Anda di halaman 1dari 20

I.

CROHN DISEASE

Merupakan suatu gangguan peradangan kronis yang paling sering


mengenai ileum dan kolon, namun dapat mengenai semua bagian saluran cerna,
dari mulut hingga anus. Bagian seperti duodenum, gaster, oesophagus, dan oral
atau mulut sangat jarang kasus-kasus crohn disease ditemukan. Crohn disease
merupakan penyakit yang penyebabnya tidak diketahui. Adanya kesamaan
gambaran antara penyakit ini dengan ulcerative colitis secara kolektif disebut
sebagai penyakit usus meradang (inflammatory bowel disease, IBD) idiopatik.
Ditandai dengan adanya serangan pada segmen usus yang terpisah (skip areas),
granuloma sel epiteloid nonkaseosa dan peradangan transmusal (seluruh
ketebalan) pada bagian yang terkena. Sering juga disertai oleh penyulit
imunologik ekstraintestinal, seperti iritis dan uveitis, sakroiilitis, poliartritis
migratorik, eritema nodusum, perikolangitis hati dan kolangitis sklerotikan dan
uropati obstruktif disertai nefrolitiasis dan kerentanan terhadap infeksi saluran
kemih. Pada akhirnya diperparah oleh perubahan faktor lingkungan, termasuk
mikroba dan produknya.

A. Etiologi dan Patogenesis


Penyebab crohn disease tidak diketahui. Meskipun telah dilakukan
pencarian yang ekstensif, namun tidak ditemukan agen penyebab infeksinya.
Adanya bukti kuat bahwa crohn disease disebabkan oleh beberapa cedera
imunologi. Antibodi terhadap sel epitel usus telah diidentifikasi dalam serum
dan limfosit pasien. Antibodi ini merupakan autoantibodi (autoimun), atau
antibod ini mungkin menunjukkan respon imun terhadap cedera epitel usus
akibat sebab lain. Pasien dengan crohn disease aktif sering mengalami
disfungsi sel T.
Patogenesis dari crohn disease diawali oleh adanya respon imun yang
berlebihan dan destruktif pada daerah mukosa usus halus dan colon. Hal ini
yang menjadi penyebab terjadinya perubahan morfologi dan menimbulkan
gejala klinis yang sesungguhnya akibat pengaktifan sel radang-neutrofil dan
sel mononukleus. Sehingga menyebabkan cedera jaringan nonspesifik.
Peradangan menyebabkan gangguan integeritas sawar epitel mukosa,
hilangnya fungsi absortif sel epitel permukaan, dan pengaktifan sekresi sel
kriptus. Ketiga hal ini menyebabkan destruksi mukosa, yang berakibat pada
gangguan fungsi sawar dan absortif mukosa semakin parah. Proses ini juga
menyebabkan diare berdarah intermiten yang khas.

B. Epidemiologi
Penyebaran crohn disease telah mencapai kasus global yang
prevalensinya jauh lebih tinggi di AS, Inggris, dan Skandinavia dibandingkan
di Negara-negara eropa tengah dan jarang di asia serta afrika. Di Amerika
Serikat, insidensi tahunannya adalah 3 sampai 5 per 100.000 populasi, yang
sedikit lebih rendah daripada insidensi colitis ulserativa. Insidensi dan
prevalensi kasus crohn disease di AS dan Eropa Barat terus menerus
meningkat.
Penyakit ini menyerang semua usia, dari anak hingga usia lanjut
(lansia). Perempuan sedikit lebih sering terkena daripada laki-laki. Orang
berkulit putih tempaknya dua sampai lima kali lebih sering terkena dibanding
orang bukan kulit putih.

C. Patologi
1. Lokasi keterlibatan
Paling sering terjai pada daerah ileum dan kolon (50%). Crohn
disease yang terjadi pada kolon sering disebut dengan kolitis
granulomatosa, 75% penderita crohn disease mengalami lesi perianal
seperti abses, fistula, dan pertumbuhan polipoid dermis dan jaringan
fibrovaskular dermis (skin tags).
2. Gambaran makroskopis
Crohn disease secara khas berbentuk segmental, di mana antara
bagian usus yang normal dan bagian usus yang terkena berbatas tegas satu
sama lain (skip lesions) dan biasanya transmural serta menyebabkan
kerusakan mukosa.
Pada fase akut,
usus membengkak dan
kemerahan, mukosa usus
hiperemi difus,
peradangan akut serta
ulserasi. Pada fase
kronis, segmen yang
terkena mengalami
penebalan hebat dan
kekakuan. Fibrosis hebat
menyebabkan
peyempitan lumen
disertai obstruksi usus.
Selain karena fibrosis, akibat adanya edema, peradangan, dan hipertrofi
muskularis mukosa dapat mengakibatkan penebalan dinding usus. Secara
radiografis ditemukan “string sign”, adanya arus sempit barium yang
melewati segmen yang sakit. Serosa menjadi suram dan granular. Pada
gambar di samping, hasil dari CT scan enterography menunjukkan
penebalan ileum terminal (panah) pada seorang pasien dengan crohn
disease. Pada segmen ileum yang terkena lemak mesentrik merambat dari
mesentrium mengelilingi dinding usus (creeping fat). Permukaan mukosa
menunjukkan ulkus serpiginosa longitudinal yang dipisahkan oleh pulau-
pulau mukosa edematosa yang tidak teratur sehingga menyebabkan efek
batuan (cobblestone) yang khas. Fisura dapat terbentuk dari antara lipatan
mukosa yang bila perluasannya lebih lanjut akan membentuk fistula atau
saluran sinus yang dapat membentuk abses local pada lumen usus.
3. Gambaran mikroskopis
Ditandai dengan distorsi arsitektur kripte mukosa, peradangan
transmural, dan adanya granuloma epiteloid (pada 65% penderita) pada
pemeriksaan histologi. Kelenjar getah bening mesentrik regional sering
kali membesar dan berisi granuloma nonkaseosa.
Gambaran mikroskopik yang
menjadi perhatian pada crohn disease
adalah lapisan mukosa. Mukosa
memperlihatkan kenampakan antara
lain: (1) peradangan, dengan
infiltrasi neutrofil ke dalam lapisan
epitel dan akumulasi di dalam
kriptus untuk membentuk abses
kriptus; (2) ulserasi, merupakan hasil
akhir penyakit aktif; dan (3)
kerusakan mukosa kronis dalam bentuk distorsi arsitektur, atrofi, dan
metaplasia yang mungkin saja berupa rudimenter di usus yang metastase ke
lambung. Granuloma dapat ditemukan di mana saja dalam saluran cerna,
bahkan pada pasien dengan CD yang terbatas di satu segmen usus. Namun,
tidak adanya granuloma tidak menyingkirkan diagnosis CD. Pada segmen
yang sakit, muskularis mukosa dan muskularis propria biasanya sangat
menebal, dan fibrosis mengenai semua lapisan jaringan. Pada gambar di atas,
memperlihatkan crohn disease pada colon yang memperlihatkan sebuah
fisura dalam yang meluas hingga ke dinding otot, ulkus kedua yang dangkal
(kanan atas), dan mukosa diantaranya yang relatif utuh. Terdapat banyak
agregat limfosit, yang terlihat sebagai bercak-bercak padat biru sel di
pertemuan antara mukosa dan submukosa.

D. Gambaran Klinis
Crohn disease paling umum melibatkan bagian terminal ileum dan
caecum. Bagaimanapun, pola Crohn disease dapat bervariasi. Pada fase akut,
demam, diare, nyeri pada kuadran kanan bawah menyerupai apendisitis akut.
Sedang pada fase kronis ditandai dengan remisi dan relaps dalam waktu yang
lama. Gambaran ditentukan oleh lokasi, luas, beratnya penyakit, dan
komplikasi dari intestinum dan penyakit extraintestinum. Pasien biasanya
menunjukkan dengan penyakit kronis dengan lebih dari 6 minggu gejala,
tetapi Crohn disease dapat menjadi akut, memperlihatkan dengan nyeri
abdominal hebat, penyempitan intestinum, atau hemorrhage. Diarrhea kronis
adalah komplikasi yang paling umum ditunjukkan dan nyeri abdominal serta
kehilangan berat badan menunjukkan lebih 60 % dari diagnose pasien. Nyeri
abdominal adalah suatu gambaran umum Crohn disease dibanding ulcerative
colitis oleh karena perluasan transmural radang yang mengakibatkan
rangsangan reseptor nyeri di serosa dan peritoneum. Penebalan usus dapat
juga menyebabkan nyeri pada abdominal akibat pembentukan massa. Kram
abdominal dan nyeri setelah makan adalah gejala umum yang sering
menyertai diarrhea, pendarahan rectal, pergerakan usus pada malam hari,
demam, keringat malam, dan kehilangan berat badan. Mual dan muntah
timbul dari penyempitan intestinum yang menghasilkan sebagian atau
lengkap obstruksi usus. Penyakit transmural biasanya bermanifestasi di
daerah perianal sebagai kulit berlabel atau abses perirectal atau fistula yang
terjadi kira-kira 10% dari pasien pada waktu diagnosa, tetapi juga dapat
menunjukkan sebagai suatu massa radang di kuadran kanan bawah.
Manifestasi extraintestinal mencakup gejala musculoskeletal dengan atritis
peripheral atau axial, atau lesi kulit, terutama erythema nodosum, boleh
mendahului, atau menyertai, gejala intestinum dan yang paling umum ketika
colon dilibatkan. Pada anak-anak dan remaja, sering menunjukkan lebih
tersembunyi dan membahayakan, dengan kehilangan berat badan, kegagalan
untuk bertumbuh atau berkembang pada karakteristik sex sekunder, radang
sendi, atau demam dengan asal tak dapat ditentukan. Diagnosis dapat
ditegakkan dengan menggunakan kombinasi dari radiografis, endoscopi, dan
adanya criteria dari pemeriksaan histology, namun tidak ditemukan adanya
suatu penanda patologi
ataupun biomarker untuk
mendiagnosis penyakit ini.

Komplikasi yang
timbul dapat menyebabkan
seperti malabsorbsi akibat
kolonisasi ileum dan bakteri kolon setelah terbentuknya fistula antara ileum
dan colon. Fistula enterovesika menyebabkan infeksi saluran kemih dan
keluarnya gas dan tinja dan urine. Fistula enterovagina menyebabkan
keluarnya sekret vagina bertinja. Sindrom malabsorbsi juga dapat terjadi pada
penyakit ileum terminalis dan dapat mengakibatkan kegagalan absorpsi
vitamin B12 dan asam empedu, menyebabkan anemi megaloblastik dan
malabsorpsi lemak. Perdarahan samar kronis dapat menyebabkan anemia
defisiensi besi, dan enteropati kehilangan protein pada mukosa yang
meradang. Crohn disease dapat menyebabkan sedikit peningkatan resiko
karsinoma kolon lebih sedikit dibandingkan kolitis ulseratif.

II. KARSINOMA KOLOREKTUM

Sebagian besar (98%) kanker di usus besar adalah adenokarsinoma.


Insidensi puncak untuk kanker kolorektum adalah usia 60 hingga 70 tahun;
kurang dari 20% kasus terjadi pada usia kurang dari 50 tahun. Bila kanker
kolorektum ditemukan pada pasien berusia muda, perlu dicurigai adanya kolitis
ulserativa atau salah satu dari sindrom poliposis. Laki-laki terkena sekitar 20%
lebih sering daripada perempuan. Karsinoma kolorektum tersebar di seluruh
dunia, dengan angka insidensi tertinggi di Amerika Serikat, Kanada, Australia,
Selandia Baru, Denmark, Swedia dan negara maju lainnya. Faktor lingkungan
terutama kebiasaan makan, diperkirakan menjadi penyebab perbedaan geografik
yang mencolok ini. Faktor makanan yang paling banyak mendapat perhatian
adalah (1) rendahnya kandungan serat sayuran yang tidak dapat diserap, (2)
tingginya kandungan karbohidrat yang telah dimurnikan, (3) tingginya kandungan
lemak(dari daging), dan (4) berkurangnya asupan mikronutrien protektif, seperti
vitamin A,C, dan E. Walaupun begitu hal-hal di atas ini belum terbukti. Memang,
penelitian terakhir mempertanyakan anggapan bahwa diet tinggi serat
memberikan perlindungan terhadap kanker koloretum.
A. Epidemiologi
Beberapa penelitian epidemiologi terakhir mengisyaratkan bahwa
pemakaian aspirin dan NSAID lain memiliki efek protektif terhadap kanker
kolon. Dalam Nurses’ Health Study, perempuan yang mengonsumsi empat
sampai enam tablet aspirin/ hari selama 10 tahun atau lebih, memperlihatkan
penurunan insidensi kanker kolon. Dasar kemoprevensi ini belum diketahui.
Mekanisme yang mungkin adalah induksi apoptosis pada tumor dan inhibisi
angiogenesis dengan meningkatkan produksi faktor pertumbuhan endotel
vaskular (VEGF). Berdasarkan temuan ini, Federal Drug Administration
menyetujui pemakaian inhibitor sikloogsigenase 2 sebagai zat kemopreventif
pada pasien dengan sindrom poliposis adenomatose familial.

B. Patogenesis

Sekuensi Adenoma-Karsinoma. Timbulnya karsinoma dari lesi


adenomatosa disebut sebagai sekuensi/ urutan adenoma-karsinoma dan
didokumentasikan berdasarkan pengamatan berikut:
1. Populasi yang prevalensi adenomanya tinggi juga memiliki prevalensi
kanker kolorektum yang tinggi, demikian sebaliknya.
2. Distibusi adenoma di dalam kolon dan rektum lebih kurang sepadan
dengan distribusi kanker kolorektum.
3. Insidensi puncak polip adenomatosa mendahului insidensi puncak kanker
kolorektum selama beberapa tahun.
4. Bila ditemukan karsinoma invasif pada stadium dini, sering terdapat
jaringan adenomatosa di sekitarnya.
5. Risiko kanker berkaitan secara langsung dengan jumlah adenoma sehingga
pasien dengan sindrom poliposis familial, hampir pasti mengidap kanker.
6. Program yang secara tekun mengikuti pasien untuk mencari ada-tidaknya
adenoma, dan mengangkat semua adenoma yang teridentifikasi,
mengurangi insidensi kanker kolorektum.

Karsinogenesis Kolorektum. Penelitian mengenai karsinogenesis


kolorektum memberikan pemahaman mendasar mengenai mekanisme umum
evolusi kanker. Sekarang dipercayai bahwa terdapat dua jalur pembentukan
kanker kolon yang secara patogenetis berbeda; keduanya melibatkan
akumulasi bertahap mutasi. Namun, gen yang terlibat dan mekanisme
timbulnya mutasi berbeda.
Jalur pertama, kadang-kadang disebut jalur APC/ β-katenin, ditandai
dengan istabilitas kromosom yang menyebabkan akumulasi bertahap mutasi
di serangkaian onkogen dan gen penekan tumor. Evolusi ,molekular kanker
kolon sepanjang jalur ini terjadi melalui serangkaian stadium yang secara
morfologis dapat dibedakan. Pada awalnya terjadi proliferasi epitel kolon
lokal. Hal ini diikuti dengan pembentukan adenoma kecil yang secara
progresif membesar, menjadi lebih displastik, dan akhirnya berkembang
menjadi kanker invasif. Hal ini disebut sebagai sekuensi adenoma-karsinoma.
Proses genetik yang berperan di jalur ini adalah :
1. Hilangnya gen penekan tumor APC. Hal ini diperkirakan merupakan
kejadian paling awal dalam pembentukan adenoma. APC normal
meningkatkan penguraian β-katenin; dengan hilangnya fungsi APC, β-
katenin yang menumpuk berpindah ke nukleus dan mengaktifkan
transkripsi beberapa gen, seperti MYC DAN siklin D1, yang mendorong
proliferasi sel. Mutasi APC terdapat pada 80% kanker kolon sporadik.
2. Mutasi K-RAS. Mutasi K-RAS biasanya terjadi setelah hilangnya APC.
RASyang telah bermutasi terperangkap dalam keadaan aktif dan
mengeluarkan sinyal mitotik sekaligus mencegah apoptosis. Gen ini
mengalami mutasi pada kurang dari 10% adenoma yang lebih besar
daripada 1 cm, pada 50% adenoma yang lebih besar daripada 1 cm, dan
pada 50% karsinoma.
3. Delesi 18q21. Hilangnya gen penekan kanker putatif di 18q21 ditemukan
pada 60% hingga 70% kanker kolon. Tiga gen diketahui terletak di lokasi
kromosom ini : DCC (mengalami delesi pada karsinoma kolon),
DPC4/SMAD4 (mengalami delesi pada karsinoma pankreas), dan SMAD2.
Belum jelas gen mana yang r elevan dengan karsinogenesis kolon. DCC
mengkode suatu molekul perekat sel yang disebut netrim-1, yang berperan
dalam fungsi akson. DPC/SMAD4 dan SMAD2 mengkode komponen-
komponen jalur sinyal transforming growth factor β (TGF-β) biasanya
menghambat siklus sel, hilangnya gen ini memungkinkan sel tumbuh tak-
terkendalikan.
4. Hilangnya TP53. Hilangnya gen penekan tumor ini ditemukan pada 70%
hingga 80% kanker kolon, kehilangan serupa jarang ditemukan pada
adenoma, yang mengisyaratkan bahwa mutasi di TP53 terjadi belakangan
pada karsinogenesis kolorektum.

Jalur kedua ditandai dengan lesi genetik di DNA mismatch repair


genes (gen untuk memperbaiki ketidakcocokan DNA). Jalur ini berperan
pada 10% sampai 15% kasus sporadik. Gangguan perbaikan DNA yang
disebabkan oleh inaktivasi gen perbaikan ketidakcocokan DNA merupakan
hal mendasar yang sangat mungkin mengawali proses pembentukan kanker
kolorektum yang berjalan melalui jalur ini. Mutasi herediter pada satu dari
lima gen perbaikan ketidakcocokan DNA (MSH2,MSH6,MLH1,PMS1 dan
PMS2) menyebabkan timbulnya karsinoma kolon nonpoliposis herediter
(hereditary nonpolyposis colon carcinoma,HNPCC). Dari gen ini, MLH1
adalah salah satu yang tersering terlibat dalam karsinoma kolon sporadik.
Hilangnya gen perbaikan ketidakcocokan DNA menghasilkan keadaan
hypermutable yang sekuensi DNA repetitif biasanya, yang disebut
mikrosatelit, menjadi tidak stabil selama replikasi DNA dan menyebabkan
perubahan luas pada pegulangan ini. Instabilitas mikrosatelit (MSI) yang
terjadi ini adalah “ tanda tangan” molekular gangguan pada proses
perbaikan ketidakcocokan DNA, sehingga jalur ini sering disebut sebagai
jalur MSI. Sebagian besar sekuensi mikrosatelit terletak di regio noncoding
gen sehingga mutasi di gen ini mungkin tidak berbahaya. Namun, sebagai
sekuensi mikrosatelit terletak di regio pengkode atau promotor gen yang
berperan dalam pengendalian pertumbuhan sel epitel kolon, dan gen BAX
menyebabkan apoptosis. Gangguan pada perbaikan ketidakcocokan
menyebabkan akumulasi mutasi pada gen ini dan gen pengatur pertumbuhan
lain yang memuncak pada timbulnya karsinoma kolorektum.
Meskipun sekuensi adenoma-karsinoma yang menyebabkan
terbentuknya tumor dari defek pada sistem perbaikan ketidakcocokan belum
terindetifikasi, diketahui bahwa sebagian dari apa yang disebut polip
hiperplastik di sisi kanan kolon memperlihatkan instabilitas mikrosatelit dan
mungkin bersifat prakanker. Tumor yang telah terbentuk sempurna dan
berasa dari jalur perbaikan ketidakcocokan memang memperlihatkan
beberapa gambaran morfologik khas, termasuk lokasi di kolon proksimal,
histologi musinosa dan infiltrasi oleh limfosit. Secara umum, tumor ini
memiliki prognosis lebih baik daripada tumor(dengan stadium sepdan) yang
berasal dari jalur APC/β-katenin).

C. Morfologi dan Patologi


Sekitar 25% karsinoma kolorektum terletak di sekum atau kolon
asendens, dengan proporsi setara di rektum dan sigmoid distal. Sebanyak
25% lainnya menetap di kolon asendens dan sigmoid proksimal; sisanya
tersebar di tempat lain. Oleh karena itu, cukup banyak kanker yang tidak
terdeteksi dengan pemeriksaan jari atau proktosigmoidoskopik. Sebagian
besar karsinoma timbul tunggal dan sering melenyapkan adenoma yang
menjadi asalnya. Apabila karsinoma yang ditemukan banyak, letaknya
sering terpisah jauh.
Meskipun semua karsinoma kolorektum berawal sebagai lesi in
situ, lesi tersebut berkembang dengan pola morfologi yang berbeda. Tumor
di kolon proksimal cenderung tumbuh sebagai massa polipoid eksofitik
yang meluas di sepanjang salah satu dinding sekum dan kolon asendens.
Jarang terjadi obstruksi. Bila terletak di kolon distal, karsinoma cenderung
berbentuk lesi anular melingkar yang menimbulkan apa yang disebut
sebagai konstriksi napkin-ring pada usus dan penyempitan lumen; tepi
cincin tersebut bisanya meninggi. Kedua bentuk neoplasma secara langsung
menembus dinding usus seiring dengan waktu (mungkin setelah bertahun-
tahun) dan mungkin tampak sebagai massa padat di perumukaan serosa.
Adapun penampakan makroskopiknya, semua karsinoma kolon
secara mikroskopis serupa. Hampir semua adalah adenokarsinoma yang
berkisar dari berdiferensiasi baik hingga tidak berdiferensiasi dan jelas
anaplastik. Banyak tumor menghasilkan musin, yang disekresikan ke dalam
lumen kelenjar atau ke dalam interstitium dinding usus. Karena skeresi ini
menyebabkan dinding usus merekah (diseksi), kanker mudah meluas dan
memperburuk prognosis. Kanker di daerah anus umumnya berasal dari sel
skuamosa.

D. Gambaran Klinis

Kanker kolorektum tidak menimbulkan gejala selama bertahun-tahun;


gejala timbul perlahan dan sering telah ada sejak berbulan-bulan, kadang-
kadang bertahun-tahun, sebelum terdiagnosis. Kanker kolon kanan dan sekum
sering menyebabkan rasa lelah,lesu dan anemia defisiensi zat besi yang
menyebabkan pasien berobat. Kanker di sisi kanan mungkin menyebabkan
perdarahan tersamar, perubahan kebiasaan buang air besar, atau rasa kram di
kuadran kiri bawah.

Semua tumor kolorektum menyebar secara langsung ke struktur di


dekatnya dan dengan bermetastasis melalui pembuluh getah bening dan
pembuluh darah. Tempat favorit untuk metastasis, berdasarkan urutan
frekuensinya, adalah kelenjar getah bening regional, hati, paru, dan tulang,
diikuti oleh tempat lain termasuk membran serosa rongga peritonemum.
Deteksi dan diagnosis neoplasma kolorektum mengandalkan beberapa
metode, dimulai dari pemeriksaan rektum dengan jati dan pemeriksaa tinja
untuk darah samar. Computed tomography dan pemeriksaan radiografik lain
biasanya digunakan untuk menilai metastasis. Penanda penyakit di dalam
serum, seperti peningkatan kadar antigen karsinoembrionik dalam darah,
tidak banyak bernilai diagnostik karena kadar zat tersebut baru mencapai
tingkat bermakna hanya setelah ukuran tumor cukup besar dan kemungkinan
besar telah menyebar. Selain itu, kadar antigen karsinoembrionik yang
dianggap “positif” dapat dihasilkan oleh tumor paru, payudara, ovarium,
kandung kemih, dan prostat, serta sejumlah penyakit nonneoplastik, seperti
sirosis, pankreatitis, dan kolitis ulserativa. Karena mutasi APC terjadi secara
dini pada kanker kolon, saat ini sedang dilakukan evaluasi terhadap deteksi
molekular mutasi APC di sel epitel, yang diperoleh dari tinja, sebagai alat
diagnostik.
Satu-satunya indikator prognostik terpenting untuk kanker kolorektum
adalah luasnya ( stadium ) tumor saat dignosis. The American Joint
Commission on Cancer menggunakan klasifikasi TNM. Tantangannya adalah
menemukan neoplasma ini saat masih dapat dilakukan tindakan kuratif,
sebaiknya saat tumor masih “bayi”, yaitu masih berbentuk polip
adenomatosa.

Tabel Penentuan Stadium TNM Kanker Kolon

Tumor (T)
0 = tidak ada
1 = in situ (terbatas di mukosa)
2 = invasi ke muskularis propria
3 = invasi ke subserosa atau lemak perikolon nonperitoneum
4 = invasi ke struktur di dekatnya

Kelenjar Getah Bening(N)


0 = tidak ada
1 = 1 sampai 3 kelenjar perikolon positif
2 = 4 atau lebih kelenjar perikolon positif
3 = setiap kelenjar yang positif di sepanjang suatu pembuluh darah
bernama

Metastasis Jauh (M)


0 = tidak ada
1 = semua metastasis jauh
Angka Harapan Hidup 5-Tahun
T1 = 97%
T2 = 90%
T3 = 78%
T4 = 63%
Semua T; N1; M0 = 66%
Semua T; N2; M0 = 37%
Semua T; N3; M0 = tidak tersedia data
Semua M1 = 4%

III. ULKUS PEPTIKUM

Ulkus peptikum adalah lesi kronis, umumnya solitar, yang dpat terjadi di
setiap saluran cerna yang terpajan getah asam-peptik. Paling sedikit 98% ulkus
terjadi di bagian pertama duodenum atau di lambung, dengan perbandingan
sebebsar 4:1.

A. Epidemiologi
Ulkus peptikum adalah lesi yang hilang timbul dan paling sering
didiagnosis pada orang dewasa usia pertengahan sampai lanjut, tetapi lesi ini
mungkin sudah muncul sejak usia muda. Lesi yang sering timbul tanpa faktor
pemicu yang jelas dan kemudian dapat sembuh setelah periode aktif beberapa
minggu sampai beberapa bulan. Walaupun telah sembuh, kecenderungan
mengalami ulkus peptikum tetap ada. Oleh karena itu, sulit diperoleh data
akurat tentang prevalensi penyakit aktif. Perkiraan terbaik mengisyaratkan
bahwa di Amerika Serikat, sekita 2,5% laki-laki dan 1,5% perempuan
mengidap ulkus peptikum. Untuk laki-laki dan perempuan Amerika Serikat,
risiko seumur hidup mengidap ulkus peptikum adalah 10%.
Pengaruh genetik atau ras tampak sedikit atau tidak berperan
menimbulkan ulkus peptikum. Ulkus duodenum lebih sering dengan sirosis
alkoholik, penyakit paru obstruktif kronis, gagal ginjal kronis, dan
hiperparatiroidisme. Dalam kaitannya dengan dua penyakit terakhir,
hiperkalsemia, apapun penyebabnya, merangsang pembentukan gastrin dan
karenanya terjadi sekresi asam.

B. Patogenesis
1. Hipersekresi Asam
Pada keadaan aklorhidria. Inti penggobatan ulkus peptikum adalah dengan
mengurangi sekresi asam; Antagonis reseptor histamin H2 (contoh
simetidine) dan penghambat pompa proton (contoh, omeprazole), terbukti
sangat efektif.
Namun, belum dapat dipastikan peran asam sebagai penyebab
sesungguhnya. Pasien ulkus duodenum memiliki peningkatan sekresi asam
dengan peningkatan respon terhadap rangsangan normal., tetapi pasien
ulkus lambung sering kali memiliki produksi asam lambung yang normal
atau bahkan rendah. Ulkus lambung paling sering terjadi pada daerah
peralihan antara mukosa antrium pilorus. Lokasi ini sangat bervariasi pada
berbagai individu. Hipersekresi asam merupakan faktor yang sangat
penting, tetapi tidak menjelaskan keseluruhan penyakit ulkus peptikum ini.
Sekresi asam yang sangat meningkat pada pasien sindrome zollinger-
Ellison, disebabkan oleh gastrin yang dihasilkan oleh neoplasma
pankreas. Tingginya kadar gastrin merangsang sekresi asam yang
maksimal secara terus-menerus oleh sel parietal. Pasien-pasien ini
menderita ulkus peptikum yang sulit di obati pada lambung, duodenum,
dan jejunum. Pada sindrome zollinger-Ellison, pengeluaran asam yang
tinngi merupakan penyebab primer ulkus peptikum.
2. Penurunan Ketahanan Mukosa Terhadap Asam
Penurunan ketahanan mukosa terhadap asam merupakan penyebab primer
sebagian besar ulkus lambung. Kadar prostaglandin E2 pada cairan
lambung menurun secara konsisten pada pasien ulkus peptikum. Kadar
PGE2 naik selama fase penyembuhan dan tetap rendah pada pasien dengan
ulkus yang tidak sembuh. Penghambat sintesis prostaglandin, seperti
aspirin, seperti ibuprofen, dan indometasin- dan merokok sigaret-
diketahui mempunyai efek merugikan pada penyembuhan ulkus peptikum.
Analog PGE2 sintetik (seperti, misoprosol) memepercepat penyembuhan
pada penelitian percobaan.
3. Infeksi Helicobacteri pylori
Infeksi H.pylori pada antrum pilorus terjadi pada hampir semua pasien
ulkus duodenum kronis. Pada lambung, organisme ini tumbuh pada
lapuisan mukosa permukaan, yang kemudian dapat berubah, menurunkan
ketahanan mukosa. Mekanisme infeksi H Pylori pada lambung yang
menyebabkan ulkus duodenum, tidak diketahui. Tidak didapatkan infeksi
secara langsung pada duodenum oleh H Pylori.
4. Motilitas Lambung Abnormal
Pasien ulkus duodenum mengalami peningkatan kecepatan pengosongan
lambung. Isi lambung yang masuk secara cepat dapat melebihi
kemampuan duodenum dalam menetralisir asa sehingga menyebabkan
ulserasi peptikum.
5. Pepsinogen
Peningkatan kadar pepsinogen terjadi pada beberapa keluarga yang rentan
ulkus. Namun, pada sebagian besar pasien penyakit ulkus peptikum tidak
terjadi perubahan sekresi pepsinogen.

C. Patologi
Ulkus peptikum kronis biasanya soliter, sering besar (lebih dari 1cm,
kadang lebih besar dari 5cm), dan berbentuk bundar sampai oval dengan
tampilan melesak dengan penonjolan keluar. Tepinya kemerahan dengan
permukaan mukosa sedikit menonjol karena edema. Lantai ulkus halus, dan
dasarnya tebal dan keras karena fibrosis. Lipatan mukosa yang tampak
mengelilingi ulkus seperti jari-jari roda ke arah luar disebabkan oleh kontraksi
jaringan ikat pada dasar ulkus.
Ulkus peptikum kronis berbeda dari gastropati erosif akut pada faktor
etiologi, ukuran, jumlah, dan penyebaran lesinya. Ulkus pada gastropati erosif
akut cenderung kecil (<1cm), multipel, dan tersebar diseluruh lambung,
sedangkan ulkus kronis berukuran besar, soliter, dan biasanya terdapat pada
kurvatura minor atau pada antrum piloris.

D. Morfologi
Semua ulkus peptikum, bagi lambung atau duodenum, memperlihatkan
gambaran makroskopik dan mikroskopik yang identik. Berdasarkan deffinisi,
ulkus ini adalah defek di mukosa yang menembus palig sedikit hingga
submukosa, dan sering hingga muskularis propria atau lebih dalam. Sebagian
besar berupa kawah punched-aout bundar berbatas tegas dengan garis tengah
2-4 cm. Ulkus di duodenum cenderung lebih kecil, sementara lesi di lambung
mungkin secara bermakna lebih besar. Tempat yang di sukai adalah dinding
anterior dan posterior bagian pertama duodenum dan kurfatura minor lambung.
Lokasi di dalam lambung ditentukan oleh luas gastritis yang menyertai ;
gastristis antrum, merupakan bentuk yang sering ditemukan, dan ulkus sering
terletak di sepanjang kulfatura minor ditepi daerah yang radang dan mukosa
korpus penghasil asam di sebelah hulu. Kadang-kadang ulkus lambung
terbentuk di kurfatura mayor atau dinding anterior atau posterior lambung,
yaitu lokasi yang persis sama dengan likasi sebagian besar kanker lambung.
Biasanya tepi kawah tegak lurus dan terdapat sedikit edema di mukosa
sekitar, tetapi tidak seperti ulkus kanker tidak ditemukan peninggianyang
sanggat terlihat atau pembentukan semacam bubungan di tepi ulkus. Lipatan
mukosa disekitarnya mungkin menyebar seperti jari-jari roda. Dasar kawah
tampak bersih, karena eksudat peradangan dan jaringan nekrotik tercerna oleh
pepsin. Kadang-kadang di dasar ulkus tampak sebuah arteri yang telah
mengalami erosi (biasanya berkaitan dengan riwayat perdarahan signifikan)
bilah kawah ulkus menembus didnding duodenum atau lambung, dapat terjadi
peritonitis lokal atau generliasata. Namun, perforasi dapat tertutup oeh struktur
di dekatnta seperti omentum, hati, atau pankreas.
Gambaran histologi berfariasi sesuai aktifitas, keparahan dan derajat
penyembuhan. Pada ulkus kronis terbuka, dapat dibedakan menjaddi empat
zona yaitu :
1. Dasar dan tepi memiliki sebuah lapisan tipis debris fibrinoid nekrotik.
2. Suatu zona infiltrat peradangan nonspesifik aktif dengan predominannsi
neutrofil.
3. Jaringan granulasi.
4. Jaringan parut fibrosa kolagenosa yang menyebar luas dari tepi ulkus.
Pembuluh yang terperangkap dalam jaringan parut dapat menebal dan dapat
mengalami trombosis atau juga menjadi paten.

Pada penyembuhan kawah terisi oleh jaringan granulasi, diikuti oleh


reepitelialisasi dari tepi dan pemulihan arsitektur normal sehingga waktu
penyembuhan menjadi lebih lama. Jaringan parafibrosa yang luas akan
menetap.

E. Manifestasi Klinis
Sebagian besar ulkus petikum menyebabkan rasa perih, rasa panas, atau
nyeri tumpul epigastrium, tetapi sebagian kecil datang sudah dengan penyulit
seperti perdarahan atau perforasi. Nyeri cenderung lebih berat pada malam hari
dan terjadi biasanya satu sampai tiga jam setelah makan siang. Biasanya nyeri
meredah dengan alkali atau makanan, tetapi banyak terdapat pengecualian.
Mual, muntah, kembung, bersendawa, dan penurunan berat signifikan ( jika
ada keganasan) merpakan kelainan tambahan.
Perdarahan adalah keluhan utama, terjadi pada hampir sepertiga pasien, dan
mungkinn membahayakan nyawa. Perforasi terjadi pada lebih sedikit pasien.
Obstruksi saluran pylorus jarang terjadi.
Ulkus peptikum terkenal merupakan lesi kronis rekuren (menurunkan
kualitas hidup). Apabila tidak diobati, pasien biasanya memerlukan waktu 15
tahun untuk sembuh. Bagaimanapun, dengan terapi antibiotik dan lain-lain,
sebagian pasien ulkus dapat di tolong walau tidak sembuh tetapi dapat
menghindari pembedahan.
IV. KOLITIS ULSERATIVA

Kolitis ulserativa (UC) adalah penyakit ulseroinflamatorik yang mengenai


kolon, tetapi terbartas di mukosa dan submukosa, kecuali pada kasus yang sangat
parah. UC berawal di rektum dan meluas di perkontinuitatum ke proksimal,
kadang-kadang mengenai seluruh kolon. Seperti CD, UC adalah suatu penyakit
sistemik yang pada sebagian pasien berkaitan dengan poliartritis migratorik,
sakroiilitis, ankylosing spondylitis,uveitis, eritema nodosum, dan kelainan hati
(perikolangitis dan kolangitis sklerotikans primer).
Terdapat perbedaan penting antara UC dan CD :
a) Pada UC, tidak ditemukan granuloma yang nyata.
b) UC memperlihatkan skeep lesions (tidak ada mukosa sehat diantara lesi)
c) Ulkus mukosa pada UC jarang meluas melewati submukosa, dan hanya
sedikit ditemukan fibrosis.
d) Tidak terjadi penebalan mural pada UC, dan permukaan serosa biasanya
normal.
e) Pasien dengan UC beresiko lebih besar mengidap Karsinoma.

1. Etiologi
a) Mikroba yang terdapat di lumen
b) Antigen makanan
c) Rangsangan inflamasi endogen

Ketiga hal diatas mengakibatkan terjadinya inflamasi yang memicu respon


imun penjamu sehingga mengakibatkan Infiltrat neutrofilik di lapisan
epitel yang memicu terrjadinya Ulserative colitis
2. Mofologi
a) UC mengenai rectum atau kolon rektosigmoid (pada sekitar 50%
kasus).
b) Kelainan kolon bersifat kontinu dari kolon distal sehingga tidak
ditemukan “Skeep lesions”
c) Pada gambaran makroskopik tampak hiperemia, edema, mukosa
granular yang rapuh dan mudah berdarah
d) Pada penyakit aktif yang parah, terbentuk ulkus ekstensif berdasar
luar di kolon distal atau seluruh kolon (gambar 15-29)
e) Terdapat pulau-pulau regenerasi mukosa yang terpisah-pisah dan
menyembul keatas dan membentuk pseudopolip
f) Tepi bergaung ulkus yang berdekatan sering menyatu untuk
membentuk trowongan yang ditutupi oleh jembatan mukosa yang
lemah
g) Terjadi perforasi dan pembentukan abses perikolon pada muskularis
propria
h) Kolon mengalami pembengkakan progresif dan menjadi gangren
(megakolon toksik) akibat terhentinya fungsi neuromuskulus

3. Patogenesis
a) UC berawal dari adanya infiltrat peradangan difus, yang terutama
terdiri atas sel mononukleus, di lamina propria. Infiltrat neutrofilik di
lapisan epitel dapat menyebabkan terbentuknya kumpulan neutrofil di
lumen kriptus (abses kriptus)namun tidak spesifik.
b) Terjadi detruksi mukosa lebih lanjut yang menyebabkan terjadinya
ulkus
c) Ulkus yang terjadi meluas, jika meluas sampai ke dalam
submukosa,kadang-kadang menyebabkan muskularis propria terpajan.
d) Kawah ulkus terisi oleh jaringan granulasi, diikuti oleh regenerasi
epitel mukosa.
e) Fibrosis submukosa serta kacaunya arsitektur mukosa dan atrofi
merupakan gejala sisa dari penyakit yang sudah sembuh.
f) Lamanya penyakit dan luasnya lesi dapat menyebabkan timbulnya
Karsinoma Kolon.

4. Gambaran Klinis

UC adalah penyakit kronis rekuren yang ditandai dengan:


a) Serangan diare mukoid berdarah, yang mungkin menetap selama
beberapa hari, minggu, atau bulan kemudian mereda, hanya untuk
kambuh setelah asimtomatik beberapa bulan sampai tahun atau bahkan
beberapa dekade.
b) Onset biasanya perlahan berupa kram perut, tanesmus, nyeri kolik
abdomen bawah yang hilang setelah buang air besar.
c) Sebagian pasien mengalami demam dan penurunan berat
d) Tinja berdarah cukup banyak
e) Terdapat Clostridium difficile penghasilan enterotoksin,sebagai
diagnosis awal UC tetapi tidak memicu UC
f) Poliartritis migratorik lebih sering terjadi
g) Terjadi komplikasi yang tidak lazim tetapi mengancam jiwa seperti
diare berat dan gangguan elektrolit,perdarahan masif,dilatasi hebat
kolon, (megakolon toksik) dengan kemungkinan ruptur, dan perforasi
disertai peritonitis.
h) Striktur inflamatorik di kolorektum,walaupun jarang harus dibedakan
dengan kanker.
i) Penyulit jangka-pajang UC yang paling ditakuti adalah kanker

Anda mungkin juga menyukai