Anda di halaman 1dari 5

TUGAS MATA KULIAH

POLITIK LINGKUNGAN
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 57 tahun 2016

Disusun Oleh:

Nama/NIM : Pandu Ajimashadi (114140029)


Maola Maqdan (114140084)
Wahyudi Wisaksono (114140087)
Dalvin Savero (114140152)
Yanuar Pratama P (114140154)
Kelas :A

PROGRAM STUDI TEKNIK LINGKUNGAN


FAKULTAS TEKNOLOGI MINERAL
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN”
YOGYAKARTA
2017
Regulasi Gambut Hambat Bisnis Sawit
MedanBisnis - Palangkaraya. Sejumlah pihak kembali mendesak pemerintah untuk
melakukan revisi terhadap Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 57 tahun 2016 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut.

Sebab, ada sejumlah aturan kontroversial dalam regulasi itu yang dinilai mematikan
ekonomi rakyat dan investasi perusahaan, terutama di sektor perkebunan kelapa sawit.
Masyarakat Perkelapasawitan Indonesia (MAKSI) kepada MedanBisnis menyebutkan,
desakan revisi itu muncul dalam Forum Group Discussion (FGD) yang merupakan
kerjasama Fakultas Pertanian Universitas Palangkaraya dengan Masyarakat
Perkelapasawitan Indonesia (MAKSI) di Palangkaraya, Kalimantan Selatan, Senin
(20/2).

Sejumlah pihak hadir dalam FGD itu seperti Ketua Bidang Pengolahan Hasil Perkebunan
DPN Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Didik Hariyanto, Peneliti Utama Balai
Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Prof Dr Chairil Anwar Siregar, Pakar gambut
Institut Pertanian Bogor (IPB) Dr Gunawan Djajakirana, Pengajar Universitas Palangkaraya
Prof Yustinus Sulistyanto, Ketua Umum MAKSI Darmono Taniwiryono, Ketua HGI
(Himpunan Gambut Indonesia) Prof Dr Supiandi Sabiham, dan lainnya. Dalam FGD itu
terungkap sejumlah aturan kontroversial, di antaranya menyangkut kriteria gambut rusak
yang ditetapkan hanya berdasarkan muka air gambut yang paling rendah 0,4 meter,
penetapan 30% dari Kawasan Hidrologis Gambut (KHG) sebagai fungsi lindung akan
mematikan ekonomi rakyat dan investasi.

Pasal lain yang perlu direvisi yakni aturan mengenai pemberlakuan moratorium pembukaan
baru atau land clearing pada lahan gambut, menyetop izin yang diberikan untuk
pemanfaatan lahan gambut, serta mengatur pengambilalihan lahan yang terbakar oleh
pemerintah. Didik Hariyanto menilai revisi perlu segera dilakukan karena aturan itu akan
menyulitkan masyarakat yang sudah turun-temurun memanfaatkan lahan gambut
untuk kehidupan. Ketentuan mengenai tinggi muka air 0,4 meter misalnya, tidak hanya
mengkriminalisasi pengelolaan kebun sawit namun juga bagaikan "guillotine" yang siap
memenggal mati kehidupan masyarakat yang hidupnya tergantung dari perkebunan sawit.
Kebijakan pemerintah seharusnya melindungi investasi di industri sawit dalam upaya
memperkuat ekonomi domestik untuk menjaga stabilitas ekonomi nasional.
Apalagi pada ahun 2017 Indonesia mengandalkan peningkatan konsumsi domestik sebagai
antisipasi kebijakan proteksionis Presiden Amerika Serikat (AS) Donald J Trump. Prof Dr
Chairil Anwar Siregar berpendapat, gangguan terhadap kawasan hutan merupakan
keniscayaan seiring ledakan penduduk Indonesia yang mencapai 1,7% per tahun. Menurut
Chairil, pemenuhan kebutuhan pangan harus menjadi prioritas pemerintah. Tidak tepat
terlalu menonjolkan "hasrat" konservasi secara berlebihan karena produksi sama pentingnya
dengan konservasi. Pakar gambut Institut Pertanian Bogor (IPB) Dr Gunawan Djajakirana
menuding banyak pasal di PP 57/2016 tidak memiliki kajian ilmiah, terutama dalam
penentuan tinggi muka air tanah gambut yang tidak boleh kurang dari 0,4 meter.
Menurut Gunawan, terbakar atau tidaknya gambut sangat dipengaruhi oleh
 faktor kelembaban tanah
 kadar air tanah, dan
bukan dari tinggi muka air tanah. Relief muka gambut sangat bergelombang, dengan
perbedaan antar muka bisa mencapai 70 cm. Begitu juga untuk muka air tanah gambut yang
juga tidak rata dan bahkan perbedaannya bisa mencapai 100 cm. "Lalu bagaimana angka 0,4
tersebut akan diterapkan. Ini aturan yang tidak logis!" ucap Gunawan

Pengusaha Diuntungkan
Kepala Badan Restorasi Gambut (BRG) Nazir Foead kepada MedanBisnis mengklaim
justru rakyat dan pengusaha diuntungkan dengan PP Nomor 57 tahun 2016 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut, khususnya yang terkait dengan
keharusan muka air gambut. Kata Nazir Foead, ada banyak petani di Riau, baik petani sawit
atau non-sawit, serta satu industri HTI (Hutan Tanaman Industri) di satu provinsi di
Kalimantan, justru diuntungkan dengan keharusan muka air gambut yang paling rendah 0,4
meter atau 40 sentimeter. Bahkan, kata dia, ada dua pengusaha sawit di Riau yang telah
menemuinya dan memberikan testimoni serupa. "Yang satu pengusaha sawit ini bilang
perusahaannya mengatur ukuran muka air gambut 30 centimeter," ujar alumnus Fakultas
Kehutanan Universitas Gajah Mada (UGM) ini. Foead menjelaskan, keharusan 0,4 meter itu
termasuk bagian dari penyimpanan air di dalam tanah, sehingga saat musim kemarau tidak
terjadi kebakaran. "Nah, para petani dan pengusaha diuntungkan karena terhindar dari
kebakaran lahan pada tahun lalu setelah menerapkan keharusan air muka gambut tersebut.
Lahan mereka selamat dari kebakaran," ujar Foead.
Ia menyarankan agar para pengusaha, baik HTI maupun sawit, menerapkan water
management di lahan perkebunan mereka yang berbasis lahan gambut. Sebab hal itu
justru akan menguntungkan bagi usaha perkebunan sekaligus merawat gambut, air,
dan lahan itu sendiri. Nazir Foead mengingatkan upaya revisi atas PP itu tidak akan
mudah dilakukan. "PP itu sudah melalui kajian yang mendalam," tegas Nazir Foead.
(hendrik hutabarat).

Pembahasan :
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 57 tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Ekosistem Gambut yang dikeluarkan oleh pemerintah yaitu Kepala Badan Restorasi
Gambut (BRG) mendapat kritik dari berbagai pihak. Kelompok masyarakat perkebunan
kelapa sawit dan pengusaha menuntut untuk merevisi PP tersebut, ada sejumlah aturan
kontroversial dalam regulasi itu yang dinilai mematikan ekonomi rakyat dan investasi
perusahaan, terutama di sektor perkebunan kelapa sawit. Aturan kontroversial, di antaranya
menyangkut kriteria gambut rusak yang ditetapkan hanya berdasarkan muka air gambut
yang paling rendah 0,4 meter, penetapan 30% dari Kawasan Hidrologis Gambut (KHG)
sebagai fungsi lindung akan mematikan ekonomi rakyat dan investasi. Pihak Kepala Badan
Restorasi Gambut mengklaim bahwa Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 57 tersebut justru
memihak pada masyarakat dan pengusaha dikarenakan menerapkan water management di
lahan perkebunan mereka yang berbasis lahan gambut. Sebab hal itu justru akan
menguntungkan bagi usaha perkebunan sekaligus merawat gambut, air, dan lahan itu sendiri
sehingga meminimalisir terjadinya kebakaran.

Kesimpulan :
Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 57 tahun 2016 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Ekosistem Gambut, yang mengeluarkan Kebijakan tersebut adalah
pemerintah. Kebijakan tersebut dikeluarkan dengan alasan bahwa gambut merupakan
ekosistem rentan dan telah mengalami kerusakan yang disebabkan kebakaran hutan dan
lahan tahun 2015, sehingga harus dilakukan upaya-upaya yang intensif dalam perlindungan
dan pengelolaan. Sedangkan berdasarkan kasus di atas kebijakan tersebut justru mendapat
kritik dari berbagai pihak untuk merevisi PP tersebut. Desakan revisi itu muncul dalam
Forum Group Discussion (FGD), dimana sejumlah pihak hadir dalam FGD itu seperti :
 Ketua Bidang Pengolahan Hasil Perkebunan DPN Himpunan Kerukunan Tani Indonesia
(HKTI) Didik Hariyanto,
 Peneliti Utama Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Prof Dr Chairil Anwar
Siregar,
 Pakar gambut Institut Pertanian Bogor (IPB) Dr Gunawan Djajakirana,
 Pengajar Universitas Palangkaraya Prof Yustinus Sulistyanto,
 Ketua Umum MAKSI Darmono Taniwiryono,
 Ketua HGI (Himpunan Gambut Indonesia) Prof Dr Supiandi Sabiham
Berdasarkan contoh kasus tersebut pihak yang menjadi Suprastruktur yaitu pemerintah
atau yang membuat atau mengeluarkan kebijakan Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun
2016 tersebut. Sedangakan yang menjadi Insfrastruktur dalam kasus tersebut adalah
pihak yang mengkritik adan melakukan desakan revisi untuk kebijakan tersebut
seperti pihak yang mengikuti Forum Group Disscusion (FGD).

Sumber :
Hutabarat, Hendrik. 2017. Regulasi Gambut Hambat Bisnis Sawit. diakses dalam :
www.medanbisnisdaily.com/news diakses pada : 25 Februari 2017
PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 57 TAHUN 2016 TENTANG PERLINDUNGAN
DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT.

Anda mungkin juga menyukai