PENDAHULUAN
Semua manusia dilahirkan ke dunia mempunyai hak yang sama, kita telah
diciptakan sederajat walaupun berbeda – beda apapun jenis kelamin, penampilan,
kesehatan, atau kemampuan berfungsi, kita telah diciptakan ke dalam satu masyarakat,
penting untuk diakui bahwa sebuah masyarakat normal ditandai oleh keragaman dan
keserbaragaman bukan oleh keseragaman akan tetapi pada kenyataannya anak – anak
dan orang dewasa yang berbeda dalam kebutuhannya dari kebutuhan kebanyakan orang
telah dipisahkan dengan alasan yang beragam untuk waktu yang cukup lama semua
alasan tersebut tidak adil. Pendidikan juga merupakan hak bagi semua warga negara
Sunanto (2010:21-22).
Hak pendidikan adalah merupakan bagian dari Hak Ekosob (Ekonomi, Sosial,
Budaya). Negara mempunyai kewajiban (state obligation) untuk memenuhi (fulfill),
menghormati (to respect), dan melindungi (to protect) setiap hak pendidikan yang
dimiliki oleh setiap warga negaranya. Termasuk hak pendidikan untuk penyandang
cacat. Pada pasal 28 C Undang-undang Dasar 1945 pun dikatakan bahwa setiap orang
berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat
pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan
budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia,
sehingga jelas disini kewajiban generic negara dalam pemenuhan hak pendidikan adalah
memfasilitasi (to facilitate), memajukan (to promote), menyediakan (to provide)
Sunanto (2010:22).
Jika berbicara tentang hak penting digarisbawahi bahwa orang penyandang cacat
juga mempunyai kewajiban dan tanggung jawab terhadap orang lain dan masyarakat
seperti layaknya orang lain pada umumnya. Tujuan akhirnya adalah bahwa setiap orang
merasa berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan apa yang dapat
diberikannya dan pada saat yang bersamaan mempunyai hak untuk menerima apa yang
dibutuhkannya. Seperti yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945 khususnya
Pasal. 32 ayat 1 yang berbunyi ’setiap warga negara negara berhak mendapat
pendidikan’, dan ayat 2 yang berbunyi ’setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan
dasar dan pemerintah wajib membiayainya’. UU no. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional, khususnya Pasal. 5 ayat 1 yang berbunyi ’setiap warga negara mempunyai
hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu’. UU No. 23/2002 tentang
Perlindungan Anak, khususnya Pasal. 51 yang berbunyi ’anak yang menyandang cacat
fisik dan/atau mental diberikan kesempatan yang sama dan aksesibilitas untuk
memperoleh pendidikan biasa dan pendidikan luar biasa T.N
(http://lifesupportalchemist.wordpress.com/difabel-dan-pendidikan/). Kemudian dari hal
itu munculnya pemikiran lahirnya pendidikan inklusif sebagai upaya bahwa
mendapatkan pendidikan merupakan Hak Asasi Manusia yang paling mendasar (
Deklarasi Internasional tentang Hak Asasi Manusia 1948 dan konvensi internasional
tentang Hak Anak, 1989). Dari deklarasi tersebut banyak negara – negara di dunia yang
terdorong untuk melaksanakan pendidikan bagi seluruh warga negaranya, termasuk di
Indonesia. Di Indonesia khususnya selama beberapa dekade yang lalu telah mengalami
banyak perubahan dalam pendidikan bagi anak penyandang cacat, perubahan –
perubahan ini tidak hanya relevan bagi kepentingan dan pengayaan anak penyandang
cacat, tetapi juga bagi semua yang terlibat didalamnya : anak –anak ( dengan atau tapa
kecacatan ), keluarganya, guru- guru, kepala sekolah, komunitas sekolahnya dan
mungkin masyarakat secara keseluruhan.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang yang telah ada dapat dirumuskan beberapa permasalahan
diantaranya :
1. Apa pengertian pendidikan inklusif.
2. Bagaimana perkembangan pendidikan inklusif di Indonesia.
3. Apa tujuan pendidikan inklusif dan manfaat pendidikan inklusif.
4. Bagaimana pembelajaran bagi siswa low vision dalam proses pembelajaran
di sekolah umum.
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian pendidikan inklusif.
2. Untuk mengetahui bagaimana perkembangan pendidikan inklusif di
Indonesia.
3. Untuk mengetahui apa tujuan pendidikan inklusif dan manfaat pendidikan
inklusif.
4. Untuk mengetahui bagaimana pembelajaran bagi siswa low vision dalam
proses pembelajaran di sekolah umum.
BAB II
PEMBAHASAN
Inklusi tunanetra adalah pendidikan inklusi bagi anak yang mengalami gangguan
penglihatan atau rusak penglihatannya ( buta total ) . pendidikan inklusi tunanetra ini
peserta didik diberi alat bantu software JOS yang di install pada PC atau laptop,
sehingga semua tulisan dapat diubah menjadi bunyi oleh software tersebut Corn, A.L
(1986:88).
Inklusi tunarungu adalah pendidikan inklusi untuk anak yang kehilangan seluruh
atau sebagian daya pendengarannya sehingga mengalami gangguan berkomunikasi
secara verbal. Untuk alat bantu yang digunakan adalah menggunakan bahasa mimik
atau bahasa isyarat.
Inklusi tunadaksa adalah pendidikan inklusi untuk anak yang mengalami cacat
fisik berupa tidak memiliki anggota tubuh ( tangan dan kaki ) ataupun jika punya kaki
maupun tangannya tidak dapat berfungsi secara baik Firdaus
(http://repository.upi.edu/operator/upload/t_pkkh_0908271_chapter1.pdf.)
Hasil yang paling dapat teramati dari program tersebut adalah sebagai berikut.
A. Bagi siswa
1.Sejak dini siswa memiliki pemahamanyang baik terhadap perbedaan dan keberagaman
4. Menurunkan terjadinya stigma dan labeling kepada semua anak, khusunya pada anak
berkebutuhan khusus dan penyandang cacat
B. Bagi guru
C. Bagi sekolah
Apabila dilihat dari sudut pandang pendidikan luar biasa, tidak setiap siswa low
vision membutuhkan kelas khusus, sebagian siswa low vision hanya membutuhkan
program khusus atau layanan khusus tanpa kelas khusus. Pembelajran bagi siswa
low vision akan jauh lebih baik jika pembelajaran tersebut dilakukan dengan
“mengefisiensikan penggunaan penglihatan”. ( eficiency in visual functioning )
seperti yang dijelaskan Corn ( 1986: 99 ) “student with low vision may learn to
maximize their use of vision through a variety of approaches and instructional
system”. Lebih lanjut Corn menjelaskan bahwa “Eficiency in visual functioning
refers to the ability to use vision to perform desired task”. Pernyataan tersebut dapat
diartikan bahwa siswa low vision dimungkinkan untuk belajar dengan berbagai
pendekatan yang memaksimalkan penggunaan kemampuan penglihatannya.
Efisiensi dalam penggunaan penglihatan disesuaikan dengan kemampuan
penglihatan untuk mengerjakan tugas yang diinginkan.
Adapun cara yang dapat dilakukan bagi siswa low vision dengan
mengefisiensikan penggunaan penglihatan, yaitu:
Program ini digunakan utuk menstimulasi siswa low vision yang memilki
sisa penglihatan sangat minim dan tidak berkembang. Program stimulasi
penglihatan bertujuan untuk menstimulasi sisa penglihatan siswa low vision agar
dapat terangsang. Agar siswa low vision sadar bahwa walaupun sisa
penglihatannya sangat minim namun masih dapat digunakan.
Latihan efisiensi penglihatan bertujuan untuk melatih siswa low vision agar
dapat memfungsikan penglihatannya dalam situasi pendidikan dan interaksi
dengan lingkungan. Latihan efisiensi penglihatan mengarahkan siwa low vision
untuk belajar menentukan pola dari stimulus yang diterimanya, membedakan
garis besar dan isi dari objek yang akhirnya ditransfer dalam bentuk gambar dua
dimensi dan simbol.
Adapun bantuan yang dapat diberikan bagi siswa low vision dalam proses
pembelajaran yaitu bantuan bagi siswa low vision dapat dilakukan dengan dua
cara yaitu bantuan optik dan bantuan non optik.
a. Bantuan optik adalah dengan menempatkan alat bantu lensa antara mata
dengan objek yang dilihat, misalnya : dengan kacamata, kaca pembesar,
teleskop, dan lainnya.
b. Bantuan nonoptik berupa modifikasi lingkungan belajar dimana proses
pembelajaran bagi siswa low vision dilaksanakan. Modifikasi lingkungan
belajar juga bisa dilakukan dengan menyediakan sarana belajar dan
media pembelajaran yang dimodifikasi sehingga sesuai dengan
kebutuhan siswa low vision dalam proses belajar mengajar. Modifikasi
lingkungan dapat dilakukan dengan memodifikasi warna, penvahayaan,
kekontrasan, waktu, dan hubungan ruang. Sedangkan penyediaan sarana
belajar yang dimodifikasi diantaranya adalah penyangga buku yang
ketinggiannya dan jaraknya dapat disesuaikan dengan kebutuhan siswa
low vision. Modifikasi media pembelajaran adalah dengan
memperhatikan kesesuaian kekontrasan warna dan ukuran median
pembelajaran yang digunakan Corn (1986:108).