Anda di halaman 1dari 19

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Prevalensi Pasien Gagal Jantung dengan Penyakit Jantung Koroner di

Ruang Rawat Inap Bangsal Alamanda RSUD Ulin Banjarmasin Tahun

2016

Berdasarkan penelitian yang dilaksanakan pada periode bulan Juni sampai

September 2017 tentang gambaran faktor risiko pasien gagal jantung dengan

penyakit jantung koroner (PJK) di ruang rawat inap bangsal Alamanda RSUD

Ulin Banjarmasin tahun 2016, didapatkan 298 pasien penyakit gagal jantung

dengan 41,27% (123 orang) memiliki PJK yang memenuhi kriteria inklusi

penelitian. Penelitian Indrawati E, et al. (2009) menunjukkan mayoritas pasien

gagal jantung mengidap jantung koroner, yaitu dari 957 sampel pasien gagal

jantung di RS Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita, RS Medistra, RSUD

Hasan Sadikin, RSUD dr. Soetomo, dan RSUD Sanglah pada periode Desember

2005 sampai Desember 2006, didapatkan 716 pasien mengidap PJK (74,8%).10

Gagal jantung dan PJK adalah penyakit yang berhubungan satu sama lain.

PJK terutama infark miokard adalah salah satu faktor risiko klinis mayor pada

gagal jantung. Secara epidemiologis, PJK menjadi faktor risiko gagal jantung

pada 50% kasus di Amerika Utara dan Eropa, 30-40% di Asia, Amerika Latin,

dan Karibia; dan kurang dari 10% di Afrika sub-Sahara. Penurunan perfusi darah

miokardium secara akut maupun kronis oleh PJK akan menyebabkan kerusakan

miokardium dengan sekuele berupa penurunan fungsi jantung terutama di


ventrikel kiri yang memompa darah ke seluruh tubuh. Infark miokard seringkali

menyebabkan kematian permanen otot jantung. Bagian jantung yang mengalami

infark bersifat akinetik/diskinetik yaitu tidak memiliki fungsi kontraksi-relaksasi

otot, hal ini menyebabkan tidak cukupnya relaksasi otot jantung pada saat diastol

dan kontraksi otot jantung saat sistol. Infark miokard juga bisa sebabkan kontraksi

yang tidak sinkron pada bagian otot jantung yang mengalami infark akibat

penurunan kualitas kelistrikan otot jantung, sehingga menyebabkan penurunan

efisiensi pada fungsi pompa darah. Penurunan fungsi jantung berupa gangguan

kontraksi-relaksasi dan gangguan kelistrikan jantung oleh PJK menyebabkan

turunnya volume darah yang dipompa oleh jantung ke seluruh tubuh sehingga

terbentuk manifestasi klinis berupa gagal jantung.17,29-32

B. Gambaran Pasien Gagal Jantung dengan Penyakit Jantung Koroner

Berdasarkan Jenis Kelamin

Jenis kelamin merupakan faktor risiko yang tidak dapat diperbaiki

(irreversible) atau tidak dapat diubah (unmodifiable) untuk PJK dan faktor risiko

klinis mayor untuk gagal jantung, terutama pada laki-laki.17,19 Pada penelitian ini,

laki-laki lebih banyak menderita gagal jantung dengan PJK dibandingkan

perempuan. Distribusi frekuensi pasien gagal jantung dengan PJK di ruang rawat

inap bangsal Alamanda RSUD Ulin Banjarmasin tahun 2016 berdasarkan jenis

kelamin dirincikan di tabel 5.1.


Tabel 5.1 Distribusi Frekuensi Pasien Gagal Jantung dengan Penyakit Jantung
Koroner di Ruang Rawat Inap Bangsal Alamanda RSUD Ulin
Banjarmasin tahun 2016 Berdasarkan Jenis Kelamin

No. Jenis Kelamin PJK


Frekuensi
Jumlah (n)
Relatif (%)
1. Laki - laki 83 67,5
2. Perempuan 40 32,5
Jumlah 123 100

Persentase pasien gagal jantung dengan PJK berjenis kelamin laki-laki

terbanyak pada kelompok usia lansia akhir (56-65 tahun) yaitu sebesar 37,3%,

sedangkan pada pasien perempuan terbanyak pada kelompok usia lansia awal (46-

55 tahun), 37,5%. Penelitian Indrawati E., et al. (2009) juga menunjukkan

frekuensi relatif yang sama, dimana penderita gagal jantung dengan PJK laki-laki

sebesar 67,5% (483 pasien) sedangkan perempuan 32,5% (233 pasien) dari 716

pasien. Penelitian Baransyah L., et al. (2014) menemukan dari 19 pasien gagal

jantung dengan PJK di RS dr. Saiful Anwar Malang, frekuensi relatif pasien laki-

laki juga lebih besar daripada perempuan, yaitu 63,2%.10,11

Perbedaan jumlah frekuensi relatif pasien gagal jantung dengan PJK laki-

laki dan perempuan lebih dipengaruhi oleh gaya hidup dan hormonal. Gaya hidup

seperti merokok menjadi salah faktor risiko PJK. Frekuensi merokok pada laki-

laki lebih tinggi daripada perempuan, sehingga risiko terbentuknya PJK pada

perempuan dinilai lebih rendah. Selain gaya hidup, faktor hormonal juga

berpengaruh pada rendahnya prevalensi gagal jantung dengan PJK pada wanita.

Hormon estrogen pada wanita bersifat kardioprotektif dengan cara meningkatkan

kadar HDL darah dan menurunkan kadar LDL, kolesterol total, trigliserida dan
apolipoprotein A darah sehingga menurunkan risiko terbentuknya atherosklerosis

pada penyakit kardiovaskular.33,34,35

C. Gambaran Pasien Gagal Jantung dengan Penyakit Jantung Koroner

Berdasarkan Usia

Gagal jantung dan PJK merupakan penyakit degeneratif yang dipengaruhi

oleh usia. Seperti jenis kelamin, usia merupakan faktor risiko klinis mayor untuk

gagal jantung dan faktor risiko yang tidak dapat diperbaiki (irreversible) atau

tidak bisa diubah (unmodifiable) untuk PJK.17,19Distribusi frekuensi pasien gagal

jantung dengan PJK di ruang rawat inap bangsal Alamanda RSUD Ulin

Banjarmasin tahun 2016 berdasarkan usia ditampilkan pada tabel 5.2.

Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi Pasien Gagal Jantung dengan Penyakit Jantung
Koroner di Ruang Rawat Inap Bangsal Alamanda RSUD Ulin
Banjarmasin tahun 2016 Usia

No. Usia PJK


Frekuensi
Jumlah (n)
Relatif (%)
1. Dewasa awal (26-35 tahun) 0 0
2. Dewasa akhir (36-45 tahun) 23 18,7
3. Lansia awal (46-55 tahun) 44 35,8
4. Lansia akhir (56-65 tahun) 44 35,8
5. Manula (>65 tahun) 12 9,7
Jumlah 123 100

Kelompok lansia awal (46-55 tahun) dan lansia akhir (56-65) masing-

masing memiliki frekuensi relatif tertinggi yaitu 35,8%. Angka kejadian gagal

jantung dengan PJK di RSUD Ulin Banjarmasin tahun 2016 cenderung meningkat

seiring dengan bertambahnya usia. Penelitian oleh Waty M., et al. (2012) tentang

prevalensi pasien gagal jantung di RSUP H. Adam Malik juga menunjukkan

kecenderungan peningkatan angka kejadian gagal jantung seiring dengan


bertambahnya usia. Penelitian tersebut mendapatkan kelompok usia 50-59 tahun

memiliki distribusi frekuensi tertinggi, 37%.

Gagal jantung adalah kondisi yang mematikan, umumnya terasosiasi dengan

populasi yang tua. Tujuh puluh lima persen rujukan ke rumah sakit dan 90%

kematian akibat gagal jantung di Amerika Serikat terjadi pada lansia di atas 65

tahun. Rendahnya angka kejadian gagal jantung pada kelompok usia manula (>65

tahun) di RSUD Ulin dan RSUP H. Adam Malik nampaknya berkaitan dengan

usia harapan hidup di Indonesia. Menurut Depkes RI, usia harapan hidup

penduduk Indonesia per 2015 adalah 70,8 tahun. Negara maju seperti Amerika

Serikat yang memiliki cukup banyak data epidemiologi mengenai prevalensi

gagal jantung memiliki usia harapan hidup yang tinggi dibandingkan Indonesia,

yaitu 78,8 tahun per 2014, sehingga kemungkinan besar menyebabkan prevalensi

gagal jantung di sana cenderung meningkat.36,37,38

Proses penuaan menyebabkan perubahan struktural dan fungsional pada

jantung dan pembuluh darah sehingga berpengaruh pada perkembangan gagal

jantung. Perubahan struktural yang terjadi contohnya adalah pengerasan

pembuluh darah, hipertrofi dan fibrosis ventrikel kiri yang menyebabkan disfungsi

diastol dan peningkatan afterload jantung sehingga beban jantung bertambah.

Terdapat perubahan fungsional dan respon kompensasi pada jantung yang menua,

yang mengakibatkan turunnya respon jantung pada peningkatan beban jantung

dan turunnya kapasistas darah yang ditampung. Perubahan fungsional ini

contohnya adalah perubahan pada frekuensi jantung, volume sistolik akhir,

volume diastolik akhir, kontraktilitas, perpanjangan kontraksi sistolik,


perpanjangan relaksasi sistolik, dan lain-lain. Proses penuaan juga menyebabkan

turunnya mekanisme jantung dalam memperbaiki cedera yang dialami sehingga

terjadi peningkatan remodeling jantung yang disfungsional. Selain itu, risiko

gagal jantung juga meningkat karena risiko perkembangan penyakit seperti PJK,

hipertensi atau kardiomiopati diabetik juga meningkat seiring dengan

bertambahnya usia.37

D. Gambaran Pasien Gagal Jantung dengan Penyakit Jantung Koroner

Berdasarkan Riwayat Keluarga

Riwayat keluarga memiliki peranan dalam perkembangan penyakit

kardiovaskular degeneratif seperti gagal jantung dan PJK. Riwayat keluarga

adalah prediktor risiko genetik untuk gagal jantung dan faktor risiko yang tidak

dapat diperbaiki (irreversible) atau tidak bisa diubah (unmodifiable) untuk

PJK.17,19 Distribusi frekuensi pasien gagal jantung dengan PJK di ruang rawat inap

bangsal Alamanda RSUD Ulin Banjarmasin tahun 2016 berdasarkan riwayat

keluarga ditampilkan pada tabel 5.3.

Tabel 5.3 Distribusi Frekuensi Pasien Gagal Jantung dengan Penyakit Jantung
Koroner di Ruang Rawat Inap Bangsal Alamanda RSUD Ulin
Banjarmasin tahun 2016 Riwayat Keluarga

No. Riwayat Keluarga PJK


Frekuensi
Jumlah (n)
Relatif (%)
1. Gagal Jantung 12 9,8
2. Penyakit Jantung Koroner 2 1,6
3. Gagal Jantung dan Penyakit Jantung 0 0
Koroner
4. Tidak ada 109 88,6
Jumlah 123 100
Mayoritas pasien gagal jantung dengan PJK di RSUD Ulin Banjarmasin

tahun 2016 yaitu sebesar 88,6% tidak memiliki riwayat keluarga dengan penyakit

kardiovaskular seperti gagal jantung dan PJK. Riwayat keluarga dengan gagal

jantung hanya dimiliki oleh 9,8% pasien, diikuti riwayat keluarga dengan penyakit

jantung koroner sebesar 1,6%. Tidak ada riwayat keluarga dengan gagal jantung

dan PJK sekaligus. Penelitian Baransyah L, et al. (2014) juga menunjukkan

bahwa mayoritas pasien gagal jantung dengan PJK di RSUP dr. Saiful Anwar

Malang tidak memiliki riwayat penyakit jantung keluarga dengan frekuensi relatif

sebesar 89,5%.11

Sebesar 2302 lelaki dan perempuan dari studi keturunan Framingham

dengan riwayat orang tua pengidap penyakit kardiovaskular prematur (ayah <55

tahun, ibu <65 tahun) dianalisis untuk risiko penyakit kardiovaskular. Setelah 8

tahun diikuti, ternyata risiko penyakit kardiovaskular keturunan dengan ayah yang

mengidap penyakit kardiovaskular prematur meningkat sebesar 75% dan terjadi

peningkatan sebesar 60% pada keturunan dengan ibu yang mengidap penyakit

kardiovaskular prematur. Penelitian Sudayasa IP, et al. (2014) pada pasien PJK di

RSU Bahteramas menunjukkan bahwa terdapat hubungan bermakna antara

riwayat keluarga dengan kejadian PJK. Adanya riwayat keluarga yang mengidap

PJK prematur meningkatkan risiko PJK 9,4 kali lebih besar dibandingkan dengan

yang tidak memiliki riwayat keluarga.40,41

Perbedaan hasil penelitian ini dengan penelitian yang menunjukkan

hubungan riwayat keluarga dengan kejadian penyakit kardiovaskular diduga

dipengaruhi oleh sampel penelitian. Kemungkinan besar penyebabnya adalah


mayoritas pasien atau keluarga pasien yang dianamnesis tidak memperhatikan

atau lupa mengenai penyakit yang diderita oleh anggota keluarga. Kemungkinan

lainnya adalah tidak (kurang) memiliki pengetahuan tentang penyakit

kardiovaskular atau memang pasien memang tidak memiliki riwayat penyakit

kardiovaskular pada keluarga, sehingga menyebabkan pasien-pasien gagal jantung

dengan PJK yang tertulis di rekam medik RSUD Ulin tahun 2014 sebagian besar

tidak memiliki riwayat keluarga dengan penyakit kardiovaskular.

E. Gambaran Pasien Gagal Jantung dengan Penyakit Jantung Koroner

berdasarkan Riwayat Merokok

Merokok adalah faktor risiko klinis minor untuk gagal jantung dan faktor

risiko yang dapat diubah (modifiable) dan diperbaiki (reversible) karena merokok

adalah bagian dari gaya hidup.17,19 Distribusi frekuensi pasien gagal jantung

dengan PJK di ruang rawat inap bangsal Alamanda RSUD Ulin Banjarmasin

tahun 2016 berdasarkan riwayat merokok ditampilkan pada tabel 5.4.

Tabel 5.4 Distribusi Frekuensi Pasien Gagal Jantung dengan Penyakit Jantung
Koroner di Ruang Rawat Inap Bangsal Alamanda RSUD Ulin
Banjarmasin tahun 2016 Riwayat Merokok

No. Riwayat Merokok PJK


Frekuensi
Jumlah (n)
Relatif (%)
1. Ada 8 6,5
2. Tidak Ada 115 93,5
Jumlah 123 100

Hasil penelitian yang berbeda didapatkan oleh Indrawati E, et al. (2009),

dimana pasien gagal jantung dengan PJK yang memiliki riwayat merokok sebesar

47,1%, tidak memiliki riwayat merokok sebesar 38,1% dan tidak diketahui

sebesar 14,8%. Penelitian Baransyah L, et al. juga mendapatkan mayoritas pasien


gagal jantung dengan PJK memiliki riwayat merokok yaitu sebesar 68,4%, dan

hanya 31,6% pasien yang tidak merokok.10,11

Sudayasa IP, et al.(2014) menyebutkan bahwa merokok meningkatkan

risiko terkena PJK 2,450 kali lebih besar dibandingkan dengan yang tidak

merokok, sehingga juga meningkatkan risiko perkembangan gagal jantung.

Nikotin merupakan salah satu senyawa dalam rokok yang dapat menyebabkan

pelepasan hormon adrenalin dari medula adrenal terjadi sehingga peningkatan

denyut jantung dan vasokontriksi. Nikotin juga meningkatkan pengaktifan

trombosit dan jumlah asam lemak bebas darah sehingga terjadi penurunan HDL.

Senyawa-senyawa dalam rokok dapat mengaktifkan enzim xanthine oksidase,

NADH/NADPH oksidase, dan eNOS yang berpengaruh dalam peningkatan

radikal bebas spesies oksigen reaktif yang menyebabkan turunnya aktivasi

nitrooksida dalam darah meningkatkan disfungsi endotel berupa vasokonstriksi

sehingga terjadi peningkatan tekanan darah. Karbon monoksida dalam rokok juga

memiliki sifat pengikatan hemoglobin yang lebih kuat daripada oksigen sehingga

transpor oksigen menuju jaringan-jaringan seperti pembuluh darah dan jantung

menjadi tidak efisien dan terjadi hipoksia jaringan. Hipoksia jaringan pada

akhirnya akan menyebabkan kematian pada jaringan dan terbentuk manifestasi

penyakit seperti penyakit kardiovaskular yaitu gagal jantung dan PJK.41,42

Penelitian ini tidak memasukkan kategori perokok pasif, sehingga angka

pasien gagal jantung dengan PJK dengan riwayat merokok cenderung sedikit,

padahal merokok adalah salah satu faktor risiko pada gagal jantung dan PJK.

Perokok pasif adalah orang yang tidak merokok namun tinggal atau memiliki
aktifitas bersama perokok dan perokok pasif memiliki peningkatan risiko PJK

sebesar 20-30% dibandingkan dengan orang yang tidak tinggal bersama orang

yang merokok.41

F. Gambaran Pasien Gagal Jantung dengan Penyakit Jantung Koroner

Berdasarkan Riwayat Hipertensi

Hipertensi merupakan faktor risiko yang dapat diperbaiki (reversible) atau

bisa diubah (modifiable) untuk PJK dan faktor risiko klinis mayor untuk gagal

jantung. Distribusi frekuensi pasien gagal jantung dengan PJK di ruang rawat inap

bangsal Alamanda RSUD Ulin Banjarmasin tahun 2016 berdasarkan riwayat

hipertensi ditampilkan pada tabel 5.5.

Tabel 5.5 Distribusi Frekuensi Pasien Gagal Jantung dengan Penyakit Jantung
Koroner di Ruang Rawat Inap Bangsal Alamanda RSUD Ulin
Banjarmasin tahun 2016 Riwayat Hipertensi

No. Riwayat Hipertensi PJK


Frekuensi
Jumlah (n)
Relatif (%)
1. Ada 32 35,1
2. Tidak Ada 91 73,9
Jumlah 123 100

Penelitian Baransyah L, et al (2014) menunjukkan hasil yang sama dengan

penelitian ini, yaitu pasien gagal jantung dengan PJK tanpa riwayat hipertensi

lebih besar daripada yang memiliki riwayat hipertensi. Sebesar 58% pasien gagal

jantung dengan PJK tidak memiliki riwayat hipertensi. Namun, penelitian

Indrawati E, et al. (2009) menunjukkan hasil yang berbeda, yaitu 61,6% pasien

gagal jantung dengan PJK memiliki riwayat hipertensi. Penelitian Khairiyanda

MW (2016) menemukan 73 pasien gagal jantung dengan hipertensi dari total 97

pasien gagal jantung di Bangsal Alamanda RSUD Ulin tahun 2014 (75,25%),
sedangkan penelitian Nugraha H (2016) menemukan 57 pasien PJK dengan

hipertensi dari total 89 pasien PJK di tempat penelitian dan tahun yang sama

(64%).10,11,43,44

Tekanan darah sistemik atau beban afterload jantung yang tinggi akan

menyebabkan hipertrofi ventrikel kiri, sebuah respon kompensasi terhadap adanya

peningkatan tekanan dinding ventrikel. Penelitian yang menggunakan model

hewan menunjukkan tiga tahap perkembangan hipertrofi yang bersifat kompensasi

pada ventrikel kiri jantung akibat peningkatan afterload jantung. Pertama,

pembentukan hipertrofi, dimana beban jantung lebih besar daripada cardiac

output; kedua, hipertrofi untuk kompensasi, dimana beban jantung sama besar

dengan rasio massa dan cardiac output dipertahankan; dan ketiga, gagal jantung

dengan remodeling yang maladaptif. Hal ini sesuai dengan hipotesis Grossman

yang menyatakan tekanan berlebihan akan menyebabkan ekspansi miosit untuk

meregulasi peningkatan tekanan dinding ventrikel. Secara patologis, hipertensi

akan menyebabkan fibrosis dan pembentukan kolagen yang berlebihan pada otot

jantung sehingga terjadi hipertrofi ventrikel kiri. Hipertorfi ventrikel kiri

menyebabkan disfungsi sistolik pada jantung, dengan kata lain kerja pompa

jantung tidak efisien untuk memenuhi perfusi jaringan sistemik. Hipertrofi jantung

kiri akibat hipertensi merupakan salah satu risiko dalam perkembangan gagal

jantung.45,46

Peningkatan tekanan darah sistolik sebesar 20 mmHg dan 10 mmHg

tekanan darah diastolik berhubungan dengan peningkatan 2 kali lipat mortalitas

akibat PJK dan stroke. PJK adalah penyebab morbiditas dan mortalitas pada
pasien hipertensi. Terdapat beberapa mekanisme pembentukan iskemia

miokardium akibat hipertensi yang berpengaruh pada perkembangan PJK.

Pertama, hipertensi mempercepat proses aterosklerosis pada pembuluh darah

koroner. Plak ateroma juga bisa terpecah akibat tekanan vaskular yang tinggi

sehingga sebabkan emboli perifer atau trombus in situ pada pembuluh darah

koroner dan menyebabkan sindrom koroner akut. Kedua, hipertensi menyebabkan

hipertrofi ventrikel kiri yang memiliki peran pada turunnya perfusi koroner

miokardium. Hipertrofi ventrikel kiri meningkatkan kebutuhan metabolik dan

oksigen miokardium, meningkatkan aliran koroner dan resistensi vaskular koroner

tetapi menurunkan cadangan aliran koroner. Hal ini berhubungan dengan

gangguan pada fungsi diastol ventrikel kiri yang hipertrofi. Ketiga, anomali pada

mikrosirkulasi koroner pada kondisi hipertensi. Hipertensi berhubungan dengan

fibrosis perivaskular koroner, penebalan tunica media pembuluh darah koroner,

penurunan jumlah kapiler cabang arteri koroner, dan pengecilan lumen pembuluh

koroner. Keempat, terjadi disfungsi endotel seperti penurunan vasodilator nitrit

oksida dan prostasiklin dan penurunan senyawa yang berhubungan dengan

diferensiasi dan pertumbuhan sel otot polos vaskular koroner seperti cyclo-

oxygenase dependent contraction factor. Penurunan vasodilator dan senyawa di

atas akan menyebabkan vasokonstriksi dan trombogenesis. Kelima, resistensi

insulin biasanya ditemukan pada hipertensi, terutama hipertensi esensial.

Resistensi insulin berhubungan dengan hiperinsulinemia yang akan

mengakibatkan terjadinya penurunan HDL dan peningkatan trigliserida pada

plasma. Hal ini akan meningkatkan kecepatan pembentukan aterosklerosis.


Keenam, hipertensi ditemani oleh respon saraf simpatis yang berlebihan sehingga

menyebabkan iskemia miokardium. Saraf simpatis menyebabkan vasokontriksi

arteriol. Enam hal di atas memiliki pengaruh besar pada perkembangan PJK dan

pada akhirnya menyumbang peran pada terjadinya gagal jantung.45,46

G. Gambaran Pasien Gagal Jantung dengan Penyakit Jantung Koroner

Berdasarkan Riwayat Diabetes Mellitus

Sama seperti hipertensi, diabetes mellitus (DM) merupakan faktor risiko

yang dapat diperbaiki (reversible) atau bisa diubah (modifiable) untuk PJK dan

faktor risiko klinis mayor untuk gagal jantung. Distribusi frekuensi pasien gagal

jantung dengan PJK di ruang rawat inap bangsal Alamanda RSUD Ulin

Banjarmasin tahun 2016 berdasarkan riwayat DM dirincikan di tabel 5.6.

Tabel 5.6 Distribusi Frekuensi Pasien Gagal Jantung dengan Penyakit Jantung
Koroner di Ruang Rawat Inap Bangsal Alamanda RSUD Ulin
Banjarmasin tahun 2016 Riwayat Diabetes Mellitus

No. Riwayat Diabetes Mellitus PJK


Frekuensi
Jumlah (n)
Relatif (%)
1. Ada 13 10,6
2. Tidak Ada 110 89,4
Jumlah 123 100

Indrawati E, et al. (2009), Baransyah L, et al. (2014) memiliki hasil

penelitian yang sama dengan penelitian ini, yaitu mayoritas pasien tidak memiliki

riwayat DM. Pasien gagal jantung dengan PJK tanpa riwayat DM pada penelitian

Indrawati E, et al. (2009) sebesar 38,1% sedangkan penelitian Baransyah L, et al.

(2014) sebesar 63,2%. Penelitian Azmi U (2016) menemukan 22 dari 89 pasien

PJK di bangsal Alamanda RSUD Ulin Banjarmasin tahun 2014 memiliki DM

(24,7%).10,11,47
Gagal jantung merupakan komplikasi kardiovaskular yang paling umum

dari DM.48,49 Penyebab dari gagal jantung pada DM bersifat multifaktorial, namun

kemungkinan besar faktor utamanya berasal dari hiperglikemia dan resistensi

insulin.50 Tingkat gangguan metabolik, durasi tidak terdiagnosisnya DM, dan

kebutuhan terapi dapat mempercepat perkembangan gagal jantung pada pasien

DM.51 Perubahan fungsional jantung yang secara tipikal terjadi pada pasien DM

adalah penurunan fungsi diastolik yang bisa mendahului disfungsi sistolik.52

Strong Heart Study menemukan bahwa tingkat keparahan disfungsi diastolik

berkorelasi dengan tingkat HbA1c.53 Pembentukan reactive oxygen species (ROS)

oleh advance glycation end-product (AGE) yang menyebabkan deposisi kolagen

pada miokardium, fibrosis, dan sindrom metabolik kemungkinan adalah faktor-

faktor yang menyebabkan hipertrofi ventrikel kiri dan disfungsi diastolik

jantung.53,54 Ada beberapa hipotesis mekanisme yang bertanggung jawab terhadap

perkembangan gagal jantung pada pasien dengan DM.51 Pertama, gangguan

metabolik, terjadi akibat hiperglikemia pada kondisi DM.55 Gangguan

metabolisme berhubungan dengan peningkatan konsumsi oksigen dan

peningkatan asam lemak bebas di serum.56 Metabolisme asam lemak bebas yang

tinggi membutuhkan konsumsi oksigen yang tinggi dan dapat menyebabkan

penumpukan senyawa toksik yang bisa menurunkan performa kontraktilitas

miokardium lewat penurunan jumlah ATP.57 Kedua, stres oksidatif akibat

peningkatan ROS sebagai produk oksidasi glukosa yang tinggi pada kondisi

hiperglikemia.58 Peningkatan produksi ROS seperti anion superoksida, hidrogen

peroksida dan hidroksil radikal adalah penyebab oksidasi dan modifikasi dari
struktur protein, asam nukleat, dan membran lemak sel.59 Kerusakan sel, terutama

sel jantung akibat ROS akan menyebabkan remodeling jantung yang mana akan

berkontribusi pada abnormalitas morfologi dan fungsional pada jantung. ROS

juga dapat menyebabkan disfungsi jantung lewat mekanisme selain kerusakan sel,

contohnya penurunan antioksidan sel seperti superoksida dismutase (SOD),

katalase (CAT), dan glutathione peroxidase (GPX).60 Ketiga, pembuluh darah

koroner pada pasien DM mengalami disfungsi endotel yang akan mengakibatkan

penurunan aliran darah koroner.61 Hiperglikemia dapat menginduksi penurunan

nitrat oksida (NO) plasma dan menyebabkan penurunan produksi endothelial

nitric oxide synthase (eNOS) yang juga pada akhirnya menurunkan kadar NO

plasma.60,62 Disfungsi endotel juga terjadi karena adanya peningkatan ROS pada

kondisi hiperglikemia pasien DM. ROS berkontribusi dalam mengganggu

relaksasi vaskular dengan menginaktifkan NO dan dalam mempercepat proses

aterosklerosis pada pembuluh darah. ROS juga terlibat dalam remodeling jaringan

jantung lewat aktivasi metalloproteinase 9 yang melemahkan sarco-endoplasmic

reticulum-calcium ATPase 2 dan mengubah ekspresi miRNA.63 Perubahan

ekspresi miRNA pada sel jantung dapat menyebabkan penurunan kontraktilitas

miokardium.51 Keempat, hiperglikemia dapat menyebabkan glikasi pada beberapa

makromolekul. Produk dari glikasi yaitu advance glycation end-product atau

AGE yang terakumulasi di jaringan bisa mengubah struktur morfologi dan

disfungsi pada organ jantung. Penelitian Berg, et al. (1999) menunjukkan

terjadinya perpanjangan waktu relaksasi isovolumetrik jantung yang berkorelasi

dengan kadar AGE serum pada pasien DM. Terjadinya perpanjangan waktu
relaksasi isovolumetrik jantung mengindikasikan adanya disfungsi diastolik

ventrikel kiri jantung.64 Kelima, kondisi DM dapat menyebabkan disfungsi

diastolik akibat gangguan pada homeostasis kalsium sel jantung lewat penurunan

aktivitas pompa kalsium pada reticulum sarcoplasma dan penurunan aktivitas

pembuangan kalsium dari sitoplasma saat diastol.65 Kalsium intraselular adalah

pengontrol utama dalam kontraktilitas jantung dan gangguan homeostasisnya

dapat mengubah performa organ jantung.51 Keenam, fibrosis miokardium

merupakan kondisi yang tipikal pada jantung pasien DM. Hiperglikemia dapat

menyebabkan ekspresi gen yang abnormal dan perubahan pada transduksi gen

yang mengaktifkan jalur apoptosis pada sel jantung.66 Hiperglikemia juga dapat

secara langsung menyebabkan nekrosis pada sel jantung sehingga menghasilkan

peningkatan deposisi kolagen pada jaringan yang fibrosis.67 Ketujuh, DM tipe 2

dapat menyebabkan komplikasi berupa neuropati otonom jantung. Neuropati

otonom jantung ada pada hampir semua pasien DM dengan disfungsi ventrikel

kiri. Pasien DM dengan neuropati otonom memiliki penurunan aliran dan

cadangan darah koroner akibat penurunan respon vasodilator pembuluh darah

koroner, sehingga neuropati otonom jantung dapat berkontribusi pada

perkembangan gagal jantung.66,68

Sebagai faktor risiko peningkatan 2 sampai 4 kali morbiditas dan mortalitas

pada PJK, DM bersifat independen. Data WHO menunjukkan lebih dari 75%

pasien DM non dependen insulin meninggal karena kejadian vaskular. Penelitian

Efimov A, et al. menemukan pasien PJK dengan DM memiliki stenosis dan

penyempitan arteri koroner yang lebih banyak daripada pasien PJK tanpa DM.
Lesi pada 3 atau lebih arteri koroner juga ditemukan lebih dari 2 kali lebih banyak

pada pasien PJK dengan DM. Arteri koroner pasien PJK dengan DM memiliki ciri

berupaa lesi aterosklerotik dengan stenosis secara bersamaan pada arteri koroner

lainnya, lesi multipel dengan lokasi stenosis pada bagian proksimal dan distal di

pembuluh darah yang sama, banyaknya stenosis yang secara hemodinamik tidak

signifikan, dan tendensi peningkatan segmen pembuluh darah yang mengalami

oklusi. Kadar trigliserida dan fibrinogen serum pasien PJK dengan DM

mengalami peningkatan yang secara statistik signifikan dibandingkan dengan

pasien PJK tanpa DM.Sebaliknya, pembuluh darah koroner kolateral, pembuluh

darah baru yang terbentuk untuk memenuhi tuntutan darah pada bagian jantung

yang mengalami iskemia, pada pasien PJK tanpa DM memiliki jumlah yang lebih

banyak dibandingkan dengan pasien PJK dengan DM.70 Kondisi hiperglikemia

pada pasien DM menyebabkan terjadinya peningkatan ROS yang dapat merusak

lapisan sel pembuluh darah, seperti pembuluh darah koroner dan juga

menyebabkan disfungsi endotel akibat penurunan kadar NO dan Enos.59,61,63 Hal

ini menunjukkan kondisi DM meningkatkan risiko gagal jantung dan juga

meningkatkan risiko perkembangan PJK yang pada akhirnya juga meningkatkan

risiko gagal jantung.

H. Keterbatasan Penelitian

Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan terutama selama pengambilan

data:

1. Beberapa rekam medik yang seharusnya tersimpan di installasi rekam

medik RSUD Ulin Banjarmasin tidak dapat ditemukan oleh petugas


rekam medik. Padahal rekam medik yang dicari adalah yang terbaru dari

informasi buku resum medik bangsal Alamanda tahun 2016. Jumlah

rekam medik yang tidak dapat ditemukan adalah sebanyak 12 rekam

medik dari total 310 nomor rekam medik yang diajukan kepada

installasi rekam medik.

2. Data di dalam rekam medik beberapa kurang sempurna bahkan beberapa

diantaranya tidak memiliki rekam anamnesis sehingga data rekam medik

tidak bisa dimasukkan ke dalam kriteri inklusi penelitian.

3. Penelitian ini kurang praktis karena jumlah rekam medik yang

dibutuhkan cukup banyak dan rekam medik hanya tersedia dalam bentuk

tertulis bukan dalam bentuk data elektronik sehingga memakan waktu

yang cukup lama untuk melakukan pengambilan data.

4. Terdapat perbedaan data pada data resum medik bangsal Alamanda dan

rekam medik di installasi rekam medik. Sebagai contoh, nomor rekam

medik di buku resum medik bangsal Alamanda menyatakan nomor

rekam medik tersebut milik pasien gagal jantung, namun setelah

dilakukan permohonan rekam medik di installasi rekam medik, rekam

medik yang dikeluarkan adalah milik pasien tuberkulosis, padahal

nomor rekam medik tersebut adalah nomor yang sama diambil dari buku

resum medik.

5. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yaitu

dalam bentuk rekam medik. Informasi dalam rekam medik tersebut

digali oleh dokter muda (koas) atau dokter jaga dengan anamnesis,
pemeriksaan fisik dan penunjang, sehingga kualitas data yang

dikumpulkan tergantung pada mereka. Beberapa data yang tidak lengkap

kemungkinan besar akibat anamnesis yang kurang tajam atau informasi

yang tidak tergali oleh dokter muda atau dokter jaga. Data yang

informasinya tidak lengkap menjadi salah satu keterbatasan dalam

penelitian ini.

Anda mungkin juga menyukai