Anda di halaman 1dari 35

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Lanjut usia (lansia) merupakan istilah yang menunjukkan tahap

akhir dari proses penuaan. Dalam mendefinisikan batasan penduduk

lanjut usia, menurut Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional

terdapat tiga aspek yang perlu dipertimbangkan, yaitu aspek biologi,

aspek ekonomi dan aspek sosial (1). Secara biologis, penduduk lansia

adalah penduduk yang mengalami proses penuaan secara terus-

menerus, yang ditandai dengan menurunnya daya tahan fisik, yaitu

semakin rentan terhadap serangan penyakit yang dapat menyebabkan

kematian. Hal ini disebabkan terjadinya perubahan dalam struktur dan

fungsi sel, jaringan, serta sistem organ (2).

Menurut Undang-undang Nomor 13 tahun 1998, lanjut usia adalah seseorang

yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas. Berdasarkan data dari Badan Pusat

Statistik (BPS) tahun 2010, warga Indonesia yang berusia di atas 60 tahun

diperkirakan sebesar 24 juta jiwa atau 9,77% dari total jumlah penduduk. Umur

merupakan salah satu faktor utama untuk menderita penyakit kardiovaskular. Orang-

orang dengan umur lebih dari 60 tahun lebih rentan untuk terkena serangan jantung,

stroke, penyakit jantung koroner (PJK) dan tekanan darah tinggi yang menuju pada

gagal jantung, jika dibandingkan orang muda (3). PJK merupakan penyakit yang
2

paling sering ditemukan pada lansia. Dengan mengkombinasikan laporan insiden

infark miokard dan angina pektoris, National Health and Nutrition Examination

Survey (NHANES) III di USA menunjukkan bahwa sekitar 27% pria dan 17%

wanita berusia 80 tahun ke atas menderita PJK. Sedangkan pada kelompok umur 65-

74 tahun, didapat 64% masalah jantung pada pria dan 60% pada wanita adalah PJK

(1).

Jantung merupakan salah satu organ manusia yang berfungsi memompa darah

ke seluruh tubuh dan sangat berperan dalam sirkulasi. Jantung memiliki suatu

mekanisme khusus yang menjaga irama jantung dan menjalarkan potensial aksi ke

seluruh otot jantung (2), dimana potensial aksi dari jantung tersebut berupa arus

listrik. Aktivitas bioelektrik jantung disalurkan melalui pencetus aksi potensial secara

bergelombang ke seluruh jantung. Alat medis yang dapat digunakan untuk merekam

aktivitas elektrik jantung tersebut adalah elektrokardiograf (EKG), melalui elektroda

yang diletakkan secara spesifik di atas permukaan kulit. Rangkaian elektroda ini

dinamakan sadapan atau lead (3).

Dikenal dua belas sadapan EKG, enam sadapan disebut sadapan ekstremitas,

yaitu sadapan I, II, III, aV R, aVL, dan aVF. Keenam sadapan ekstremitas dibagi lagi

menjadi 2 subkelompok, yaitu sadapan ekstremitas bipolar (I, II, III) dan sadapan

ekstremitas unipolar (aVR, aVL, dan aVF). Enam sadapan lainnya adalah sadapan

prekordial. Pada sadapan ini elektroda diletakkan di berbagai posisi pada dinding

dada (4,5,6).
3

Salah satu hal penting yang dinilai dalam rekaman EKG adalah menentukan

aksis jantung. Aksis merupakan resultan semua vektor yang mewakili arus-arus

depolarisasi jantung secara keseluruhan. Aksis yang biasanya dievaluasi adalah aksis

frontal (anteroposterior) dan horizontal (longitudinal). Aksis frontal adalah resultan

semua gaya listrik pada saat tertentu pada bidang frontal, sedangkan aksis horizontal

adalah gambaran morfologi gelombang EKG berupa kompleks ventrikular (kompleks

QRST) antara sadapan unipolar ekstremitas (aVL dan aVF) dan sadapan unipolar dada

(V1 dan V6). Aksis frontal bisa dinilai dengan melihat sadapan I dan aV F ataupun

dengan sadapan I, II dan III. Kenapa ingin kita lihat perbedaan kedua jenis cara

menilai aksis frontal ini? Masukkan di sini biar orang (di luar orang akademisi yang

memperoleh manfaat teoritis saja) tahu, ooooo, penting ya mengetahui perbedaannya.

Kamu belum memasukkan alasan ini.

Belum pernah dilakukan penelitian tentang perbedaan pengukuran jantung

pada bidang frontal menggunakan sadapan I dan aV F dengan sadapan I, II, III.

Dengan demikian, penelitian ini akan dilakukan, dengan subyek penelitiannya adalah

lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Landasan Ulin. Lansia digunakan karena mereka

cenderung mempunyai masalah pada jantungnya. Pada lansia, aksis jantung

cenderung mengalami deviasi ke kiri, yaitu terletak lebih negatif dari -30o dan disebut

Left Axis Deviation (LAD). Alasan pengambilan data di Panti Sosial tersebut adalah

karena disini terdapat data tentang keadaan/kondisi lansia, tentang penyakit yang

banyak diderita, penanganan lansia, pengobatan yang diberikan apabila terkena

penyakit  ada gak panti werdha lain? Kalau ada tentunya kan tentu punya data
4

lengkap juga, kenapa di panti sosial yang di landasan ulin ini?Saya pisah lagi

paragrafnya

B. Perumusan Masalah

Masalah yang akan diteliti adalah apakah terdapat perbedaan hasil pengukuran

aksis jantung pada sadapan I dan aVF dengan sadapan I, II, III pada hasil EKG lansia

di Panti Sosial Tresna Werdha Budi Sejahtera Landasan Ulin?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan hasil

pengukuran aksis jantung pada sadapan I dan aV F dengan sadapan I, II, dan III pada

hasil EKG lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Budi Sejahtera Landasan Ulin.

Tujuan khusus penelitian ini adalah:

1. Mengetahui gambaran hasil pengukuran aksis jantung pada sadapan I dan aV F

pada hasil EKG lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Budi Sejahtera Landasan

Ulin.

2. Mengetahui gambaran hasil pengukuran aksis jantung pada sadapan I, II, dan III

pada hasil EKG lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Budi Sejahtera Landasan

Ulin.

3. Menganalisis perbedaan hasil pengukuran aksis jantung pada sadapan I dan aV F

dengan sadapan I, II, dan III pada hasil EKG lansia di Panti Sosial Tresna Werdha

Budi Sejahtera Landasan Ulin.


5

D. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah untuk memberikan informasi tentang perbedaan

hasil pengukuran jantung menggunakan sadapan I dan aVF dengan sadapan I, II dan

III, juga untuk mengamati aktivitas kelistrikan di dinding jantung (inferior dan

lateral). Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai sarana diagnosis yang mudah

dan cepat untuk mengetahui indikasi penyakit dan kelainan jantung, khususnya yang

berhubungan dengan penyakit jantung yang disertai gambaran deviasi aksis pada

hasil rekaman EKG yang sering dialami orang lanjut usia.


6

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Article I. Anatomi dan Fisiologi Sistem Konduksi Jantung

Jantung terdiri atas empat ruangan, yaitu atrium kanan, atrium kiri, ventrikel

kanan dan ventrikel kiri (Gambar 2.1). Ruangan-ruangan ini dibatasi oleh katup-katup

jantung, yaitu katup trikuspid yang mengatur aliran darah antara atrium kanan dan

ventrikel kanan, katup pulmonal yang mengatur aliran darah dari ventrikel kanan ke

arteri pulmonal, katup mitralis yang mengatur aliran darah kaya O 2 paru dari atrium

kiri ke ventrikel kiri, serta katup aorta yang mengatur aliran darah kaya O 2 dari

ventrikel kiri ke aorta. Ditinjau dari sudut kelistrikannya, jantung hanya terdiri dari

dua bagian, karena kedua atrium berkontraksi secara bersamaan, demikian juga kedua

ventrikel. Karena massa otot atrium relatif lebih sedikit, maka depolarisasi yang

ditimbulkannya juga kecil (9,10).


7

Gambar 2.1 Anatomi jantung (11).

Kontraksi otot jantung untuk mendorong darah dicetuskan oleh potensial aksi

yang menyebar melalui membran sel otot. Jantung berkontraksi atau berdenyut secara

berirama akibat potensial aksi yang ditimbulkan sendiri, suatu sifat yang dikenal

dengan otoritmisitas. Terdapat dua jenis khusus sel otot jantung, yaitu 99% sel otot

jantung kontraktil yang melakukan kerja mekanis, yaitu memompa. Sel-sel pekerja

ini dalam keadaan normal tidak menghasilkan sendiri potensial aksi. Sebaliknya,

sebagian kecil sel sisanya adalah sel otoritmik, tidak berkontraksi tetapi

mengkhususkan diri mencetuskan dan menghantarkan potensial aksi yang

bertanggungjawab untuk kontraksi sel-sel pekerja.

Siklus depolarisasi jantung pada orang normal dimulai di daerah tertentu di

atrium kanan, yang disebut simpul sinoatrium (nodus SA). Kelambatan sementara

terjadi pada saat depolarisasi merambat mencapai suatu tempat di atrium (9), yang

disebut simpul atrioventrikular (nodus AV) (10,11,12).

Kontraksi otot manapun akan selalu menimbulkan perubahan kelistrikan yang

dikenal dengan istilah potensial aksi. Potensial yang timbul pada otot jantung

(miokardium) dan jaringan transmisi jantung inilah yang memberikan gambaran

kelistrikan jantung. Penjalaran potensial aksi jantung dapat dideteksi dengan

menempatkan elektroda di permukaan tubuh (12,13).

Depolarisasi dari tempat ini dihantarkan dengan cepat sekali melalui jaringan

konduksi khusus yang kemudian bercabang dua di septum antara ventrikel, menjadi

cabang berkas kiri (Left Bundle Branch) dan cabang berkas kanan (Right Bundle
8

Branch). Selanjutnya melalui serat-serat khusus yaitu serabut Purkinye, aliran listrik

menyebar ke otot-otot ventrikel.

Article II. Elektrokardiografi

Elektrokardiograf (EKG) merupakan alat bantu diagnosis utama dalam

penilaian fungsi kardiovaskular dan merupakan sebuah perlengkapan medis yang

merekam aktivitas kelistrikan jantung dari peletakan-peletakan elektroda di

permukaan kulit pada lokasi-lokasi tertentu. Aktivitas kelistrikan dideteksi oleh mesin

EKG dengan miliVolt (mV). Kalibrasi standar yaitu tinggi amplitudo dari 1 mV akan

menggerakkan jarum rekam secara vertikal setinggi 1 cm (14,15,16).

Kontraksi dan relaksasi dari otot jantung dihasilkan oleh depolarisasi dan

repolarisasi sel miokardium. Aktivitas listrik ini diubah oleh elektroda yang

diletakkan di ekstremitas dan dinding dada, lalu dicatat pada kertas grafik yang

kemudian disebut dengan elektrokardiogram. Amplitudo dari hasil elektrokardiograf

dipengaruhi oleh massa miokardium, vektor depolarisasi, ketebalan dan fungsi dari

jaringan interventrikular, dan jarak antara elektroda dengan miokardium. Penderita

dengan hipertrofi ventrikel relatif mempunyai massa miokardium yang lebih besar

yang kemudian menghasilkan amplitudo yang tinggi pada hasil rekaman EKG

(12,15).
9

Gambar 2.2 Sinyal kalibrasi standar (16).

Rekaman standar dari EKG adalah 25 mm/detik (Gambar 2.2). Kertas

rekaman dibagi dalam kotak besar, masing-masing mempunyai panjang 5 mm dan

ekuivalen dengan 0,2 detik. Tiap kotak besar terbagi dalam 5 kotak kecil, masing-

masing mempunyai panjang 1 mm dan ekuivalen dengan 0,04 detik (12,17).

1. Sadapan pada EKG


Dikenal dua belas sadapan EKG, enam sadapan disebut sadapan ekstremitas,

yaitu sadapan I, II, III, aV R, aVL, dan aVF. Keenam sadapan ekstremitas dibagi lagi

menjadi 2 subkelompok, yaitu sadapan ekstremitas bipolar (I, II, III) dan sadapan

ekstremitas unipolar (aVR, aVL, dan aVF). Enam sadapan lainnya adalah sadapan

prekordial (17,18,19).

Sadapan ekstremitas merekam potensial listrik pada bidang anteroposterior

yang dipakai untuk menentukan aksis anteroposterior jantung. Sadapan II, III, dan

aVF untuk melihat permukaan bawah jantung, sadapan I dan aV L untuk melihat sisi

kiri jantung, dan aVR untuk melihat sisi kanan jantung (17).
10

Sadapan ekstremitas bipolar mengukur perbedaan potensial bidang

anteroposterior tubuh, terdiri dari (11):

Sadapan I : mengukur potensial antara lengan kanan dan lengan kiri

Sadapan II : mengukur potensial antara lengan kanan dan kaki kiri

Sadapan III : mengukur potensial antara kaki kanan dan kaki kiri

Sadapan bipolar disebut demikian oleh karena sadapan ini hanya merekam

perbedaan tegangan dari 2 elektroda (11). Hubungan antara ketiga sadapan ini

dinyatakan oleh persamaan Einthoven sebagai berikut (20):

Sadapan II = sadapan I + sadapan III

Ini didasarkan pada hukum Kirchhoff yang menyatakan bahwa jumlah aljabar semua

selisih potensial dalam lingkaran tertutup sama dengan nol (21).

Sadapan unipolar mengukur potensial listrik jantung dari satu tempat ke

tempat lain yang mempunyai potensial nol. Dengan menghubungkan ketiga

ekstremitas lain dengan terminal sentral, sadapan aVR, aVL, dan aVF adalah sadapan

unipolar yang dimaksud (21).

Sadapan prekordial akan mencatat rangsangan listrik jantung dengan bantuan

elektroda yang ditempatkan di beberapa tempat pada dinding dada. Sadapan

prekordial berguna untuk menilai jantung dalam bidang transversal. Tempat sadapan

prekordial adalah (22):

a. Sadapan V1 pada ruang ICS (intercostal space) IV linea parasternalis dextra

b. Sadapan V2 pada ruang ICS IV linea parasternalis sinistra


11

c. Sadapan V3 antara V2 dan V4

d. Sadapan V4 pertemuan garis midclavicularis sinistra dengan ICS V

e. Sadapan V5 pada ruang ICS V di linea axillaris anterior, dan

f. Sadapan V6 pada ruang ICS V di linea axillaris media

Setiap sadapan EKG mempunyai kutub positif dan kutub negatif. EKG klinis

didasarkan pada rekaman dari sadapan yang bersifat unipolar dan sadapan bipolar.

Sadapan unipolar mempunyai satu elektroda “exploring” (E) yang dihubungkan

dengan kutub positif dan satu elektroda “indifferent” (I) yang dihubungkan dengan

kutub negatif. Letak elektroda E bisa pada salah satu ekstremitas atau pada dinding

dada, sedangkan elektroda I secara artifisial merupakan gabungan dari dua atau tiga

elektroda ekstremitas. Sadapan bipolar direkam dari dua elektroda yang terletak pada

dua ekstremitas atau pada dua tempat di dinding dada dengan jarak yang agak

berjauhan, tapi jarak kedua elektroda tersebut terhadap jantung hampir sama jauhnya.

Enam sadapan ekstremitas (Gambar 2.3) dipakai untuk menentukan aksis

frontal, sadapan II, III, dan aVF untuk melihat permukaan bawah jantung, sadapan I

dan aVL untuk melihat sisi kiri jantung, dan aVR untuk melihat sisi kanan jantung

(22).
12

Gambar 2.3 Sadapan ekstremitas pada EKG (23)

Letak sumbu-sumbu pada bidang frontal adalah sebagai berikut (24):

0 = pusat jantung

I = garis mendatar 0o

II = membuat sudut 60o dengan I, searah jarum jam, yaitu +60o

III = +120o

aVR = -150o

aVL = -30o

aVF = +90o

2. Nomenklatur

Gelombang, segmen dan interval yang terdapat dalam hasil EKG adalah:

a. Gelombang P

Nodus SA yang terletak pada dinding kanan atas atrium kanan akan

mengionisasi depolarisasi atrium, menghasilkan gelombang P pada elektrokardiograf.


13

Amplitudo gelombang P jarang melebihi dua setengah kotak kecil (0,25 mV). Durasi

dari gelombang P tidak lebih dari tiga kotak kecil (0,12 detik) (12,13,15).

b. Interval PR

Interval PR merupakan waktu antara dimulainya depolarisasi atrium sampai

berakhirnya depolarisasi ventrikel, dimana pada EKG dimulai dari awal gelombang P

sampai akhir dari kompleks QRS. Durasi normal dari interval PR adalah 3-5 kotak

kecil (0,12-0,20 detik) (4,13).

c. Kompleks QRS

Kompleks QRS dihasilkan oleh aktivitas listrik pada depolarisasi ventrikel.

Durasi kompleks QRS tidak lebih dari 2,5 kotak kecil (0,10 detik). Perlambatan pada

depolarisasi ventrikel, misalnya pada Bundle Branch Block, akan memberikan durasi

yang abnormal pada kompleks QRS (>0,12 detik) (4,13).

d. Segmen ST

Akhir dari kompleks QRS disebut dengan J point atau ST junction. Segmen

ST dimulai dari J point sampai awal terbentuknya gelombang T, menggambarkan

periode antara akhir depolarisasi ventrikel sampai dimulainya repolarisasi (8,9,13).

e. Gelombang T

Repolarisasi ventrikel menghasilkan gelombang T. Gambaran gelombang T

normal adalah asimetris. Defleksi positif terjadi secara perlahan sampai pada puncak

pada tengah gelombang awal, kemudian secara curam pada setengah gelombang
14

akhir. Peningkatan tinggi gelombang T dapat dihubungkan dengan iskemi miokard

akut dan salah satu ciri dari hiperkalemia (8,12,13).

f. Interval QT

Interval QT dimulai dari awal kompleks QRS sampai akhir gelombang T dan

mewakili periode dari depolarisasi dan repolarisasi ventrikel. Gambaran umum

interval QT adalah 0,35-0,45 detik, dan tidak lebih dari setengah panjang interval RR.

Interval QT biasanya memanjang seiring dengan perkembangan usia dengan tendensi

yang lebih besar pada wanita daripada laki-laki (12).

g. Ventricle Activation Time (VAT)

VAT merupakan jarak antara permulaan dari kompleks QRS dan puncak

gelombang R. Ini menggambarkan waktu yang ditempuh dari aktivasi awal berkas

His sampai ke titik aktivasi lengkap pada otot jantung. Variasi VAT tergantung dari

ketebalan otot ventrikel. Batas normal tertinggi pada V1 dan V2 (ventrikel kanan)

adalah 0,03 detik dan batas normal tertinggi pada V5 dan V6 (ventrikel kiri) adalah

0,05 detik (4).

Gelombang eksitasi menyebar melalui jaringan Purkinye ke endokardium,

kemudian berjalan ke sisi kanan melalui miokardium dari endokardium ke permukaan

epikardium, hal ini menghasilkan lonjakan gelombang R. Puncak dari gelombang R

menggambarkan aktivasi lengkap dari dinding ventrikular di bawah elektroda. Ketika

gelombang eksitasi mencapai epikardium, potensial listrik secara cepat menurun ke

nol, ini merupakan penurunan dari gelombang R. Oleh karena itu, hipertrofi kedua

ventrikel selalu memperpanjang waktu yang disebabkan oleh gelombang eksitasi


15

yang berjalan dari endokardium ke epikardium yang digambarkan dengan

pemanjangan VAT (4).

Blok pada cabang berkas His, VAT dari bilik yang terlibat terlihat memanjang,

hal ini berhubungan dengan rute yang tidak pasti oleh eksitasi gelombang yang

menuju dinding ventrikel. Pada kasus ini, akan dihasilkan gambaran gelombang R

yang bifida dan VAT diukur sampai puncak kedua yang merupakan awal dari defleksi

intrinsik (4).

Rasio VAT merupakan perbandingan waktu yang diperlukan oleh impuls

untuk menyebar dari permukaan dalam ventrikel (endokardium) ke permukaan luar

ventrikel (epikardium) antara ventrikel kanan dan kiri. Nilai normal rasio VAT adalah

< 1. Rasio VAT bermakna klinis sebagai penanda terjadinya hipertrofi ventrikel, BBB,

infark jantung, dan lain-lain (4).

Perubahan pada rasio VAT berhubungan dengan perubahan pada tekanan

sistolik dan diastolik pada jantung. Perubahan yang menyolok akan menyebabkan

menurunnya fungsi jantung sebagai pompa darah (4,7,8).

3. Aksis Jantung

Aksis merupakan resultan dari semua vektor yang mewakili arus-arus

depolarisasi jantung secara keseluruhan. Keadaan patologis pada otot jantung atau

sistem konduksi jantung dapat mengubah penyebaran proses eksitasi sehingga

mengakibatkan perubahan intensitas dan arah dari vektor utama jantung, yang

kemudian menyebabkan deviasi atau rotasi aksis (17,18,19).


16

Terdapat 3 teknik untuk menentukan aksis anteroposterior jantung, yaitu

menghitung resultan vektor QRS dari 2 sadapan (1 sadapan unipolar dan 1 sadapan

bipolar) pada bidang frontal, menghitung resultan vektor QRS dari 2 sadapan bipolar

ekstremitas, dan membandingkan morfologi gelombang EKG antara sadapan unipolar

ekstremitas dan sadapan unipolar dada. Aksis pada bidang horizontal dilihat dari

bagian inferior rongga dada (diafragma). Dasar penentuan rotasi jantung adalah letak

Transitional Zone (TZ) pada gambaran kompleks QRS sadapan unipolar dada (7).

Posisi jantung berdasarkan aksis anteroposterior dibagi berdasarkan

perbandingan morfologi kompleks ventrikular pada tiap gelombang, yaitu (7):

1. Jantung vertikal: Adanya kemiripan morfologi kompleks ventrikular antara

sadapan aVL dan sadapan V1. Begitu pula morfologi kompleks ventrikular antara

sadapan aVF dan sadapan V6.

2. Jantung semivertikal: Adanya kemiripan morfologi kompleks ventrikular antara

sadapan aVF dan sadapan V6, sedangkan morfologi gelombang R pada sadapan

aVL adalah kecil (bifasik).

3. Jantung intermediate: Morfologi kompleks ventrikular pada sadapan aVL dan aVF

satu sama lain mirip dalam bentuk serta ukuran yang serupa dengan V6.

4. Jantung semihorizontal: Adanya kemiripan morfologi kompleks ventrikular antara

sadapan aVL dan sadapan V6, sedangkan morfologi gelombang R pada sadapan

aVF adalah kecil (bifasik).


17

5. Jantung horizontal: Adanya kemiripan morfologi kompleks ventrikular antara

sadapan aVL dan sadapan V6. Begitu pula morfologi kompleks ventrikular antara

sadapan aVF dan sadapan V1.

Deviasi jantung pada bidang frontal berdasarkan aksis anteroposterior dapat

menempatkan letak posisi jantung pada keadaan horizontal yang berada pada -90 o

sampai -30o, jantung semihorizontal antara -30o sampai 30o, jantung intermediate

antara 30o sampai 75o, jantung semivertikal antara 75o sampai 110o, dan posisi jantung

vertikal pada 110o sampai 180o, seperti pada Gambar 2.4 (7).

Gambar 2.4 Kelainan sumbu QRS pada bidang frontal (7)

Posisi jantung berdasarkan aksis anteroposterior yang normal adalah posisi

jantung semivertikal, intermediate, dan semihorizontal yang terletak pada -30o sampai

110o. Posisi jantung horizontal berdasarkan aksis yang terletak lebih negatif dari -30 o

disebut deviasi aksis kiri (Left Axis Deviation/LAD), sebaliknya posisi jantung

vertikal berdasarkan aksis yang terletak lebih positif dari 110 o disebut deviasi aksis

kanan (Right Axis Deviation/RAD). Posisi jantung berdasarkan aksis anteroposterior

normal terbagi lagi menjadi tiga kategori, yaitu posisi jantung berdasarkan aksis
18

anteroposterior yang normal sekali (jantung intermediate) yang terletak pada 30o

sampai 75o, normal ke kiri (jantung semihorizontal) terletak pada -30 o sampai 30o, dan

normal ke kanan (jantung semivertikal) pada 75o sampai 110o (7,10).

Aksis cenderung mengalami deviasi ke kiri dengan bertambahnya usia,

sehingga posisi jantung cenderung menjadi horizontal, yaitu terletak antara -10o

sampai -20o. Hal ini berarti pada lansia, aksis jantungnya cenderung mengalami

deviasi ke kiri, yang disebut LAD. Penyebab dari LAD pada lansia adalah karena

adanya penurunan jumlah sel pacu jantung di nodus SA. Ini menyebabkan gangguan

pada sistem konduksi jantung. Selain itu, pada lansia juga terjadi proses kalsifikasi

pada katup, septum maupun lapisan otot. Kalsifikasi pada septum antar ventrikel akan

menghambat sistem konduksi, sehingga terjadi blok jantung, dimana pada lansia

cenderung mengalami blok di cabang berkas kiri. Hal ini menyebabkan penebalan

otot ventrikel kiri sebagai akibat kompensasi jantung yang memompa darah lebih

kuat untuk memenuhi kebutuhan oksigen (20,21).

Masukkan juga dalam pengukuran EKG, apa saja yang bisa mempengaruhi
(menjustifikasi kriteria inklusi di bab metode)
Article III. Perubahan Kardiovaskular pada Orang Lanjut Usia

Menua atau menjadi tua adalah proses menghilangnya secara perlahan-lahan

kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri, mempertahankan struktur dan fungsi

normalnya, sehingga tidak dapat bertahan terhadap jejas (termasuk infeksi) dan

memperbaiki kerusakan yang diderita. Kerusakan pada jantung akibat penuaan

biasanya akan mengalami dua macam interaksi, yang berasal dari penuaan itu sendiri
19

atau proses patologis yang mengikuti penyakit jantung tersebut. Hal ini disebabkan

oleh perubahan akibat bertambahnya usia sulit dipisahkan dengan perubahan akibat

proses patologis, karena begitu banyak penyakit yang timbul seiring dengan

meningkatnya usia (20,21).

1. Perubahan anatomis

Penebalan dinding ventrikel kiri jantung sering terjadi. Penebalan ini

menyebabkan komponen dinding ventrikel memberikan tekanan yang lebih besar

pada dinding pembuluh darah, sehingga pembuluh darah menjadi kaku. Kekakuan ini

akan menyebar ke dinding ventrikel, sehingga penekanan terjadi ke area otot yang

lebih besar. Selain itu terdapat pengurangan jumlah sel pada nodus SA yang

menyebabkan hantaran listrik jantung terganggu. Terdapat fibrosis dan kalsifikasi

katup jantung, terutama pada anulus mitral dan katup aorta. Hanya sekitar 10% sel

yang tersisa ketika manusia berusia 75 tahun (20,22).

Pada pembuluh darah terjadi kekakuan arteri sentral dan perifer akibat

proliferasi kolagen, hipertrofi otot polos, kalsifikasi, serta kehilangan jaringan elastik.

Meski sering terdapat aterosklerosis pada lansia, secara normal pembuluh darah akan

mengalami penurunan debit aliran akibat peningkatan deposit lipid pada endotel (23).

2. Perubahan fisiologis

Perubahan fisiologis yang paling umum terjadi seiring bertambahnya usia

adalah perubahan pada fungsi sistol ventrikel. Sebagai pemompa utama aliran darah

sistemik manusia, perubahan sistol ventrikel akan sangat mempengaruhi keadaan

umum pasien. Perubahan fungsi sistol ventrikel ini terjadi karena dinding ventrikel
20

tidak dalam keadaan relaks pada saat kontraksi. Parameter utama yang terlihat adalah

detak jantung, preload dan afterload, performa otot jantung, serta regulasi

neurohormonal kardiovaskular (21,23).

Perubahan kerja diastolik terjadi terutama pada pengisian awal diastol, karena

otot-otot jantung mengalami penurunan kerja. Akibat kurangnya kerja otot atrium

untuk melakukan pengisian diastolik awal, akan terjadi fibrilasi atrium sebagaimana

sering dikeluhkan para lansia. Akibat ketidakmampuan kontraksi atrium secara

optimal, terjadi penurunan komplians ventrikel ketika menerima darah yang dapat

menyebabkan peningkatan tekanan diastolik ventrikel ketika istirahat dan latihan,

sehingga terjadi edema paru dan kongesti sistemik vena yang sering menjadi gejala

klinis utama para lansia (23).

3. Perubahan patologi anatomi

Terjadi akumulasi pigmen lipofuksin di dalam sel-sel otot jantung, sehingga

otot berwarna coklat dan disebut brown atrophy. Begitu juga terjadi degenerasi

amiloid atau amiloidosis yang disebut senile cardiac amiloidosis. Perubahan yang

cukup luas akan dapat mengganggu faal pompa jantung (23).

Terdapat pula kalsifikasi pada tempat-tempat tertentu, terutama lapisan dalam

jantung dan aorta. Kalsifikasi ini secara umum mengakibatkan gangguan aliran darah

sentral dan perifer. Ditambah lagi dengan adanya aterosklerosis pada dinding

pembuluh darah besar dan degenerasi mukoid, terutama mengenai daun katup

jantung, akan menyebabkan terjadi kelainan aliran jantung dan pembuluh darah.

Akibat perubahan anatomi pada otot dan katup-katup jantung menyebabkan


21

pertambahan sel-sel jaringan ikat (fibrosis) menggantikan sel yang mengalami

degenerasi, terutama mengenai endokardium termasuk katup (21).

BAB III
22

LANDASAN TEORI DAN HIPOTESIS

A. Landasan Teori

Menua atau menjadi tua adalah proses menghilangnya secara perlahan-lahan

kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri dan mempertahankan struktur dan

fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap jejas (termasuk infeksi) dan

memperbaiki kerusakan yang diderita (14). Lanjut usia (lansia) adalah seseorang yang

telah mencapai usia 60 tahun ke atas. PJK merupakan penyakit yang paling sering

ditemukan pada lansia, yang umumnya ditemukan pada usia lebih dari 65 tahun. Pada

saat ini penyakit jantung dapat dideteksi menggunakan alat yang disebut EKG. EKG

yang umum terdiri dari 2 jenis sadapan, yaitu unipolar dan bipolar (23).

Aksis jantung merupakan salah satu hal yang dinilai dalam pemeriksaan EKG,

dan merupakan resultan dari semua vektor yang mewakili arus-arus depolarisasi

jantung secara keseluruhan. Keadaan patologis pada otot jantung atau sistem

konduksi jantung dapat mengubah penyebaran proses eksitasi, sehingga

mengakibatkan perubahan intensitas dan arah vektor utama jantung, yang kemudian

menyebabkan deviasi atau rotasi aksis.

Aksis yang dievaluasi adalah aksis frontal (anteroposterior) dan horizontal

(longitudinal). Terdapat 3 teknik menentukan aksis anteroposterior jantung, yaitu

menghitung resultan vektor QRS dari 2 sadapan (1 sadapan unipolar dan 1 sadapan

bipolar) pada bidang frontal, menghitung resultan vektor QRS dari 2 sadapan bipolar

ekstremitas, dan membandingkan morfologi gelombang EKG antara sadapan unipolar


23

ekstremitas dan sadapan unipolar dada. Dasar penentuan rotasi jantung adalah letak

Transitional Zone (TZ) pada gambaran kompleks QRS sadapan unipolar dada (7).

Dengan metode ini aksis anteroposterior jantung dapat ditentukan dari ekstremitas

yang mana saja. Akan tetapi, pada prakteknya 2 sadapan yang paling bagus memberi

informasi tentang aktivitas bioelektrik jantung adalah sadapan I dan aVF, karena

sumbu kedua sadapan ini saling berpotongan tegak lurus sebagai horizontal dan

vertikal. Dalam keadaan normal, resultan arus jantung berjalan di antara dua sumbu

ini. Lalu apa masalahnya dengan sadapan I dan aVF ini, dan beri penjelasan/alasan

mengapa kita ingin menggunakan sadapan I,II,III.

Landasan teori di atas digambarkan dalam kerangka konsep pada Gambar 3.1.
24

Anteroposterior Longitudinal

1 & AVF I,II,III V1-V6

Axis

LAD N RAD

Gambar 3.1 Kerangka konsep

B. Hipotesis

Hipotesis pada penelitian ini terdapat perbedaan hasil pengukuran aksis

jantung pada sadapan I dan aV F dengan sadapan I, II, III pada hasil EKG lansia di

Panti Sosial Tresna Werdha Budi Sejahtera Landasan Ulin

BAB IV

METODE PENELITIAN

A. Rancangan Penelitian

Rancangan penelitian yang digunakan adalah observasional analitik.


25

B. Populasi & Sampel

Populasi yang diambil untuk penelitian ini adalah lansia di Panti Sosial Tresna

Werdha Budi Sejahtera Landasan Ulin yang berjenis kelamin laki-laki. Berdasarkan

data di Panti Sosial Tresna Werdha Budi Sejahtera Landasan Ulin, jumlah populasi

lansia laki-laki adalah 108 orang.

Sampel diambil dari populasi dengan kriteria inklusi yaitu: bersedia untuk

dilakukan penyadapan, umur ≥ 60 tahun, tidak memiliki riwayat penyakit jantung,

tenang, memiliki Indeks Massa Tubuh (IMT) antara 18-25 kg/m2, tampak sehat

berdasarkan tanda vital (denyut jantung, frekuensi nafas, dan denyut nadi) dan

observasi klinis sederhana, dalam 2 jam sebelumnya tidak mengkonsumsi makanan

dan minuman yang mempengaruhi hasil penyadapan dalam jumlah berlebihan seperti

makanan yang mengandung elektrolit tinggi (misalnya susu, pisang, jambu biji,

belimbing wuluh), tidak mengkonsumsi minuman suplemen pengganti ion dalam

jangka waktu 1 x 24 jam sebelum penelitian, dalam 3 hari sebelumnya tidak

menggunakan obat-obatan yang mengganggu hasil penyadapan, khususnya yang

mempengaruhi fungsi jantung dan saraf otonom seperti digitalis, kuinidin,

propanolol, dan verapamil.

C. Alat dan Bahan Penelitian

1. Alat Penelitian
26

Alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi seperangkat mesin EKG

(ECG-3006® Shenzen Biocare Electronic Co., Ltd – South Korea), kertas perekam

EKG (Cardiograph-Paper, Fukuda® M.E Kogyo Co., Ltd – Japan), timbangan

(Soehnlo®–Germany), pengukur tinggi badan (Stature Meter 2M–USA),

spygmomanometer air raksa (Nova®), stetoskop (Littmann®- America), lembar

identitas.

2. Bahan Penelitian

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Jelly EKG (Signa Gel ®,

Parker Laboratories, Inc - USA), kapas, dan alkohol 70%.

D. Variabel Penelitian

Variabel dalam penelitian ini adalah:

1. Variabel bebas

Variabel bebas pada penelitian ini adalah sadapan EKG

2. Variabel terikat

Variabel terikat pada penelitian ini adalah aksis jantung.

3. Variabel pengganggu

a. Standarisasi mesin EKG, yang dikendalikan dengan Lakukan kalibrasi dengan

menekan tombol start/run. Setelah kertas EKG bergerak, tekan tombol

kalibrasi untuk memeriksa apakah gelombang EKG sesuai 10 mm/1MV,

dengan memindahkan lead selektor buat perekaman EKG.


27

b. Kesalahan pemasangan elektroda pada saat pengkuran.

C. Definisi Operasional

1. Sadapan EKG dikenal 12 belas sadapan EKG, enam sadapan dinamakan sadapan

ekstremitas, yaitu sadapan I, II, III, aVR, aVL, dan aVF. Keenam sadapan

ekstremitas dibagi lagi menjadi 2 subkelompok, yaitu sadapan ekstremitas bipolar

(I, II, III) dan sadapan ekstremitas unipolar (aVR, aVL, dan aVF) (2). Enam

sadapan lainnya adalah sadapan prekordial. Elektroda diletakkan di berbagai

posisi pada dinding dada (9,10). EKG yang digunakan adalah merk ECG-3006 ®

Shenzen Biocare Electronic Co., Ltd – South Korea. Pada penelitian ini, variabel

ini diklasifikasikan menjadi:

a. Sadapan I dan aVF

b. Sadapan I, II, III

2. Sadapan I adalah rekaman perbedaan voltase antara lengan kanan (kutub negatif)

dengan lengan kiri (kutub positif).

3. Sadapan II adalah rekaman perbedaaan voltase antara lengan kanan (kutub

negatif) dengan kaki kiri (kutub positif).

4. Sadapan III adalah rekaman perbedaaan voltase antara lengan kiri (kutub

negative) dengan kaki kiri (kutub positif).

5. Sadapan aVF adalah sadapan yang menghadap ke jantung dari arah pinggul kiri,

mengarah ke permukaan inferior ventrikel kiri.


28

6. Aksis jantung adalah semua vektor yang mewakili arus-arus depolarisasi jantung

secara keseluruhan (nomorreferensi). Pada penelitian ini yang diteliti adalah aksis

anteroposterior menggunakan sadapan I dan aVF, serta sadapan I, II, dan III. Aksis

jantung diklasifikasikan menjadi:

a. LAD (<300)

b.Normal (-30o sampai 110o)

c. RAD (> 110o)

7. Orang lanjut usia (lansia) adalah kelompok orang yang berusia 60 tahun ke atas

(nomorreferensi). Pada penelitian ini subyek yang diteliti adalah lansia dari

berasal dari Panti Sosial Tresna Werdha LandasanUlin, sesuai dengan kriteria

inklusi.

F. Prosedur Penelitian

Penelitian ini terdiri dari beberapa tahap, yaitu tahap persiapan, tahap

penyadapan, serta tahap pengamatan dan interpretasi.

1. Tahap persiapan

Tahap persiapan adalah tahapan sesaat sebelum dilakukan penelitian sampai

kepada tahap penentuan apakah subyek penelitian layak untuk diikutkan dalam

penelitian. Tahap ini terdiri dari beberapa proses, yaitu:

a. Permohonan izin dilakukan dengan mengajukan surat permohonan kepada kepala

panti sosial Tresna Werdha yang diketahui oleh pihak fakultas.

b. Penetapan subyek penelitian


29

Subyek penelitian ditentukan sesuai kriteria inklusi. Subyek diminta identitasnya

serta diwawancara tentang riwayat makan dan minum, riwayat konsumsi obat,

serta riwayat penyakit yang pernah diderita. Sesudah itu, dilakukan pengukuran

tinggi badan, berat badan, dan pengukuran tanda vital. Subyek yang memenuhi

kriteria inklusi diikutkan dalam penelitian ini. Pada pengukuran berat badan,

subyek penelitian diminta untuk melepaskan alas kaki dan berdiri di atas alat ukur

berat badan dengan berpakaian seminimal mungkin, melepaskan pakaian yang

berat (misalnya jaket dan ikat pinggang) maupun benda-benda yang melekat di

tubuh subyek penelitian (jam tangan, gelang dan lain-lain yang mempengaruhi

berat badan). Pengukuran dilakukan oleh peneliti dengan pengulangan sebanyak 3

kali dan diambil rata-rata. Berat badan subyek penelitian dicatat dalam satuan

kilogram (kg) dengan ketelitian 0,1 kg. Pada pengukuran tinggi badan, subyek

penelitian diminta untuk melepaskan alas kaki. Kemudian subyek penelitian

diminta untuk berdiri tegak lurus dengan tumit, bokong, bagian dorsal tubuh dan

ubun-ubun terletak dalam satu garis vertikal yang sejajar dengan tembok tempat

bersandar. Kedua mata kaki sebelah dalam saling bersentuhan, tangan dalam

posisi rapat di sisi tubuh, bagian bawah mata dan telinga terletak dalam satu garis

horizontal yang sejajar dengan lantai. Tinggi badan diukur oleh peneliti dari ujung

kaki sampai puncak kepala. Pengukuran dilakukan dengan pengulangan sebanyak

3 kali dan diambil rata-rata. Data tinggi badan yang diperoleh dicatat dalam

satuan meter (m) dengan ketelitian 0,01 m. Tanda vital subyek penelitian yang

diukur adalah tekanan darah, menggunakan spygmomanometer air raksa dan


30

stetoskop; frekuensi nafas dengan cara observasional dan frekuensi denyut nadi

yang dihitung dengan meraba arteri radialis subyek penelitian dan menghitung

denyutnya dalam satu menit.

c. Pengisian informed consent oleh subyek penelitian

Subyek yang memenuhi kriteria inklusi dijelaskan tentang prosedur penelitian ini

dan diyakinkan bahwa identitasnya akan dirahasiakan dalam pelaporan hasil

penelitian ini. Sesudah pasien memahami dan menyetujui prosedur yang akan

dilakukan, pasien diminta menandatangani lembar informed consent (Lampiran

2).

d. Menjaga ketenangan fisik dan mental subyek penelitian

Tahap ini adalah tahap yang sangat menentukan keberhasilan penelitian, sebab

subyek penelitian yang diperlukan harus dalam keadaan tenang, tidak melakukan

aktivitas fisik, ataupun dalam keadaan cemas dan depresi.

e. Persiapan awal penyadapan

Tahap ini meliputi persiapan perangkat EKG seperti elektroda, kertas pencatat,

dan jelly.

2. Tahap penyadapan

a. Subyek penelitian diminta untuk berbaring dengan santai pada tempat yang telah

disiapkan.
31

b. Alat perekam EKG disiapkan sesuai dengan petunjuk dan spesifikasinya,

diletakkan di atas meja dekat dengan sumber listrik dan dipastikan sumber

tenaganya.

c. Kulit ekstremitas subyek penelitian dipastikan bersih sebelum memberi jelly

elektroda. Setelah itu lempeng elektroda dipasang pada masing-masing

pergelangan tangan dan kaki sesuai dengan aturan baku pemasangan sadapan

EKG ekstremitas.

d. Keenam suction electrode diletakkan pada tempat tertentu di dinding anterior

dada sesuai dengan aturan baku pemasangan sadapan EKG prekordial (dada).

Setelah itu mesin EKG dihidupkan dengan cara menekan tombol power.

e. Standarisasi kalibrasi alat dilakukan dengan standar pencatatan 1 mV sama

dengan 1 cm dan kecepatan pemutaran kertas 25 cm/menit. Perekaman EKG

diletakkan pada sadapan unipolar dada (V1, V6) dan unipolar ekstremitas (aVL dan

aVF).

f. Kertas hasil perekaman dipotong secara perlahan dan hati-hati agar tidak merusak

hasil perekaman.

g. Tempat perekaman elektroda yang melekat pada tubuh subyek penelitian

dilepaskan, jelly pada tempat perekaman dibersihkan dengan kapas yang telah

dibasahi alkohol 70%. Lempeng elektroda dibersihkan dari sisa jelly yang

tertinggal serta alat-alat EKG dibersihkan dan dikembalikan pada tempat semula.

3. Tahap pengamatan dan interpretasi


32

Morfologi kompleks ventrikular ditentukan dengan mengamati hasil rekam

elektrokardiografi pada sadapan I dan aVF, serta sadapan I, II, III. Morfologi

kompleks ventrikular pada sadapan ekstremitas (aVL dan aVF) dibandingkan

dengan morfologi kompleks ventrikular pada sadapan unipolar dada (V 1 dan atau

V6). Perbandingan morfologi kompleks ventrikular diinterpretasikan berupa posisi

jantung berdasarkan aksis anteroposterior dengan cara tertentu.

G. Teknik Pengumpulan dan Pengolahan Data

Data yang diperoleh dikumpulkan dan dimasukkan dalam tabel distribusi

frekuensi.

H. Cara Analisis Data

Perbedaan sadapan i dan avf dengan III dan avfinterpretasi aksis jantung

berdasarkan sadapan I dan aVF dengan sadapan II dan AVf, III dan AVf dibandingkan

dengan menggunakan uji Chi-square dengan tingkat kepercayaan 95%.

I. Tempat dan Waktu Penelitian

Tempat penelitian adalah di Panti Sosial Treshna Werdha Landasan Ulin dan

akan dilaksanakan pada bulan Juni 2010 sampai dengan Desember 2010. Jadwal

penelitian ditunjukkan pada Tabel 4.1.


33

Tabel 4.1. Jadwal penelitian

Waktu Pelaksanaan Penelitian Bulan ke:


Kegiatan
I II III IV V VI
Pengumpulan dan persiapan referensi
Penyusunan proposal
Konsultasi
Seminar KTI I
Pengambilan data
Pengolahan data
Seminar KTI II

J. Biaya Penelitian

Biaya yang diperlukan untuk penelitian ini adalah:

1. Penggandaan dan penjilidan Rp. 70.000,-

2. Biaya konsumsi & transportasi Rp. 50.000,-

3. Penelusuran referensi Rp. 150.000,-

4. Biaya pembelian bahan penyadapan

Kertas EKG Rp. 100.000,-

Jelly EKG Rp. 50.000,-

Kapas dan alkohol Rp. 10.000,-

5. Biaya lain-lain Rp. 50.000,- +

TOTAL Rp. 480.000.-

DAFTAR PUSTAKA

1. Kandun, IN. Kebijakan pengendalian penyakit tidak menular. Bandung:


Departemen Kesehatan RI, 2006.
34

2. Selzer R. A scientific quest: aging, heart and arteries. Namakota: National


Institute of Aging, 2005.

3. Karim S, Kabo P. EKG dan penanggulangan beberapa penyakit jantung untuk


dokter umum. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1996.

4. Pearce EC. Anatomi dan fisiologi untuk paramedis. Terjemahan oleh Sri Yuliani
Handoyo. Jakarta: Gramedia, 2002.

5. Anonim. Elementary ECG (aka EKG), 2003; (online), Available from:


http://www.epfl.ch/ personal/schimmin/uni/ecglex/ekg.htm

6. Anonim. Heart rate and blood pressure variability 2003; (online), Available from:
http://www.nymc.edu/fhp/centers/syncope/index.htm

7. Nizomy IR. Axis jantung frontal dan horizontal. Diajukan pada Workshop
Elektrokardiografi, 6 Maret 2006, Banjarbaru. Banjarbaru: Bagian Fisiologi
Fakultas Kedokteran UNLAM, 2006.

8. Anonim. Selection info analysis for R-R data (general information) 2002;
(online), Available from: http://www.polar.fi/polar/channels/eng/polar/
about_hrm.html

9. Sumartono RW, Aryastami NK. Penyakit jantung dan pembuluh darah pada usia
55 tahun menurut survei kesehatan rumah tangga 1992. Cermin   Dunia
Kedokteran No. 123. Jakarta : Departemen Kesehatan RI., 1999.

10. Riliantono LI, Barras F, Karo SK, Roebiono PS. Buku ajar kardiologi. Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006.

11. Kenchaiah S, Evans JC, Levy D, Wilson PWF, Benjamin EJ. Obesity and the risk
of heart failure. N Engl J Med 2002; 347:305-13.

12. Wu MH, Hsieh FC, Wang JK, Kau ML. A variant of long QT syndrome
manifested as fetal tachycardia and associated with ventricular septal defect.
Heart 1999;82:386-88.

13. Goldschlager N, Goldman MJ. Elektrokardiografi. Tanpa tahun. Terjemahan oleh


Adji Dharma. Jakarta. Widya Medika, 1995.
35

14. Meek S, Morris F. ABC of clinical electrocardiography Introduction. I—Leads,


rate, rhythm, and cardiac axis. BMJ 2002; 324: 415-418.

15. Dewi S, Yusna. Faktor risiko yang berperan terhadap terjadinya depresi pada
pasien geriatri yang dirawat di rs dr. Cipto mangunkusumo. Jakarta: Universitas
Indonesia. Cermin Dunia Kedokteran No. 156, halaman 125-127.2007.

16. Sumartono RW, Aryastami, NK. Penyakit jantung dan pembuluh darah pada usia
55 tahun menurut survei kesehatan rumah tangga 1992. Cermin   Dunia
Kedokteran 1999;123: halaman 123­125

17. Feldman H, Rey M. A guide to reading and understanding ECG (aka EKG), 1999;
(online), (http://endeavor.med.nyu.edu/student-org/erclub/ ekghome.html, diakses
12 Mei 2004).

18. Evelyn C, Pearce. Anatomi dan fisiologi untuk paramedis. Terjemahan oleh Sri
Yuliani Handoyo. Jakarta. Gramedia, 2002.

19. Thaler MS. Satu-satunya buku EKG yang anda perlukan. Jakarta: Hipocrates,
1999

20. Goldschlager N, Goldman MJ. Elektrokardiografi. Tanpa tahun. Terjemahan oleh


Adji Dharma. Jakarta. Widya Medika, 1995.

21. Meek S, Morris F. ABC of clinical electrocardiography introduction.I-Leads, rate,


rhythm, and cardiac axis. Avalable from: BMJ 2002; 324: 415-18.

22. Foss ML, Keteyian SJ. Cardiovascular system: function and exercise responses
in: Fox’s The Physiological Basis Of Exercise and Sports, 6 th edition. Boston:
WCB McGraw-Hill 1993.

23. Daniel. Penyakit jantung degeneratif awasi jantung lansia. 2006 Available from:
http://www.epfl.ch/personal/schimmin/uni/ecglex/ekg.htm.

24. Arief I. Pengetahuan pelayanan fisik lanjut usia. 2007. (online),


(http://www.republika.co.id/koran_detail.asp?id=302473&kat_id=123, diakses 17
November 2007).

25. Anonim. Elektrokardiogram 2009. Available from URL:


http://www.wikipedia.com./download/Elektrokardiogram.html.

Anda mungkin juga menyukai