan/
Jalan Tol Pamalang-Batang Retak
Tanah yang berada di sisi Jalan Tol Pamalang-Batang mengalami kelongsoran akibat curah
hujan deras. Tanah mengalami pergerakan karena tidak dapat menahan beban akibat air
menyebabkan daya rekat antara butiran tanah (kohesi tanah) kecil, gesekan antar partikel menjadi
kecil dan terjadi pelepasan antara butir tanah membuat tanah menjadi longsor. Tanah longsor
tersebut mengakibatkan aspal menjadi retak dan berlubang. Hal tersebut jika dibiarkan akan
berdampak pada kualitas jalan tol. Sehingga solusinya yaitu untuk jalan retak ditambal dengan
aspal yang baru supaya tidak ada jalan yang berlubang yang akan mengakibatkan air masuk dan
dapat menggerus lapisan aspal sehingga terjadi masalah baru. Sebaiknya di bangun dinding
penahan tanah atau retaining wall supaya ada perkuatan yang dapat menahan tanah bergerak yang
menyebabkan longsor.
Rawan Kecelakaan Akibat Kegagalan Desian Geometrik Jalan Pada Jalan Tol Cipularang
Jalan Tol Cipularang yang menghubungkan Cikampek-Purwakarta-Padalarang kembali menelan
korban. Terakhir, tabrakan beruntun pada Senin (2/9), menewaskan 8 korban jiwa, juga
mengakibatkan 3 orang luka berat dan 21 orang luka ringan. Kecelakaan di kilometer 91 arah
Jakarta tersebut melibatkan melibatkan 20 kendaraan, termasuk dua dump truck. Sejak diresmikan
pada 2005, telah beberapa kali kecelakaan fatal terjadi pada kawasan ini. Pada 18 Mei 2017, 10
kendaraan terlibat tabrakan beruntun di lokasi yang sama. Tiga orang meninggal dan puluhan
lainnya luka-luka akibat kecelakaan tersebut. Di antara kendaraan yang terlibat, ada trailer,
minibus dan bus. Sebelumnya, Pada 22 Desember 2012, 7 orang meninggal dunia dan puluhan
lainnya luka-luka dalam kecelakaan lalu lintas di Tol Cipularang kilometer 100, pada perbatasan
Purwakarta-Bandung. Kecelakaan itu terjadi ketika bus pariwisata Perusahaan Otobus Tristart
bernomor polisi R-1696-EA bertabrakan dengan truk tronton. Kecelakaan terjadi setelah bus yang
membawa wisatawan itu melintasi jalan Tol Cipularang arah Jakarta dengan kecepatan tinggi dan
kehilangan kendali. Kemudian, dua kecelakaan serupa terjadi di kilometer 87 pada 2014 dan 2015.
Kedua kecelakaan ini pun melibatkan kendaraan yang melaju dengan kecepatan tinggi dari
Bandung ke Jakarta. Pemerintah pun berencana mengevaluasi desain dan aspek geometrik ruas
jalan tol tersebut. Sebab, kondisi jalan pada ruas tersebut cenderung menikung dengan beberapa
turunan. “Jadi kalau dari Bandung pasti kecenderungannya adalah kecepatan tinggi,” kata Direktur
Jenderal Perhubungan Darat, Kementerian Perhubungan, Budi Setiyadi di Jakarta, Senin (2/9).
Kementerian Perhubungan telah menerjunkan tim ke lokasi untuk mencari tahu penyebab insiden
tersebut. Kemudian, evaluasi menyeluruh akan melibatkan Direktorat Jenderal Perhubungan Darat
dan Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) dan tim dari Institute Teknologi Bandung
(ITB). Selain berkenaan dengan desain jalan tol, evaluasi bakal dilakukan terhadap kecepatan dan
beban muatan kendaraan. Dengan demikian, rekomendasi yang dikeluarkan nantinya lebih
komprehensif. Kapolda Jawa Barat Irjen Pol Rudy Sufahriadi mengakui bahwa kecelakaan yang
terjadi kemarin melibatkan dump truk yang kelebihan muatan. "Dari keterangan saksi, kendaraan
tersebut mengangkut 34 ton tanah merah. Padahal, kapasitas dari dump truk itu hanya 20 ton,"
katanya. (Baca: Kronologi Kecelakaan Maut 20 Kendaraan di Tol Cipularang) Tol Cipularang
menghubungkan kabupaten Purwakarta dan Bandung, yang selesai dibangun pada akhir April
2005. Tol ini membentang dari Cikampek - Purwakarta sampai Padalarang yang melintasi
Kabupaten Karawang, Kabupaten Purwakarta, dan Kabupaten Bandung Barat. Berada di
pegunungan, ruas Tol Cipularang meliuk naik-turun dan memiliki beberapa jembatan yang
panjang dan tinggi. Melalui tol ini, jarak Jakarta-Bandung sepanjang 58,5 kilometer bisa ditempuh
dalam waktu 1 jam 30 menit jika tidak macet. Daerah rawan kecelakaan di ruas Tol Cipularang
adalah sepanjang kilometer 90 sampai dengan kilometer 100. Pada area tersebut, kondisi jalan
menanjak dari arah Jakarta dan sebaliknya, menurun dari Bandung. Karena itu, pada setiap
tanjakan dan turunan yang curam terdapat tambahan jalur lambat untuk bus dan truk bermuatan
berat. “Kami prihatin atas kecelakaan yang terjadi dan memang harus ada evaluasi yang
mendasar,” kata Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi di Jakarta, Selasa (3/9).
Analisis:
Kecelakaan yang terjadi di Jalan Tol Cipularang terjadi kerena kesalahan desain geometrik
jalan. Secara umum alinyemen jalan dapat dilewati oleh kendaraan sesuai batasan kecepatan yang
diberlakukan, yaitu 80 km/jam – 100 km/jam (Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana
Wilayah 2001). Sementara untuk daerah pegunungan, batasan minimum kecepatan yang
diberlakukan adalah 60 km/jam. Untuk batasan kecepatan tersebut keseluruhan alinyemen
horizontal sudah memenuhi syarat dan semua jari-jari tikungan sudah lebih besar dari jari-jari
minimum yang disyaratkan. Namun untuk alinyemen vertikal, masih terdapat beberapa kelandaian
yang cukup curam (antara 5% sampai 6%) yang melebihi ketentuan landai maksimum yang
disyaratkan. Hal ini memerlukan penanganan tersendiri dengan membangun lajur pendakian bagi
kendaraan berat. Di lain pihak, dari survey kecepatan didapatkan fakta akan adanya kendaraan
yang berjalan melebihi 100 km/jam sehingga ada elemen geometrik yang tidak sesuai, dan
memang tidak dirancang, untuk kecepatan tersebut, misalnya tidak bisa terpenuhinya syarat Jarak
Pandangan Henti di beberapa lokasi yang bias menimbulkan kondisi berbahaya sehingga harus
diatasi dengan pemasangan rambu peringatan dan cara-cara tertentu lainnya.
Solusi untuk meminimalisir terjadinya kecelakaan pada Jalan Tol Cipularang yaitu
penambahan, relokasi dan penyempurnaan rambu rambu lalu lintas, pengecatan ulang marka jalan
dan pemasangan anti glare pada beberapa bagian jalan.
Referensi : Karsamaan, Rudy Hermawan. 2007. Audit Keselamatan Jalan Tol di Indonesia (Studi
Kasus Jalan Tol Cikampek-Padalarang/ Cipularang). Bandung: ITB.