Anda di halaman 1dari 62

LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOTERAPI III

FARMAKOTERAPI DIABETES MELITUS ULKUS GANGRENE


PEDIS DEXTRA

Disusun Oleh :
Ismah Maziyah G1F014033
Kiki Rizki Amelia G1F014049
Katarina G1F014061
Irenne Agustina Tanto G1F014071

Dosen Pembimbing : Ika Mustikaningtyas., M.Sc., Apt.


Asisten Praktikum : Hernandita Tyar
Tanggal Diskusi Kelompok : 20 April 2017
Tanggal Presentasi Diskusi Dosen : 25 Mei 2017

LABORATORIUM FARMASI KLINIK


JURUSAN FARMASI
FAKULTAS ILMU – ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
2017
A. KASUS
Pasien bernama Tn Sol, berusia 60 tahun masuk rumah sakit tanggal
21/1/16 sampai 28/1/16 dengan riwayat MRS kaki kanan bengkak sejak 3 bulan
yang lalu, seluruh tubuh terasa nyeri. Pasien memiliki riwayat penyakit kaki
kanan sebelah kanan kesemutan dan tulang terasa sakit. Dokter mendiagnosa
ulkus gangrene pedis dextra

B. DASAR TEORI
1. Patofisiologi

Ulkus kaki diabetes disebabkan tiga factor yang sering disebut trias,
yaitu: iskemi, neuropati, dan infeksi. Kadar glukosa darah tidak terkendali akan

2
menyebabkan komplikasi kronik neuropati perifer berupa neuropati sensorik,
motorik, dan autonomy.
1. Neuropati sensorik biasanya cukup berat hingga menghilangkan sensasi
proteksi yang berakibat rentan terhadap trauma fisik dan termal, sehingga
meningkatkan risiko ulkus kaki. Sensasi propriosepsi yaitu sensasi posisi
kaki juga hilang.
2. Neuropati motorik mempengaruhi semua otot, mengakibatkan
penonjolan abnormal tulang, arsitektur normal kaki berubah, deformitas
khas seperti hammer toe dan hallux rigidus. Deformitas kaki menimbulkan
terbatasnya mobilitas, sehingga dapat meningkatkan tekanan plantar kaki
dan mudah terjadi ulkus.
3. Neuropati autonom ditandai dengan kulit kering, tidak berkeringat, dan
peningkatan pengisian kapiler sekunder akibat pintasan arteriovenosus kulit.
Hal ini mencetuskan timbulnya fisura, kerak kulit, sehingga kaki rentan
terhadap trauma minimal. Hal tersebut juga dapat karena penimbunan
sorbitol dan fruktosa yang mengakibatkan akson menghilang, kecepatan
induksi menurun, parestesia, serta menurunnya refleks otot dan atrofi otot.
(Thellechea et al, 2010).
Penderita diabetes juga menderita kelainan vaskular berupa iskemi. Hal
ini disebabkan proses makroangiopati dan menurunnya sirkulasi jaringan yang
ditandai oleh hilang atau berkurangnya denyut nadi arteri dorsalis pedis, arteri
tibialis, dan arteri poplitea; menyebabkan kaki menjadi atrofi, dingin, dan kuku
menebal. Selanjutnya terjadi nekrosis jaringan, sehingga timbul ulkus yang
biasanya dimulai dari ujung kaki atau tungkai. Kelainan neurovaskular pada
penderita diabetes diperberat dengan aterosklerosis. Aterosklerosis merupakan
kondisi arteri menebal dan menyempit karena penumpukan lemak di dalam
pembuluh darah. Menebalnya arteri di kaki dapat mempengaruhi otot-otot kaki
karena berkurangnya suplai darah, kesemutan, rasa tidak nyaman, dan dalam
jangka lama dapat mengakibatkan kematian jaringan yang akan berkembang
menjadi ulkus kaki diabetes. Proses angiopati pada penderita DM berupa
penyempitan dan penyumbatan pembuluh darah perifer tungkai bawah terutama
kaki, akibat perfusi jaringan bagian distal tungkai berkurang (Kartika, 2017).

3
DM yang tidak terkendali akan menyebabkan penebalan tunika intima
(hyperplasia membran basalis arteri) pembuluh darah besar dan kapiler,
sehingga aliran darah jaringan tepi ke kaki terganggu dan nekrosis yang
mengakibatkan ulkus diabetikum. Peningkatan HbA1C menyebabkan
deformabilitas eritrosit dan pelepasan oksigen oleh eritrosit terganggu, sehingga
terjadi penyumbatan sirkulasi dan kekurangan oksigen mengakibatkan kematian
jaringan yang selanjutnya menjadi ulkus. Peningkatan kadar fibrinogen dan
bertambahnya reaktivitas trombosit meningkatkan agregasi eritrosit, sehingga
sirkulasi darah melambat dan memudahkan terbentuknya thrombus (gumpalan
darah) pada dinding pembuluh darah yang akan mengganggu aliran darah ke
ujung kaki (Kartika, 2017).

C. PENATALAKSANAAN KASUS DAN PEMBAHASAN (SOAP)


1. Subjective
Nama pasien : Tn Sol
No rekam medik : 91xxx
Alamat : Brebes
Umur : 60 tahun
BB / TB :-
Status jaminan :-
Tanggal MRS : 21-1-2016
Tanggal KRS : 28-1-2016
Riwayat MRS : Kaki kanan bengkak sejak 3 bulan yang lalu,
seluruh tubuh terasa nyeri
Riwayat penyakit : Kaki kanan sebelah kanan kesemutan dan tulang
terasa sakit
Riwayat obat :-
Riwayat alergi :-
Riwayat lifestyle :-
Diagnosa : Ulkus gangrene pedis dextra

4
2. Objective
 Parameter penyakit
TTV Tanggal Nilai Ket Assessment
21/1 22/1 23/1 24/1 normal
TD 130/80 130/80 120/80 - 120/80 Normal -
(mmHg)
N 76 80 88 - 80-100 Normal -
(x/menit)
RR 20 20 20 - 16-20 Normal -
(x/menit)
Suhu 36,5 36,5 37 - 36,3-37 Normal -
(oC)
(Kemenkes RI, 2011)
 Data laboratorium
Pemeriksaan Tanggal Nilai normal Keterangan Assessment
21/1
GDS (mg/dL) 158 <90 Meningkat Diabetes
Melitus
Hb (gr/dL) 11,8 13-18 Menurun Anemia
Leukosit 11.990 3.200-10.000 Meningkat Infeksi
(/mm3)
Hematokrit (%) 33 40-50 Menurun Anemia
Eritrosit (sel/ 4,1 4,4-5,6.106 Menurun Anemia
mm3)
Trombosit 272.000 170-380. 103 Normal -
(/mm3)
MCV (fL) 79,7 80-100 Normal -
MCH (pg/sel) 28,6 28-34 Normal -
MCHC (gr/dL) 36,2 32-36 Normal -
RDW 14,5 10-15 Normal -
Basofil (%) 0,4 0-2 Normal -

5
Eusinofil (%) 3 0-6 Normal -
Batang (%) 0,8 0-12 Normal -
Segmen (%) 83,3 36-73 Meningkat Infeksi
Limfosit (%) 8,5 15-45 Menurun Infeksi
Monosit (%) 4 0-11 Normal -
Albumin (g%) 3,17 3,5-5 Menurun CKD stage 4
(hipoalbumin)
Globulin 3,9 2,3-3,9 Normal -
SGPT (U/L) 33 5-35 Normal -
SGOT (U/L) 33 5-35 Normal -
Kreatinin darah 4,09 0,6-1,3 Meningkat CKD stage 4
(mg/dL)
HBA1C (%) 9 4-6 Meningkat Diabetes
mellitus
Na (mEq/L) 136 135-144 Normal -
K (mEq/L) 5,8 3,6-4,8 Meningkat Hyperkalemia
Cl (mEq/L) 99 97-106 Normal -
Ca (mEq/L) 10,8 8,8-10,4 Meningkat Hiperkalsemia
(Kemenkes RI, 2011)

 Tindakan Pembedahan

Tanggal Nama pemeriksaan


22/01/2016 Post debridement pedis

6
3. Assessment
Diagnosa : Ulkus gangrene pedis dextra
Problem medik : anemia, gagal ginjal

Tanggal Subyektif Obyektif Assessment


21/1/16-28/1/16 Kaki kanan Leukosit Diagnosa : ulkus
bengkak sejak 3 meningkat hingga gangren pedis dextra
bulan lalu, seluruh 11.990/mm3
tubuh terasa nyeri (normal : 3.200-
10.000/mm3),
segmen meningkat
83,3 % (normal 36-
73 %), limfosit
menurun 8,5%
(normal 15-45%)
21/1/16-28/1/16 - Kreatinin darah Gagal ginjal kronis
meningkat hingga stage 4
4,09 mg/dL (nilai
normal 0,6-
1,3mg/dL),
albumin menurun
hingga 3,17
(normal 3,5-5 g%)
21/1/16-28/1/16 - GDS meningkat Diabetes mellitus
158 mg/dL,
HbA1C meningkat
hingga 9% (normal
4-6 %)
21/1/16-28/1/16 - Hb menurun 11,8 Anemia
g/dL(normal 13-18
g/dL), Hct
menurun 33 %

7
(normal 40-50%),
Eritrosit menurun
4,1 sel/mm3
(normal 4,4-5,6
sel/mm3)

Pasien telah mendapatkan pengobatan berupa :


Terapi Frekuensi Terapi
21/1 22/1 23/1 24/1 25/1 26/1 27/1 28/1
Ceftriaxon 1x2 V V V V V V V V
Gentamicin 2x1 V V V V V V V V
Ketorolac 3x1 V V V V V V V V
Rantin 2x1 V V V V V V V V
Mentformin 1x1 V V V V V V V V
Glimepiride 2x1 V V V V V V V V

Assessment DRP pada pasien


Tanggal Subyektif Obyektif Assessment Keterangan
21/1- Kaki kanan Leukosit DRP Obat Menurut Lesse (2009),
28/1 bengkak meningkat tidak efektif : obat utama untuk pasien
sejak 3 bulan hingga Ceftriaxon moderate diabetes kaki
lalu, seluruh 11.990/mm3 dan menggunakan
tubuh terasa (normal : 3.200- Gentamicin flucloxacillin
nyeri 10.000/mm3),
segmen
meningkat 83,3
% (normal 36-73
%), limfosit
menurun 8,5%
(normal 15-
45%)
21/1- Kaki kanan - DRP Adverse Ketorolac merupakan

8
28/1 bengkak drug reaction : obat golongan NSAID
sejak 3 bulan Ketorolac yang tidak aman
lalu, seluruh digunakan pada pasien
tubuh terasa gangguan ginjal yang
nyeri, seluruh digunakan untuk
tubuh nyeri, mengatasi nyeri .
kaki kanan Menurut Javed S et al
kesemutan, (2013) terapi PDN yang
tulang sakit tepat untuk pasien
adalah menggunakan
gabapentin.
21/1- - - DRP Terapi Menurut EAST (2008)
28/1 tanpa indikasi dan Mery E Anderson
: Ranitidin (2013) kondisi pasien
tidak termasuk dalam
rekomendasi stress
ulcer prophylaxis
(SUP), sehingga pasien
tidak diberikan ranitidin
sebagai SUP.
- GDS meningkat DRP Obat Menurut PERKENI
158 mg/dL, tidak efektif : (2015) obat antidiabetes
HbA1C Metformin, yang tepat untuk pasien
meningkat Glimepirid CKD adalah insulin
hingga 9% humulin N
(normal 4-6 %)
- Hb menurun DRP Indikasi Terapi anemia yang
11,8 tanpa terapi : tepat untuk pasien CKD
g/dL(normal 13- Anemia adalah menggunakan
18 g/dL), Hct suplemen besi oral yaitu
menurun 33 % ferro sulfat (Ibrahim,
(normal 40- 2003)

9
50%), Eritrosit
menurun 4,1
sel/mm3 (normal
4,4-5,6 sel/mm3)
Kaki bengkak - DRP Indikasi Terapi utama untuk
sejak 3 bulan tanpa terapi : edema pada CKD
yang lalu edema kaki adalah menggunakan
furosemide (loop
diuretic) (Shoun cho,
2002)

4. Plan
a) Tujuan terapi
 Menurunkan dan menstabilkan gula darah pasien
 Mengatasi nyeri pada kaki
 Mengatasi infeksi pada ulkus
 Mengatasi anemia
 Mencegah munculnya komplikasi penyakit kardiovaskular
 Meningkatkan kualitas hidup pasien
 Mengontrol glukosa darah dengan antidiabeetes tanpa
mengakibatkan efek yang berbahaya
 Mengatasi DRP yang terjadi pada pasien
1) Obat tidak efektif : Gentamicin, ceftriaxone, metformin,
glimepiride
2) Adverse drug reaction : Ketorolac
3) Indikasi tanpa terapi : anemia, edema kaki
4) Terapi tanpa indikasi : Ranitidin

b) Terapi non farmakologi


Terapi non farmakologi untuk diabetes mellitus
 Program penurunan berat badan.
 Diet sehat.

10
 Jumlah asupan kalori ditujukan untuk mencapai berat badan
ideal
 Karbohidrat kompleks merupakan pilihan dan diberikan
secara terbagi dan seimbang sehingga tidak menimbulkan
puncak (peak) glukosa darah yang tinggi setelah makan
 Komposisi diet sehat mengandung sedikit lemak jenuh dan
tinggi serat larut.
 Latihan jasmani
Latihan jasmani yang dianjurkan : Latihan dikerjakan sedikitnya
selama 150 menit/minggu dengan latihan aerobik sedang (mencapai
50-70% denyut jantung maksimal), atau 90 menit/minggu dengan
latihan aerobik berat (mencapai denyut jantung >70% maksimal).
Latihan jasmani dibagi menjadi 3-4 kali aktivitas/minggu
 Menghentikan kebiasaan merokok
(Rudijanto et al., 2015)
Terapi non farmakologi untuk anemia :
 Mengonsumsi sayuran tinggi zat besi seperti bayam (Dipiro,
2008).

Terapi non farmakologi gangguan ginjal :


 Diet pada pasien sindrom nefrotik harus memberikan asupan kalori
dan protein memadai (1 g / kg / d). Protein makanan tambahan tidak
terbukti. Diet tanpa garam tambahan akan membantu membatasi
kelebihan cairan.
 Tidak ada pembatasan aktivitas untuk pasien sindrom nefrotik.
Aktivitas yang sedang berjalan, bukan bedrest, akan mengurangi
risiko pembekuan darah.
(Cohen, 2016)

11
c) Terapi farmakologi
Algoritma terapi pasien diabetes dengan ulkus gangren mengikuti
saran terapi sebagai berikut

Gambar 1. Algoritma pemberian terapi DM tipe 2 (PERKENI, 2015).

Gambar 2. Nilai GFR pada pasien dengan gagal ginjal stage 1-5 (KDOQI, 2002).

PERBANDINGAN FARMAKOKINETIKA OBAT ANTIDIABETES PADA


PASIEN DENGAN PENURUNAN FUNGSI GINJAL
1. Biguanida: metformin
Metformin dieksresikan dalam bentuk tidak berubah melalui ginjal
sekitar 90% dalam waktu 12 jam. Pemberian metformin pada pasien gagal ginjal

12
harus diperhatikan terutama pada pasien dengan bersihan kreatinin dibawah 45
mL/menit, sedangkan untuk pasien dengan bersihan kreatinin dibawah 30
mL/menit penggunaan metformin dihindari untuk menghindari terjadinya efek
asidosis laktat. Asidosis laktat merupakan kondisi klinis terjadinya peningkatan
ion H+ yang ditandai dengan kadar laktat dalam darah >5 mM dan pH cairan
arterial <7,25. Pada data hasil penelitian, pasien yang menggunakan metformin
memiliki bersihan kreatinin 17,97 mL/menit. Pasien tersebut seharusnya sudah
tidak lagi diberikan metformin karena kontraindikasi terhadap fungsi ginjalnya
(Pongwecharak, 2009).
Dari hasil penelitian yang telah ada, asidosis laktat merupakan efek
buruk yang serius dari penggunaan metformin walaupun kasus ini jarang terjadi.
Angka kejadian berkisar 1-8 % kasus dalam 1000 pasien dalam satu tahun.
Hampir semua pasien yang mengalami asidosis laktat diakibatkan penggunaan
metformin yang kontraindikasi dengan pasien gagal ginjal (Pongwecharak,
2009).
GFR Penyesuaian dosis
≥60 mL/min/1.73 m2 Aman
45 - 60 mL/min/1.73 m2 Monitoring 3-6 bulan
30 - 45 mL/min/1.73 m2 Penurunan dosis 50%
<30 mL/min/1.73m2 Kontraindikasi
(Ekström N, et al, 2012).

2. Sulfonilurea
Sulfonilurea (SU) digunakan dalam pengelolaan DM tipe 2 sebagai
pengobatan lini kedua setelah kegagalan monoterapi metformin. SU memiliki
risiko hipoglikemia yang lebih tinggi dibandingkan metformin dan agen penurun
glukosa yang lain, terutama pada populasi lanjut usia dan pada pasien dengan
penyakit ginal kronik. Database Veterans Administration menunjukkan bahwa,
dibandingkan dengan pasien yang menggunakan metformin, pengguna
sulfonilurea memiliki peningkatan risiko untuk hasil ginjal. Kebanyakan
sulfonilurea diekskresikan oleh ginjal, baik senyawa induk atau metabolit
(beberapa dari mereka yang aktif secara farmakologi). Profil farmakokinetik

13
klinis sulfonilurea telah diulas secara ekstensif. Namun, beberapa studi profil
farmakokinetika sulfonilurea pada pasien dengan penyakit ginjal menunjukkan
nilai dan deskripsi hasil parameter farmakokinetia yang buruk (Scheen, 2013).
a) Glibenklamid (gliburid)
Glibenklamid (gliburid) dilaporkan tidak ada peningkatan konsentrasi
obat induk pada pasien dengan berbagai tingkat penyakit ginjal kronik, tapi
memiliki efek hipoglikemi berat yang lebih tinggi pada pasien DM tipe 2
dengan penyakit ginjal. Hal ini dapat dikarenakan oleh adanya dua metabolit
aktif (M1 dan M2), yang juga dibersihkan oleh ginjal (Scheen, 2013).
Profil farmakokinetika dari glibenklamid (dengan label gliburid)
dipelajari pada pria dengan berbagai tingkat gangguan ginjal, yang menerima
gliburid dosis 5 mg oral setelah sarapan tinggi karbohidrat (Scheen, 2013).

Gangguan ginjal normal- t1/2= 2,0-5,0 jam Tidak ada hubungan


sedang antara CLCR dan
(CLCR = 29-131 ml/menit/ klirens glyburide
1,73 m2)
Gangguan ginjal parah t1/2= 11 jam Ada hubungan antara
(CLCR = 5 ml/menit/1,73 m2) CLCR dan klirens
glyburide
(Scheen, 2013)
Berdasarkan data tersebut, ekskresi senyawa metabolit bergantung pada
status ginjal, dan dalam penelitian ini secara signifikan hanya berpengaruh
pada pasien dengan gangguan ginjal berat (Scheen, 2013). Penggunaan
glibenklamid dihindari pada pasien dengan eGFR <60 mL/menit/1,73
m2 (Betonico et al., 2016).
b) Glimepirid
Profil farmakokinetika dari glimepiride dipelajari pada pemberian
dosis tunggal (3 mg) dan dosis berulang (1-8 mg setiap hari selama 3 bulan)
pada pasien dengan DM tipe 2 dan pasien gangguan ginjal. Pasien dibagi
menjadi tiga kelompok dengan CLCR di atas 50 ml/menit, CLCR 20-50
ml/menit dan CLCR 10-20 ml/menit. Nilai rata-rata klirens dan rata-rata

14
distribusi pada pemberian dosis tunggal glimepiride (41,6 ml/menit dan
8,47L, masing-masing, pada pasien dengan CLCR di atas 50 ml/menit)
meningkat sebanding dengan derajat gangguan ginjal (sampai 91,1 ml/menit
dan 14,98 L, masing-masing, ketika CLCR di bawah 20 ml/menit), sedangkan
nilai t1/2 dan waktu tetap tidak mengalami perubahan. Hasil yang sama
diperoleh pada pemberian glimepirid dosis berulang (Scheen, 2013).
Penggunaan glimepirid dihindari pada pasien dengan eGFR <60
mL/menit/1,73 m2 (Betonico et al., 2016).
c) Glipizid
Pemberian glipizide untuk pasien dengan gangguan ginjal menunjukkan
bahwa tingkat klirens glipizide tidak berubah, kira-kira sama seperti pada
subyek normal, namun t1/2 dari metabolit hydroxylated meningkat menjadi
20 jam. Karena metabolit ini metabolit tidak aktif, akumulasi metabolit tidak
akan menyebabkan risiko hipoglikemia yang lebih tinggi pada pasien DM
tipe 2 dengan gangguan ginjal. Dengan demikian penggunaan glipizid lebih
cocok daripada glibenclamide (glyburide) atau bahkan glimepiride pada
pasien DM tipe 2 dengan gangguan ginjal (Scheen, 2013). Penggunaan
glipizid tidak membutuhkan penyesuaian dosis (Betonico et al., 2016).
d) Gliklazid
Gliklazid dimetabolisme oleh hati untuk metabolit tidak aktif, yang
dieliminasi terutama dalam urin (80%). Profil farmakokinetik gliklazid
dipelajari di 6 pasien diabetes (mean CLCR= 44 ml/min) dan 11 pasien non-
diabetes (mean CLCR= 13 ml/min) dengan berbagai tingkat gangguan ginjal,
dan dibandingkan dengan 9 relawan sehat (mean CLCR = 118 ml/menit).
Gliklazid diabsorpsi secara sama pada ketiga kelompok. Setelah tercapai
tingkat plasma maksimum, kadar obat cenderung menurun lebih lambat pada
kelompok dengan gangguan ginjal (t1/2 kelompok diabetes: 14,8 jam dan
kelompok non-diabetes = 22,4 jam) dibandingkan dengan kelompok relawan
yang sehat (t1/2: 12,7 jam). Namun, tidak ada perbedaan yang signifikan
untuk parameter lainnya diukur dan tidak ada hubungan yang signifikan
yang ditemukan antara setiap parameter PK diukur dan CLCR (data hanya
dilaporkan sebagai bentuk abstrak) (Scheen, 2013). Dosis dikurangi jika

15
eGFR <30 mL/menit/1,73 m2. Penggunaan gliklazid tidak disarankan
pada pasien dengan eGFR <15 mL/menit/1,73 m2 (Betonico et al., 2016).
e) Glikuidon
Glikuidon diserap secara cepat dan hampir sepenuhnya setelah konsumsi
oral, memiliki t1/2 eliminasi pendek (sekitar 1,5 jam). Glikuidon
dimetabolisme di hati sehingga akumulasinya tidak berpengaruh pada
pasien dengan gangguan ginjal. Namun, tidak ada studi skala besar yang
diterbitkan antar glikuidon dengan sulfon5lurea. Glikuidon hanya
diperdagangkan di beberapa negara (Scheen, 2013).

3. Glinida: meglitinida
Dibandingkan dengan sulfonilurea, glinida memiliki t1/2 lebih pendek dan
tidak ada perbedaan yang signifikan pada ekskresi di ginjal. Dengan demikian, pada
prinsipnya, glinida dan sulfonilurea dapat digunakan pada pasien dengan CKD
(Chronic Kidney Disease), tanpa penyesuaian dosis. Hal ini dapat dilihat dari studi
PK pada pasien dengan RI (Renal Impairment), dengan repaglinida dan nateglinida
(meskipun beberapa peringatan diperlukan untuk nateglinida karena adanya
metabolit aktif yang dibersihkan oleh ginjal). Namun, tidak ada studi skala besar
yang menilai baik khasiat dan keselamatan glinides pada pasien DMT2 dengan
CKD. Selanjutnya, senyawa ini diketahui mempunyai interaksi-interaksi obat seperti
sulfonilurea (Scheen, 2013).

16
Tabel 1. Rangkuman risk and benefit dari kelas obat antihiperglikemik (Scott, 2012).

a) Repaglinida
Repaglinida merupakan agen hipoglikemik yang diberikan secara oral
untuk pengobatan diabetes mellitus tipe 2. Derivatif asam benzoat ini
menghasilkan efek hipoglikemik dengan cara menstimulasi sekresi insulin
dari sel 𝛽 pankreas. Repaglinida terikat dengan plasma protein (kira-kira
98%), dengan distribusi ke jaringan yang rendah dan sangat cepat
dielJiminasi (t1/2 eliminasi 30 – 60 menit). Metabolit mayor dari repaglinida
adalah asam dikarboksilat (M2), amina aromatik (M1), atau asil glukuronida
(M7). Hanya fraksi yang sangat kecil (< 8%) yang diekresi melalui urin
(Scott, 2012).
Perbandingan PK repaglinida dengan dosis single dan multiple dose (2
mg repaglinida untuk 7 hari) terlihat pada pasien dengan fungsi ginjal
normal dengan beragan derajat RI (mild, moderate, severe, hemodialisis).

17
Parameter PK tidak memperlihatkan perbedaan yang signifikan setelah
pemberian dosis tunggal atau dosis ganda repaglinida, walaupun kecepatan
eliminasinya konstan pada kelompok dengan RI severe setelah 1 minggu
pengobatan. Pasien dengan RI severe memiliki perbedaan yang signifikan
(nilai AUC) setelah pemberian dosis tunggal dan dosis ganda repaglinida
daripada pasien dengan fungsi ginjal normal. Tidak ada perbedaan yang
signifikan pada nilai Cmax atau tmax yang terdeteksi antara pasien dengan RI
dan dengan fungsi ginjal normal. Hemodialisis tidak berpengaruh signifikan
pada pembersihan repaglinida. Repaglinida aman dan memiliki toleransi
yang baik pada pasien dengan berbagai macam tingkat RI. Walaupun
penyesuaian dosis awal repaglinida tidak perlu dilakukan untuk pasien RI
atau gagal ginjal, kegagalan dengan tingkat severe mungkin membutuhkan
perhatian lebih ketika dilakukan peningkatan penyesuaian dosis (Scheen,
2013).
Uji klinis yang dilakukan selama 52 minggu dan pada praktik klinik,
dosis rekomendasi repaglinida (0,5 – 4 mg tiga kali sehari) menunjukkan
kontrol gula darah yang efektif dan dapat ditoleransi dengan baik pada
pasien dengan T2DM, termasuk dengan RI. Dengan demikian, repaglinida
merupakan pilihan pengobatan yang tepat, bahkan untuk pasien dengan
tingkat RI yang lebih parah (Scheen, 2013). Dosis awal 0,5 mg sebelum
makan pada pasien dengan eGFR <30 mL/menit/1,73 m2 (Betonico et al.,
2016).
b) Nateglinida
Pasien diabetes dengan RI atau ESRD dengan hemodialisis menerima
dosis tunggal niteglinida 120 mg segera sebelum makan pagi. Konsentrasi
nateglinida dalam plasma meningkat dengan cepat dan sama terjadi pada
pasien dengan dialisis dan individu sehat serta dibandingkan dengan pasien
yang memiliki RI. Tidak ada perbedaan yang signifikan pada Cmax atau
AUC antara kedua kelompok. Nateglinida dieliminasi dengan cepat pada
semua kelompok (t1/2 = 1,9 – 2,8 jam). Tidak ada hubungan antara level
fungsi ginjal dengan level sistemik. Tidak ada tingkat ekskresi niteglinida
melalui ginjal yang rendah pada individu sehat (11%) dan pasien diabetes

18
dengan RI (3%). Nateglinida dapat ditoleransi dengan baik. Data ini
menunjukkan bahwa niteglinida sesuai digunakan pada pasien diabetes
degan CKD atau dengan ESRD (End Stage Renal Disease) dengan dialisis.
Tidak ada penyesuaian dosis yang perlu pada pasien dengan gangguan
ginjal (Scheen, 2013).
Studi lain menunjukkan bahwa dosis niteglinida 90 mg aman dan efektif
pada pasien dengan kegagalan ginjal. Pemberian yang berulang dapat
menyebabkan hipoglikemia yang semakin lama disebabkan oleh akumulasi
M1, suatu metabolit yang diketahui memiliki aktivitas hipoglikemik.
Hemodialisis dapat membantu eliminasi akumulasi M1 yang berlebih
(Scheen, 2013). Penggunaan nateglinida harus diawasi pada pasien
dengan eGFR <30 mL/menit/1,73 m2. Dosis awal sebesar 60 mg sebelum
makan (Betonico et al., 2016).
c) Mitiglinida
Walaupun mitiglinida efektif sebagai pengobatan pada pasien diabetes
juga dengan terapi hemodialisis, seharusnya dimulai dengan dosis awal yang
rendah pada populasi ini, dibandingkan dengan populasi umum pasien
diabetes, dengan tujuan untuk mencegah hipoglikemia (Scheen, 2013).
Walaupun mitiglinida belum disetujui oleh FDA, dosis awal secara oral
yang diberikan yaitu 5 mg, 3 kali sehari, 5 menit sebelum makan sudah
digunakan pada studi dan disetujui untuk digunakan di Jepang. Berdasarkan
studi, jika terapi belum memberikan efek pada dosis 5 mg, dosis dapat
ditingkatkan menjadi 10 mg 3 kali sehari atau maksimum 20 mg 3 kali sehari
(Phillippe dan Kurt, 2010). Waktu paruh (t1/2) mitiglinida pada pasien
dengan fungsi ginjal normal dan pada pasien dengan CKD stage 3 adalah
masing-masing 1,48 jam dan 3,22 jam, perlu perhatian lebih untuk
memonitoring penurunan gula darah yang drastis ketika mitiglinida
diberikan pada pasien dengan RI (Abe et al., 2010).

4. 𝛼- glucosidase inhibitor
α- glucosidase inhibitor tidak direkomendasikan sebagai bagian dari
pengobatan T2DM pada pernyataan ADA-EASD, besar kemungkinan karena

19
glukosa yang rendah dan toleransi saluran pencernaan yang rendah pada orang
kaukasian. Variasi senyawa tergantung pada kelas farmakologis, tetapi data yang
tersedia mengenai penggunaannya pada pasien dengan CKD agak langka.
Karena karakteristik PK, tidak ada dosis penyesuaian yang dibutuhkan pada
kasus RI, walaupun penggunaannya pada pasien dengan moderat sampai severe
CKD tidak dianjurkan pada ketiadaan data yang tersedia (Scheen, 2013).
Tabel 2. Perbedaan karakteristik farmakokinetika antar tiga obat
golongan α- glucosidase inhibitor (Abe et al., 2011).

a) Acarbosa
Acarbosa biasanya diberikan dengan dosis terapi 75-300 mg/hari (Abe et
al., 2011). Acarbosa bekerja lokal pada jalur saluran cerna dan memiliki
bioavailabilitas yang rendah pada sistemik. Walaupun < 2% dosis oral
acarbosa diserap sebagai obat aktif, pasien dengan RI severe (CLCR < 25
ml/min) dicapai hingga 5 kali lebih tinggi pada puncak konsentrasi plasma
dari acarbosa dan 6 kali lebih tinggi untuk nilai AUC daripada pasien dengan
fungsi ginjal normal. Karena uji klinik jangka panjang pada pasien diabetes

20
dengan disfungsi ginjal yang signifikan belum dilakukan, pengobatan untuk
pasien DM tipe 2 tidak dianjurkan menggunakan acarbosa (Scheen, 2013).
Penggunaan acarbosa tidak disarankan pada pasien dengan eGFR <30
mL/menit/1,73 m2 (Betonico et al., 2016).
b) Miglitol
Miglitol diabsorbsi di sistemik tetapi tidak di metabolisme dan
dieliminasi dengan cepat melalui ginjal sebagai obat yang tidak berubah.
Pasien dengan CLCR < 25 ml/min menggunakan miglitol 25 mg tiga kali
sehari menunjukkan peningkatan miglitol pada plasma hingga dua kali lipat
ketika dibandngkan dengan pasien dengan CLCR > 60 ml/min. Penyesuaian
dosis untuk peningkatan konsentrasi plasma tidak layak karena miglitol
bekerja secara lokal di usus. Pengobatan pasien dengan CLCR <25
ml/menit dengan miglitol tidak dianjurkan karena keamanan miglitol
pada pasien ini belum dipastikan (Scheen, 2013).
c) Voglibosa
Voglibosa adalah α- glucosidase inhibitor yang hanya dijual di Jepang.
Voglibosa tidak dieliminasi melalui ginjal. Studi menunjukkan bahwa
voglibosa aman digunakan pada pasien diabetes yang menjalani
hemodialisis, dan digunakan bersama pioglitazon atau mitiglinida (Scheen,
2013).

5. Thiazolidinedione
Dari sudut pandang farmakokinetik, thiazolidinedion dimetabolisme di
hati dan tidak di ekskresikan oleh ginjal. Oleh sebab itu, tidak ada penyesuaian
dosis yang diperlukan pada pasien gagal ginjal kronis. Namun, keamanan
thiazolidinedion masih dipertanyakan dan mungkin lebih relevan pada pasien
diabetes dengan gagal ginjal kronis. Thiazolidinedion tidak
direkomendasikan untuk pasien diabetes mellitus tipe 2 dengan gagal ginjal
kronis. Tetapi, sebuah studi menunjukkan bahwa terapi thiazolidinedion aman
dan efektif untuk pasien rawat jalan yang menerima hemodialisis (Scheen,
2013).
a) Pioglitazone

21
Sifat farmakokinetik pioglitazone ini sangat cocok untuk pasien dengan
gagal ginjal kronis, karena pioglitazone dan metabolit aktifnya diekskresikan
melalui hati. Data farmakokinetik pada pasien normal dan pasien dengan
adanya gangguan ginjal mengungkapkan tidak adanya akumulasi yang
signifikan dari pioglitazone atau metabolitnya pada pasien dengan gangguan
ginjal. Pada pasien hemodialisis diabetes mellitus tipe 2, pengobatan
pioglitazone mengakibatkan kontrol glikemik yang lebih baik, peningkatan
lipid, peningkatan sensitivitas insulin dan kadar adiponektin (Scheen, 2013).
Sebuah meta analisis menyebutkan bahwa pasien yang mendapatkan
pioglitazon meningkatkan resiko gagal jantung namun menurunkan
resiko infark miokard, stroke dan kematian (Lincoff et al., 2007).

6. DPP-4 Inhibitor
DPP-4 inhibitor (gliptin) adalah golongan baru agen antidiabetes oral
penurun glukosa berbasis incretin. DPP-4 inhibitor meningkatkan kontrol
glukosa tanpa terjadi hipoglikemia. Obat-obat sitagliptin, vildagliptin,
saxagliptin, dan alogliptin sebagian besar diekskresikan oleh ginjal. Hasil studi
farmakokinetik pada subjek dengan berbagai tingkat gangguan ginjal
menunjukkan bahwa dosis harian dari DPP-4 inhibitor ini harus disesuaikan
dengan memperkirakan laju filtrasi glomerulus. DPP-4 inhibitor tidak
memerlukan penyesuaian dosis dalam kasus gangguan ginjal dan dapat
digunakan pada pasien dengan berbagai tingkat gagal ginjal kronis, hal tersebut
dapat dilihat pada tabel dibawah ini:

22
DPP-4 inhibitor berperan dalam mengelola diabetes mellitus tipe 2,
terutama dalam kombinasi dengan metformin (Scheen, 2013).
a) Sitagliptin
Penyesuaian dosis sitagliptin direkomendasikan untuk pasien
dengan gangguan ginjal sedang (50 mg/hari) atau gangguan ginjal
berat atau penyakit ginjal stadium akhir (25 mg/hari) untuk
menetapkan plasma sitagliptin yang sebanding dengan pasien dengan
fungsi ginjal normal (100 mg/hari). Pada pasien dengan diabetes
mellitus tipe 2 dan gagal ginjal stadium akhir yang telah dialisis,
sitagliptin 25 mg/hari efektif mengurangi HbA1c dibandingkan
dengan glipizide (Scheen, 2013). Penyesuaian dosis pada pasien
dengan eGFR <50 mL/menit/1,73 m2 sebesar 100 mg/hari, jika
eGFR 30-50 mL/menit/1,73 m2 sebesar 50 mg/hari, jika eGFR <30
mL/menit/1,73 m2 sebesar 25 mg/hari (Betonico et al., 2016).
b) Vildagliptin
Nilai AUC vildagliptin rata-rata meningkat sebesar 32-134% dan
nilai Cmax meningkat sebesar 8-66% pada subyek ringan, sedang, dan
gangguan ginjal parah, dan pada hemodialisis penyakit ginjal stadium
akhir dibandingkan dengan subyek sehat. CLR vildagliptin pada orang
sehat rata-rata 12,4 L/jam, dan menurun pada subyek dengan berbagai
tingkat gangguan ginjal dengan korelasi yang signifikan dengan
penurunan laju filtrasi glomerulus. Vildagliptin efektif dan aman
sebagai pengobatan untuk pasien diabetes yang menjalani
hemodialisis atau pada pasien dengan eGFR <30 ml/menit/1,73 m2
dan diabetes mellitus tipe 2 tidak cukup dikendalikan dengan terapi
insulin (Scheen, 2013).
c) Saxagliptin
Saxagliptin 2,5 mg sekali sehari memiliki efikasi dan tolerabilitas
yang baik untuk pasien dengan diabetes mellitus tipe 2 dan untuk pasien
gangguan ginjal parah, namun tidak direkomendasikan pada pasien
dengan penyakit ginjal stadium akhir (Scheen, 2013).

23
d) Linagliptin
Farmakokinetik linagliptin 5 mg/hari dipelajari dibawah dosis
tunggal dan kondisi steady-state pada pasien gagal ginjal kronik dan
penyakit ginjal stadium akhir hemodialisis ringan, sedang, dan berat
dibandingkan dengan farmakokinetik pada pasien yang mempunyai
fungsi ginjal normal. Ekskresi ginjal tidak berubah, yaitu <7% pada
semua kelompok, meskipun ada kecenderungan ke arah yang sedikit
lebih tinggi (20%-60%) pada pasien dengan gagal ginjal kronis
dibandingkan dengan subjek dengan fungsi ginjal normal. Dengan
demikian, gagal ginjal kronis tidak mempengaruhi efek pada
farmakokinetik linagliptin (Scheen, 2013). Linagliptin adalah satu-
satunya DPP-4 inhibitor yang diekskresi melalui pankreas,
membuat agen ini berpotensi menjadi pilihan pada pasien dengan
ginjal normal sampai pasien dengan penyakit ginjal stage 5 tanpa
penyesuaian dosis (Betonico et al., 2016).

7. SGLT-2 Inhibitor
Inhibitor SGLT2 adalah agen penurun glukosa, yang secara khusus
menargetkan ginjal dengan menghalangi reabsorpsi glukosa, sehingga mengarah
ke glukosuria. Mekanisme aksi ini memiliki potensi yang menjanjikan bagi
pasien dengan DM Tipe 2, tidak hanya dalam hal perbaikan kontrol glikemik,
tetapi juga berpotensi pada penurunan berat badan dan tekanan darah.
Dapagliflozin adalah inhibitor SGLT2 dengan data klinis yang paling tersedia.
Selain, Dapaglifozin SGLT2 inhibitor lainya seperti canagliflozin, dan
empagliflozin saat ini masih pada fase akhir penelitian, tetapi tidak ada
penelitian farmakokinetik spesifik pada pasien dengan gagal ginjal kronis telah
diterbitkan sejauh ini (Scheen, 2013).
Sebuah studi menilai pengaruh perbedaan fungsi ginjal pada profil
farmakokinetik/ farmakodinamik dari dapagliflozin. Dosis 50 mg tunggal
dapagliflozin diberikan dalam lima kelompok individu dipisahkan menurut
status diabetes dan fungsi ginjal: non-diabetes yang sehat; pasien dengan DMT2
dan fungsi ginjal normal dan pasien dengan DMT2 dengan gagal ginjal kronis

24
ringan, sedang dan berat berdasarkan eGFR. Selanjutnya, beberapa dosis (20
mg sekali sehari) dievaluasi pada pasien dengan DMT2. Konsentrasi plasma
dapagliflozin dan D3OG sebagai metabolit yang tidak aktif, yang secara
bertahap meningkat dengan penurunan fungsi ginjal. Cmax pada saat kondisi
tunak untuk dapagliflozin pada pasien dengan gagal ginal ringan 4%, sedang 6%
dan berat 9% lebih tinggi dan untuk metabolit D3OG pada pasien dengan gagal
ginjal ringan 20 %, sedang 37 dan berat 52% lebih tinggi dibandingkan dengan
subyek dengan fungsi ginjal normal. AUC0-tau lebih tinggi dibandingkan dengan
pasien dengan fungsi ginjal normal, efek penurun glukosa melemah dengan
penurunan fungsi ginjal. Clearence kondisi steady-state ginjal berkurang sebesar
pada pasien dengan gagal ginjal kronis ringan 42%, sedang 83% dan berat 84%.
Hasil ini menunjukkan bahwa ginjal berkontribusi secara signifikan untuk
metabolisme dapagliflozin, sehingga resiko lebih tinggi pada saluran sistemik
dengan fungsi ginjal menurun (Scheen, 2013).

Tabel 1. Terapi SGLT2 Inhibitors yang disarankan untuk pasien DMT2


dengan berbagai kategori Gagal Ginjal Kronis (Link, 2016).

Pada pasien DMT2 ketika terapi oral tidak memadai untuk mengontrol
glukosa darah, injeksi dapat digunakan. Selain terapi insulin, GLP-1 reseptor
agonis (exenatide dan liraglutide, menawarkan peluang baru bagi pengelolaan

25
DMT2. Namun, karena sifat farmakokinetik dari komponen obat golongan
tersebut, beberapa keterbatasan jika pasien mempunyai gagal ginjal kronis
(Scheen, 2013).
a) Exenatide
Data Farmakokinetik digabungkan dengan empat studi dosis tunggal
sebelumnya pada pasien dengan DMT2 untuk mengeksplorasi hubungan CL
exenatide (CL / F) dan CLCR. Berarti t 1 / 2 untuk sehat (normal), gagal
ginjal ringan, sedang dan ESRD adalah 1,5 jam, 2,1 jam, 3,2 jam dan 6,0 jam.
Setelah menggabungkan data dari beberapa studi, kuadrat geometrik untuk
CL / F pada subyek dengan fungsi ginjal normal, gagal ginjal ringan, sedang
dan ESRD adalah 8.14, 5.19, 7.11 dan 1.3 L / jam. Dengan demikian,
paparan (AUC) exenatide meningkat secara signifikan pada pasien dengan
gagal ginjal kronis berat (ESRD). Exenatide secara umum ditoleransi pada
kelompok gagal ginjal ringan dan sedang, namun tidak ada subyek dengan
ESRD karena menimbulkan efek samping mual dan muntah. Tolerabilitas dan
perubahan profil farmakokinetik yang dianggap dapat diterima secara klinis
pada pasien dengan gagal ginjal kronis ringan sampai sedang pemberiannya
pada pasien ini tanpa penyesuaian dosis (Scheen, 2013). Penggunaan
exenatide dihidari pada pasien dengan eGFR <30 mL/menit/1,73 m2.
Pada pasien dengan eGFR 30-50 mL/ menit/1,73 m2 tidak melebihi 5
mcg (Betonico et al., 2016).
b) Liraglutide
Penelitian ini menyelidiki apakah penyesuaian dosis sekali sehari
liraglutide (analog GLP-1) diperlukan pada pasien dengan berbagai tingkatan
gagal ginjal kronis, 30 subyek diberi dosis tunggal liraglutide, 0,75 mg
subkutan. Analisis regresi log (AUC) untuk subyek dengan fungsi ginjal
normal dan gagal ginjal ringan sampai berat tidak menunjukkan pengaruh
yang signifikan dari penurunan CLCR pada profil farmakokinetik dari
liraglutide. Derajat gagal ginjal tampaknya tidak dikaitkan dengan
peningkatan risiko efek samping, karena disfungsi ginjal. Namun demikian,
kecenderungan peningkatan mual diamati pada pasien dengan gagal ginjal
sedang atau berat yang menerima liraglutide meskipun jumlah pasien pada

26
kelompok perlakuan ini terlalu rendah untuk menentukan statistik signifikan.
Kesimpulannya adalah gagal ginjal ringan tidak berpengaruh pada efektivitas
dan keamanan dari liraglutide (Scheen, 2013). Penggunaan liraglutide
dihindari pada pasien dengan eGFR <60 mL/menit/1,73 m2 (Betonico et
al., 2016).
Tabel 2. Terapi GLP-1 reseptor agonis yang disarankan untuk pasien DMT2
dengan berbagai kategori Gagal Ginjal Kronis (Link, 2016)

8. Insulin dan Analog insulin


a) Insulin manusia
Ginjal memainkan peranan penting dalam clearance dan degradasi
sirkulasi insulin. Hampir 50% dari sirkulasi insulin (proporsi yang lebih tinggi
untuk eksogen dari endogen insulin) dibersihkan oleh ginjal melalui dua rute
yang berbeda, yang pertama filtrasi glomerulus dan lumen reabsorpsi
selanjutnya insulin oleh sel tubulus proksimal dengan cara endositosis dan yang
kedua difusi insulin dari kapiler peritubular dan selanjutnya mengikat insulin
pada membran contraluminal sel-sel tubular. Ketika gagal ginjal berlangsung,
peritubular serapan insulin meningkat, kompensasi penurunan degradasi dari
insulin sampai GFR menurun hingga kurang dari sekitar 20 ml/menit. Dengan
tingkat GFR yang lebih rendah, insulin menurun lebih lanjut dan persyaratan
keseluruhan insulin eksogen akan sering menurun. Jika hal ini tidak diantisipasi,
risiko hipoglikemia simtomatik meningkat. Pengaruh nefropati diabetik
(Kimmelstiel – Wilson syndrome) pada kebutuhan insulin sudah diketahui sejak
lama. Penurunan Clr insulin memperpanjang t1/2 sirkulasi insulin dan sering
mengakibatkan penurunan insulin pada pasien diabetes (Snyder RW et al, 2004).

27
Hal ini umumnya direkomendasikan bahwa ketika GFR menurun ke antara 10
dan 50 ml / menit, dosis insulin harus dikurangi 25%, dan ketika GFR
menurun hingga <10 ml / menit, insulin harus dikurangi dengan 50% dari
jumlah sebelumnya. Penurunan kebutuhan insulin pada kerusakan ginjal sama
pada pasien DMT1 dan pasien DMT2 insulin. Pada subjek dengan DMT2,
sekresi insulin residual tidak berdampak pada pengurangan persyaratan insulin
tergantung pada GFR. Sebagai contoh, dosis insulin yang dibutuhkan oleh
pasien DMT2 adalah dikurangi 51% pada pasien dengan CLCR dari 10 ml /
menit dibandingkan dengan pasien dengan CLCR dari 80 ml / menit
(Biesenbach et al., 2003).
b) Analog Insulin
Modifikasi dari molekul insulin telah menghasilkan dua analog insulin aksi
panjang (glargine dan detemir) dan tiga insulin aksi cepat (ASPART, lispro dan
glulisine) dengan meningkatkan profil / PD PK. Adapun insulin manusia, PK /
PD profil untuk analog insulin dapat dipengaruhi oleh banyak variabel termasuk
fungsi ginjal, meskipun data yang tersedia jarang terjadi (Morello, 2011). Insulin
lispro mempertahankan karakteristik sifat PK / PD pada pasien dengan nefropati
diabetik yang jelas (Rave et al., 2001). Pada pasien hemodialisis dengan
diabetes, insulin lispro diserap lebih cepat dari insulin reguler, seperti pada
individu dengan fungsi ginjal yang normal (Czock et al., 2003). Demikian pula,
RI (renal injury) tidak mempengaruhi PK dari ASPART insulin secara klinis
yang signifikan (Holmes et al., 2005). Pengurangan dosis awal glargine /
glulisine berdasarkan berat badan pasien rawat inap dengan DMT2 dan RI
mengurangi frekuensi hipoglikemia 50% tanpa mengorbankan kontrol
hiperglikemia (Baldwin et al., 2012). Aksi cepat analog insulin juga dapat
digunakan dalam pasien hemodialisis dengan DMT2 (Ersoy et al., 2006).
Ginjal memainkan peran penting dalam pembersihan insulin dari
sirkulasi sistemik dengan jalur yang khas. Ginjal bertanggungjawab dalam
klirens insulin sebesar 30-80%. Penurunan fungsi ginjal akan menyebabkan
semakin panjangnya T1/2 insulin dan penurunan insulin sebagaimana penurunan
GFR (Hahr dan Mark, 2015). Semua preparat insulin dapat digunakan pada
pasien CKD dan tidak ada spesifitas untuk menurunkan dosis pada pasien. Tipe,

28
dosis dan cara pemberian harus disesuaikan dengan kondisi pasien untuk
mencapai target level gula darah dengan efek hipoglikemia yang rendah
(Baldwin et al., 2012). Sebagai zat eksogen, insulin tidak melalui first pass
metabolism di hati, ginjal berperan penting dalam mengeluarkan insulin
dan menjadi hal yang penting pada pasien dengan penyakit ginjal. CKD
terkait dengan beberapa kelainan metabolisme insulin dan karbohidrat
sehingga klirens insulin menurun, sehingga diperlukan penurunan dosis
untuk mencegah hipoglikemia. Penurunan pada klirens insulin
menyebabkan terjadinya kompensasi peningkatan uptake insulin pada sel
tubulus proksimal dan juga peningkatan resistensi insulin (Betonico et al.,
2016).

PERBANDINGAN EFEKTIFITAS INSULIN


1. Insulin rapid-acting
Analog insulin rapid-acting aspart, lispro dan glulisine adalah insulin
yang paling cepat diabsorbsi dan secara cepat mengatasi gula darah yang
meningkat atau saat postprandial. Insulin jenis ini memiliki onset 5-15 menit,
puncak aksi kerja 30-90 menit dan rata-rata durasi 5 jam. Beberapa studi

29
menunjukkan glulisine memiliki durasi tidak lebih panjang daripada aspart dan
lispro. Insulin rapid-acting dapat diberikan sebelum makan (Epocrates, 2017).
Pasien DM dengan CKD stage 4-5 dan dengan dialisis sering mengalami
pengosongan lambung yang tertunda, sehingga pemberian insulin rapid-
acting setelah makan dapat berguna untuk mencocokan waktu puncak
kerja insulin dengan glukosa darah postprandial (Hahr dan Mark, 2015).
Insulin lispro, insulin aspart dan insulin glulisine adalah analog short-
acting yang memiliki profil farmakokinetika yang mirip. Insulin ini mencapai
konsentrasi plasma sekitar 60-90 menit dan memiliki durasi aksi 3-4 jam. Insulin
lispro diketahui sebagai analog pertama pada pasien dengan CKD. Insulin
glulisine juga eketif dan aman menurunkan hiperglikemia postprandial pada
pasien DM tipe 2 dengan gangguan ginjal parah. Gangguan ginjal tidak berefek
pada farmakokinetika insulin analog secara signifikan, sebagaimana pada insulin
aspart (Urata et al., 2015).

2. Insulin short-acting
Insulin short-acting tersedia dalam bentuk insulin kristalin memiliki
onset 30-60 menit, dan puncak aksi 2-3 jam dan durasi 5-8 jam. Reguler insulin
sebaiknya diberikan 30 menit sebelum makan (Epocrates, 2017).

3. Insulin intermediate-acting
Insulin intermediate-acting yang tersedia adalah isopane atau NPH. Onset
aksi 2-4 jam, puncak konsentrasi 4-10 jam dan durasi 10-18 jam. Untuk
mencapai target, diberikan dengan dosis 2 kali sehari (Hahr dan Mark, 2015).
Insulin Neutral Protamine Hagedorn (NPH) diketahui sebagai insulin
intermediate-acting. Profil waktu kerjanya kurang dari 4-7 jam setelah injeksi
subkutan dan biasanya diberikan 2 atau 3 kali sehari (Lubowsky et al., 2007).
Insulin analog, yang diproduksi dari teknologi rekombinan DNA dapat menjadi
short acting (lispro, aspart atau insulin glulisine) atau dapat menjadi long- atau
ultra-long-acting analog insulin basal (glargine, detemir dan degludec).
Penggunaan yang bersamaan dari analog ini dapat menstimulasi profil insulin

30
secara fisiologis lebih baik daripada reguler dan insulin NPH (Kulozik dan
Hasslacher, 2013).

4. Insulin long-acting
Insulin long-acting adalah glargine dan detemir. Glargine memiliki onset
2-4 jam dengan durasi 20-24 jam, biasanya diberikan 1 x sehari. Detemir
memiliki onset 1-3 jam dengan puncak kerja yang rendah yaitu 6-8 jam dan
durasi aksi 18-22 jam. Detemir diberikan 2 x sehari pada pasien DM tipe 1 dan
tipe 2 (Epocrates, 2017).
Beberapa studi menunjukkan farmakokinetika dari insulin long-acting
pada pasien diabetes dengan CKD. Walaupun pasien dengan penurunan fungsi
ginjal membutuhkan insulin yang lebih redah, tidak diperlukan penyesuaian
dosis bila GFR >50 mL/menit. Dengan demikian, penurunan dosis insulin
hingga 75% dari total dosis harian diperlukan jika GFR antara 10-50 mL/menit
dan penurunan dosis hingga 50% bila GFR <10 mL/menit, tidak tergantung pada
jenis insulin yang digunakan (Betonico et al., 2016).
Karena farmakokinetika dan t1/2 yang stabil, insulin glargine memiliki
profil durasi sekitar 24 jam dan harus diresepkan 1 kali sehari. Beberapa studi
menujukkan bahwa penggunaan insulin glargine pada pasien dengan gangguan
fungsi ginjal yang diberi antidiabetes oral atau insulin NPH memberikan kontrol
glikemik yang sub optimal. Terapi insulin diganti dengan insulin glargine
sebelum tidur dengan penambahan insulin reguler untuk mencapai gula darah
preprandial 100-140 mg/dL. Terdapat penurunan A1C selama 4 bulan
menunjukkan keamanan dan toleransi yang baik dari insulin glargine
dengan insulin reguler pada pasien diabetes tipe 2 dengan diabetes
nefropati (Niafar dan Nakhjavani, 2012).
Insulin analog long-acting lainnya seperti insulin detemir memiliki onset
1 jam dan durasi selama 12-24 jam, serta dapat diresepkan 1 kali sehari.
Penurunan GFR berkaitan dengan berkurangnya dosis dua insulin long-acting
(glargine dan detemir). Dengan kata lain, dosis insulin yang diberikan pada GFR
<60 mL/menit diturunkan sebesar 29,7% pada pasien yang diberikan glargine
dan penurunan dosis 27,3% pada pasien yang diberikan detemir. Pemberian

31
insulin glargine dan detemir tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna pada
ekskresi natrium, albumin atau protein pada pasien dengan D tipe 2 dan CKD
(Porcellati et al., 2007). Generasi terbaru insulin basal dengan durasi ultra-long
yaitu insulin degludec yang baru dilakukan 1 studi pada pasien yang memiliki
GFR berbeda. Pasien dengan CKD yang membutuhkan penyesuaian dosis
disarankan tidak menerima degludec.

5. Insulin premixed
Insulin premixed memiliki rasio persentase yang pasti antara
intermediate acting dengan rapid-acting arau short-acting. Karena mengandung
dua macam insulin, insulin ini memiliki dua puncak kerja yang berbeda.
Contohnya adalah 70/30 dimana 70% NPH dan 30% insulin reguler. Semua
insulin U-100 didefinisikan sebagai 100 unit dari insulin/ml. Pengecualian
insulin U-500 dimana 500 unit dari insulin/ml dan hanya tersedia sebagai insulin
reguler. Konsentrasi tinggi insulin U-500 mengubah sifat insulin reguler
sehingga profil farmakokinetikanya berbeda. Insulin U-500 memiliki Onset
sekitar 30 menit, tetapi puncak kerja 4-8 jam dan durasi 14-15 jam. Dapat
diberikan 30 menit sebelum makan dan diberikan 2-3 kali sehari tanpa
menggunakan insulin basal (Pena et al., 2011). Insulin ini hanya digunakan pada
pasien dengan resistensi insulin yang sudah parah dan digunakan sebagai injeksi
subkutan atau pompa.

Gambar 3. Profil farmakokinetika insulin manusia dan insulin analog


(Hirsch, 2005).

32
Gambar 4. Penyesuaian obat antidiabetes pada pasien dengan komplikasi
CKD berdasarkan eGFR (Betonico et al., 2016).
Beberapa guideline diabetes (ADA, EASD 2012) menyarankan target
HbA1C pada pasien diabetes dengan CKD severe tidak harus <7% tetapi
antara 7% dan 8% masih dapat diterima (Ioannidis, 2014). Pada kebanyakan
pasien diabetes dengan CKD harus memulai self-monitoring glukosa darah
dengan pengukur glukosa. Pasien diabetes dengan CKD biasanya mulai dapat
mengidap penyakit kardiovaskuler serta resiko hipoglikemia yang tinggi. Pada
pasien dengan ginjal normal masih dapat membentuk neoglycogenesis sebesar
30%, dimana dapat mencegah hipoglikemia khususnya pada waktu puasa
(Gerich et al., 2001). Banyak hal yang harus diperhatikan dalam memilih

33
antidiabetes, seperti banyaknya obat yang dimetabolisme dan metabolitnya
diekskresi melalui ginjal, perpanjangan durasi kerja sehingga perlu penurunan
dosis, serta keamanan dan efikasi pada pasien CKD (Haneda dan Morikawa,
2009).
Pasien tidak membutuhkan terapi untuk mengatasi tekanan darah karena
menurut PERKENI (2015) tekanan darah sistolik pada pasien DM dengan CKD
dijaga pada nilai <140 mmHg dan tekanan darah diastolik <90 mmHg. Pasien
memiliki tekanan darah paling tinggi pada tanggal 21-22/1/16 sebesar 180/80
mmHg.

PENYELESAIAN DRUG RELATED PROBLEM


1) Obat tidak efektif: Ceftriakson dan Gentamicin
Menurut Leese et al. (2009), pasien termasuk infeksi kaki diabetes
moderate karena pasien mengalami infeksi jaringan dalam (melibatkan jaringan
subkutan, fasia, tendon, tulang. Terapi utama pasien infeksi kaki diabetes
moderate yaitu menggunakan Oral flucloxacillin 1 g 4 kali sehari, atau
Intravenous (IV) flucloxacillin 1 g 4 kali sehari. Untuk terapi menggunakan
intravena karena pasien sudah geriatri dan masih di rumah sakit. Antibiotik ini
digunakan selama 5-7 hari (Lesse et al., 2009).

34
(Lesse et al., 2009)
Untuk terapi KRS antibiotik belum diperlukan karena antibiotik
digunakan dari tanggal 23/1 - 28/1 (6 hari), melainkan dimonitoring kadar
leukosit, besar selulitis terlebih dahulu. Jika masih terjadi infeksi, maka diterapi
dengan terapi alternative yaitu co-trimoxazole 960 mg 2 kali sehari selama 5-7
hari (Lesse et al., 2009).
Kapsul Flucloxacillin, cair dan suntikan digunakan untuk merawat
jangkitan yang disebabkan oleh bakteria, seperti berikut:
• Jangkitan bakteria pada kulit dan tisu lembut, seperti ulser
dijangkiti, luka atau terbakar, abses, bisul, selulitis, impetigo.
• Jangkitan bakteria paru-paru dan saluran pernafasan (saluran
pernafasan), aspneumonia itu, paru-paru bernanah.
• Bakteria telinga, hidung dan tekak jangkitan, seperti resdung,
tonsillitis, sakit tekak, quinsy, otitis media dan otitis externa.
• Jangkitan bakteria tulang (osteomielitis).

35
• Jangkitan bakteria pada saluran kencing.
• Meningitis bakteria.
• Jangkitan bakteria dalam darah (septisemia atau keracunan
darah).
• Jangkitan bakteria pada selaput jantung atau jantung injap
(endokarditis).
• Jangkitan bakteria usus (usus).
• Mencegah jangkitan bakteria semasa pembedahan utama,
contohnya jantung atau pembedahan tulang.
Flucloxacillin tergolong dalam kumpulan antibiotik penisilin. Ia
berfungsi dengan mengganggu keupayaan bakteria untuk membentuk dinding
sel. Dinding sel bakteria adalah penting untuk bertahan hidup bakteri. Mereka
menyimpan bahan-bahan yang tidak diingini daripada memasuki sel-sel mereka
dan berhenti kandungan sel mereka dari bocor keluar. Flucloxacillin merusak
ikatan yang memegang dinding sel bakteria bersama-sama. Ini menimbulkan
lubang untuk muncul di dinding sel dan membunuh bakteria (Anonim, 2016).

2) Adverse Drug Reaction : Ketorolac


Ketorolac merupakan obat golongan NSAID. Menurut Dipiro et al
(2008) NSAID merupakan salah satu dari drug induced renal injury yang tidak
dianjurkan penggunaannya untuk pasien CKD karena dapat memperparah
kondisi gagal ginjal kronis jika digunakan secara akut maupun kronis. Obat-obat
yang lain adalah litium, antibiotic acyclovir, indinavir, ciprofloksasin. Selain itu
penggunaan ketorolac sebagai antinyeri kurang tepat untuk pasien ulkus
gangren. Menurut Javed S, et al (2015) terapi yang digunakan PDN adalah
golongan GABA analog seperti pregabalin dan gabapentin, golongan TCA
seperti amitriptilin, desipramine dan imipramine, golongan yang lain adalah
SNRI yaitu duloxetine dan venlafaxine, kemudian golongan opioid seperti
tramadol dan topical seperti cream capsaicin.

36
(Javed S et al, 2015)
Berdasarkan gambar diatas, yang merupakan first line terapi untuk pain
diabetic neurophaty (PDN) adalah menggunakan golongan GABA analog,
golongan TCA, golongan SNRI. Sedangkan secondline terapi menggunakan
golongan opioid dan topical. Perbandingan obat pada terapi PDN :
a. Golongan TCA
TCA memiliki banyak aksi, termasuk menghalangi reuptake serotonin dan
noradrenalin dari celah sinaptik, namun juga dapat menghambat reseptor
antikolinergik. Beberapa contoh seperti amitriptyline juga ditemukan
berperan dalam blokade kanal Na (Chong dan Hester, 2007). Data tentang
efikasi pada terapi nyeri neuropati terbatas dan penelitian biasanya
tidak tepat untuk menghilangkan rasa sakit. Amitriptyline, desipiramin
dan imipramine telah dipelajari dan menunjukkan khasiatnya. namun TCA
memiliki tingkat efek samping yang tinggi dan dibatasi pada pasien
diabetes. pada sebuah metaanalisa, khasiat dan keamanan enam anti
depresan dan GABA analog untuk terapi PDN, ditemukan amitriptilin

37
adalah agen yang paling tidak aman untuk indikasi ini (Rudroju Et al, 2013).
dalam praktek klinik, dosis tinggi jarang digunakan untuk uji klinis karena
menimbulkan efeksamping, sehingga digunakan dosis rendah (Javed et al,
2015).
b. SNRI (Serotonin Norepinephrine Reuptake Inhibitor)
SNRI duloxetin adalah obat pertama yang disetujui oleh FDA untuk
mengatasi PDN pada tahun 2004 berdasarkan data RCT (Tavakoli et al,
2008). di Inggris, duloxetin ditemukan lebih cost-efective untuk mengatasi
PDN (Beard et al, 2008). SNRI yang lain contohnya adalah venlafaxine
yang dipelajari untuk mengatasi PDN. Dalam suatu study plasebo
terkontrol, venlafaxine dapat memperbaiki simptomatik PDN dibanding
plasebo. Namun secara klinis ditemukan perubahan penting pada perubahan
elektrokardiogram ditemukan pada 7 pasien. Venlafaxinee hanya
menunjukkan manfaat pada dosis lebih dari 150 mg/hari. dibawah dosis
tersebut venlafaxine hanya mempengaruhi transmisi serotonergik dan tidak
bekerja sebagai SNRI (Javed et al, 2015).
c. GABA Analog
Carbamazepine adalah carboxamide pertama yang dipelajari untuk terapi
PDN, dan bekerja terutama mengeblok tegangan yang sensitif pada kanal
Na untuk menurunkan rangsangan saraf perifer. menurut penelitian,
karbamazepin memiliki efek samping penekanan sumsum tulang dan
osteoporosis (Javed et al, 2015).
Gabapentin meniru aksi neurotransmitter GABA, aksinya menghilangkan
rasa sakit yaitu menghambat ... unit dari kanal Na dan sekarang
direkomendasikan dalam penanganan PDN (Spallone, 2012). Sebuah
sistematik review dari 35 penelitian menyimpulkan bahwa gabapentin
efektif dalam mengelola nyeri neuropatik (Rudroju et al, 2013].
Pregabalin memiliki potensi yang lebih tinggi dibandingkan gabapentin,
keduanya memiliki mekanisme aksi yang sama. akan tetapi pregabalin
memiliki efek samping seperti gangguan mood, edema pergelangan kaki
dan bersifat sedatif. Dibandingkan dengan gabapentin, pragabalin
memiliki biaya yang lebih besar (Sicras et al, 2013.)

38
d. Opioid
Meskipun termasuk dalam µ-opioid reseptor agonis yang utama, tramadol
juga disarankan untuk mempengaruhi jalur penghambatan descending. One
multicentre, double-blind, placebo controlled study melaporkan bahwa rata-
rata dosis 200 mg/ hari, secara signifikan tramadol dapat sebagai penghilang
rasa sakit (Harati et al, 1998). Efek samping yang dilaporkan pada dosis
yang tinggi adalah mual (23%), konstipasi (21%), sakit kepala (17%) (Bril
et al, 2011). Bagaimanapun penggunaan opioid sebagai menegemen
PDN adalah kontroversial karena kebanyakan uji coba dilakukan pada
sampel yang sedikit dan durasi yang sebentar dan belum ditentukan
rasio risk-benefit. Penggunaan jangka panjang opioid menyebabkan
efeksamping seperti ketergantungan, sembelit, gatal, dan perubahan fungsi
imunologis dan penekanan pituitary axis, selain itu dapat meningkatkan
biaya untuk monitoringnya. (Brennan, 2013)

Berdasarkan perbandingan diatas, golongan GABA analog lebih aman


untuk pasien. Diantara pregabalin dan gabapentin sama-sama efektif untuk PDN,
tetapi lebih efektif pregabalin, tetapi pregabalin memiliki efeksamping salah
satunya yaitu edema perifer yang dapat memperparah edema yang dialami pada
Tn Sol. Selain itu dari segi biaya, pregabalin lebih mahal dibanding gabapentin,
dan gabapentin sendiri sudah ada generic sehingga lebih terjangkau lagi.
Sehingga atas pertimbangan-pertimbangan tersebut obat PDN yang tepat untuk
pasien adalah gabapentin. Dosis gabapentin yang digunakan pada pasien
gangguan ginjal stage 4 adalah 200 mg/hari satu kali sehari (Medscape, 2017)

3) Terapi tanpa indikasi : Ranitidin


Menurut guideline EAST (2008), pemberian stress ulcer prophylaxis
(SUP) diberikan untuk 3 level rekomendasi. Rekomendasi level 1
direkomendasikan untuk semua pasien dengan mechanical ventilation,
koagulopati (masalah dengan pembekuan darah), cedera otak dan luka bakar
mayor. Rekomendasi level 2 direkomendasikan untuk pasien ICU dengan multi
trauma, gagal ginjal akut dan sepsis. Rekomendasi level 3 direkomendasikan

39
untuk pasien ICU dengan ISS >15, menerima obat steroid dosis tinggi (>250
mg/hari hidrokortison atau yang setara). Sedangkan menurut penelitian yang
lebih baru oleh Mery E Andersom (2013) pasien yang menerima SUP dapat
dilihat pada gambar 2 yang digunakan untuk pasien ICU. Menurut Mery E
Anderson pasien non ICU lebih jarang mengalami pendarahan GI, sehingga
untuk pasien non ICU tidak perlu diberikan SUP. First line terapi SUP adalah
menggunakan golongan H2RA seperti ranitidine, cimetidine, famotidine
golongan yang lain adalah sukralfat dan PPI seperti omeprazole, lansoprazol,
pantoprazole.

Gambar 1 : Rekomendasi SUP menurut EAST (2008)

40
Gambar 2 : Rekomendasi SUP menurut Mery E Anderson (2013)

4) Obat tidak efektif : Metformin dan Glimepirid


Metformin dieksresikan dalam bentuk tidak berubah melalui ginjal sekitar
90% dalam waktu 12 jam. Pemberian metformin pada pasien gagal ginjal harus
diperhatikan terutama pada pasien dengan bersihan kreatinin dibawah 45
mL/menit, sedangkan untuk pasien dengan bersihan kreatinin dibawah 30
mL/menit penggunaan metformin dihindari untuk menghindari terjadinya efek
asidosis laktat. Asidosis laktat merupakan kondisi klinis terjadinya peningkatan
ion H+ yang ditandai dengan kadar laktat dalam darah >5 mM dan pH cairan
arterial <7,25. Pada data hasil penelitian, pasien yang menggunakan metformin
memiliki bersihan kreatinin 17,97 mL/menit. Pasien tersebut seharusnya sudah
tidak lagi diberikan metformin karena kontraindikasi terhadap fungsi ginjalnya
(Pongwecharak, 2009).

41
GFR Penyesuaian dosis
≥60 mL/min/1.73 m2 Aman
45 - 60 mL/min/1.73 m2 Monitoring 3-6 bulan
30 - 45 mL/min/1.73 m2 Penurunan dosis 50%
<30 mL/min/1.73m2 Kontraindikasi
(Ekström N, et al, 2012).
Profil farmakokinetika dari glimepiride pada pemberian dosis tunggal (3
mg) dan dosis berulang (1-8 mg setiap hari selama 3 bulan) pada pasien dengan
DM tipe 2 dan pasien gangguan ginjal. Pasien dibagi menjadi tiga kelompok
dengan CLCR di atas 50 ml/menit, CLCR 20-50 ml/menit dan CLCR 10-20
ml/menit. Nilai rata-rata klirens dan rata-rata distribusi pada pemberian dosis
tunggal glimepiride (41,6 ml/menit dan 8,47L, masing-masing, pada pasien
dengan CLCR di atas 50 ml/menit) meningkat sebanding dengan derajat
gangguan ginjal (sampai 91,1 ml/menit dan 14,98 L, masing-masing, ketika
CLCR di bawah 20 ml/menit), sedangkan nilai t1/2 dan waktu tetap tidak
mengalami perubahan. Hasil yang sama diperoleh pada pemberian glimepirid
dosis berulang (Scheen, 2013). Glimepirid memberikan efek hipoglikemia yang
rendah dibandingkan dengan gliburide, namun harus dihindari penggunaannya
pada pasien dengan eGFR <60 mL/menit/1,73 m2 (Simpanis, 2008).
Penggunaan glimepirid dihindari pada pasien dengan eGFR <60
mL/menit/1,73 m2 (Betonico et al., 2016).
Menurut PERKENI (2015) pasien yang memiliki nilai HbA1C ≥ 7,5%
diberikan kombinasi 2 obat dengan mekanisme yang berbeda. Obat lini pertama
yang disarankan PERKENI adalah metformin, agonis GLP-1, penghambat DPP-
4, penghambat glukosidase alfa, penghambat SGLT-2, tiazolidindion,
sulfonilurea dan glinid. Sedangkan obat lini kedua yang dapat diberikan antara
lain agonis GLP-1, penghambat DPP-4, penghambat glukosidase alfa,
penghambat SGLT-2, tiazolidindion, sulfonilurea/glinid, dan insulin basal.
Berdasarkan perbandingan efektifitas antar obat antidiabetes yang tersebut, obat
yang aman digunakan pada pasien dengan penyakit ginjal stage 4 karena tidak
membutuhkan penyesuaian dosis dan diekskresi tidak melalui ginjal yaitu
glipizid, pioglitazon, linagliptin, insulin basal. Namun pioglitazon diketahui

42
dapat meningkatkan resiko gagal jantung namun menurunkan resiko infark
miokard, stroke dan kematian (Lincoff et al., 2007).
Karena pasien mengalami penyakit ginjal stage 4, maka harus dihindari
penggunaan obat yang dapat meningkatkan resiko komplikasi kardiovaskular
sehingga obat yang dapat digunakan antara lain glipizid, linagliptin dan insulin
basal.
Menurut PERKENI (2015), insulin diperlukan dalam keadaan :
 HbA1c > 9% dengan kondisi dekompensasi metabolik
 Penurunan berat badan yang cepat
 Hiperglikemia berat yang disertai ketosis
 Krisis Hiperglikemia
 Gagal dengan kombinasi OHO dosis optimal
 Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, infark miokard akut,
stroke)
 Kehamilan dengan DM/Diabetes melitus gestasional yang tidak
terkendali dengan perencanaan makan
 Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat
 Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO
 Kondisi perioperatif sesuai dengan indikasi
Berdasarkan algoritma diatas, pasien Tn. H menderita CKD stage 4
dengan DM tipe 2 memiliki nilai HbA1C sebesar 9% sebaiknya diberikan dua
macam obat dengan mekanisme berbeda atau insulin dengan kombinasi satu
obat oral sehingga kami mempertimbangkan memberi glipizid dan insulin
basal kerja menengah (Humulin N). Setelah tiga bulan pengobatan, maka
dilakukan evaluasi. Jika masih belum mencapai target HbA1C maka diberikan
kombinasi insulin dengan 2 atau 3 obat antidiabetes oral (PERKENI, 2015).
Pasien yang menerima monoterapi sulfonilurea yang ditambah
insulin dengan yang menerima insulin saja memiliki perbedaan resiko CVD
(cardiovascular disease) yang tidak berbeda signifikan, hipoglikemia, CKD
atau resiko kematian. Pasien yang menerima insulin saja memiliki penurunan
HbA1c yang lebih besar selama follow up 1 tahun. Kombinasi sulfonilurea dan
insulin memiliki resiko hipoglikemi yang lebih besar dibandingkan dengan yang

43
menerima insulin saja atau sulfonilurea saja. Walaupun terdapat bukti bahwa
penggunaan kombinasi dapat menurunkan kebutuhan insulin eksogen, namun
pengurangan penggunaan insulin sangat kecil dalam perbedaan berat badan,
resiko hipoglikemia atau keuntungan klinis seperti pencegahan CVD atau CKD
(Min et al., 2016). Karena harga insulin dan obat antidiabetes tidak murah, maka
kami putuskan untuk memberikan insulin saja pada pasien Tn SOL.
Menurut sebuah systematic review yang membandingkan pemberian
insulin dengan melanjutkan terapi dengan obat antidiabetes oral, didapatkan
hasil bahwa pemberian terapi dengan insulin dapat menurunkan level A1c lebih
besar dibandingkan dengan obat antidiabetes oral (Asche et al., 2012). Tidak
ada perbedaan yang signifikan pada biaya yang dikeluarkan oleh pasien
yang menerima inisiasi insulin dengan yang menerima 3 obat antidiabetes
oral (Levin et al., 2016).
Insulin intermediate-acting yang tersedia adalah isopane atau NPH.
Onset aksi 2-4 jam, puncak konsentrasi 4-10 jam dan durasi 10-18 jam. Untuk
mencapai target, diberikan dengan dosis 2 kali sehari (Hahr dan Mark, 2015).
Insulin Neutral Protamine Hagedorn (NPH) diketahui sebagai insulin
intermediate-acting. Profil waktu kerjanya kurang dari 4-7 jan setelah injeksi
subkutan dan biasanya diberikan 2 atau 3 kali sehari (Lubowsky et al., 2007).
Pada pasien dengan GFR <45 ml/menit/1,73 m2 dapat diberikan inisial insulin
sebesar 0,2 U/kg (Rubin et al., 2011).
Faktor resiko pada penyakit vaskuler pada pasien diabetes, khususnya
pada diabetes tipe 2, termasuk hiperglikemia, resistensi insulin, dislipidemia,
hipertensi, merokok dan obesitas. Mekanisme dari penyakit vaskuler pada
diabetes yaitu efek patologik dari akumulasi produk akhir glikosilasi, kerusakan
sistem vasodilator dalam menghambat nitrit oksida, disfungsi sel otot polos,
produksi growth factor endotel yang berlebihan, inflamasi kronik, disregulasi
hemodinamik, penurunan kemampuan fibrinolitik dan peningkatan agregasi
platelet (Cade, 2008).
Diabetes nefropati adalah komplikasi serius dan progresif pada pasien
diabetes tipe 1 dan tipe 2. Manifestasi pertama dari diabetes nefropati adalah
mikroalbuminuria (30-300 mg/hari) yang berlanjut pada overt albuminuria

44
(peningkatan albumin dalam urin, mengindikasikan beberapa disfungsi ginjal
parah) dan kegagalan ginjal yang akhirnya menjadi end stage renal disease
(ESRD) (Drummond dan Mauer, 2002).
5) Indikasi tanpa terapi : Anemia
Pasien memiliki penyakit DM dan juga CKD stage 4 mengalami
penurunan Hb, Hct dan eritrosit. Kemungkinan besar pasien mengalami anemia
sebagai komplikasi yang terjadi. Terapi anemia yang biasa digunakan yaitu
suplemen besi, ESA dan transfusi darah. Rekomendasi terapi untuk pasien
adalah dengan pemberian suplemen besi. Pemberian suplemen besi untuk
meningkatan Hb pasien. Suplemen besi yang digunakan yaitu ferro sulfat.
Karena ferro sulfat efektif meningkatkan Hb lebih cepat dibanding dengan ferro
glukonat dan ferro fumarat tetapi ferro sulfat memilki resiko iritasi lebih besar
dari keduanya, hal ini bisa diatasi dengan pemberian ferro sulfat saat makan atau
sesudah makan serta bentuk sediaan yang disalut. Pemilihan oral suplemen besi
karena penggunan IV suplemen besi beresiko terkena infeksi dan tidak boleh
digunakan pada pasien CKD stage 4. Tidak digunakanya ESA dan transfusi
darah karena Hb pasien 11.8 gr/dL sedangkan penggunaan ESA dan transfusi
darah ketika Hb < 10 gr/dL serta pemberian oral suplemen besi yang tidak
memungkinkan. Dosis : 325 mg 3x sehari 1 kapsul. Eso: iritasi GI, mual,
muntah, pusing, konstipasi, diare, tinja menjadi hitam (Ibrahim, dina. 2003)

6) Indikasi tanpa terapi : Furosemide


Pasien mengalami edema pada kaki selama 3 bulan. Edema adalah
akumulasi abnormal cairan di dalam ruang interstitial (celah di antara sel) atau
jaringan tubuh yang menimbulkan pembengkakan. Pada kondisi yang normal
secara umum cairan tubuh yang terdapat diluar sel akan disimpan di dalam dua
ruangan yaitu pembuluh darah dan ruang – ruang interstitial (Shoun Cho, 2002).
Edema kaki dapat disebabkan oleh beberapa hal seperti gangguan jantung,
gangguan ginjal, gangguan hepar, efek samping obat-obatan tertentu, gangguan
tiroid, kehamilan, defisiensi nutrisi yang berat, obesitas, DVT, kerusakan
limfatik, dermatitis dan selulitis. Penyebab edema pada pasien ini dapat dilihat
berdasarkan riwayat penyakit pasien. Gagal ginjal yang dialami oleh pasien

45
dapat menyebabkan edema pada kaki. Pada pasien gagal ginjal terjadi penurunan
albumin. Albumin bertanggung jawab atas 75-80% tekanan onkotik plasma
normal. Jika kadar protein plasma, terutama penurunan kadar albumin, hal itu
menyebabkan pengurangan atau hilangnya tekanan onkotik koloid untuk
melawan tekanan hidrostatik ke luar, ketidakseimbangan ini menyebabkan aliran
keluar cairan ke ruang vaskular ekstra dan jaringan yang menyebabkan edema
(Gayatri dan Gerard, 2015)
Terapi yang digunakan untuk edema adalah diuretic, karena diuretic akan
mengeluarkan cairan tersebut pada urin. Loop diuretic paling efektif untuk
edema seperti furosemide karena memliki waktu paruh 1,5-2 jam. Efek samping
furosemide yang paling besar adalah hiperurisemia (40%) dan hypokalemia (14-
60%) (Medscape, 2017). Pasien mengalami hiperkalemi sehingga dapat
diturunkan juga menggunakan furosemide. Dosis furosemide yang digunakan
untuk mengatasi edema adalah 20-80 mg secara PO 1x1 (Medscape, 2017).

GAGAL GINJAL PADA PASIEN


Menurut Dipiro et al (2008) pasien diabetes mellitus tipe 2 memiliki
resiko 50 % terkena komplikasi gagal ginjal kronik. The Kidney Disease
Outcomes Quality Initiative (K/DOQI) of the National Kidney Foundation
(NKF) menyatakan gagal ginjal kronik terjadi apabila berlaku kerusakan
jaringan ginjal atau menurunnya glomerulus filtration rate (GFR) kurang dari 60
mL/min/1.73 m2 selama 3 bulan atau lebih. Glomerulus filtration rate adalah
penunjuk umum bagi kelainan ginjal. Dengan bertambah parahnya kerusakan
ginjal, GFR akan menurun. Nilai normal GFR adalah 100-140 mL/min bagi pria
dan 85-115 mL/min bagi wanita. Dan ia menurun dengan bertambahnya usia.
LFG ditentukan dengan menentukan jumlah bahan buangan dalam urin 24 jam
atau dengan menggunakan indikator khusus yang dimasukkan secara intravena.
Ada pula Cleareance kreatinin, Cleareance kreatinin merupakan sebuah ukuran
yang lebih tepat dari fungsi ginjal yang diketahui dengan cara menghitung
berapa banyak kreatinin dibersihkan dari tubuh oleh ginjal. Pengukuran
kreatinin yang diperoleh dari pengumpulan urin 24 jam, namun hal itu sulit
dilakukan. Konsentrasi kreatinin urin dihubungkan dengan volume urin dan

46
durasi pengumpulan urin (dalam menit) merupakan nilai perkiraan kerja fungsi
ginjal yang sebenarnya (National Kidney Foundation, 2002). Berikut adalah
tahap yang telah ditetapkan menerusi (K/DOQI) pada tahun 2002 dan cara
menghitung nilai GFR (Pranay, 2010):
Stage 1: Kidney damage with normal or increased GFR (>90
mL/min/1.73 m2)
Stage 2: Mild reduction in GFR (60-89 mL/min/1.73 m2)
Stage 3: Moderate reduction in GFR (30-59 mL/min/1.73 m2)
Stage 4: Severe reduction in GFR (15-29 mL/min/1.73 m2)
Stage 5: Kidney failure (GFR <15 mL/min/1.73 m2 or dialysis)
Untuk mengetahui derajat keparahan GGK pasien dapat dihitung
menggunakan rumus Cockroft-Gault (Suwitra, 2006). Pasien adalah laki-laki
berusia 60 tahun, tinggi badan dan berat badan pasien tidak diketahui sehingga
kami mengasumsikan tinggi badan pasien adalah 160 cm, dan berat badan
pasien adalah 60 kg.
GFR (ml/menit/1,73m²) = (140-umur)x berat badan / 72 x kreatinin plasma
(mg/dl)*). *) pada perempuan dikalikan 0,85. (Suwitra, 2006).
GFR = (140-60th) x 60 kg/ 4,09 mg/dL x 72
= 16,3 ml/menit/1,73m
Dari hasil perhitungan GFR didapatkan nilai GFR pasien adalah 16,3
ml/menit/1,73m² yang menunjukkan pasien mengalami GGK stage 4 (15-29
ml/menit/1,73m²). Pasien memiliki tekanan darah 130/80 mmHg yang masih
dikatakan normal. Pemberian obat CKD diberikan jika sistolik >130 mmHg dan
diastolic >80mmHg, sehingga pasien tidak perlu diberikan terapi untuk CKD

47
(KDIGO, 2012).

Tn Sol didiagnosa ulkus gangrene pedis dextra sehingga terapi yang diterima
adalah :
Jadi, saran terapi untuk pasien Tn Sol :
Frekuen Tanggal
Obat Dosis
si 21/1 22/1 23/1 24/1 25/1 26/1 27/1 28/1
Flucloxa 4 kali
1 gram V V V V V V V V
cillin sehari
Gabapen 1 kali
200 mg V V V V V V V V
tin sehari
Insulin
2 kali
Humulin 12 Unit V V V V V V V V
sehari
N
Fero 3 kali
325 mg V V V V V V V V
sulfat sehari
Furosemi 2 kali
20 mg V V V V V V V V
de sehari

Terapi yang disarankan saat KRS:


Obat Dosis Frekuensi Jumlah
Insulin Humulin N 12 Unit 2 kali sehari 12 unit
3 kali sehari 1 kapsul
Fero sulfat 325 mg
selama 2 minggu

48
D. KIE
 KIE untuk dokter dan tenaga kesehatan lainnya
1. Mengkomunikasikan pada dokter tentang adanya penurunan kadar
kreatinin pasien yang cukup signifikan.
2. Melakukan perawatan luka gangren diabetik secara intensif setiap hari
3. Monitoring kadar leukosit, limfosit, segmen setelah menerima
flucloxacillin selama 6 hari setelah diberikan
4. Monitoring HbA1C 3 bulan sekali
5. Monitoring kadar Hb, Hct dan eritrosit setiap hari
6. Monitoring cairan elektrolit dan tekanan darah
 KIE untuk pasien
1. Menjaga kebersihan luka, sedia cairan antiseptik, cairan fisiologis
berupa larutan NaCl atau RL dan juga kain kassa steril untuk melakukan
perawatan luka gangren diabetik
2. Memberi edukasi perawatan kaki kepada pasien seperti dibawah ini

3. Mengedukasi pasien untuk menghindari minum susu, kafein, antasida,


atau suplemen kalsium sekaligus dengan suplemen besi karena bisa
mengganggu penyerapan zat besi. (Simon, 2017)

49
4. Mengedukasi pasien tentang penyimpanan tablet ferro sulfat harus
disimpan di tempat yang sejuk. (Lemari obat kamar mandi mungkin
terlalu hangat dan lembab, yang bisa menyebabkan obantnya hancur.)
(Simon, 2017)
5. Mengedukasi cara penyuntikan insulin (perkeni, 2015) :
•Insulin umumnya diberikan dengan suntikan di bawah kulit (subkutan),
dengan arah alat suntik tegak lurus terhadap cubitan permukaan kulit.
•Lokasi penyuntikan, cara penyuntikan maupun cara insulin harus
dilakukan dengan benar, demikian pula mengenai rotasi tempat suntik.
•Penyuntikan insulin dengan menggunakan semprit insulin dan
jarumnya sebaiknya hanya dipergunakan sekali, meskipun dapat dipakai
2-3 kali oleh penyandang diabetes yang sama, sejauh sterilitas
penyimpanan terjamin. Penyuntikan insulin dengan menggunakan pen,
perlu penggantian jarum suntik setiap kali dipakai, meskipun dapat
dipakai 2-3 kali oleh penyandang diabetes yang sama asal sterilitas
dapat dijaga.
•Penyuntikan dilakukan pada daerah: perut sekitar pusat sampai
kesamping, kedua lengan atas bagian luar (bukan daerah deltoid),
kedua paha bagian luar.
6. Mengedukasi cara penyimpanan Humulin N KwikPen (Drugs, 2017) :
Jika Pen insulin belum terbuka dapat disimpan pada lemari
pendingin, atau pada suhu ruang (30oC). Jika Pen insulin sudah terbuka,
disimpan pada suhu ruang selama 14 hari dan jangan disimpan dalam
lemari pendingin.

Gambar 5. Macam-macam cara penyimpanan Insulin Humulin N (Drugs, 2017).

50
Gambar 6. Bagian-bagian Pen Humulin N (Drugs, 2017).
Langkah-langkah Gambar
Langkah 1:
- Lepas tutup Pen secara lurus.
- Seka tempat Rubber Seal dengan
alkohol.
- Jangan memutar penutup.
- Jangan menghilangkan label HUMULIN
N KwikPen.
- Jangan memasang jarum sebelum
pencampuran.
Langkah 2:
- Putar Pen diantara kedua tangan
sebanyak 10 kali.

Langkah 3:
- Gerakan Pen ke atas dan ke bawah
sebanyak 10 kali.
- Gerakan mencampur dan memutar Pen
penting untuk memastikan dosis yang akan

51
digunakan sesuai.
Langkah 4:
- Cek apakah ada cairan dalam Pen.
Humulin N seharusnya terlihat putih keruh
setelah pencampuran. Jangan digunakan
bila terlihat bening atau terdapat partikel
di dalamnya.
Langkah 5:
- Ambil jarum baru.
- Keluarkan kertas dari bagian terluar
jarum.

Langkah 6:
- Dorong tutup jarum secara lurus pada
Pen dan putar jarum sampai benar-benar
kencang.

Langkah 7:
- Dorong Needle shield terluar. Jangan
dibuang.
- Dorong Needle shield bagian dalam dan
dibuang.
Langkah 8:
- Putar Dose knob (pengatur dosis) untuk
memilih 2 unit.

Langkah 9:
- Pegang Pen dengan jarum menghadap ke
atas. Ketuk Catridge holder untuk
mengumpulkan gelembung udara pada
bagian atas.

52
Langkah 10:
- Pegang Pen dengan jarum mengahadap
ke atas. Tekan Dose knob hingga berhenti
dan angka "0" terlihat pada angka dosis.
- Tekan Dose knob dan hitung sebanyak 5
detik secara perlahan.

Langkah 11:
- Putar Dose knob untuk memilih nomor
unit yang akan disuntikkan.
- Dose knob dapat diputar berlawanan arah
jika dosis yang diinginkan belum sesuai.
- Angka ganjil ditunjukkan dengan garis
lurus yang penuh tanpa angka.

Langkah 12:
- Pilih tempat yang akan diinjeksi.
Humulin N diinjeksi secara subkutan
(dibawah kulit) pada area perut, pantat,
paha atas atau lengan atas.
- Seka kulit yang akan diinjeksi dengan
alkohol dan biarkan hingga kering.

53
Langkah 13:
- Cubit kulit yang berlemak pada bagian
yang akan diinjeksi.

Langkah 14:
- Masukkan jarum ke dalam kulit dan
tekan Dose knob sampai Dose knob
berhenti selama 5 detik.

Langkah 15:
- Keluarkan jarum dari kulit. Lihat apakah
dosis pada jendela dosis sudah kembali
pada angka "0". Jika belum, anda belum
menerima insulin dengan dosis
seluruhnya.
- Jika keluar darah setelah jarum
dikeluaran dari kulit, tekan bagian tersebut
dengan kapas beralkohol.
Langkah 16:
- Tutup kembali jarum dengan Needle
shield terluar.

Langkah 17:
- Lepaskan jarum dan buang.
- Jangan simpan Pen dengan jarum yang
terpasang untuk mencegah kebocoran,
tersumbatnya jarum dan udara yang masuk

54
ke dalam Pen.
Langkah 18:
- Gantikan tutup Pen dengan tutup clip
pada indikator dosis dengan mendorong
secara lurus.

 KIE untuk keluarga pasien


Berupa cara minum obat dan frekuensinya. Pasien pulang dengan
membawa 2 macam obat oral. Jadwal minum obatnya dan hal-hal yang
perlu diperhatikan adalah :

Jadwal Hal yang


Nama Obat Minum Jumlah Manfaat perlu
diperhatikan
Insulin Pk 06.00, 24 unit, 2 x Menurunkan Digunakan
Humulin N pk 18.00 sehari kadar gula sebelum
selama 3 darah tanpa makan atau
bulan menyebabkan langsung
hipoglikemia. setelah makan
Fero sulfat Pk 06.00, 1 kapsul Menormalkan Diminum
pk 14.00, 325mg Hb selama setelah makan
pk 22.00 selama 3 pemberian atau saat
minggu ferro sulfat 2 makan
minggu

E. MONITORING
1. Monitoring obat
Nama Monitoring Target
Obat Keberhasilan ESO Keberhasilan
Menormalkan Mual muntah, pusing Leukosit, limfosit dan
Flucloxacillin
nilai leukosit (Medscape, 2017) segmen kembali

55
limfosit dan normal dan tidak
segmen terjadi infeksi
Ataxia, pusing,
Meredakan Nyeri pasien
Gabapentin kelelahan, tremor
nyeri berkurang/mereda
(Medscape, 2017)
Menurunkan Mual, edema, tremor,
Penurunan HbA1C
atau hipoglikemia,
Insulin sebesar 1-2% setelah
mempertahanka hipokalemia, otot
Humulin N pemberian terapi 3
n nilai HbA1C, melemah (Medscape,
bulan.
GDP, dan GDS. 2017).
Iritasi GI, mual, Menaikan Hb 0,25 g /
Menormalkan muntah, pusing, dL per hari dari
Ferosulfat nilai Hb, Hct, konstipasi, diare, tinja hemoglobin dasar rata-
eritrosit menjadi hitam rata 5g / dL
(Ibrahim, dina. 2003)
Hiperurisemia (40%),
Mengurangi Edema kaki
Furosemide hypokalemia (14-
edema kaki berkurang/mereda
60%)

2. Monitoring Penyakit
Penyakit Pemeriksaan Nilai normal Jadwal monitoring
GDP / FPG (Fasting <140 mg/dL Setiap 3 bulan
Plasma Glucose) (Hamid dan sekali (Depkes RI,
Mahmoud, 2015). 2008).
GD 2 PP (2-h <200 mg/dL Setiap 3 bulan
DM tipe 2 postprandial blood (Hamid dan sekali (Depkes RI,
glucose) Mahmoud, 2015). 2008).
HbA1C Antara 7% dan 8% Setiap 3 bulan
(Ioannidis, 2014). sekali (Depkes RI,
2008).
Ulkus gangren Kul it kaki Bila kulit kaki Setiap hari
terlupas atau ada dilakukan oleh

56
perubahan bentuk pasien sendiri.
kaki, segera
konsultasikan ke
dokter (PERKENI,
2015).
GFR Dipertahankan pada Setiap 3 bulan
nilai ≥16,3 sekali (NKD, 2007).
mL/menit.
TD Dipertahankan pada Setiap 3 bulan
nilai <140/90 sekali (NKD, 2007).
CKD stage 4 mmHg (PERKENI,
2015).
Albuminuria <30 mg/hari (Dabla, Pertama kali saat
2010). diagnosa CKD dan
5 tahun setelah
diagnosa (NKD,
2007).
Kreatinin 15-30 mg/dl (NKD, Setiap 3 bulan
2007). sekali (NKD, 2007).

F. KESIMPULAN
Problem medik pasien sesuai diagnosa adalah Ulkus gangrene pedis
dextra, problem medik diluar diagnosa adalah CKD stage 4, anemia, infeksi.
Terdapat beberapa DRP pada pengobatan pasien Tuan Sol yaitu obat tidak
efektif : Ceftriakson, gentamicin, ciprofloksasin, glimepiride, metformin;
indikasi tanpa terapi : edema kaki, anemia; Adverse Drug Reaction : Ketorolac;
terapi tanpa indikasi : ranitidine.
Penatalaksanaan terapi farmakologi untuk infeksi ulkus gangrene adalah
antibiotic flucloxacilin; diabetes melitus : glipizid, linagliptin; nyeri : pregabalin;
edema kaki : Furosemide ; anemia : ferro sulfat.

57
G. DAFTAR PUSTAKA
Abe, Masanori, Kazuyoshi Okada, Takashi Maruyama, Noriaki Maruyama dan Koichi
Matsumoto. Efficacy and Safety of Mitiglinide in Diabetic Patients on
Maintenance Hemodialysis. Endocrine Journal, 57(7):579-586.
American Diabetes Association. 2015. Standards of Medical Care in Diabetes 2015.
Diabetes Care, 38:S1-S87.
Anonim, 2016, Flucloxacillin, http://mymedabc.com/flucloxacillin/, diakses tanggal 4
Mei 2017.
Anonim. 2009. British National Formulary. London: BMJ Group and RPS Publishing.
Asche CV, Bode B, Busk AK, Nair SR. 2012. The economic and clinical benefits of
adequate insulin initiation and intensification in people with type 2 diabetes
mellitus. Diabetes Obes Metab, 14:47–57.
Baldwin D, Zander J, Munoz C, Raghu P, DeLange-Hudec S, Lee H, et al. 2012. A
randomized trial of two weight-based doses of insulin glargine and glulisine in
hospitalized subjects with type 2 diabetes and renal insufficiency. Diabetes
Care, 35:1970–4.
Betonico, Carolina c. R., Silvia M. O. Titan, Maria Lucia C. Correa-Giannella, Marcia
Nery, dan Maria Queiroz. 2016. Management of diabetes mellitus in individuals
with chronic kidney disease: therapeutic perspectives and glycemic control.
Clinics, 71(1):47-53.
Biesenbach G, Raml A, Schmekal B, et al. 2003. Decreased insulin requirement in
relation to GFR in nephropathic Type 1 and insulin-treated Type 2 diabetic
patients. Diabet Med, 20:642-5.
Brennan, M.J. (2013) The effect of opioid therapy on endocrine function. Am J Med
126: S12–S18.
Bril, V. (2012) Treatments for diabetic neuropathy. J Peripher Nerv Syst 17(Suppl. 2):
22–27.
Cade, Todd W. 2008. Diabetes-Related Microvascular and Macrovascular Diseases in
the Physical Therapy Setting. Phys Ther, 88(11):1322-1335.
Chong, M. and Hester, J. (2007) Diabetic painful neuropathy: current and future
treatment options. Drugs 67: 569–585.
Czock D, Aisenpreis U, Rasche FM, et al. 2003. Pharmacokinetics and
pharmacodynamics of lispro-insulin in hemodialysis patients with diabetes
mellitus. Int J Clin Pharmacol Ther, 41:492-7.
Dabla, Pradeep Kumar. 2010. Renal function in diabetic nephropathy. World J
Diabetes, 1(2):48-56.
Departemen Kesehatan RI. 2008. Pedoman teknis penemuan dan tata laksana penyakit
diabetes melitus. Jakarta: Direktorat Jenderal PP dan PL.\
Doupis J, Veves A. Classification, Diagnosis, and Treatment of Diabetic Foot Ulcers.
Wound. May 2008; 20:117-126

58
Drugs. 2017. Humulin N. https://www.drugs.com/pro/humulin-n.html. Diakses tanggal
20 Mei 2017.
Drummond K, Mauer M. 2002. The early natural history of nephropathy in type 1
diabetes, II: early renal structural changes in type 1 diabetes. Diabetes, 51:1580–
1587.
Ekström N, et al, 2012. Effectiveness and safety of metformin in 51,675 patients with
type 2 diabetes and different levels of renal function: a cohort study from the
Swedish National Diabetes Register. BMJ Open, 1-9.
Epocrates. 2017. Diabetes Mellitus. https://online.epocrates.com. Diakses tanggal 7 Mei
2017.
Ersoy A, Ersoy C, Altinay T. 2006. Insulin analogue usage in a haemodialysis patient
with type 2 diabetes mellitus. Nephrol Dial Transplant, 21:553-4
Gerich JE, Meyer C, Woerle HJ, Stumvoll M. 2001. Renal gluconeogenesis: its
importance in human glucose homeostasis. Diabetes Care, 24: 382-391.
Hahr, Allison J. dan Mark E. Molitch. 2015. Management of diabetes mellitus in
patients with chronic kidney disease. Clinical Diabetes and Endocrinology,
1(2):1-9.
Haneda M, Morikawa A. 2009. Which hypoglycaemic agents to use in type 2 diabetic
subjects with CKD and how? Nephrol Dial Transplant, 24: 338-341.
Hamid, Nasri dan Mahmoud Rafieian Kopaei. 2015. Diabetes mellitus and renal failure:
Prevention and management. J Res Med Sci, 20(11):1112-1120.
Hirsch, Irl B. 2005. Insulin Anaogues. N Engl J Med, 352:174-183.
Holmes G, Galitz L, Hu P, et al. 2005. Pharmacokinetics of insulin aspart in obesity,
renal impairment, or hepatic impairment. Br J Clin Pharmacol, 60:469-76
Ibrahim, dina. 2003. Oral iron suplemen. www.usask.ca/druginfo. University of
Saskatchewan 110 Science Place, diakses pada tanggal 10 mei 2017
Ioannidis, Ioannis. 2014. Diabetes treatment in patients with renal disease: Is the
landscape clear enough?. World J Diabetes, 5(5):651-658.
Javed S et al (2015) Treatment of Painful Diabetic Neurophaty. Terapeutic Advance in
Chronic Disease Vol. 6(1) 15–28.
Kartika, Ronald W (2010) Pengelolaan Gangren Kaki Diabetik. Continuing Medical
Education Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana. CDK-248/
vol. 44 no. 1
KDOQI. 2002. KDOQI Clinical Practice Guidelines for Chronic Kidney Disease:
Evaluation, Classification, and Stratification.
http://www2.kidney.org/professionals/KDOQI/guidelines_ckd/toc.htm. Diakses
tanggal 4 Mei 2017.
Kulozik F, Hasslacher C. 2013. Insulin requirements in patients with diabetes and
declining kidney function: differences between insulin analogues and human
insulin? Ther Adv Endocrinol Metab., 4(4):113-21.

59
Leese, G., Dilip Nathwani, Matthew Young, Andrew Seaton, Brian Kennon, Helen
Hopkinson, Duncan Stang, Benjamin Lipsky, William Jeffcoate, Tony Berendt,
2009, Use of antibiotics in people with diabetic foot disease: A consensus
statement, The Diabetic Foot Journal, Vol 12 No 2.
Levin, Philip, Steve Zhou, Emily Durden, Amanda M. farr, Jasvinder Gill dan Wenhui
Wei. 2016. Clinical and Economic Outcomes Associated With the Timing of
Initiation of Basal Insulin in Patients With Type 2 Diabetes Mellitus Previously
Treated With Oral Antidiabetes Drugs. Clinical Therapeutics, 38(1): 110-121.
Lincoff AM, Wolski K, Nicholls SJ, Nissen SE. 2007. Pioglitazone and risk of
cardiovascular events in patients with type 2 diabetes mellitus: A meta-analysis
of randomized trials. JAMA 298: 1180 –1188.
Link, Denise K., 2016. Management of the Chronic Disease Patient. Physician Assist
Clinical, (1); 43-54.
Lubowsky ND, Siegel R, Pittas AG. 2007. Management of glycemia in patients with
diabetes mellitus and CKD. Am J Kidney Dis,50(5):865-79.
Medscape. 2017. Linagliptine. http://reference.medscape.com/drug/tradjenta-linagliptin-
999652#4. Diakses tanggal 7 Mei 2017.
Medscape. 2017. Glipizide. http://reference.medscape.com/drug/glucotrol-glipizide-
342708#4. Diakses tanggal 7 Mei 2017.
Medscape. 2017. Insulin NPH. http://reference.medscape.com/drug/humulin-n-novolin-
n-insulin-nph-999006#4. Diakses tanggal 20 Mei 2017.
Min, Jea Young, Marie R Griffin, Adriana M Hung, Carlos G Grijalva, Robert A
Greevy, Xulei Liu, Tom Elasy dan Christianne L Roumie. 2016. Comparative
Effectiveness of Insulin versus Combination Sulfonylurea and Insulin: a Cohort
Study of Veterans with Type 2 Diabetes. J Gen Intern Med, 31(6):638-646.
Morello CM. 2011. Pharmacokinetics and pharmacodynamics of insulin analogs in
special populations with type 2 diabetes mellitus. Int J Gen Med, ;4:827-35
National Kidney Foundation, 2002. Clinical Practice Guidelines For Chronic Kidney
Disease: Evaluation, Classification, and Stratification. National Kidney
Foundation Inc : New York.
NKD (National Kidney Disease). 2007. Screening for Microalbuminuria in Patients
with Diabetes.
http://media.mycme.com/documents/30/screening_for_microalbuminuira_7436.
pdf. Diakses tanggal 11 Mei 2017.
Niafar M, Nakhjavani M. 2012. Efficacy and Safety of Insulin Glargine in Type 2
Diabetic Patients with Renal Failure. J Diabetes Metab., 03(04):2-5.
Nissen SE, Wolski K. 2007. Effect of rosiglitazone on the risk of myocardial infarction
and death from cardiovascular causes. N Engl J Med 356: 2457–2471.
PERKENI (Perkumpulan Endokrinologi Indonesia). 2015. Pengelolaan dan
Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 Di Indonesia. Jakarta: PB PERKENI.
Pena, A de la, Riddle M, Morrow LA, Jiang HH, Linnebjerg H, Scott A, et al.
2011.Pharmacokinetics and pharmacodynamics of high-dose human regular U-

60
500 insulin versus human regular U-100 insulin in healthy obese subjects.
Diabetes Care, 34:2496–501.
Phillippe, Haley M., dan Kurt A. Wargo. 2010. Mitiglinide: A Novel Agent for the
Treatment of Type 2 Diabetes Mellitus. The Annals of Pharmacotherapy, 44:1-9.
Pongwecharak J, Tengmeesri N, Malanusorn N, et al. 2009. Prescribing metformin in
type 2 diabetes with a contraindication: prevalence and outcome. Pharm World
Sci, 31:481-6.
Porcellati F, Rossetti P, Busciantella NR, Marzotti S, Lucidi P, Luzio S, et al. 2007.
Comparison of pharmacokinetics and dynamics of the long-acting insulin
analogs glargine and detemir at steady state in type 1 diabetes: a double-blind,
randomized, crossover study. Diabetes Care, 30(10):2447-52.
Rave K, Heise T, Pfutzner A, et al. 2001. Impact of diabetic nephropathy on
pharmacodynamic and Pharmacokinetic properties of insulin in type 1 diabetic
patients. Diabetes Care, 24:886-90.
Rubin DJ, Rybin D, Doros G, McDonnellME. 2011. Weight-based, insulin dose-related
hypoglycemia in hospitalized patients with diabetes. Diabetes Care, 34(8):1723-
1728.
Rudroju, N., Bansal, D., Talakokkula, S., Gudala, K., Hota, D., Bhansali, A. et al.
(2013) Comparative efficacy and safety of six antidepressants and
anticonvulsants in painful diabetic neuropathy: a network meta-analysis. Pain
Physician 16: E705–E714.
Pritchard JA. Hemoglobin regeneration in severe iron-deficiency anemia. JAMA
1966;195(9): 97-100. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/5951874
Sampanis C. 2008. Management of hyperglycemia in patients with diabetes mellitus and
chronic renal failure. Hippokratia, 12(1):22-7.
Scheen, Andre J. 2013. Pharmacokinetic Considerations for the Treatment of Diabetes
in Patient with Chronic Kidney Disease. Expert Opin. Drug Metab. Toxicol,
9(5): 529-550.
Scott, Lesley J. 2012. Repaglinide: A Review of Its Use in Type 2 Diabetes Mellitus.
Drugs, 72(2):249-272.
Sicras, A., Rejas, J., Navarro, R. and Planas, A. (2013) Adding pregabalin or gabapentin
for the management of community-treated patients with painful diabetic
peripheral neuropathy: a comparative cost analysis. Clin Drug Investig 33: 825–
835.
Simon, harvey. 2017. Anemia.
http://www.nytimes.com/health/guides/disease/anemia/treatment.html. Diakses
pada tanggal 10 mei 2017
Singh S, Loke YK, Furberg CD. 2007. Long-term risk of cardiovascular events with
rosiglitazone: A meta-analysis. JAMA 298: 1189 –1195.
Snyder RW, Berns JS. 2004. Use of insulin and oral hypoglycemic medications in
patients with diabetes mellitus and advanced kidney disease. Semin Dial,
17:365-70

61
Spallone, V. (2012) Management of painful diabetic neuropathy: guideline guidance or
jungle? Curr Diab Rep 12: 403–413.
Tavakoli, M., Mojaddidi, M., Fadavi, H. and Malik, R. (2008) Pathophysiology and
treatment of painful diabetic neuropathy. Curr Pain Headache Rep 12: 192–197.
Tellechea A, Leal E, Veves A, Carvalho E (2010). Inflammatory and angiogenic
abnormalities in diabetic wound healing: Role of neuropeptides and therapeutic
perspective. The Open Circulation and Vascular;3:43-55.
Urata H, Mori K, Emoto M, Yamazaki Y, Motoyama K, Morioka T, et al. 2015.
Advantage of insulin glulisine over regular insulin in patients with type 2
diabetes and severe renal insufficiency. J Ren Nutr, 25(2):129-34.

62

Anda mungkin juga menyukai