Anda di halaman 1dari 11

TUGAS ARSP II

“Puskesmas sebagai Penguatan Pelayanan Kesehatan Dasar dalam Mengurangi Angka


Gizi Buruk Balita di Papua dan Pemberlakuan kebijakan Afirmasi untuk Puskesmas
Daerah Terpencil”

Oleh:

NUR ALIFIA HERA PUSPITASARI

101811133033

IKMA 2018 ( 3A )

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS AIRLANGGA

SURABAYA

2019
“ Puskesmas sebagai Penguatan Pelayanan Kesehatan Dasar dalam Mengurangi Angka Gizi
Buruk Balita di Papua dan Pemberlakuan kebijakan Afirmasi untuk Puskesmas Daerah
Terpencil”

Oleh : Nur Alifia Hera Puspitasari 101811133033

Nuralifia54@gmail.com

PENDAHULUAN

Tujuan bangsa Indonesia sebagaimana yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945
alinea 4 adalah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia
dan untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Untuk
mencapai tujuan tersebut diselenggarakan program pembangunan nasional secara berkelanjutan,
terencana dan terarah. Tujuan diselenggarakannya pembangunan kesehatan adalah meningkatkan
kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar tewujud derajat
kesehatan masyarakat yang optimal. Untuk mencapai tujuan pembangunan kesehatan tersebut
diselenggarakan berbagai upaya kesehatan secara menyeluruh, berjenjang dan terpadu.
Puskesmas adalah penanggungjawab penyelenggara upaya kesehatan untuk jenjang tingkat
pertama.
Pelayanan kesehatan dasar yang juga disebut basic health services terdiri dari beberapa
jenis pelayanan kesehatan yang dianggap esensial (sangat penting) untuk menjaga kesehatan
seseorang, keluarga dan masyarakat agar hidup produktif secara sosial dan ekonomi. Menurut
Permenkes No 75 tahun 2014 tentang Puskesmas (Pusat Kesehatan Masyarakat), upaya
pelayanan kesehatan yang dilakukan adalah promotif, preventive, kuratif dan rehabilitative.
Puskesmas yang dikembangkan sejak tahun 1968 merupakan fasilitas kesehatan terdepan yang
menyelenggarakan pelayanan kesehatan dasar. Puskesmas bersama Posyandu adalah kunci
sukses Indonesia dalam Program KB, imunisasi, perbaikan gizi balita dan pemberantasan diare.
Sejak era desentralisasi tahun 2000, Puskesmas diserahkan kepada pemerintah daerah.
Pengembangan dan pembinaan Puskesmas bervariasi dan tergantung pada komitmen dan
kapasitas daerah. Sejak itu, kinerja Puskesmas mulai menurun yang ditandai dengan
contraceptive prevalence rate (CPR) yang menurun, maternal mortality ratio (MMR) dan kurang
gizi balita yang stagnan. Sejak itu pula banyak Puskesmas tidak mempunyai SDM sesuai standar.
Kemudian, Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) diselenggarakan pada tahun 2014 dan Puskesmas
ditetapkan menjadi provider (FKTP) BPJS. Sejak itu pula tenaga dan waktu staf Puskesmas
tersita untuk melaksanakan UKP bagi peserta BPJS, sedangkan kegiatan UKM terabaikan.
Padahal banyak jenis pelayanan kesehatan dasar merupakan UKM, diselenggarakan di tengah
masyarakat atau di luar gedung (Posyandu, pemberantasan vektor, sanitasi lingkungan, dan
promosi kesehatan).
Salah satu kegiatan UKM yang masih terabaikan adalah mengenai gizi buruk balita,
terutama didaerah Papua. Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas), prevalensi
nasional gizi buruk dan gizi kurang untuk kategori balita mengalami peningkatan dari tahun
2007 sampai 2010. Pada tahun 2010, prevalensi gizi buruk dan gizi kurang sebesar 6,5% dan
8,2%. Provinsi Papua Barat dan Papua memiliki prevalensi gizi buruk dan gizi kurang di atas
prevalensi nasional yaitu sebesar 9,1% dan 17,4%. Pada tahun 2007, persentase BBLR tertinggi
adalah Provinsi Papua Barat (23,8%) sama halnya pada tahun 2010 (23,8%) dan persentase
BBLR sedikit lebih tinggi di pedesaan (12,2%) dibandingkan d perkotaan (10,8%).
Oleh sebab itu, Kajian Penguatan Pelayanan Kesehatan Dasar di Puskesmas bertujuan
untuk 1) menganalisis kapasitas dan kesiapan Puskesmas menjalankan peran dan fungsinya
sesuai regulasi/NSPK yang berlaku dan menghadapi berbagai tantangan strategis yang ada; dan
2) merumuskan strategi untuk penguatan pelayanan kesehatan dasar di Puskesmas. Dalam jangka
pendek, hasil kajian ini dapat segera memecahkan masalah-masalah operasional pelaksanaan
pelayanan kesehatan dasar seperti permasalahan gizi buruk di Puskesmas. Metodologi kajian
terdiri dari pengumpulan data dan informasi melalui diskusi mendalam dan pertemuan terfokus
di pusat maupun daerah, studi literatur, publikasi, serta kunjungan lapangan.

PEMBAHASAN
Data BPS tahun 2016 menunjukkan bahwa PDRB Papua adalah 142,47 triliun rupiah.
Jika dibagi rata untuk seluruh penduduk Papua yang berjumlah sekitar 3,6 juta jiwa, maka tiap
orang rata-rata mendapat 55,61 juta rupiah. Ini jumlah yang sangat banyak. Namun, bila dilihat
dari kualitas hidup penduduknya, Papua tergolong paling rendah di Indonesia. Hal ini bisa dilihat
dari nilai IPM Papua pada tahun 2016 sebesar 0,58, jauh lebih rendah daripada rata-rata IPM
Indonesia pada tahun tersebut sebesar 0,70.
Hal ini menunjukkan perekonomian Papua maju (dilihat dari besarnya nilai barang yang
dihasilkan) namun hasil-hasil produksi alam Papua tidak banyak yang kembali lagi ke
masyarakat setempat. Karena konsep PDRB meliputi faktor-faktor produksi milik lokal dan
asing, maka dapat diduga keuntungan atas hasil-hasil alam Papua kebanyakan dikirim ke daerah
lain atau negara lain. Dan ini adalah karakteristik daerah-daerah yang kaya sumber daya alam.
Karena pengelolaan sumber daya alam membutuhkan alat-alat dan teknologi canggih, maka akan
ada banyak investor dari luar daerah atau luar negeri yang datang untuk mengekspoitasi sumber
daya alam daerah tersebut. Meski ada kontribusi perusahaan kepada pemerintah setempat, namun
tentu saja proporsi terbesar keuntungan akan dikirim ke kantor pusat perusahaan tersebut.
Hingga kini dampak nyata yang dapat dilihat adalah meski di atas kertas pendapatan per
kapita masyarakat Papua tergolong tinggi ternyata kualitas pendidikan dan kesehatan mereka
masih sangat rendah. Ditambah lagi, adanya masalah kesehatan dan gizi buruk di awal tahun
2018 ini menjadi bukti nyata bahwa masalah di masyarakat seperti gunung es. Terlihat di
puncaknya saja, tapi bisa jadi ada masalah yang lebih kronis di Papua. Masalah gizi buruk selain
disebabkan oleh kesulitan ekonomi juga disebabkan oleh keterbatasan pengetahuan yang dimiliki
orang tua tentang nutrisi. Hal ini diperparah dengan tidak adanya intervensi dari pihak luar untuk
memberi informasi kepada keluarga tersebut. Saat anak sudah dalam kondisi berbulan-bulan
tanpa nutrisi memadai, pada hakikatnya mereka semakin dekat dengan kematian.
Permasaahan gizi buruk merupakan permasalahan yang kompleks dan dapat
ditanggulangi dengan upaya preventif dan promotif. Puskesmas sebagai penyedia layanan UKM
(upaya kesehatan masyarakat) seharusnya dapat menjadi solusi untuk mengedukasi, menfasilitasi
dan mengupayakan perbaikan gizi didaerah endimis gizi buruk seperti di Papua.
Menurut Permenkes No 75 tahun 2017 Upaya Kesehatan Masyarakat yang selanjutnya
disingkat UKM adalah setiap kegiatan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan serta
mencegah dan menanggulangi timbulnya masalah kesehatan dengansasaran keluarga, kelompok,
dan masyarakat. Sedangkan Upaya Kesehatan Perseorangan yang selanjutnya disingkat UKP
adalah suatu kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan pelayanan kesehatan yang ditujukan untuk
peningkatan, pencegahan, penyembuhan penyakit, pengurangan penderitaan akibat penyakit dan
memulihkan kesehatan perseorangan.
Dalam rangka mengatasi ketidakmerataan derajat kesehatan dan akses pelayanan
kesehatan di dunia, World Health Organization (WHO) dalam Deklarasi Alma Ata tahun 1978
merekomendasikan dua strategi, yaitu agar setiap negara (i) melakukan pendekatan pelayanan
primer (Primary Health Care); dan (ii) menyusun suatu Sistem Kesehatan Nasional. Dalam
deklarasi tersebut, Primary Health Care (PHC) diterjemahkan sebagai sejumlah “pelayanan
kesehatan esensial yang secara ilmiah dapat dipertanggungjawabkan, dapat diterima secara
sosial, dapat diakses oleh setiap individu/keluarga, diselenggarakan dengan peran serta
masyarakat, secara ekonomis dapat ditanggung oleh masyarakat dan negara, disertai dengan
semangat kemandirian (self reliance and self-determintation).” Primary Health Care merupakan
tingkat pertama kontak individu, keluarga, dan masyarakat dengan sistem kesehatan nasional
sehingga membawa pelayanan kesehatan sedekat mungkin dengan tempat tinggal maupun
tempat kerja. (Laura K. Muldoon, William E. Hogg dan Miriam Levitt, 2006): Pelayanan
kesehatan dasar merupakan pelayanan kesehatan tingkat pertama dan merupakan kontak pertama
penduduk dengan sistem pelayanan kesehatan, mencakup kegiatan promotif dan preventif,
penilaian kesehatan (assessments), diagnosis dan pengobatan untuk kondisi akut dan
kronis, serta pelayanan rehabilitasi (Ontario Health Services Restructuring Commission, Primary
Health Care Strategy (OHSRC), 1999).
Evaluasi pada tahun 2015, menunjukkan bahwa beberapa target MDGs tidak tercapai,
khususnya penurunan kematian ibu dan pengurangan stunting pada balita. Sementara itu,
penyakit tidak menular (PTM) dan cedera meningkat signifikan, yang tidak hanya terjadi pada
kelompok penduduk mampu dan perkotaan, tetapi juga di kalangan penduduk sosio-ekonomi
rendah dan di pedesaan. Artinya, transisi epidemiologi terjadi di semua lapisan penduduk dan
semua wilayah (Riskedas 2007 dan 2013). Secara teoretis dan empiris, baik kematian ibu,
masalah gizi maupun masalah penyakit menular dan PTM, memerlukan intervensi kesehatan
masyarakat berupa pelayanan promotif dan preventif dengan menggerakkan “mesin birokrasi”
dan “mesin sosial” (peran serta masyarakat). Peranan Puskesmas sangat sentral dan strategis
melaksanakan pelayanan kesehatan masyarakat tersebut.
Pada tahun 2014, Indonesia memulai pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)
yang bersifat wajib bagi seluruh penduduk Indonesia. JKN menjamin pelayanan kesehatan secara
komprehensif dan dikelola oleh satu badan pengelola (single payer) yaitu Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial (BPJS) kesehatan. Puskesmas kemudian ditetapkan sebagai provider pelayanan
primer (FKTP) untuk BPJS dan dibayar melalui sistem kapitasi. BPJS kemudian menetapkan
beberapa kebijakan yang mempengaruhi kerja Puskesmas. Pertama, Puskesmas diharapkan
mampu melaksanakan pelayanan kesehatan untuk 144 diagnosis penyakit. Kedua, BPJS
menetapkan pembayaran kapitasi berbasis pada komitmen kinerja (KBPK) yaitu 1)
meningkatkan angka kontak dengan peserta BPJS; 2) membatasi rujukan non-spesialistik; 3)
melaksanakan prolanis; dan 4) melakukan kunjungan rumah. Dari uraian di atas, dapat
disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:
• Puskesmas adalah strategi pelayanan primer (primary health care) untuk
mengatasi masalah ketidakmerataan pelayanan dan disparitas derajat
kesehatan penduduk.
• Pada awalnya, pengembangan dan pengelolaan serta pembinaan Puskesmas
dilaksanakan secara sentralistis melalui Instruksi Presiden, sehingga
pemerataan Puskesmas ke setiap kecamatan dicapai dengan cepat.
• Puskesmas, bersama dengan Posyandu pernah menjadi kunci sukses
Indonesia dalam cakupan KB, imunisasi, dan gizi balita.
• Sejak desentralisasi, pengembangan Puskesmas bervariasi antara daerah,
tergantung pada komitmen, dan kemampuan fiskal daerah. Banyak
Puskesmas dengan SDM tidak sesuai standar serta kekurangan anggaran
untuk melaksanakan upaya kesehatan masyarakat.
• Sementara itu, pembangunan kesehatan dihadapkan pada beberapa
tantangan termasuk:
(i) transisi epidemilogi ditandai dengan meningkatnya penyakit tidak menular
(PTM), sementara beberapa penyakit menular belum teratasi dengan baik seperti
TBC, malaria, HIV/AIDs, DBD, filariasis, diare, ISPA, dan kusta (di tempat
tertentu);
(ii) pelaksanaan JKN menuntut Puskesmas untuk meningkatkan kinerjanya dalam
pelayanan kuratif (UKP);
(iii) akses dan mutu pelayanan primer masih menjadi masalah di daerah terpencil,
kepulauan, dan perbatasan;
(iv) beberapa target MDGs tidak tercapai seperti penurunan kematian ibu,
stunting, dan case detection rate (CDR) TBC, sementara itu datang era SDGs
sejak 2016 dengan target-target kesehatan yang baru; dan
(v) Puskesmas tetap relevan sebagai jawaban terhadap tantangan-tantangan
tersebut.
Puskesmas memiliki tugas pokok dan fungsi utama yaitu membina kesehatan wilayah,
melaksanakan UKM dan UKP, serta manajemen Puskesmas. Sebagai pembina kesehatan
wilayah, Puskesmas berkoordinasi dengan klinik swasta yang melaksanakan pelayanan
kesehatan dasar secara parsial (utamanya UKP). Sejak era desentralisasi, banyak Puskemas tidak
memenuhi standar, terutama tenaga UKM. Hal ini diperparah dengan adanya kebijakan
moratorium pengangkatan PNS, kecuali dokter, perawat, dan bidan. Kemudian, sejak JKN,
beban kerja Puskesmas untuk UKP meningkat signifikan. Fungsi Puskesmas bergeser dan
tereduksi menjadi “klinik pengobatan”. Dampak perubahan fungsi Puskesmas terhadap kinerja
UKM cukup memprihatinkan, seperti terlihat pada indikator program-program UKM (cakupan
imunisasi dan ASI ekslusif yang menurun, CPR KB dan CDR TB stagnan, serta penurunan
stunting pada balita tidak signifikan).
Di samping masalah SDM dan reduksi fungsi, masalah lainnya adalah (i) obat dan alat
kesehatan; (ii) pembiayaan; dan (iii) beban kerja administrasi dan manajemen. Kekurangan atau
kekosongan obat/alkes terutama di DTPK disebabkan keterbatasan Puskesmas dan Dinas
Kesehatan menyusun RKO dan mengaplikasikan e-catalog atau hambatan jaringan untuk akses
e-catalog. Hambatan dari perspektif supplier adalah pengiriman yang tidak lancar, ongkos kirim
mahal, persyaratan “minimal order” yang tidak dipenuhi, obat tidak masuk dalam e-catalog dan
yang lebih fundamental adalah kekurangan bahan baku (sebagian besar impor). Masalah
pembiayaan yang utama adalah keterlambatan realisasi DAK non-fisik dan dana kapitasi, yang di
banyak daerah baru dapat dicairkan setelah ada keputusan anggaran. Keterlambatan tersebut
cukup lama, antara April-Juli tahun berjalan (2017). Keterlambatan realisasi DAK non-fisik
merupakan salah satu faktor penyebab turunnya kinerja UKM.
Dengan posisi Puskesmas yang sangat strategis, kebijakan penguatan pelayanan
kesehatan dasar dan Puskesmas harus menjadi prioritas ke depan. Penguatan pelayanan
kesehatan dasar masih tetap relevan untuk meningkatkan kinerja pelayanan kesehatan dasar saat
ini dan di masa yang akan datang. Penguatan pelayanan kesehatan dasar di Puskesmas perlu
tetap dipertahankan dalam kebijakan pembangunan kesehatan dan menjadi prioritas nasional dan
daerah. Upaya penguatan Puskesmas harus tercantum dalam kebijakan nasional dan daerah
(RPJMN dan RPJMD).
Penguatan pelayanan kesehatan dasar di Puskesmas tersebut harus dilaksanakan secara
komprehensif. Penguatan Puskesmas tidak boleh parsial dan harus mencakup enam aspek, yaitu
1) perumusan tupoksi; 2) memperkuat kelembagaan; 3) penguatan SDM; 4) penguatan
pengelolaan obat dan alat kesehatan; 5) penguatan pembiayaan; dan 6) penguatan manajemen
Puskesmas.
(a) Penegasan tugas pokok dan fungsi Puskesmas. Fungsi Puskesmas adalah pembina
kesehatan wilayah, melaksanakan UKM dan UKP secara komprehensif, didukung fungsi
manajemen. Puskesmas adalah perpanjangan tangan Dinas Kesehatan/Pemda untuk
membina kesehatan di wilayah kerjanya. Fungsi pembina kesehatan wilayah perlu
diperjelas dan dioperasionalkan dengan menyusun 1) konsep dan pengertian, serta
kegiatan spesifik pembinaan kesehatan wilayah; 2) petunjuk teknis/pedoman
pelaksanaan; 3) kejelasan mandat atau otoritas/kewenangan Puskesmas; dan 4) sumber
daya yang diperlukan. Perlu dicegah pemisahan atau dikotomi antara UKM dan UKP
karena keduanya secara empiris, teoretik, dan regulasi adalah satu kesatuan pelayanan
kesehatan yang komprehensif dan holistik. Pemisahan UKM dan UKP bisa berdampak
“diskriminasi” terhadap pelaksana UKM, yang dapat menyebabkan penurunan kinerja
UKM, dan pada gilirannya akan memberikan beban besar pada UKP, dan bahkan
menggagalkan UKP.
(b) Memperkuat SDM Puskesmas. Beberapa kebijakan untuk menjamin kecukupan jenis
dan jumlah SDM Puskesmas sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya.
• Penambahan jenis tenaga Puskesmas. Permenkes No 75 tahun 2014 perlu diubah
dengan menambahkan dua jenis tenaga lagi, yaitu 1) tenaga manajemen/pelaporan
keuangan; dan 2) tenaga pengelola sistem informasi dengan latar belakang IT.
Daerah dapat melengkapi kedua jenis SDM tersebut melalui cara inovatif.
• Penyusunan rencana kebutuhan tenaga kesehatan daerah. Setiap daerah melalui
Dinas Kesehatan Kabupaten perlu menyusun rencana kebutuhan dan pengelolaan
tenaga kesehatan daerah. Dinas kesehatan perlu diberi kemampuan untuk
menyusun rencana kebutuhan tenaga kesehatan kabupaten tersebut.
• Kepemimpinan Puskesmas. Kepala Puskesmas adalah birokrat pemerintah
dengan kemampuan kepemimpinan spesifik, yaitu (i) menerapkan peraturan
penyelenggaraan urusan pemerintah di bidang kesehatan di wilayah kerjanya; (ii)
melaksanakan cara-cara
menggerakkan pranata atau mesin birokrasi, termasuk lintas sektor; (iii) mampu
menggerakkan pranata atau mesin sosial; dan (iv) memahami dan melaksanakan
tupoksi Puskesmas. Selain itu, pimpinan Puskesmas perlu dibekali dengan
wawasan spesifik, misalnya wawasan bahari untuk daerah gugus pulau,
kepemimpinan yang sesuai dengan budaya lokal, dan lain-lain.
• Pelatihan teknis. Pelatihan teknis pelayanan dan manajemen dibutuhkan untuk
meningkatkan kemampuan Puskesmas melaksanakan tupoksinya.
(c) Meningkatkan efektivitas pembiayaan. Beberapa kebijakan dan intervensi yang perlu
dilakukan untuk meningkatkan efektivitas pembiayaan kesehatan di tingkat daerah,
khususnya Puskesmas, yaitu 1) peningkatan alokasi anggaran Dinkes sebagai pembina
Puskesmas, termasuk adanya sistem remunerasi bagi staf Dinkes; 2) adanya jasa
pelayanan untuk tenaga UKM yang diintegrasikan dalam BOK; 3) sinkronisasi regulasi
antara pusat dan daerah terkait kebijakan tata kelola pembiayaan daerah; dan 4)
penegasan APBD kab/kota wajib mengalokasikan anggaran untuk pencapaian target SPM
di bidang kesehatan.
(d) Peningkatan manajemen dan mutu pelayanan Puskesmas. Cara efektif untuk
meningkatkan manajemen dan mutu pelayanan Puskesmas adalah akreditasi Puskesmas.
Pedoman pelaksanaan akreditasi Puskesmas sudahnditetapkan. Daerah perlu
memasukkan akreditasi Puskesmas dalam Renstra Kesehatan masing-masing, dengan
target akhir semua Puskesmas di wilayah kerjanya terakreditasi.

Selain penguatan Pelayanan Kesehatan Dasar, Puskesmas perlu memberlakukan


kebijakan afirmasi untuk puskesmas didaerah terpencil salah satunya suku asmat di Papua yang
memiliki insiden Gizi Buruk cukup tinggi.
Dengan posisi Puskesmas yang sangat strategis dan sangat vital melaksanakan berbagai
kebijakan dan program kesehatan maka perlu terobosan-terobosan untuk memperkuat kapasitas
Puskesmas tersebut. Secara umum, tiga hal yang menghambat kinerja Puskesmas, yaitu:
(1) Kekurangan tenaga atau tenaga yang ada tidak sesuai standar;
(2) Ketersediaan obat/vaksin/alkes dan BMHP (bahan medis habis pakai); dan
(3) Ketersediaan anggaran/dana secara tepat waktu.
Ketiga masalah tersebut dialami hampir oleh semua Puskesmas, terutama Puskesmas berlokasi di
daerah terpencil/sangat terpencil yang jumlahnya adalah 2.277 Puskesmas. Langkah terobosan
berupa kebijakan afirmasi oleh Pemerintah Pusat mencakup (i) pengadaan dan penempatan
tenaga Puskesmas; (ii) pengadaan obat/alkes dan BMHP; dan (iii) pengadaan biaya operasional
Puskesmas. Paling tidak kebijakan afirmatif ini diberlakukan untuk memperkuat 2.277
Puskesmas terpencil/sangat terpencil. Untuk pengadaan tenaga kesehatan, sudah dilaksanakan
melalui Program Nusantara Sehat. Untuk pengadaan obat/alkes, sudah ada model obat program
nasional yang dijalankan selama ini (misalnya pengadaan obat TBC, vaksin, obat filaria, obat
malaria, dan lain-lain). Model tersebut bisa dipeluas item-nya sesuai dengan item kebutuhan obat
Puskesmas yang direncanakan melalui e-catalog dan Fornas. Untuk biaya operasional
Puskesmas, hambatan utama yang terjadi adalah keterlambatan realisasi RAPBD. Di tingkat
lapangan, keadaan ini sangat mempengaruhi kinerja Puskesmas yang pada gilirannya
memperlambat perbaikan indikator-indikator kesehatan. Oleh sebab itu, perlu dilakukan kajian
khusus untuk menemukan cara paling tepat untuk mencukupi biaya operasional Puskesmas,
terutama dalam melaksanakan UKM.
Sebagai acuan, bisa disetarakan dengan penyaluran dana desa yang langsung ke desa-
desa. Penyaluran dana model dana desa tersebut perlu dilakukan untuk Puskesmas di daerah
terpencil/sangat terpencil.

KESIMPULAN
Angka gizi buruk di Indonesia terutama didaerah Papua masih menunjukan angka yang
tinggi. Puskesmas sebagai pusat kesehatan masyarakat memiliki peran dan tanggung jawab yang
besar dalam menekan angka gizi buruk serta kejadian lain yang mempengaruhi derajat kesehatan
masyarakat, contoh EPM, EPTM, KIA, KB dll. Peran puskesmas dalam pemberian pelayanan
kesehatan berupa UKP dan UKM seharusnya berjalan beriringan. Puskesmas sebaiknya
menekankan pada kegiatan preventif dan promotif dalam kegiatan UKM. Sehingga diperlukan
penguatan pelayanan kesehatan dasar dalam menurunkan permasalahan kesehatan. Selain itu,
Indonesia adalah Negara dengan banyak kepulauan, sehingga jelas menungkinkan puskesmas
tersebar diberbagai pelosok atau daerah kecil. Maka, untuk menciptakan puskesmas dengan
tujuan yang tercapai secara maksimal, maka perlu diberlakukan kebijakan afirmasi di puskesmas
terpencil.

DAFTAR PUSTAKA

Ismail, zaenap., dkk. 2016. Jurnal Menejemen Kesehatan Indonesia : Analisis Implementasi
Program Penanggulangan Gizi Buruk di Puskesmas Wilayah Kerja Dinas Kesehatan Kota
Sorong Provinsi Papua Barat. 4(01)
Kemenkes. 2015. Situasi Kesehatan Balita di Indonesia.
http://www.depkes.go.id/folder/view/01/structure-publikasi-pusdatin-info-datin.html (
diakses: 19 Oktober 2019)
Kemenkes. 2016. Data Dasar Puskesmas.
http://www.depkes.go.id/resources/download/pusdatin/data-dasar-
puskesmas/2015/Buku%20Data%20Dasar%20Puskesmas%202015.pdf (diakses: 19
Oktober 2019)
Kementrian PPN dan Bappenas. 2017. Penguatan Pelayanan Kesehatan Dasar di Puskesmas.
Jakarta: Direktorat Kesehatan dan Gizi Masyarakat
Permenkes No 75 tahun 2014 tentang Puskesmas
Soseco, Thomas. 2018. Mengatasi Masalah dan Gizi Buruk di Papua: Tingkatkan Kualitas
Pendidikan dan Kesehatan.
https://www.researchgate.net/publication/322665570_Mengatasi_Masalah_dan_Gizi_Buruk
_di_Papua_Tingkatkan_Kualitas_Pendidikan_dan_Kesehatan( diakes: 19 Oktober 2019 )

Anda mungkin juga menyukai