Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dari aspek geografis, klimatologis dan demografis Indonesia adalah negara
yang rawan bencana. Letak geografis Indonesia di antara dua benua dan dua
samudera berada di daerah khatulistiwa yang memiliki iklim tropis dimana hanya
memiliki dua musim yaitu musim hujan dan musim kemarau. Seiring dengan
perubahan iklim global, sering dirasakan perubahan iklim yang ekstrim seperti
perubahan siklus musim hujan dan musim kemarau. Dengan kondisi tersebut
Indonesia mempunyai potensi terjadinya bencana alam berupa banjir, longsor,
kekeringan dan kebakaran lahan.
Selain bencana yang disebabkan faktor alam, bencana yang disebabkan oleh
faktor non alam seperti kegagalan teknologi dan wabah penyakit merupakan
bencana yang juga berpotensi terjadi di Indonesia. Tercatat beberapa kejadian
terkait dengan bencana non alam ini yang menyebabkan korban dan kerugian yang
cukup banyak.
Sedangkan bonus demografis berupa jumlah penduduk yang sangat banyak
dengan keberagaman suku, budaya dan agama menyebabkan Indonesia kaya akan
sumber daya manusia sekaligus berpotensi menjadi pemicu konflik akibat
kemajemukan tersebut.
Gambar 1.1 Peta Indeks Rawan Bencana
Sumber : BNPB 2012

Gambar diatas menunjukan bahwa hampir seluruh wilayah Indonesia merupakan


daerah rawan bencana. Persebaran daerah rawan bencana hampir merata, ini
memerlukan kesiapan penanggulangan bencana secara merata pula di setiap wilayah
untuk mengurangi dampak resiko bencana.
Tabel 1.1 Data Kejadian dan Dampak Bencana Tahun 2006-2016
No Nama Provinsi Jumlah Kejadian Meninggal Hilang Terluka Mengungsi
1 PEMERINTAH ACEH 820.23 200.00 17.00 3152.00 857448.00
2 SUMATERA UTARA 542.60 310.00 38.00 15224.00 236651.00
3 SUMATERA BARAT 575.56 1958.00 98.00 3631.00 218488.00
4 RIAU 185.95 53.00 1.00 5668.00 39613.00
5 JAMBI 302.05 32.00 2.00 576.00 1635.00
6 SUMATERA SELATAN 660.99 143.00 4.00 1363.00 4131.00
7 BENGKULU 85.40 27.00 16.00 211.00 6486.00
8 LAMPUNG 360.00 54.00 14.00 796.00 14998.00
9 BANGKA-BELITUNG 92.00 35.00 34.00 8.00 554.00
10 KEPULAUAN RIAU 106.00 54.00 2.00 54.00 995.00
11 DKI JAKARTA 205.00 236.00 0.00 1669.00 826339.00
12 JAWA BARAT 2456.25 1302.00 164.00 27553.00 1007696.00
13 JAWA TENGAH 3408.07 2145.00 395.00 27658.00 1084106.00
14 DI YOGYAKARTA 243.19 4966.00 1.00 19671.00 1243088.00
15 JAWA TIMUR 1980.61 735.00 214.00 67089.00 294595.00
16 BANTEN 333.02 199.00 126.00 13657.00 133573.00
17 BALI 239.75 80.00 32.00 188.00 1553.00
18 NUSA TENGGARA BARAT 262.98 75.00 6.00 1307.00 101538.00
19 NUSA TENGGARA TIMUR 610.00 316.00 205.00 3430.00 47001.00
20 KALIMANTAN BARAT 143.11 75.00 5.00 108.00 34994.00
21 KALIMANTAN TENGAH 106.00 100.00 86.00 1306.00 8095.00
22 KALIMANTAN SELATAN 618.90 184.00 29.00 599.00 59932.00
23 KALIMANTAN TIMUR 688.00 263.00 54.00 3420.00 142064.00
24 KALIMANTAN UTARA 15.00 17.00 2.00 0.00 2849.00
25 SULAWESI UTARA 159.65 170.00 95.00 21369.00 142435.00
26 SULAWESI TENGAH 192.25 163.00 45.00 8915.00 80757.00
27 SULAWESI SELATAN 642.99 463.00 365.00 661.00 49890.00
28 SULAWESI TENGGARA 614.00 192.00 227.00 476.00 29409.00
29 GORONTALO 125.75 30.00 7.00 12368.00 78775.00
30 SULAWESI BARAT 93.00 169.00 233.00 505.00 8194.00
31 MALUKU 134.00 228.00 197.00 732.00 37208.00
32 MALUKU UTARA 55.33 30.00 17.00 1316.00 31194.00
33 PAPUA BARAT 21.00 185.00 119.00 636.00 35124.00
34 PAPUA 92.00 294.00 18.00 843.00 15535.00
Sumber: DIBI, BNPB 2016

Dari tabel diatas menunjukan dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir ada
ribuan kejadian bencana baik besar maupun kecil yang menyebabkan ribuan orang
meninggal dan ratusan ribu orang mengungsi. Data ini menunjukan bahwa
Indonesia selain daerahnya rawan bencana, masyarakatnya juga sangat rentan dalam
menghadapi bencana sehingga resiko bencana sangat berpotensi menimbulkan
kerugian personel maupun materil sangat besar. Copolla (2007) dalam sebuah
bukunya mengungkapkan bahwa ada hubungan yang erat antara bencana,
kemiskinan dan pembangunan. Senada dengan Copolla (2007), Asian Disaster Risk
Reduction (2005) turut mengeluarkan data analisa bahwa tingkat kerusakan yang
disebabkan oleh bencana alam jelas terhubung ke tingkat sosial-ekonomi suatu
negara. Untuk mengurangi resiko bencana perlu peningkatan kapasitas pada
masyarakat itu sendiri maupun pemerintah dalam penanggulangannya.
Dalam penanganan bencana, setiap aspek/bidang harus diatur untuk
mendapatkan kepastian hukum dan pedoman pelaksanaan di lapangan. Peraturan-
peraturan yang sudah ada harus senantiasa dipedomani dan dilaksanakan sebagai
usaha dalam pengurangan resiko bencana dan mengurangi korban akibat bencana.
Peraturan tersebut mulai dari Undang-undang, Perpres, Permen, maupun Perka.
Peraturan yang dipedomani dalam penanggulangan bencana salah satunya adalah
Perka BNPB.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, dapat dirumuskan beberapa
permasalahan sebagai berikut:
a. Bagaimana implementasi Perka 10 tahun 2008 dilaksanakan
b. Bagaimana implementasi Perka 14 tahun 2010 dilaksanakan

C. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adalah:
a. Menganalisis dan mengkritisi Perka BNPB No 10 tahun 2008
b. Menganalisis dan mengkritisi Perka BNPB No 14 tahun 2010
BAB II
PEMBAHASAN

A. Manajemen Kedaruratan
Manajemen kedaruratan adalah seluruh kegiatan yang meliputi aspek perencanaan
dan penanggulangan kedaruratan, pada menjelang bencana, saat bencana dan
sesudah keadaan darurat. Tujuan manajemen kedaruratan adalah:
1. Mengurangi jumlah korban
2. Meringankan penderitaan
3. Stabilisasi kondisi korban
4. Mengamankan aset
5. Memulihkan fasilitas kunci
6. Mencegah kerusakan lebih jauh
7. Menyediakan pelayanan dasar dan penanganan pasca darurat
8. Meringankan beban masyarakat setempat.
Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2007
tentang Penanggulangan Bencana disebutkan bahwa tanggap darurat bencana adalah
serangkaian kegiatan yang dilakukan dengan segera pada saat kejadian bencana
untuk menangani dampak buruk yang ditimbulkan, yang meliputi kegiatan
penyelamatan dan evakuasi korban, harta benda, pemenuhan kebutuhan dasar,
perlindungan, pengurusan pengungsi, penyelamatan, serta pemulihan prasarana dan
sarana.

Penyelenggaraan penanggulangan bencana pada saat tanggap darurat meliputi:

a) Pengkajian secara cepat dan tepat terhadap lokasi, kerusakan, dan sumber daya;

1. Penentuan status keadaan darurat bencana;


2. Penyelamatan dan evakuasi masyarakat terkena bencana;
3. Pemenuhan kebutuhan dasar;
4. Perlindungan terhadap kelompok rentan; dan
5. Pemulihan dengan segera prasarana dan sarana vital.

b) Pengkajian secara cepat dan tepat sebagaimana dimaksud dalam


penyelenggaraan penanggulangan bencana pada saat tanggap darurat dilakukan
untuk mengidentifikasi :
1. Cakupan lokasi bencana;
2. Jumlah korban;
3. Kerusakan prasarana dan sarana;
4. Gangguan terhadap fungsi pelayanan umum serta pemerintahan; dan
5. Kemampuan sumber daya alam maupun buatan.
c) Dalam hal status keadaan darurat bencana ditetapkan, Badan Nasional
Penanggulangan Bencana dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah
mempunyai kemudahan akses yang meliputi:
1. Pengerahan sumber daya manusia;

2. Pengerahan peralatan;
3. Pengerahan logistik;
4. Imigrasi, cukai, dan karantina;
5. Perizinan;
6. Pengadaan barang/jasa;
7. Pengelolaan dan pertanggungjawaban uang dan/atau barang;
8. Penyelamatan; dan
9. Komando untuk memerintahkan sektor/lembaga

d) Penetapan status darurat bencana dilaksanakan oleh pemerintah sesuai dengan


skala bencana. Penetapan untuk skala nasional dilakukan oleh Presiden, skala
provinsi dilakukan oleh gubernur, dan skala kabupaten/kota dilakukan oleh
bupati/walikota.

e) Penyelamatan dan evakuasi korban dilakukan dengan memberikan pelayanan


kemanusiaan yang timbul akibat bencana yang terjadi pada suatu daerah melalui
upaya :
1. Pencarian dan penyelamatan korban;
2. Pertolongan darurat; dan/atau
3. Evakuasi korban.
f) Pemenuhan kebutuhan dasar meliputi bantuan penyediaan: kebutuhan air bersih
dan sanitasi, pangan, sandang, pelayanan kesehatan, pelayanan psikososial,
penampungan dan tempat hunian. Penanganan masyarakat dan pengungsi yang
terkena bencana dilakukan dengan kegiatan meliputi pendataan, penempatan
pada lokasi yang aman, dan pemenuhan kebutuhan dasar. Perlindungan terhadap
kelompok rentan sebagaimana dilakukan dengan memberikan prioritas kepada
kelompok rentan berupa penyelamatan, evakuasi, pengamanan, pelayanan
kesehatan, dan psikososial. Kelompok rentan terdiri atas:

1. bayi, balita, dan anak-anak;


2. ibu yang sedang mengandung atau menyusui;
3. penyandang cacat; dan
4. orang lanjut usia.

B. Manajemen Sistem Komando Operasi Penanggulangan Bencana/ Incident


Command System (ICS) dari National Incident Management System (NIMS)
– USA
Penanggulangan bencana di Amerika Serikat dikoordinasikan oleh seuah
lembaga yang bernama Federal Emergency Management Agency (FEMA) dibawah
pengawasan dari Departemen Kemanaan dalam negeri Amerika Serikat. Untuk itu
pada bab ini akan dibahas mengenai beberpa lembaga yang terlibat dalam
penanggulangan Bencana di USA.

C. The Department of Homeland Security


The Department of Homeland Security (DHS) mempunyai tanggung jawab
untuk memastikan keselamatan dan keamanan Amerika Serikat dari serangan teroris
dan bencana lainnya. Misi penting yang di emban adalah untuk mengamankan
bangsa dari berbagai ancaman yang akan dihadapi negara. Area kerja terbentang
luas mulai dari tanggap darurat, perbatasan keamanan penerbangan, cybersecurity,
sampai mengawasi fasilitas kimia demi menjaga keamanan Amerika.
(www.allgove.com)

D. The Federal Emergency Management Agency (FEMA).


FEMA dibentuk untuk mendukung dan melindungi warga negara dengan
memastikan kerjasama pembangunan, mempertahankan dan meningkatkan
kemampuan dalam mempersiapkan, melindungi, menanggapi, pemulihan dan
mengurangi semua bahaya. Selama 37 tahun, FEMA bekerja sebagai motor/ leader
dalam mempersiapkan, mencegah, menanggapi dan pemulihan dari Bencana,
dengan visi "A Nation Prepared." Pada tanggal 1 April 1979, Presiden Jimmy Carter
menandatangani perintah eksekutif yang merupakan landasan
pembentukan/pendirian Federal Emergency Management Agency. FEMA
berkomitmen untuk melindungi dan melayani rakyat Amerika. Ditingkat
nasional/pusat FEMA merupakan kordinator bagi seluruh pemerintah federal/negara
bagian dalam mempersiapkan, mencegah, mengurangi efek, merespon, dan
pemulihan bencana dalam negeri, baik alami atau buatan manusia, termasuk aksi
teror (www.fema.gov)
Pada tahun 1979 perintah khusus dari presiden Carter, menggabung seluruh
lembaga terkait dengan bencana dilebur ke dalam Federal Emergency Management
Agency (FEMA). Lembaga-lembaga yang dilebur kedalam FEMA adalah:
a. The Federal Insurance Administration
b. The National Fire Prevention and Control Administration
c. The National Weather Service Community Preparedness Program
d. The Federal Preparedness Agency of the General Services Administration
e. The Federal Disaster Assistance Administration activities from HUD
f. Civil defense responsibilities were also transferred to the new agency from
the Defense Department's Defense Civil Preparedness Agency
E. The United States National Response Framework (NRF)
Amerika Serikat Response Kerangka Nasional (NRF) merupakan strategi
dari Nasional Homeland Security yang menjelaskan prinsip-prinsip dan langkah-
langkah yang harus di laksanakan oleh semua badan/lembaga untuk mempersiapkan
dan memberikan respon nasional yang terpadu dan terkoordinir pada
penanggulangan bencana dan keadaan darurat. NRF meletakan landasan dalam
mebangun system Nasional Manajemen Insiden (NIMS) serta Komando Insiden
System (ICS) standardisasi, struktur koordinasi NRF ini berlaku di semua tingkat
manapun dan kapan saja baik ditingkat lokal, negara bagian, dan pada saaat
pelaksanaan respon darurat atau bencana ditingkat nasional. Pada 22 Maret 2008
NRF secara resmi menggantikan Rencana Tanggap Nasional (NRP).
(https://en.wikipedia.org)

F. National Incident Management System (NIMS)


NIMS adalah suatu upaya pendekatan nasional yang komprehensif untuk
pelaksanan manajemen insiden yang berlaku di semua tatanan yurisdiksi
pemerintahan AS yang mencakup multi dan lintas sektor. Maksud dari NIMS adalah
untuk:
a. Diterapkan pada semua tatanan yag memiliki potensi bahaya dan sknario insiden
kejadian bahaya apapun ukuran atau kompleksitasnya.
b. Meningkatkan koordinasi dan kerjasama antara lembaga pemerintah/public dan
swasta dalam berbagai kegiatan pengelolaan insiden dalam negeri.
(Buku National Incident Management System (Nims), an Introduction Is-700 Self-
Study Guide, August 2004)

G. Sistem Komando Operasi Penanggulangan Bencana/ Incident Command


System (ICS) di Indonesia
Dalam situasi keadaan darurat bencana sering terjadi kegagapan pananganan
dan kesimpang siuran informasi dan data korban maupun kondisi kerusakan,
sehingga mempersulit dalam pengambilan kebijakan untuk penanganan darurat
bencana. Hal ini sangat disayangkan karena koordinasi sebetulnya dapat
menyediakan gambaran utuh dari situasi bencana, mengidentifikasi kebutuhan,
mengurangi duplikasi usaha penanggulangan bencana, mengurangi konsentrasi
kegiatan di area-area yang sama, dan memastikan transisi yang mulus antara setiap
tahapan penangulangan bencana.

H. Undang – undang tentang Penanggulangan Bencana


Dengan ditetapkannya Undang‐undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang
Penanggulangan Bencana, maka penyelenggaraan penanggulangan Bencana
diharapkan akan semakin baik, karena Pemerintah dan Pemerintah daerah menjadi
penanggung jawab dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana.
Penanggulangan bencana dilakukan secara terarah mulai pra bencana, saat tanggap
darurat, dan pasca bencana. Tahap awal dalam upaya ini adalah
mengenali/mengidentifikasi terhadap sumber bahaya atau ancaman Bencana

I. Upaya Penanggulangan Bencana


Dengan mengacu kepada Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang
Penanggulangan Bencana maka penyelenggaraan penanggulangan bencana dalam
tahap tanggap darurat dilaksanakan sepenuhnya oleh Badan Nasional
Penanggulangan Bencana dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BNPB).
Upaya – upaya penanggulangan bencana dilakukan dengan melibatkan
semua pihak yang berkepentingan demi ketangguhan bangsa dalam menghadapi
bencana. Kerangka dasar penanggulangan bencana dengan paradigma pengurangan
resiko bencana menjadi salah satu dasar penyusunan dokumen perencanaan
kontijensi yang dapat digunakan sebagai pedoman pada saat darurat bencana bagi
semua pelaku penanggulangan bencana. Penanggulangan bencana merupakan
urusan semua pihak, hal ini sesuai dengan amanat Undang – Undang Nomor 24
Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Dalam UU tersebut tersurat ada 3
(tiga) pilar pelaku penanggulangan bencana, yaitu pemerintah (baik pusat maupun
daerah), masyarakat, dan lembaga usaha. Peran pemerintah diatur dalam Pasal 5,
Pasal 6 dan Pasal 7. Sementara peran masyarakat diatur dalam Pasal 26 dan Pasal
27. Dan peran lembaga usaha diatur dalam Pasal 28 dan Pasal 29.

J. Pembentukan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD)


Penanggulangan bencana semakin mendapat perhatian yang sangat serius
dari pemerintah daerah di Indonesia. Ini terbukti dengan dibentuknya Badan
Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) di 33 provinsi serta 497 BPBD di tingkat
kabupaten/kota. Memang ini sesuai dengan apa yang diamanatkan dalam Undang-
undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Pasal 18 undang-
undang tersebut menyebutkan bahwa pemerintah daerah wajib untuk membentuk
BPBD di wilayahnya. Namun harus diakui dengan dibentuknya BPBD, tidak serta
merta penanggulangan bencana dinilai handal. Peningkatan kapasitas baik
pengetahuan dan keterampilan terkait kebencanaan masih harus terus dilakukan.
Pencegahan dan kesiapsiagaan di tingkat lokal yang dekat dengan potensi Bencana
sangat penting. Pemerintah daerah yang belum mengenal betul mengenai sistem
penanggulangan bencana sangat mengharapkan pendampingan dari BNPB. Namun
tidak menutup kemungkinan, pemerintah daerah lain di sekitarnya dapat juga
memberikan dukungan, baik itu pemikiran. BNPB dan BPBD bergerak dalam
lingkup kemanusiaan, yang di dalam kegiatannya selalu terpacu dan
berkesinambungan, baik dari segi Komponen bencana di Indonesia setiap tahun
meningkat.
BNPB dan BPBD mempunyai tiga fungsi, yaitu fungsi koordinasi, komando
dan pelaksana. Fungsi koordinasi adalah melakukan koordinasi pada tahap
prabencana dan pascabencana, sedangkan yang dimaksud dengan fungsi komando
dan pelaksana adalah fungsi yang dilaksanakan pada saat tanggap darurat. Di dalam
BNPB dan BPBD itu sendiri ada dua unsur, yaitu Unsur Pengarah dan Unsur
Pelaksana. Unsur Pelaksana PB menyelenggarakan fungsi koordinasi, komando dan
pelaksana. Dalam masa tanggap darurat Deputi Bidang Penanganan Darurat
menyelenggarakan fungsi komando pelaksanaan penanggulangan bencana. Fungsi
komando dilaksanakan melalui pengerahan sumber daya manusia (SDM), peralatan,
dan logistik, TNI dan Polri.

K. Sistem Komando Tanggap Darurat Incident Command System (ICS) di


Indonesia.
Penyelenggaran penanggulangan bencana memerlukan suatu perencanaan
yang matang, terarah dan menyeluruh. Penyelarasan arah penyelenggaraan
penanggulangan bencana pada suatu kawasan/daerah membutuhkan dasar yang kuat
agar berjalan secara cepat, tepat, efektif dan efisien. Pemerintah dalam hal ini
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) memiliki tugas memberikan
pedoman dan pengarahan terhadap usaha penanggulangan bencana yang mencakup
pra bencana, tanggap darurat bencana dan pasca bencana secara komperhensif.
BNPB merupakan lembaga negara non kementrian yang berada langsung dibawah
presiden menjadi leading sector dalam penanggulangan bencana di Indonesia.
BNPB dituntut untuk selalu siap dalam penanganan bencana. Tahap tanggap
darurat, rehab rekonstruksi maupun mitigasi, merupakan serangkaian fase yang
harus dilaksanakan oleh jajaran BNPB.
BNPB telah menyusun sebuah Sistem Komando Tanggap Darurat/Incident
Command System (ICS). Sistem ini telah memiliki landasan hukum sejak
dituangkan dalam Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana No
10 tahun 2008 dan No.14 tahun 2010 tentang Pedoman Komando Tanggap Darurat.
Pos Komando dan Koordinasi Tanggap Darurat Bencana dapat dilengkapi dengan
PosKo Lapangan Tanggap Darurat Bencana dengan gugus tugas yang terdiri dari
unit kerja yang saling terkait dan merupakan satu kesatuan system yang terpadu
dalam penanganan Kedaruratan bencana dalam sebuah Sistem Komando Tanggap
Darurat/Incident Command System (ICS).
BAB III
ANALISIS PELAKSANAAN PUSAT PENGENDALIAN OPERASI
PENANGGULANGAN BENCANA DI INDONESIA

Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2007


tentang Penanggulangan Bencana disebutkan bahwa tanggap darurat bencana adalah
serangkaian kegiatan yang dilakukan dengan segera pada saat kejadian bencana untuk
menangani dampak buruk yang ditimbulkan, yang meliputi kegiatan penyelamatan dan
evakuasi korban, harta benda, pemenuhan kebutuhan dasar, perlindungan, pengurusan
pengungsi, penyelamatan, serta pemulihan prasarana dan sarana. Penyelenggaraan
penanggulangan bencana pada saat tanggap darurat meliputi pengkajian secara cepat
dan tepat terhadap lokasi, kerusakan, dan sumber daya. Pengkajian dilakukan untuk
mengidentifikasi cakupan lokasi bencana; jumlah korban; kerusakan prasarana dan
sarana; gangguan terhadap fungsi pelayanan umum serta pemerintahan; dan
kemampuan sumber daya alam maupun buatan.

A. Penetapan status darurat


Berdasarkan UU Nomor 24 Tahun 2007 penetapan status darurat bencana
dilaksanakan oleh pemerintah sesuai dengan skala bencana. Penetapan untuk skala
nasional dilakukan oleh Presiden, skala provinsi dilakukan oleh gubernur, dan skala
kabupaten/kota dilakukan oleh bupati/walikota. Dalam hal status keadaan darurat
bencana ditetapkan, Badan Nasional Penanggulangan Bencana dan Badan
Penanggulangan Bencana Daerah mempunyai kemudahan akses yang meliputi
pengerahan sumber daya manusia; pengerahan peralatan; pengerahan logistik; imigrasi,
cukai, dan karantina; perizinan; pengadaan barang/jasa; pengelolaan dan
pertanggungjawaban uang dan/atau barang; penyelamatan; dan komando untuk
memerintahkan sektor/lembaga.
Pada situasi darurat sering terjadi kesimpangsiuran informasi yang akan
mempersulit upaya penanggulangan bencana (PB). Pelaksanaan PB terkesan lambat,
kurang merata dan sulit terpantau. Kurangnya koordinasi antar instansi terkait dalam
kegiatan PB sehingga terjadi tumpang tindih atau bahkan ada daerah-daerah yang tidak
tertangani. Sarana dan infrastruktur lumpuh. Selain itu banyak muncul posko-posko
tanggap darurat, dan bahkan banyak pula posko-posko yang tidak ada aktivitasnya tapi
ada bendera lembaganya terpancang megah. Oleh karena itu perlu ada institusi yang
menjadi pusat komando penanganan tanggap darurat PB.

B. Komando Tanggap Darurat Bencana


Sistem komando tanggap darurat PB dengan mengacu kepada Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana (UU 24/2007), Peraturan
Pemerintah Nomor 21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana
(PP 21/2008), Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2008 tentang Badan Nasional
Penanggulangan Bencana, dan peraturan-peraturan BNPB terkait dengan tanggap
darurat.
Pemenuhan kebutuhan dasar meliputi bantuan penyediaan: kebutuhan air bersih
dan sanitasi, pangan, sandang, pelayanan kesehatan, pelayanan psikososial,
penampungan dan tempat hunian. Penanganan masyarakat dan pengungsi yang terkena
bencana dilakukan dengan kegiatan meliputi pendataan, penempatan pada lokasi yang
aman, dan pemenuhan kebutuhan dasar. Perlindungan terhadap kelompok rentan
sebagaimana dilakukan dengan memberikan prioritas kepada kelompok rentan berupa
penyelamatan, evakuasi, pengamanan, pelayanan kesehatan, dan psikososial.
Kelompok rentan terdiri atas bayi, balita, dan anak-anak; ibu yang sedang
mengandung atau menyusui; penyandang cacat; dan orang lanjut usia.
Sistem Koordinasi juga sering kurang terbangun dengan baik, Penyaluran
bantuan, distribusi logistik sulit terpantau dengan baik sehingga kemajuan kegiatan
penanganan tanggap darurat kurang terukur dan terarah secara obyektif. Situasi dan
kondisi di lapangan yang seperti itu disebabkan belum terciptanya mekanisme kerja
Pos Komando dan Koordinasi Tanggap Darurat Bencana yang baik, terstruktur dan
sistematis.
C. Perka BNPB No 10 Tahun 2008
Untuk memberi arah dan panduan dilapangan tentang BNPB tetang Pos
Komando dan Koordinasi Tanggap Darurat Bencana, kepala BNPB telah
mengeluarkan Perka BNPB No 10 Tahun 2008. Perka tersebut menyebutkan bahwa
Komando tanggap darurat bencana merupakan organisasi satu komando, dengan garis
komando serta tanggung jawab yang jelas. Instansi/lembaga dapat dikoordinasikan
dalam satu organisasi berdasarkan satu kesatuan komando. Organisasi ini dapat
dibentuk di semua tingkatan wilayah bencana baik ditingkat kabupaten/kota, provinsi
maupun tingkat nasional. Struktur organisasi tanggap darurat terdiri atas Komandan
yang dibantu oleh staf komando dan staf umum. Struktur organisasi ini dapat diperluas
berdasarkan kebutuhan dan kompleksitas bencana.
Fungsi Komando Tanggap Darurat Bencana adalah mengkoordinasikan,
mengintegrasikan dan mensinkronisasikan seluruh unsur dalam organisasi komando
tanggap darurat untuk penyelamatan dan evakuasi korban, harta benda, pemenuhan
kebutuhan dasar, perlindungan pengurusan pengungsi, penyelamatan serta pemulihan
sarana dan prasarana dengan segera pada saat kejadian bencana. Sementara Tugas dan
Tanggung Jawab Komandan Tanggap Darurat Bencana adalah sebagai berikut:
1. Mengaktifkan dan meningkatkan pusat pengendalian operasi (Pusdalops)
menjadi pos komando tanggap darurat BPBD kabupaten/Kota/Provinsi atau
BNPB, sesuai dengan jenis, lokasi, dan tingkatan bencana.
2. Membentuk pos komando lapangan (Poskolap) di lokasi bencana dibawah
komando pos komando tanggap darurat bencana BPBD
Kabupaten/Kota/Provinsi atau BNPB.
3. Membuat rencana operasi, mengorganisasikan, melaksanakan dan
mengendalikan operasi tanggap darurat bencana.
4. Melaksanakan komando dan pengendalian untuk pengerahan sumber daya
manusia, peralatan, logistik, dan penyelamatan serta berwenang
memerintahkan pejabat yang mewakili instansi/lembaga/organisasi terkait
dalam memfasilitasi aksesibilitas penanganan tanggap darurat bencana.
5. Melaksanakan evaluasi melalui rapat koordinasi yang dilaksanakan minimal
satu kali dalam sehari untuk menyusun rencana kegiatan berikutnya.

Gambar 3.2 Alur koordinasi pembentukan Komando Tanggap Darurat bencana Tingkat Kabupaten/Kota
(Sumber : Perka BNPB No 10 Tahun 2008)

D. Perka BNPB No 14 Tahun 2010


Peraturan kepala BNPB Nomor 14 Tahun 2010 tentang pedoman pembentukan
pos komando tanggap darurat bencana berisi peraturan tentang pembentukan pos
komando tanggap darurat bencana, pembentukan pos komando lapangan tanggap
darurat bencana, pembentukan pos pendukung tanggap darurat bencana, dan
mekanisme hubungan kerja pos komando tanggap darurat. Peraturan pembentukan pos
komando tanggap darurat bencana ini merupakan pelaksana dari peraturan pemerintah
Nomor 21 Tahun 2008 tentang penyelenggaraan penanggulangan bencana yang tidak
terpisahkan dari peraturan ini. Perka Nomor 14 Tahun 2010 dibuat oleh BNPB sebagai
pedoman untuk dapat membentuk pos komando tanggap darurat bencana yang efektif
dan efisien serta akuntabel sesuai dengan lokasi dan tingkatan bencana.

E. Pusat Komando Tanggap Darurat Bencana Incident Command System (ICS).


Kejadian bencana dapat menimbulkan keadaan darurat yang ditandai dengan
terancamnya keselamatan dan kesejahteraan masyarakat. Hampir semua jenis bencana
dapat menimbulkan korban jiwa, kerugian harta benda, dan rusaknya prasarana dan
sarana publik. Untuk itu diperlukan penanganan yang cepat dan tepat guna
mengurangi timbulnya dampak yang lebih buruk. Situasi darurat bencana, sering
terjadi kesimpang-siuran data dan informasi korban maupun kerusakan, sehingga
mempersulit pengambilan kebijakan penanganan darurat. Pelaksana tanggap darurat
juga sering kurang saling mendukung, distribusi bantuan dan pelayanan kurang cepat,
kurang merata, sulit terpantau dengan baik, sehingga kemajuan hasil kegiatan tanggap
darurat bencana kurang bisa terukur secara objektif. Situasi-situasi tersebut
disebabkan antara lain karena kurangnya koordinasi antar instansi terkait dalam
kegiatan tanggap darurat bencana
Fungsi Komando Tanggap Darurat Bencana adalah mengkoordinasikan,
mengintegrasikan, dan mensinkronisasikan seluruh unsur dalam organisasi komando
tanggap darurat untuk pencarian, penyelamatan, dan evakuasi korban, harta benda,
pemenuhan kebutuhan dasar, perlindungan pengungsi, serta pemulihan sarana dan
prasarana vital dengan segera pada saat status siaga darurat dan tanggap darurat.

F. Pengorganisasian
Organisasi pos komando tanggap darurat bencana merupakan organisasi satu
komando, dengan mata rantai dan garis komando serta tanggap jawab yang jelas.
Instansi/lembaga dapat dikoordinasikan dalam satu organisasi berdasarkan satu
kesatuan komando. Organisasi ini dapat dibentuk di semua tingkatan wilayah bencana
baik di tingkat kabupaten/kota, Provinsi maupun nasional. Struktur organisasi pos
komando tanggap darurat terdiri dari:
1. Komandan tanggap darurat bencana
2. Wakil komandan tanggap darurat bencana
3. Staf komando: Sekretariat; Hubungan masyarakat; Keselamatan dan keamanan
serta Perwakilan instansi/lembaga
4. Staf umum terdiri dari Bidang operasi; Bidang perencanaan; Bidang logistik,
peralatan, dan pengelolaan bantuan serta Bidang administrasi keuangan
Struktur organisasi ini bekerja sesuai tupoksi masing-masing, sesuia jenis,
kebutuhan, dan kompleksitas bencana dapat dibentuk unit organisasi dalam bentuk
seksi-seksi yang berada di bawah bidang dan ipimpin oleh kepala seksi yang
bertanggung jawab kepada kepala bidang.

G. Pendanaan/Pembiayaan
Pos komando tanggap darurat bencana mayoritas berasal dari pemerintah dan
didukung bantuan dana sukarela.
1. APBD Kabupaten/Kota
2. APBD Provinsi
3. APBN
4. Bantuan lain yang tidak mengikat

H. Upaya yang dilakukan pos komando tanggap darurat:


a. Membentuk pos komando tanggap darurat bencana pada tahap siaga darurat
untuk jenis bencana yang terjadi berangsur-angsur. Pembentukan pos komando
tanggap darurat bencana dengan cara meningkatkan status pusat pengendali
operasi wilayah Provinsi/ Kabupaten/Kota.
b. Menyatakan status bencana untuk jenis bencana yang terjadi secara tiba-tiba,
proses pembentukan pos komando tanggap darurat bencana dilakukan melalui
empat tahapan yang harus dilaksanakan secara keseluruhan menjadi satu
rangkaian system komando yang terpadu, yaitu:
1. Informasi kejadian awal bencana
Sumber informasi kejadian awal bencana diperoleh dari instansi/lembaga
terkait, media massa, masyarakat, dan internet. Kebenaran informasi perlu
dikonfirmasi dengan pertanyaan apa, kapan, dimana, bagaimana, berapa,
penyebab, dan akibat yang ditimbulkan dan upaya yang telah dilakukan serta
kebutuhan yang mendesak
2. Penugasan tim reaksi cepat penanggulangan bencana
Melaksanakan tugas pengkajian secara cepat dan tepat, serta memberikan
dukungan pendampingan dalam rangka kegiatan tanggap darurat. Hasil
pelaksanaan tugasnya sebagai bahan pertimbangan bagi kepala
BNPB/BPBD/SATLAK PB Kabupaten/Kota/Provinsi /Nasional dalam
rangka menetapkan status/tingkat bencana skala
Kabupaten/Kota/Provinsi/Nasional.
3. Penetapan status/ tingkat bencana
Penetapan status/tingkat bencana skala kabupaten/kota ditetapkan oleh
Bupati/Walikota, skala bencana Provinsi oleh Gubernur dan skala bencana
Nasional oleh Presiden RI. Sesuai kewenangannya dapat menunjuk seorang
pejabat sebagai komandan tanggap darurat bencana sesuai staus/tingkat
bencana skala nasional/daerah.
4. Pembentukan pos komando tanggap darurat bencana
Presiden/Gubernur/Bupati/Walikota atas usul kepala BNPB/ BPBD
Provinsi/BPBD/SATLAK PB Kabupaten/Kota sesuai status/tingkat bencana
dan tingkat kewenangannya:
 Mengeluarkan surat keputusan pembentukan pos komando tanggap
darurat bencana
 Melaksanakan mobilisasi sumberdaya manusia, peralatan dan logistik,
serta dana dari instansi/lembaga terkait dan masyarakat
 Meresmikan pembentukan pos komando tanggap darurat bencana
 Bila tidak ada BPBD yang melaksanakan pembentukan pos komando
tanggap darurat adalah instans/satuan kerja perangkat daerah (SKPD)
yang menangani bencana
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
a. Kesimpulan Aplikasi Peraturan Kepala BNPB Nomor 10 Tahun 2008 Di
Indonesia
Pedoman Komando Tanggap Darurat Bencana ini dibuat agar dapat
dijadikan panduan bagi BNPB/BPBD, instansi/lembaga/organisasi terkait
Tentara Nasional Indonesia, Kepolisian Republik Indonesia, agar tugas
Komando Tanggap Darurat Bencana dapat dilaksanakan secara cepat, tepat,
terpadu, efektif, efisien dan akuntabel. Implementasi dilapangan seharusnya
penunjukkan komando dan komandan tanggap darurat harus juga
memperhatikan jabatan/eselon agar system komando berjalan dengan baik.
Penunjukkan tersebut dilakukan oleh presiden, gubernur, bupati tergantung
skala/ tingkat bencana pusat/daerah Provinsi/Kabupaten/Kota bukan kepala
BNPB/BPBD.
b. Kesimpulan Aplikasi Peraturan Kepala BNPB Nomor 14 Tahun 2010 Di
Indonesia
Pedoman Pembentukan Pos Komando Tanggap Darurat Bencana disusun
untuk dijadikan acuan bagi BNPB/BPBD/SATLAK PB Kabupaten/Kota,
dalam pembentukan Pos Komando Tanggap Darurat Bencana, Pos Komando
Lapangan Tanggap Darurat Bencana dan Pos Pendukung Tanggap Darurat
Bencana di lokasi bencana. Implementasi dilapangan seharusnya pembentukan
pos komando harus dilakukan satu komando tidak membawa nama instansi
masing-masing untuk mencegah kesalahan data dan informasi sehingga
kegiatan tanggap darurat bencana akan lebih terkoordinasi, terarah, terpantau
dan dapat dievaluasi secara lebih objektif serta mencegah sekelompok
individu atau kelompok memamfaatkan situasi bencana untuk kepentingan
pribadi atau golongan.
B. Saran
a. Saran Tentang Aplikasi Peraturan Kepala BNPB Nomor 10 Tahun 2008
Di Indonesia
1. Saran penulis adalah seharusnya penunjukkan komandan tanggap darurat
dilakukan oleh Bupati, Gubernur dan Presiden bukan kepala BNPB atau
BPBD karena harus dilakukan oleh pejabat yang memiliki jabatan lebih
tinggi agar efektif dan dapat dilaksanakan dengan baik.
2. Saran penulis adalah penunjukkan tersebut harus ada surat tertulis dan
ditanda tangani oleh Bupati, Gubernur, Presiden sesuai status/tingkat
bencana skala nasional/daerah agar memiliki kekuatan untuk
memerintahkan pejabat/kepala instansi/organisasi yang memiliki jabatan
lebih tinggi atau setara agar mudah diarahkan, diperintahkan dan mudah
melakukan koordinasi
3. Saran saya agar komandan tanggap darurat dari militer
4. Saran penulis mengenai tindak lanjut dari penetapan status/tingkat bencana
tersebut, maka kepala BNPB/BPBD Provinsi/BPBD Kabupaten/Kota
sesuai dengan kewenangannya menunjuk seorang pejabat sebagai
komandan penanganan tanggap darurat bencana sesuai status/tingkat
bencana skala nasional/daerah kurang efektif harusnya penunjukkan
dilakukan oleh pejabat yang memiliki jabatan atau eselon yang lebih
tinggi.

b. Saran Tentang Aplikasi Peraturan Kepala BNPB Nomor 14 Tahun


2010 Di Indonesia
1. Saran penulis tentang pembentukan pos komando harus satu komando
ketika terjadi bencana, jadi tidak setiap pos komando memiliki komando
sendiri-sendiri karena hal ini akan membuat bingung masyarakat yang
terkena musibah atau bencana terutama tentang data dan informasi mana
yang benar dan dapat dipercaya.
2. Pembentukan pos komando hanya ada pos komando darurat dan pos
komando lapangan hanya satu komando tidak membawa nama instansi
masing-masing atau organisasi/partai/LSM tertentu. Hal ini mencegah
kemungkinan pihak tertentu memamfaat situasi bencana hanya untuk
kepentingan pribadi maupun golongan.
3. Pos komando harus satu komando agar pada saat mengerahkan personil,
logistik, peralatan, sarana, prasarana, transport, dan alat komunikasi
dalam implementasi dilapangan dapat dilaksanakan secara cepat, tepat,
terpadu, efektif, efisien dan akuntabel.
DAFTAR PUSTAKA

A. JURNAL
Bui, T., Sankaran, S.& I Sebastian (2006). Foundations for Designing Global Emergency
Response Systems (ERS). In Proceedings of the 3rd International ISCRAM
Conference-Newark, NJ, USA (pp. 72-81).
Chia, E. S. (2007). "Engineering disaster relief." Technology and Society Magazine, IEEE
26(3): 24-29.
Comfort, L. K., Dunn, M., Johnson, D., Skertich, R., & Zagorecki, A. (2004). Coordination
in complex systems: increasing efficiency in disaster mitigation and response.
International Journal of Emergency Management, 2(1-2), 62-80.
Daniel Huber, Riegelman, Edward, and Luke Heyerdahl. "GIS-based emergency
management." U.S. Patent Application No. 10/456,019.
National Incident Management System (Nims), an Introduction Is-700 Self-Study Guide,
August 2004

B. PERATURAN DAN TERBITAN LEMBAGA NEGARA


Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) 2008. Buku Rencana Kontinjensi,
Jakarta
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), 2010, Buku Rencana Nasional
Penanggulangan Bencana 2010 – 2014
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) 2011. Indeks Rawan Bencana
Indonesia. 2011.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) 2013. Data Bencana Indonesia 2013
Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 10 Tahun 2008
Pedoman Komando Tanggap Darurat Bencana
Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 14 Tahun 2010 tentang
Pedoman Pembentukan Pos Komando Tanggap Darurat Bencana
Peta Bahaya Gempa Bumi ESDM, 2010.
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana

Anda mungkin juga menyukai