Anda di halaman 1dari 38

REFERAT

ILMU KESEHATAN KELAUTAN

TERAPI OKSIGEN HIPERBARIK

Pembimbing :
dr. Ni Komang Sri Dewi Untari, Sp.S

Oleh :
Tety Amalia 2017.04.2.0168
Tiffany Wongsodiharjo 2017.04.2.0169

LEMBAGA KESEHATAN KELAUTAN TNI AL


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HANG TUAH SURABAYA
2019

1
LEMBAR PENGESAHAN

Referat “TERAPI OKSIGEN HIPERBARIK” ini telah diperiksa,


disetujui, dan diterima sebagai salah satu tugas dalam rangka
menyelesaikan studi kepaniteraan klinik di bagian Ilmu Kesehatan
Kelautan RSAL dr. Ramelan Surabaya, Fakultas Kedokteran Universitas
Hang Tuah Surabaya.

Surabaya, 20 Januari 2019


Pembimbing

Dr. Ni Komang Sri Dewi Untari, Sp.

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang
telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan referat dengan topik “TERAPI OKSIGEN HIPERBARIK”.
Referat ini disusun sebagai salah satu tugas wajib untuk menyelesaikan
kepaniteraan klinik di bagian LAKESLA RSAL Dr. Ramelan Surabaya,
dengan harapan dapat dijadikan sebagai tambahan ilmu yang bermanfaat
bagi pengetahuan penulis maupun pembaca.
Dalam penuisan dan penyusunan referat ini tidak lepas dari
bantuan dan dukungan berbagai pihak, untuk itu kami mengucapkan
terima kasih kepada :
1. dr. Ni Komang Sri Dewi Untari, Sp.S selaku pembimbing referat
2. Para dokter di bagian LAKESLA RSAL Dr. Ramelan Surabaya
3. Para perawat dan pegawai di bagian LAKESLA RSAL Dr.
Ramelan Surabaya
Kami menyadari bahwa Referat yang kami susun masih jauh dari
sempurna, sehingga kritik dan saran sangat kami harapkan. Semoga
referat ini bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.

Surabaya, 20 Januari 2019

Penyusun

i
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ................................................................. i

KATA PENGANTAR ......................................................................... i

DAFTAR ISI ..................................................................................... ii

DAFTAR GAMBAR......................................................................... iii

BAB 1 TINJAUAN PUSTAKA .......................................................... 1

1.1 EFEK TEKANAN PADA TUBUH ......................................... 1

1.1.1 Telinga .......................................................................... 1

1.1.2 Sinus ............................................................................. 3

1.1.3 PARU DAN SALURAN NAFAS ..................................... 4

1.2 EFEK TEKANAN TERHADAP NAFAS................................ 4

1.2.1 Tekanan Gas................................................................. 4

1.2.2 Oxygen Window ............................................................ 6

1.2.3 Perubahan Ventilasi ...................................................... 8

1.3 NITROGEN DAN KARBON DIOKSIDA ............................. 14

1.3.1 Keracunan Nitrogen .................................................... 14

1.3.2 Keracunan Karbon dioksida ........................................ 15

BAB 2 JURNAL ............................................................................. 16

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................... 33

ii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 0.1 Telinga Manusia ..................................................................... 1


Gambar 0.2 Lokasi Sinus ........................................................................... 3
Gambar 0.3 Volume Pernafasan ................................................................ 4
Gambar 0.4 Tekanan Gas parsial .............................................................. 6
Gambar 0.5 Tekanan Gas Normal ............................................................. 6
Gambar 0.6 Tekanan Gas Pernafasan saat pemberian O2 100% ............. 7
Gambar 0.7 Tekanan Gas Pernafasan saat pemberian O2 100% dan
tekanan 162 kPa ........................................................................................ 8
Gambar 0.8 Reaksi sistem pernafasan terhadap perubahan pCO2 ........... 9
Gambar 0.9 Aliran Turbulen dan Laminar saat Normobarik ..................... 12
Gambar 0.10 Aliran Turbulen dan Laminar saat Hiperbarik ..................... 13

iii
BAB 1
TINJAUAN PUSTAKA

1.1 EFEK TEKANAN PADA TUBUH


Terapi oksigen hiperbarik dibatasi oleh efek oksigen toksik hingga
tekanan maksimum 300 kPa (3 bar). Untuk beberapa indikasi, gas
campuran digunakan untuk pengobatan hingga 600 kPa (6 bar). Dalam
kisaran tekanan ini, semua organ tubuh dan cairan tidak ada efek klinis
yang diketahui disebabkan oleh tekanan itu sendiri. Pada tekanan
terapeutik, efek hanya dapat diperhatikan dalam kaitannya dengan rongga
yang diisi gas.

1.1.1 Telinga
Telinga tengah adalah satu-satunya rongga yang berisi gas udara
yang dipengaruhi oleh perubahan tekanan selama tidak ada sumbatan.
Bersama dengan sel mastoid, membentuk rongga yang berisi gas di
kepala yang tertutup ke rhino-faring.
Telinga bagian dalam termasuk koklea dan organ vestibular diisi
dengan cairan perilimfatik dan endolimfatik sehingga tidak secara
langsung dipengaruhi oleh perubahan tekanan.

Gambar 0.1 Telinga Manusia

1
1.1.1.1 EKUALISASI TEKANAN
Tuba Eustachius, menghubungkan telinga tengah dan rhino-faring,
normalnya tertutup. Saat mengunyah, menelan, atau menguap mm.
tensores veli palatini & levatores veli palatini aktif dan membuka lubang
dari tabung Eustachian, sehingga memungkinkan perbedaan tekanan gas
yang dalam rhino-faring dan telinga tengah untuk ekualisasi. Tanpa sadar,
tuba terbuka setiap satu hingga empat menit. Selama perubahan tekanan
yang cepat, tabung harus dibuka secara aktif.
Membuka tuba bisa dilakukan dengan mengunyah, menelan,
atau menguap di mana tekanan ekualisasi secara pasif. Selain itu juga
bisa dilakukan dengan Valsava manuver: mulut dan hidung tertutup dan
melakukan upaya pernafasan paksa cepat terhadap hidung tertutup
menyebabkan peningkatan tekanan gas rhino-faring, yang membuka
lubang tuba Eustachius.
Semua metode ini untuk ekualisasi tekanan tergantung pada
kondisi normal mukosa di rhino-faring dan tuba Eustachius. Ketika mukosa
membengkak karena infeksi saluran pernapasan atas, kemungkinan tidak
bisa ekualisasi telinga tengah.
1.1.1.2 VERTIGO ALTERNOBARIK
Vertigo disebabkan oleh ketidakcocokan informasi yang berasal
dari organ vestibular kanan dan kiri. Secara umum, vertigo dihubungkan
dengan nistagmus spontan, dan bisa disertai dengan gejala seperti mual,
muntah, berkeringat, dan reaksi kardiovaskular.
Berbeda dengan penyebab vertigo lain yang kurang umum dalam
terapi hiperbarik, vertigo alternobarik disebabkan oleh perbedaan tekanan
antara dua rongga telinga tengah. Jika vertigo selama kompresi, itu
disebut "vertigo vertobarik of descent", menurut teori kesehatan
penyelaman. Mekanisme vertigo alternobarik adalah perbedaan tekanan
di telinga tengah kiri dan kanan menyebabkan perbedaan tekanan
terhadap round window dan oval window di setiap sisi, menyebabkan
sensitivitas diferensial dari kedua organ vestibular.

2
Vertigo juga dapat terjadi ketika manuver Valsava yang
dipaksakan hanya efektif di satu sisi. Tidak jelas apakah ini merupakan
hasil dari perubahan mendadak unilateral pada cairan telinga bagian
dalam atau osilasi cairan telinga bagian dalam unilateral karena
pergerakan cepat round window dan oval window. Penyebab vertigo ini
digambarkan sebagai disebabkan oleh hypermobilitas stapes.
Sedangkan vertigo selama dekompresi, itu disebut
"vertobarik vertigo of ascent". Mekanismenya adalah penyumbatan
unilateral tuba Eustachius dengan pemberian tekanan yang tertunda saat
ekualisasi pada sisi itu. Percobaan pada hewan telah menunjukkan bahwa
peningkatan tekanan limfatik di telinga bagian dalam peningkatan aktivitas
listrik n. vestibulo-cochlearis.

1.1.2 Sinus
Selain telinga tengah, ada lebih banyak rongga berisi gas di kepala:
saluran nafas utama (hidung, rongga mulut, rhino-faring), dan sinus
paranasal. Selama hubungannya dengan rhino-faring masih intak dan
tidak tertutup, misalnya oleh pembengkakan mukosa karena infeksi
saluran pernapasan bagian atas, tekanan akan ekualisasi secara otomatis
pada sinus tanpa masalah.

Gambar 0.2 Lokasi Sinus

3
1.1.3 PARU DAN SALURAN NAFAS
Volume pernafasan sangat bervariasi tergantung pada tinggi, usia,
dan jenis kelamin. Sebagai contoh seorang pria muda mungkin memiliki
volume tidal ~ 0,5L dengan volume cadangan inspirasi ~ 3,0L dan volume
cadangan ekspirasi ~ 1,0L, sehingga memiliki kapasitas pernapasan vital
~ 4,5L. Setelah ekspirasi terdalam masih ada volume residu ~ 1,5L di paru
dan saluran nafas yang tidak bisa dihembuskan.

Gambar 0.3 Volume Pernafasan

Selama pernafasan berlangsung terus-menerus dan bernafas


dengan tekanan yang sama sepanjang waktu, ekualisasi tekanan terus
menerus antara paru dan atmosfer di luar dinding dada. Masalah dapat
timbul hanya jika pernapasan dihentikan selama dekompresi (misalnya
karena kejang umum karena keracunan oksigen) atau jika bagian paru
tidak bisa berventilasi dengan benar sehubungan dengan dekompresi
cepat (asma bronkiale).
1.2 EFEK TEKANAN TERHADAP NAFAS

1.2.1 Tekanan Gas


Menurut hukum difusi pertama Fick, pertukaran gas eksternal
antara paru dan darah tergantung pada tekanan parsial gas terilhami dan
pada tekanan parsial gas yang larut dalam darah. Dalam hal ini, secara
tidak langsung O2 dan CO2 juga ditransport aktif dengan terikat pada

4
hemoglobin dan bahwa CO ditransport sebagai ion HCO dalam darah. Di
lokasi pertukaran gas hanya gas yang terlarut secara fisik. Molekul akan
berperan dalam proses difusi. Saat menghirup udara, selain O2 dan CO2,
N2 dan uap air berperan: N2 berdifusi antara paru dan darah seperti gas
lainnya. Karena N2 adalah gas "inert", di mana ia tidak bereaksi secara
kimiawi dalam tubuh manusia, tidak ada perbedaan dalam tekanan parsial
antara paru dan darah selama tidak ada perubahan total tekanan
atmosfer.
Udara yang dihirup mengandung berbagai jumlah uap air
seperti gas lainnya dan juga menghasilkan tekanan parsial pH2O. Setelah
pelembapan di saluran nafas gas pernapasan di paru jenuh dengan H2O
pada 37°C (yaitu 100% kelembaban relatif) dan PH2O adalah 47 mmHg.
Pada titik ini kita mulai menggunakan mmHg dan
meninggalkan unit IS karena di negara Eropa masih umum menggunakan
mmHg untuk gas darah.
Konversi adalah sebagai berikut:
750mmHg = 1 bar = 100kPa and 760mmHg =1.013 bar = 101.3kPa
Total tekanan atmosfer harus sama untuk gas inspirasi, gas
alveolar, dan gas ekspirasi. Gas selain uap air harus berbagi tekanan
yang tersisa. Sebagai contoh:
Gas inspirasi: Ptot 760mm Hg – pH2O 6mm Hg = 754mmHg
Gas alveolar: Ptot 760mm Hg – PH2O 47mmHg = 713mm Hg
Jadi, masing-masing gas inspirasi selain H2O harus berbagi
masing-masing 754mm Hg dan 713mmHg sesuai dengan fraksi gas Fgas
mereka.

5
Gambar 0.4 Tekanan Gas parsial

1.2.2 Oxygen Window


Pada kondisi atmosfer, tekanan total gas di saluran udara (Ptot)
adalah 101,3 kPa (1atm, 760mm Hg). PO2 dan pCO2 arteri tidak persis
sama dengan tekanan parsial alveolar, karena perfusi dan ventilasi paru-
paru tidak pernah optimal sehingga pertukaran gas antara paru-paru dan
darah tidak pernah lengkap. Oleh karena itu tekanan total arteri sedikit
lebih rendah dari tekanan atmosfer (mis. Ptot arteri 756mm Hg). Ptot vena
hanya 706mm Hg, karena pO2 turun dari 95mm Hg ke 40mm Hg
sedangkan pCO2 hanya naik dari 40mm Hg ke 45mmHg.

Gambar 0.5 Tekanan Gas Normal

6
Perbedaan antara barometrik (PtotB) dan tekanan total vena (Ptotv)
disebut “oxygen window” (PtotB 760mm Hg - Ptotv 706mmHg = Ptot
54mmHg). Perbedaan ini adalah alasan mengapa jumlah gas yang
terbatas tidak dapat bertahan dalam tubuh dalam kondisi normal. Ptot dari
jumlah gas apa pun akan sama dengan tekanan atmosfer (101.3kPa,
1atm, 760mmHg) sedangkan Ptot dari jaringan di sekitarnya - seperti
darah vena - adalah ~ 706mmHg. Gas akan berdifusi ke dalam jaringan
sebagai gas terlarut sampai diserap sepenuhnya.

Gambar 0.6 Tekanan Gas Pernafasan saat pemberian O2 100%

Ketika bernafas O2 100% arteri pO2 naik sesuai dengan hukum


difusi Fick. Pada kapiler jaringan, O2 yang terlarut secara fisik digunakan
sebelum hemoglobin dideoksigenasi. PO2 intravaskular dengan ini turun
jauh lebih banyak daripada saat bernafas di udara; perbedaan pO2
arterio-vena ditingkatkan dan oxygen window
PtotB 760mm Hg - Ptotv 142mm Hg = Ptot 618mmHg.
Ketika O2 100% dihirup pada tekanan yang meningkat, yaitu
162kPa (1.6atm, 1216mm Hg), pO2 arteri dan pemanfaatan O2 yang
terlarut secara fisik dalam kapiler jaringan akan meningkat. Karena itu
perbedaan pO2 arteri-vena lebih ditingkatkan dan oxygen window PtotB
1216mm Hg - Ptotv 150mm Hg = Ptot 1066mmHg.

7
Gambar 0.7 Tekanan Gas Pernafasan saat pemberian O2 100% dan tekanan 162 kPa
1.2.3 Perubahan Ventilasi
1.2.3.1 Gas Alveolar
Dengan persamaan gas alveolar kita dapat menghitung tekanan
parsial alveolar O2 (PaO2) dan CO2 (PaCO2). Formula sederhana yang
diperlihatkan di bawah ini menuntut gas inspirasi bebas CO2, yang secara
praktis hanya akan menyebabkan ketidaktelitian kecil. Persamaan
menunjukkan bahwa di bawah kondisi pernapasan udara hiperbarik,
hipoventilasi yang signifikan (yaitu dengan PaCO2 dari 80mmHg) tidak
akan menyebabkan hipoksia. Ini karena fraksi O2 inspirasi konstan akan
menyebabkan PO2 naik sebanding dengan tekanan. Masalah utama
ventilasi ventilasi pada kondisi hiperbarik adalah hiperkapnia.

1.2.3.2 Respon Nafas terhadap Perubahan Tekanan Oksigen


Respon dari pusat pernapasan di modulasi oleh kemoreseptor
periferal pada aa karotis dan aorta dan oleh pusat kemoreseptor pada
dasar ventrikel keempat. Kemoreseptor periferal merespon terutama
terhadap penurunan pO2 kurang dari 60 mmHg. Selain itu juga merespon
terhadap penurunan pH, peningkatan pCO2, tekanan darah rendah,
peningkatan suhu tubuh dan untuk menstimulasi agen sperti nikotin,
acetilkolin dan CO. Kemoreseptor pusat merespon terutama terhadap
peningkatan pCO2, yang berhubungan dengan penurunan pH pada cairan

8
cerebrospinal. Sekitar 78% respon terhadap peningkatan pCO2 diperoleh
dari kemoreseptor pusat. Gambar 1.3-8 menunjukkan reaksi dari sistem
pernapasan terhadap perubahan pCO2 inspirasi pada level pO2 yang
berbeda dibawah kondisi normobaric.

Gambar 0.8 Reaksi sistem pernafasan terhadap perubahan pCO2

1.2.3.2.1 Penurunan Tekanan Parsial Oksigen


Peningkatan pCO2 arterial dibawah kondisi normobaric dengan
menghirup CO2 yang kaya akan campuran gas akan mengakibatkan
peningkatan ventilasi pada semua kasus, tidak peduli seberapa tinggi pO2
arterial. Ventilasi yang berfungsi sebagai pCO2 akan meningkat lebih kuat
pada PaO2 level rendah daripada PaO2 level tinggi. Saat PaO2 normal,
peningkatan pada ventilasi sekitar 41/min/mmHg PaCO2. Jika tidak ada
CO2 pada gas yang kita hirup, ventilasi dinaikkan oleh pO2 level rendah
atau pO2 level tinggi. Oleh mekanisme inilah pO2 rendah menstimulasi
ventilasi melalui kemoreseptor periferal.

1.2.3.2.2 Peningkatan Tekanan Parsial Oksigen


Mekanisme peningkatan pO2 yang menstimulasi ventilasi sedikit
lebih kompleks. Pada peningkatan pO2 sedikitnya satu bagian dari
kebutuhan dari otak yang butuh oksigen disupply oleh oksigen yang

9
terlarut. Dalam situasi ini dibutuhkan oksigen yang terikat hemoglobin
normal. Karena hemoglobin dengan muatan oksigen tinggi tidak mampu
mengikat CO2 sebanyak biasanya (efek Haldane), CO2 harus diangkut ke
jumlah yang lebih tinggi seperti bikarbonat dan CO2 yang terlarut secara
fisik. Dengan ini darah vena pCO2in dan jaringan otak meningkat.
Sebagai hasilnya peningkatan pCO2 jaringan otak menstimulasi ventilasi
(VE) dan dengan demikian mengarah pada penurunan pCO2 vena
meskipun produksi CO2 tidak berubah.
Dalam kondisi hiperbarik, hiperoksia adalah faktor paling penting
untuk perkembangan hiperkapnia. Saat menghirup udara, nitrox atau
heliox dengan persentase oksigen tetap, pO2 meningkat sejajar dengan
peningkatan tekanan. Tabel 1.3-1 menunjukkan efek hiperbarik hiperoksia
pada respons ventilasi terhadap peningkatan pCO2 saat istirahat

1.2.3.3 Hiperkapnea yang ditoleransi


Jumlah ventilasi maksimum yang dimungkinkan per menit terbatas.
Batas ini dikurangi dengan meningkatkan kepadatan gas pernapasan.
Ketika ventilasi yang diperlukan untuk menyelesaikan pekerjaan fisik
mendekati batas atas ini, itu hampir tidak akan mencapai tingkat ventilasi
yang dibutuhkan untuk mengatasi kebutuhan metabolisme. Ini akan
menyebabkan hiperkapnia. Pembatasan ventilasi yang serupa diamati
ketika kerja ventilasi menjadi sangat tinggi pada beban kerja tertentu.
Pusat pernapasan tampaknya mudah menoleransi hiperkapnia jika hal ini
mencegah kerja pernapasan berlebihan.

1.2.3.4 Aliran Laminar dan Turbulen


Gas pernapasan mengalir melalui saluran udara mengikuti
perbedaan tekanan antara tekanan alveolar (Palv) dan tekanan barometrik

10
ambient (PB). Ketika toraks dilebarkan, gas pernapasan mengalir ke paru-
paru, dan ketika toraks dikompresi, gas pernapasan mengalir ke arah
yang berlawanan. Aliran gas pernapasan bisa “turbulen” atau “laminar”.
Aliran laminar ditemukan terutama di saluran udara terminal kecil,
sedangkan aliran turbulen lazim di saluran udara bagian atas.

1.2.3.4.1 Aliran Laminar


Dalam aliran laminar, laju aliran berbanding lurus dengan
perbedaan tekanan dan radius jalan nafas dengan kekuatan empat, dan
itu adalah proporsi terbalik dengan viskositas gas. Jadi, ketika radius jalan
nafas terbelah dua maka dibutuhkan perbedaan tekanan 16 kali lipat
untuk mencapai aliran gas yang sama.

1.2.3.4.2 Aliran Turbulen


Aliran turbulen terjadi ketika laju aliran tinggi, dan ketika hasil bagi
dari densitas gas dan viskositas gas besar. Sebagai aturan praktis, aliran
gas adalah laminar ketika nomor Reynold di bawah 1000, dan aliran gas
turbulen ketika nomor Reynold lebih dari 1500 (lihat persamaan di bawah).
Tetapi aliran turbulen dapat terjadi pada nilai yang lebih kecil dari angka
Reynold pada tikungan tajam dan bifurkasi, atau pada permukaan yang
tidak teratur dan dalam berbagai kaliber.

11
Untuk aliran turbulen, persamaan di bawah ini menunjukkan
hubungan antara perbedaan tekanan dan laju aliran. Harap dicatat bahwa
untuk aliran laminar, AP bergantung pada laju aliran V ke daya 1,
sedangkan untuk aliran turbulen, AP bergantung pada laju aliran V ke
daya 2. Selain itu, aliran turbulen bergantung pada kerapatan gas

Gambar 0.9 Aliran Turbulen dan Laminar saat Normobarik

Selama gas mengalir dari periferal ke saluran udara sentral. Karena


pengurangan berturut-turut dari total diameter saluran udara menuju aliran
gas trakea semakin dipercepat. Dengan ini di saluran udara yang lebih
besar,aliran gas laminar berubah menjadi aliran turbulen. Selama inspirasi
ini terjadi sebaliknya. Aliran gas pernafasan di saluran udara manusia
adalah campuran dari aliran laminar dan turbulen.

12
Gambar 0.10 Aliran Turbulen dan Laminar saat Hiperbarik

1.2.3.5 Respon Ventilasi saat Tekanan Meningkat


Untuk gas dengan komposisi konstan, densitasnya meningkat
secara proporsional untuk meningkatkan tekanan. Aliran gas selama
ekspirasi selalu mengandung komponen turbulen, sehingga peningkatan
densitas gas akan selalu mengarah pada resistensi pernapasan yang
lebih tinggi. Karena aliran gas ekspirasi maksimum pada volume paru-
paru yang diberikan tergantung pada resistensi jalan napas, aliran
ekspirasi maksimum berkurang ketika kepadatan gas meningkat.
Kepadatan gas yang lebih tinggi menghasilkan loop volume aliran inspirasi
dan ekspirasi maksimum berkurang (gambar 1.3-11, sisi kiri) serta dalam
pekerjaan pernapasan yang lebih berat, ketika ventilasi harus mengikuti
beban kerja fisik. Semakin tinggi kepadatan gas, semakin kecil loop
volume aliran. Saat aliran gas pernapasan ekspirasi pada volume paru-
paru tertentu (mis. 60% VC) sebagai fungsi untuk meningkatkan
kepadatan gas, Anda akan melihat pengurangan aliran gas seperti yang
ditunjukkan pada Gambar 1.3-11 (sisi kanan).
Ketika aliran gas inspirasi dan ekspirasi berkurang oleh
meningkatnya tekanan, tidak mengherankan bahwa maximum voluntary
ventilation (MVV) juga berkurang dengan meningkatkan tekanan. Respon
ventilasi terhadap peningkatan pCO2 dalam gas inspirasi saat istirahat
akan berkurang ketika kerja ventilasi meningkat karena kepadatan gas

13
yang lebih tinggi. Alasan yang diduga mengapa respons ventilasi menurun
adalah karena kerja ventilasi tambahan membutuhkan stimulus CO2 yang
lebih kuat. Selama pekerjaan fisik pada peningkatan kepadatan gas,
frekuensi pernapasan lebih rendah dan volume tidal lebih tinggi dari
normal. Dengan cara ini diperlukan kerja ventilasi tambahan dan ventilasi
dead space yang diminimalkan, sementara volume ventilasi per menit
dipertahankan.

1.3 NITROGEN DAN KARBON DIOKSIDA

1.3.1 Keracunan Nitrogen


1.3.1.1 Occurence
Keracunan nitrogen juga disebut "narkosis nitrogen". Ini dapat
terjadi pada pN2 lebih dari ~ 320kPa (3.2bar). Saat menghirup udara, ini
terjadi pada tekanan total 400kPa (4.0bar). Terjadi ketika menghirup udara
yang bercampur dengan fraksi nitrogen tereduksi (FN2), gejala akan
muncul pada tekanan total yang lebih tinggi tergantung pada pN2.
Kerentanan antar individu terhadap nitrogen sangat bervariasi. Ada juga
variasi intra-individu yang hebat untuk terjadinya gejala dari hari ke hari.
Berbagai faktor dapat memengaruhi kerentanan terhadap narkosis
nitrogen. Daftar faktor-faktor yang berpengaruh panjang dan risiko
narkosis nitrogen tidak pernah dapat sepenuhnya dikesampingkan.
Narkosis nitrogen jarang terjadi pada pengobatan hiperbarik karena
tekanan yang terbatas untuk perawatan standar. Tetapi dalam perawatan
pada tekanan yang lebih tinggi dengan gas campuran bernafas untuk
indikasi khusus (mis. Insiden dekompresi parah), mungkin menjadi
masalah bagi yang masuk dalam chamber.
1.3.1.2 Gejala
Nitrogen mempengaruhi manusia mirip dengan gas narkotika
medis, tetapi pada tingkat yang jauh lebih rendah. Tahap awal narkosis
nitrogen digambarkan mirip dengan alkohol atau keracunan LSD. Gejala
mungkin tidak dikenali oleh individu yang terpengaruh.

14
1.3.2 Keracunan Karbon dioksida
1.3.2.1 Occurence
Ada dua jalur untuk pengembangan keracunan CO2: salah satunya
adalah pCO2 meningkat saat bernapas (inspirasi), atau saat
menghembuskan napas (ekspirasi) CO2 yang dihasilkan tidak cukup.
Peningkatan pCO2 dalam gas yang diinspirasikan dapat terjadi
ketika pertukaran gas dalam ruang hiperbarik tidak cukup untuk menjaga
pCO2 pada tingkat fisiologis. Untuk mencegah peningkatan kadar pCO2,
ruang hiperbarik harus terus diisi dengan breathing gas. Pengisiannya
harus disesuaikan dengan jumlah orang yang masuk chamber dan
tekanan total atmosfer chamber.
Kecemasan dapat menyebabkan ventilasi yang sering dan dangkal
sehingga dapat menyebabkan CO2 yang tidak cukup habis. Kelelahan
fisik karena kerja keras dan peningkatan produksi CO2 mungkin memiliki
efek yang serupa. Kepadatan gas yang meningkat dan peningkatan
resistensi pernafasan mendukung mekanisme ini.
1.3.2.2 Gejala
Gejala keracunan CO2 yang paling umum dan terutama terjadi
adalah sakit kepala. Selain itu, palpitasi, peningkatan tekanan darah, atau
agitasi dapat terjadi. Pada pCO2 lebih dari 6kPa (0,06bar) kelaparan
udara, takikardia, dan kehilangan kesadaran dapat terjadi ("narcosis
CO2")

15
BAB 2
JURNAL

Penurunan apoptosis dan peningkatan sintesis proteoglikan pada


defek kartilago kelinci melalui terapi oksigen hiperbarik berkaitan
dengan supresi produksi nitric oxide

Abstrak
Sitokin proinflamasi berupa nitric oxide (NO) dan apoptosis yang diinduksi
oleh hipoksia lokal serta degradasi proteoglikan (PG) dipikirkan
berhubungan dengan derajat cedera kartilago. Studi ini mengevaluasi
perubahan yang diinduksi oleh oksigen hiperbarik (hyperbaric oxygen/
HBO) pada tekanan oksigen di kavitas sendi, kandungan antigenickeratan
sulfat (KS), ekspresi inducible nitric oxide synthase (iNOS), sintesis PG,
dan apoptosis sel pada defek dengan ketebalan penuh (full-thickness
defect) pada kartilago kelinci. Kelompok HBO dipaparkan dengan oksigen
100% pada 2,5 atm selama 2 jam per hari, 5 hari per minggu. Di sisi lain,
kelompok kontrol diletakkan dalam kandang rumah dengan udara normal.
Tekanan oksigen pada kavitas sendi ditentukan dengan sensor oksigen.
KS serum darah ditentukan dengan pemeriksaan enzyme-linked
immunosorbent (ELISA) kompetitif indirek. Hewan kemudian disembelih
dan bagian spesimen dikirim untuk pemeriksaan histologis dan histokimia
dengan sistem skoring terstandardisasi. Analisis in situ terkait ekspresi
iNOs dilakukan dengan immunostaining dan deteksi apoptosis dilakukan
dengan TUNEL staining dan diukur dengan sistem analisis bayangan
terkomputerisasi. Studi ini menunjukkan bahwa terapi HBO meningkatkan
tekanan oksigen pada kavitas sendi, namun menurunkan kandungan KS
darah. Skor histologi dan histokimia menunjukkan bahwa terapi HBO
secara signifikan meningkatkan perbaikan/ repair pada kartilago. Selain
itu, immunostaining dan TUNEL staining menunjukkan bahwa terapi HBO
menekan ekspresi iNOs dan apoptosis pada kondrosit. Dapat disimpulkan

16
bahwa HBO merupakan metode terapi yang berpotensi pada cedera
kartilago.

Kata kunci: Oksigen hiperbarik, defek dengan ketebalan penuh, nitric


oxide, apoptosis, proteoglikan, keratan sulfat

Latar belakang
Meskipun kartilago sendi normalnya memiliki aktivitas degradasi
dan generasi yang stabil, kartilago tersebut memiliki kapasitas terbatas
untuk mengalami perbaikan setelah cedera trauma tumpul. Defek dengan
ketebalan penuh pada kartilago sendi yang lebih besar tidak dapat
diperbaiki dan dapat menginisiasi perubahan degeneratif yang progresif
pada kartilago yang tersisa, seperti yang terjadi pada osteoartritis (OA).
Pembuangan kartilago yang rusak melalui proses pembedahan dan
penetrasi ke dalam tulang subkondral untuk memungkinkan populasi
defek terisi dengan sel progenitor dapat mengakibatkan defek dipenuhi
dengan jaringan perbaikan (repair tissue). Akan tetapi, hasil fibrokartilago
umumnya berdegenarasi seiring dengan bertambahnya waktu. Kondrosit
sendi memiliki kekhususan untuk bertahan pada lingkungan avaskular dan
bertahan pada jalur difusi untuk memperoleh O2. Sinovium normal
memiliki vaskularisasi yang tinggi untuk memenuhi kebutuhan metabolik
pada kartilago avaskular, namun gradien oksigen kemungkinan terganggu
pada keadaan penyakit sendi. Oksigen tampaknya berperan penting
dalam meningkatkan produksi matriks dan regenerasi osteokondral
setelah cedera kartilago.
Sisa kartilago pada model defek dengan ketebalan penuh atau
kartilago OA secara spontan menghasilkan nitric oxide (NO), yang
dipercaya memediasi supresi sintesis proteoglikan (PG) kartilago yang
diinduksi oleh interleukin-1 (IL-1). Selain itu, NO ditunjukkan dapat
mengurangi sintesis antagonis reseptor IL-1 (IL-1 Ra) pada kondrosit,

17
sehingga meningkatkan efek supresi pada sel-sel ini. Apoptosis pada
kondrosit dapat diinduksi oleh NO dan hipoksia lokal. Supresi produksi NO
setelah trauma kondral atau pada tahap awal OA dapat menghambat
inisiasi atau progresivitas OA. Keratan sulfat (KS) merupakan komponen
utama PG kartilago. Karena degradasi PG kartilago pada sendi tunggal
mengakibatkan peningkatan dramatis KS serum, pengukuran kadar KS
serum darah dapat memberikan informasi yang berguna terkait degradasi
PG yang terjadi pada cedera sendi atau OA.
Terdapat hubungan yang dekat antara oksigen hiperbarik (HBO),
sitokin proinflamasi, PG, dan sintesis NO. Terapi HBO meningkatkan pO 2
jaringan/ mikrovaskular, menekan sekresi IL-1β, menurunkan produksi
NO, meningkatkan pertumbuhan epifisis pada hasil transplantasi kartilago,
mempercepat penyembuhan tulang, meningkatkan sintesis
glikosaminoglikan, dan menstimulasi profliferasi fibroblas. Studi ini
memeriksa efek terapi HBO pada proses perbaikan kartilago dengan
mengukur tekanan oksigen kavitas sendi, kandungan KS antigenik,
sintesis PG, ekspresi iNOs, dan apoptosis sel pada model defek dengan
ketebalan penuh pada kartilago kelinci.

Material dan metode


Operasi pada hewan
Kelinci New Zealand dengan berat 3 kg dibius dengan campuran
injeksi intravena ketamin hidroklorida 5 ml (Ketalar, ParkeDavis, Taiwan)
dan Rompum (Bayer, Leverkusen, Jerman). Metode aseptik dilakukan, bor
kemudian dilakukan untuk membuat defek dengan diameter 4 mm yang
melewati tulang subkondral pada sisi kanan kondilus femoral medial dari
permukaan yang menahan beban. Defek dengan ketebalan penuh dibuat
dan ditunjukkan dengan adanya perdarahan. Insisi lurus pada garis
tengah dibuat dengan artrotomi parapatella medial. Setelah membuat
defek kartilago, sendi lutut diirigasi dan luka ditutup dengan jahitan nylon
3-0 pada luka artrotomi dan kulit. Hewan diperbolehkan untuk makan
secara bebas pada kandang mereka.

18
Pajanan pada HBO intermiten
24 kelinci dilibatkan pada studi dan secara acak dibagi ke dalam 2
kelompok: (I) kelompok HBO yang terdiri dari 12 kelinci yang dipaparkan
dengan HBO dengan oksigen 100% pada 2,5 atm selama 2 jam per hari,
selama 5 hari seminggu setelah pembedahan. (II) kelompok kontrol, terdiri
dari 12 kelinci pada kandang dengan udara normal.

Deteksi tekanan oksigen pada kavitas sendi


Rerata tekanan oksigen pada kavitas sendi ditentukan dengan
sensor oksigen (Oxylite multi-channel system, Oxford Optronix Ltd, UK).
Hewan dibius dan insisi kecil pada kulit dibuat pada sisi lateral sendi lutut
dengan diseksi jaringan kulit hingga kapsul sendi terpapar. Sensor
kemudian dimasukkan ke dalam sendi untuk mendeteksi tekanan oksigen.
Tekanan oksigen pre-HBO diukur pada 6 kelinci pada kelompok HBO.
Pengukuran tekanan oksigen in vivo secara kontinu pada kavitas sendi
berlangsung selama 30 menit. Setelah terapi HBO, variasi tekanan
oksigen pada kavitas sendi kemudian ditentukan.

Deteksi KS antigenik pada serum darah


Pada interval 7, 14, 21, 28, dan 35 hari setelah operasi, darah vena
diambil dari telinga kelinci pada kelompok kontrol dan HBO. Serum darah
diperoleh setelah sentrifugasi dan dianalisis terkait kandungan agKS (KS
antigenik, dengan epitop 1/20/5-D-4) dengan ELISA indirek kompetitif.
Secara ringkas, setelah langkah inhibisi dimana antibodi monoklonal
1/20/5/D-4 diperbolehkan untuk berinteraksi dengan agKS pada sampel
yang diencerkan pada serum, campuran ditempatkan pada sumur dengan
lempeng mikrotiter yang dilapisi dengan kondroitinase ABC, agrekan yang
mengandung agKS. Setelah dicuci, campuran diinkubasi dengan larutan
peroxidase coupled antimouse IgG. Kemudian, setelah pencucian lebih
lanjut, campuran baru diinkubasi dengan larutan yang mengandung
substrat untuk peroksidase. Absorbansi dari produk berwarna terbaca
pada 490 nm. Konsentrasi agKS dihitung dengan membandingkan nilai

19
absorbansi ini dengan nilai yang dihasilkan menggunakan dilusi serial dari
standar internasional pada KS sapi murni (Sigma, St Louis, MO, USA).
Standar KS digunakan pada rentang konsentrasi 6,25-200 ng/ml.

Pemrosesan jaringan dan pewarnaan Toluidin biru, pewarnaan


Safranin-O
Hewan disembelih pada 5 dan 10 minggu setelah pembedahan.
Area defek dikirim untuk penilaian histologi dan imunohistokimia. Blok
jaringan difiksasi pada formalin dengan buffer netral 10% selama 2
minggu dan didekalsifikasi dengan EDTA 20% pada phosphate buffered
saline/ PBS. Setelah dekalsifikasi, blok dipotong setengah melewati defek
dan ditanam pada parafin. Area sebesar 5-mikron dipotong dan diwarnai
dengan Toluidin biru dan Safranin-O.

Sistem skoring untuk analisis histologi dan histokimia


Bagian dari setiap spesimen diperiksa tanpa diketahui (blinding)
dan independen oleh 6 penulis, yang memilih bagian paling umum dari
setiap spesimen, dan kemudian memeriksanya untuk menilai morfologi
selular, afinitas matriks untuk pewarnaan Safranin-O, regularitas
permukaan, integritas struktural, ketebalan graft, ikatan dengan kartilago
sendi yang berdekatan, perubahan selular pada degenerasi, dan kondisi
pada kartilago yang berdekatan. Setiap karakteritsik ini diberikan skor
menurut sistem skoring standar Salter (Tabel 1), dimana diperoleh
sebelumnya bahwa sistem skoring ini dapat diandalkan.

Pemeriksaan imunohistokimia untuk iNOs


Bagian jaringan di deparafinisasi dalam xylene, melalui penurunan
gradasi etanol, dan diinkubasi dengan kondroitinase ABC (0,25 U/ml,
Sigma, St Louis, MO, USA) pada phosphate buffered saline (PBS, pH 7,4)
selama 60 menit pada 37oC. Aktivitas peroksidase endogen dihambat
dengan hidrogen peroksida 1%. Kehadiran dan distribusi iNOs ditentukan
dengan antibodi anti-iNOs (1 mg/ml, dilusi 1:40, R&D system, MN, USA)

20
selama 2 jam pada suhu ruang. Antibodi sekunder yang dikonjugasikan
dengan peroksidase (0,8 mg/ml, dilusi 1:1000, Jackson Immuno Res, PA,
USA) digunakan selama 20 menit pada suhu ruang. Imunoglobulin terikat
dideteksi dengan perangkat substrat peroksidase DAB (Vector Lab, CA,
USA) dan metil hijau 0,1% digunakan untuk counterstain (pewarnaan
dengan warna yang kontras dengan warna utama, yang bertujuan untuk
membuat struktur menjadi lebih terlihat pada mikroskop). Setiap gambar
diambil dengan kamera digital (DP 50; Olympus; Shibuya-ku, Tokyo) dan
sel dengan pewarnaan positif ditentukan dengan Image-Pro Plus 4 image
analysis software (Media Cybernetics, Silver Spring, MD).

Pewarnaan TUNEL untuk mendeteksi apoptosis


Analisis in situ terkait apoptosis dilakukan dengan perangkat
deteksi kematian sel, POD (Roche, Mannheim, Germany) berdasarkan
instruksi produsen dengan sedikit modifikasi. Secara ringkas, bagian
kartilago sebesar 5μm diapungkan dalam slide yang dilapisi dengan poly-
L-lysine, dideparafinisasi dalam xylene, melewati penurunan gradasi
etanol, ditempatkan dengan proteinase K (20μg/ml, Sigma, St Louis, MO,
USA) selama 15 menit serta dipenuhi aktivitas hidrogen peroksidase
endogen-nya dalam hidrogen peroksidase 3%. Setelah serangkaian
pencucian, sampel dilabel dengan campuran reaksi TUNEL selama 60
menit pada 37oC. Warna dikembangkan dengan perangkat substrat
peroksidase DAB (Vector Lab, CA, USA) dan metil hijau 0,1% digunakan
sebagai counterstain. Setiap gambar diambil dengan kamera digital (DP
50; Olympus; Shibuya-ku; Tokyo) dan sel dengan pewarnaan positif
ditentukan dengan Image-Pro Plus 4 image analysis software (Media
Cybernetics, Silver Spring, MD).

Analisis statistik
Tekanan oksigen pre- dan post-HBO dibandingkan dengan
Student’s t test berpasangan. Kadar KS serum diantara kelompok kontrol
dan HBO dibandingkan dengan Student’s t-test. Hasil skor histologi dan

21
histokimia dianalisis dengan uji Mann-Whitney U, sebuah uji t
nonparametrik dan diperlukan untuk data kategorik. Hasil imunohistokimia
untuk pewarnaan iNOs dan TUNEL diantara kedua kelompok
dibandingkan dengan uji Mann-Whitney. Nilai diekspresikan dalam rata-
rata±SD untuk Student’s t-test dan sebagai median dan rentang untuk uji
Mann-Whitney U; p < 0,05 dianggap signifikan secara statistik.

Tabel 1. Sistem skoring untuk hasil histologi dan histokimia


Karakteristik Poin
Sifat dasar jaringan utama
Morfologi selular
Kartilago sendi hialin 4
Terdiferensiasi secara inkomplit 2
Jaringan fibrosa atau tulang 0
Pewarnaan Safranin-O pada matriks
Normal atau hampir normal 3
Sedang 2
Sedikit 1
Tidak ada 0
Regularitas struktural
Regularitas permukaan
Halus dan intak 3
Laminasi horizontal superfisial 2
Fisura, ketebalan 25-100% 1
Gangguan berat atau fibrilasi 0
Integritas struktural
Normal 2
Gangguan kecil, termasuk kista 1
Disintegrasi berat 0
Ketebalan
100% kartilago berdekatan 2
normal
50-100% kartilago normal 1
0-50% kartilago normal 0
Ikatan dengan kartilago yang
berdekatan
Terikat pada kedua ujung graft 2
Terikat pada salah satu ujung, 1
atau secara parsial pada kedua
ujung
Tidak terikat 0
Bebas dari perubahan selular
degenerasi
Hiposelularitas
Tidak ada 3

22
Sedikit 2
Sedang 1
Berat 0
Kumpulan kondrosit
Tidak ada 2
<25% sel 1
25-100% sel 0
Bebas dari perubahan degeneratif
pada kartilago yang berdekatan
Selularitas normal, tidak ada 3
kluster, pewarnaan normal
Selularitas normal, kluster 2
ringan, pewarnaan sedang
Hiposelularitas ringan atau 1
sedang, sedikit terwarnai
Hiposelularitas berat, tidak 0
terwarnai atau sangat sedikit
Skor sempurna 24

Hasil
Efek HBO pada tekanan oksigen kavitas sendi
Jejak pengukuran kontinu tekanan oksigen pada kavitas sendi
secara in vivo ditunjukkan pada Gambar 1. Rerata tekanan oksigen
kavitas sendi adalah 11,62±2,51 pre-HBO dan 25,02±4,34 post-HBO.
Tekanan oksigen secara signifikan meningkat pada kavitas sendi setelah
terapi HBO (Tabel 2, p< 0,01).

(sebelum
HBO)
(setelah
HBO)

Waktu

Gambar 1. Jejak sensor oksigen(menit)


pada pO2 yang diperoleh dari salah satu
hewan. Terapi HBO secara signifikan meningkatkan tekanan oksigen di
kavitas sendi pada pengukuran in vivo secara kontinu.

23
Tabel 2. Efek HBO pada tekanan oksigen di kavitas sendi (mmHg)
Hewan Pre-HBO Post-HBO
1 10,47 21,21
2 9,98 22,19
3 14,98 30,96
4 12,67 26,31
5 13,44 28,89
6 8,17 20,58
Rata-rata ± SD 11,6± 2,51 25,02 ± 4,34**
Uji t berpasangan, **p< 0,01

Efek HBO pada sekresi agKS


Kadar KS serum pada kedua kelompok ditunjukkan pada Gambar 2
dan Tabel 3. Tidak ada perbedaan signifikan pada kadar KS serum
preoperatif pada kelompok kontrol dan HBO (p>0,05). Setelah
pembedahan, kadar KS serum meningkat secara tajam pada minggu 1,
namun hampir kembali ke kadar preoperatif pada minggu ke-4 pada
kelompok kontrol. Kadar KS serum sedikit meningkat pada kelompok
HBO, namun secara signifikan lebih rendah dibandingkan kelompok
kontrol pada 1, 2, dan 3 minggu setelah pembedahan (p < 0,01, p< 0,01,
p< 0,05).

Minggu
setelah operasi
Gambar 2. Peningkatan kadar keratan sulfat serum pada model dengan
cedera kartilago pada kelinci. Kadar KS serum sedikit meningkat setelah
pembedahan pada kelompok HBO, tetapi masih secara signifikan lebih
rendah dibandingkan dengan kelompok kontrol. Data diekspresikan dalam
rata-rata ± SD dari penemuan pada 6 kelinci pada setiap kelompok; p<
0,05 dianggap signifikan secara statistik.

24
Tabel 3. Efek HBO pada sekresi agKS (ng/ml)
Minggu setelah Kelompok Kelompok HBO Nilai p
OP kontrol
0 15,5 ±2,4 l5,4± 4,7 p > 0,05
1 154,5 ± 30,1 46,9± 10,7 p < 0,01
2 102,5 ± 20,2 30,4 ± 7,2 p < 0,01
3 50,4± 10,7 15,9 ± 3,2 p < 0,01
4 20.3 ±7.9 16.2± 5.2 p > 0.05
5 16.7 ± 6.5 15.8± 4.7 p > 0.05

Efek HBO pada perbaikan defek kartilago


Gambaran kasar pada defek kartilago dan perbaikan kartilago
diperiksa. Pada 5 minggu setelah operasi, pembentukan spikula tulang
awal terlihat pada kedalaman defek pada kelompok kontrol, namun
lapisan superfisial masih berupa jaringan fibrosa dan iregular (Gambar
3A). Pada kelompok HBO, ketebalan kartilago yang sedang dalam proses
perbaikan adalah sekitar 50% dari kartilago berdekatan yang normal
(Gambar 3B). Pewarnaan Safranin-O matriks tampak jelas pada area
kondrosit hipertrofik pada dasar defek. Pada 10 minggu setelah
pembedahan, gambaran kasar defek menunjukkan sekitar 40% perbaikan
pada kelompok kontrol (Gambar 3C). Jaringan reparasi terdiri dari
campuran dengan kebanyakan jaringan fibrosa hiposelular pada lapisan
superfisial dan sedikit fibrokartilago pada lapisan basal. Pada kelompok
HBO, defek sembuh secara sempurna dan tidemark (tidemark adalah
batasan yang jelas antara zona kartilago terkalsifikasi dengan kartilago
sendi) tersusun kembali secara sebagian (Gambar 3D). Pewarnaan
Safranin-O tampak jelas di sepanjang perbaikan kartilago yang
menyerupai hialin, dengan pembentukan kolumna vertikal kondrosit di
zona radial (sebuah gambaran umum dari kartilago sendi normal)
(Gambar 3E). Hasil skor histologi dan histokimia diringkas pada Tabel 4.
Skor total juga lebih baik pada kelompok HBO dibandingkan kelompok
kontrol (p<0,01) pada setiap titik waktu.

25
Gambar 3. Gambaran kasar pada defek kartilago dan perbaikan kartilago
diperiksa. Pada 5 minggu setelah pembedahan: (A) defek hampir kosong
pada kelompok kontrol (pewarnaan Toluidin biru, x200); (B) ketebalan
perbaikan kartilago adalah sekitar 50% dari kartilago normal yang
berdekatan pada kelompok HBO (pewarnaan Toluidin biru, x200). Pada
10 minggu setelah operasi, (C) gambaran kasar defek menunjukkan
perbaikan sekitar 40% pada kelompok kontrol (pewarnaan Toluidin biru
x200); (D) defek sembuh secara komplit dan tidemark tersusun kembali
secara sebagian pada kelompok HBO (pewarnaan Toluidin biru, x200); (E)
Pewarnaan Safranin-O jelas di sepanjang perbaikan kartilago yang
menyerupai hialin dengan pembentukan kolumna vertikal kondrosit di
zona radial pada kelompok HBO (pewarnaan Safranin-O, x200).

Tabel 4. Hasil skor histologi dan histokimia


Kelompok kontrol Kelompok HBO Nilai p
Median Rentang Median Rentang
5 minggu 1 2 7,5 2 p<0,01
10 minggu 8 2 21,5 5 p<0,01
Uji Mann-Whitney U
Efek HBO pada ekspresi iNOs

26
Pada perbaikan kartilago di kelompok kontrol, pewarnaan kuat
pada iNOs diamati (Gambar 4A dan C) ketika dibandingkan dengan
kelompok HBO (Gambar 4B dan D). Hasil kuantitatif untuk ekspresi iNOs
pada kondrosit diringkas pada Tabel 5. Immunostaining menunjukkan
bahwa terapi HBO secara signifikan menekan ekspresi iNOs pada
kondrosit (p<0,01) pada setiap titik waktu.

Gambar 4. Kartilago yang diperoleh dari kedua kelompok 5 minggu (A, B)


dan 10 minggu (C, D) setelah pembedahan. Penurunan ekspresi iNOs
ditunjukkan pada setiap titik waktu pada perbaikan kartilago di kelompok
HBO (B, D).

Tabel 5. Hitung sel dengan pewarnaan iNOs positif


Kelompok kontrol Kelompok HBO Nilai p
Median Rentang Median Rentang
5 minggu 166,5 74 32 42 p< 0,01
10 minggu 69 56 14 27 p< 0,01

Efek HBO pada apoptosis kondrosit


Pada perbaikan kartilago pada kelompok kontrol, sejumlah sel yang
dengan label-TUNEL diamati (Gambar 5A dan C) ketika dibandingkan
dengan kelompok HBO (Gambar 5B dan D). Hasil kuantitatif untuk
kondrosit yang mengalami apoptosis diringkas pada Tabel 6. Terapi HBO

27
secara signifikan menekan apoptosis kondrosit (p<0,01) pada setiap titik
waktu.

Gambar 5. Kartilago yang diperoleh dari kedua kelompok pada 5 minggu


(A, B) dan 10 minggu (C, D) setelah pembedahan. Penurunan ekspresi sel
dengan label TUNEL terlihat pada perbaikan kartilago di setiap titik waktu
pada kelompok HBO (B, D).

Tabel 6. Hitung sel yang positif terwarnai dengan TUNEL.


Kelompok kontrol Kelompok HBO Nilai p
Median Rentang Median Rentang
5 minggu 121,5 54 63,5 36 p<0,01
10 minggu 65,5 47 12,5 10 p<0,01
Uji Mann-Whitney U.

Diskusi
Meskipun kartilago sendi merupakan jaringan avaskular yang dapat
berfungsi pada lingkungan dengan tekanan oksigen rendah, penurunan
lebih lanjut pada tekanan oksigen cairan sinovial dan perubahan
lingkungan pada cedera traumatik atau penyakit degeneratif pada
kartilago sendi telah dilaporkan. Secara in vivo, hipoksia berperan penting
pada perkembangan kerusakan jaringan pada OA. Secara in vitro, tingkat
biosintesis glikosaminoglikan (GAG) pada eksplan kartilago yang dikultur
pada tekanan oksigen 78-180 mmHg dua kali lipat lebih tinggi
dibandingkan dengan eksplan yang dikultur pada tekanan oksigen 45

28
mmHg. Selain itu, lebih banyak matriks kartilaginosa yang dibentuk pada
eksplan periosteal kelinci yang dikultur pada 8-38 mmHg. Studi lebih lanjut
menunjukkan terjadi hambatan yang signifikan pada proliferasi kondrosit
dan sintesis matriks ekstraselular pada kondisi hipoksik. Selain itu,
peningkatan yang signifikan dari depresi yang diinduksi NO pada
fosforilasi oksidatif mitokondria kondrosit juga terjadi pada kondisi
hipoksik. Penemuan ini mengindikasikan bahwa kondisi hipoksik
bersamaan dengan hal-hal yang terjadi secara in vivo tidak optimal untuk
regenerasi osteokondral setelah cedera kartilago atau kondrogenesis in
vitro.
Mekanisme perbaikan pada kartilago sendi kurang dipahami namun
terdapat beberapa implikasi yang penting pada penelitian-penelitian
sebelumya. Salter el al menggunakan defek dengan ketebalan penuh dan
model dengan cedera yang diinduksi chymopapain untuk meneliti efek
gerakan pasif kontinu/ continuous passive motion (CPM) pada perbaikan
kartilago. Mereka berhipotesis bahwa CPM pada sendi sinovial memiliki
beberapa efek menguntungkan sebagai berikut secara in vivo: (1)
meningkatkan nutrisi dan aktivitas metabolik pada kartilago sendi, (2)
melindungi dan menstimulasi perbaikan pada matriks sendi setelah cedera
yang diinduksi oleh chymopapain, dan (3) mempercepat penyembuhan
pada kartilago sendi dan jaringan periartikular, seperti tendon dan
ligamen. Thonar et al menggunakan model transeksi ligamen krusiatum
anterior/ anterior cruciate ligament transection (ACLT) untuk meneliti
perubahan-perubahan pada kadar KS serum dan mengindikasikan bahwa
cedera pada sendi sinovial tunggal mengakibatkan peningkatan KS yang
terjadi secara lokal pada awalnya, namun menjadi sistemik seiring dengan
bertambahnya waktu. Tanaka et al menggunakan model dengan defek
kartilago dan menunjukkan peningkatan pada produksi NO yang dapat
mempengaruhi homeostasis pada matriks ekstraselular kartilago.
Hashimoto et al dan Pelletier et al menggunakan model ACLT dan
mengindikasikan bahwa produksi NO dapat mengakibatkan apoptosis
kondrosit dan kedua kejadian tersebut berkontribusi pada degradasi

29
kartilago. Inhibisi selektif pada iNOs mengurangi progresivitas pada OA
eksperimental secara in vivo. Pada studi ini, model dengan defek statik
dibuat dengan membuat bor pada lubang melalui tulang subkondral dan
memiliki penemuan yang serupa secara in vivo: (1) Peningkatan kadar KS
serum postoperatif cukup besar dan bertahan selama beberapa minggu,
yang mengindikasikan bahwa trauma pada tulang dan kartilago memiliki
efek sistemik pada pergantian (turnover) agrekan (protein inti proteoglikan
spesifik rawan kartilago) di tubuh. Data kami menunjukkan sedikit
peningkatan kadar KS serum setelah pembedahan pada kelompok HBO,
namun masih lebih rendah dibandingkan kelompok kontrol (Gambar 2).
Mekanisme sistemik dari efek HBO pada semua kartilago masih belum
jelas. Setidaknya, HBO meningkatkan suplai oksigen pada area anoksik
pada kartilago dengan cedera lokal (Gambar 1), yang meningkatkan
proliferasi kondrosit dan sintesis matriks ekstraselular. Bukti histologi dan
histokimia juga dikonfirmasi degan sistem analisis skor (Gambar 3 dan
Tabel 4), (2) HBO mengurangi degradasi PG pada kartilago yang cedera
dan efek menguntungkan ini dapat berkaitan dengan supresi ekspresi
iNOs dan apoptosis kondrosit (Gambar 4 dan 5). Kemungkinan
mekanisme lain untuk destruksi kartilago adalah bahwa NO dapat
menstimulasi aktivitas matrix metalloprotease (MMP) pada kondrosit,
namun efek HBO pada aktivitas MMP masih belum jelas, (3) HBO
mempercepat penyembuhan pada kartilago sendi dan jaringan
periartikular, seperti ligamen, yang dapat memperbaiki instabilitas sendi
yang diakibatkan oleh transeksi ligamen pada model ACLT.
Evaluasi yang kritis pada metode yang bertujuan untuk
mengembalikan permukaan sendi kartilaginosa memerlukan pertimbangan
terkait keterbatasan-keterbatasan dari model eksperimental yang
digunakan dan hubunugannya dengan gangguan klinis. Pada studi ini,
defek eksperimental akut pada kondral dan osteokondral yang dibuat
dengan membuat bor lubang menstimulasi replikasi cedera kondral dan
osteokondral akut yang terjadi pada manusia sebagai akibat trauma sendi
dan dapat berperan sebagai model yang sesuai untuk beberapa

30
osteonchondritis dissicans (gangguan sendi dimana retakan terjadi pada
kartilago sendi dan tulang subkondral yang mendasari) dan lesi traumatik.
Jenis defek ini serupa dengan cedera osteokondral dengan ketebalan
penuh setelah trauma seperti comminuted tibial plateau fracture
menginduksi defek kartilago fokal. Namun defek ini dibuat dibawah kontrol
dan dibuat dengan bor, yang akan memberikan efek panas pada tulang
dan kartilago. Pada situasi nyata, tidak ada efek panas pada tulang dan
kartilago serta defek umumnya iregular dengan kedalaman yang tidak
merata. Defek-defek tersebut umumnya terjadi pada remaja dan dewasa
muda yang ingin mempertahankan tingkat aktivitas yang tinggi, dan pada
beberapa dari individu ini muncul nyeri, efusi, dan disfungsi mekanik. Saat
ini, inhalasi HBO merupakan metode terapi yang diketahui untuk berbagai
kondisi medis dan memiliki mekanisme yang jelas terkait inhibisi pada
reaksi inflamasi oleh HBO. Weisz et al melaporkan bahwa terapi HBO
pada penyakit Crohn (inflammatory bowel disease perianal) menurunkan
sekresi tumor necrosis factor-α (TNF-α), IL-1, dan IL-6 dengan monosit.
Yin et al melaporkan bahwa efek neuroprotektif dari HBO dapat
mengakibatkan inhibisi pada overekspresi siklooksigenase-2 (COX-2).
Toleransi pada HBO dapat diperluas dengan pajanan intermiten ketika
terapi HBO diperlukan pada manusia. Para penulis menggunakan protokol
terapi HBO klinis yang dijelaskan di US Navy Treatment pada studi ini.
Dari pengalaman kami, protokol terapi HBO ini tidak menimbulkan
toksisitas oksigen pada kelinci. Selain itu, tekanan oksigen pada kavitas
sendi memiliki rentang 20,58 hingga 30,96 mmHg setelah terapi HBO
(Tabel 1). Ini merupakan rentang tekanan oksigen yang aman bila
dibandingkan dengan tekanan pada kavitas sendi normal pada kelinci di
studi-studi sebelumnya. Studi ini menunjukkan bahwa terapi HBO dapat
menekan apoptosis dan meningkatkan pertumbuhan sel dan sintesis PG
pada defek kartilago, dan juga mengindikasikan bahwa efek
menguntungkan ini berkaitan dengan supresi produksi NO. Terapi HBO
dapat merupakan metode yang berpotensi untuk perbaikan kartilago

31
secara klinis, meskipun waktu yang optimal, durasi, dan frekuensi terapi
HBO masih harus ditentukan untuk memverifikasi hal ini.

32
DAFTAR PUSTAKA

Yuan LJ, Ueng SW, Lin SS, et al. Attenuation of apoptosis and
enhancement of proteoglycan synthesis in rabbit cartilage defects by
hyperbaric oxygen treatment are related to the suppression of nitric
oxide production. J Orthop Res 2004; 22: 1126-1134
Germonpre, P. & Mathieu, D., 2014. Research in Hyperbaric Medicine.

33

Anda mungkin juga menyukai