Anda di halaman 1dari 14

PANCASILA SEBAGAI EDIOLOGI BANGSA DAN NEGARA INDONESIA

OLEH

I Wayan Budiarta, S.Pd., M.Pd

PENDAHULUAN

Dilihat dari kajian sosio-historis bahwa bangsa ini memiliki serangkaian nilai yang tak
pernah usang oleh jaman, kapanpun dimanapun nilai itu tetaplah ada. Semenjak manusia itu ada
sampai saat ini jikalau kita sadari nilai-nilai ini masih tetap melekat pada manusia Nusantara
(Indonesia). The Founding Fathers negara kita menyebutnya sebagai rangkaian nilai-nilai atau
sistem nilai yang terkristalisasi ke dalam nilai-nilai luhur kepribadian bangsa dengan sebutan
“the PANCASILA; five guiding principles of our national life” (Kaelan, 2003; Yudi Latif, 2011).
Jika kita ibaratkan hidup ini seperti sekeping uang logam maka di satu sisi itu adalah Pancasila
dan di satu sisi yang lainnya adalah manusia Nusantara itu sendiri. Tetapi sayangnya tidaklah
semua orang menyadari hal ini, terkadang kita lupa bahwa kita memiliki kepribadian bangsa dan
kita sering terhanyut oleh derasnya arus dan gemerlap pengaruh dari ideologi bangsa lain yang
secara kasat mata lebih mengairahkan bagi kehidupan duniawi kita. Tanpa kita sadari di negeri
tercinta ini telah terjadi perang pengaruh ideologi dan menyeret kita untuk meninggalkan jati diri
bangsa kita sendiri. Kita sadari atau tidak, bahwa ada beberapa ideologi besar di dunia ini yang
secara prinsip takkan pernah bisa disamakan atau barangkali tidak dapat dipersatukan, seperti;
ideologi liberal-kapitalis, sosial-komunis, sekuler, pundamentalisme agama, dan ideologi
Pancasila. Jika memang kita sadari dan pahami tentang ideologi ini, maka dari masing-masing
ideologi ini selalu berusaha untuk dapat mendominasi dan saling berebut pengaruh serta
berusaha mencari pengikut-pengikutnya untuk tujuan eksistensinya.
Nah berpangkal dari itu, nampaknya Pancasila sebagai jati diri bangsa, pandangan hidup
bangsa, falsafah bangsa dan negara, ideologi bangsa dan negara, serta dasar negara telah
mendapatkan tandingan dan saingan atau barangkali ancaman dari ideologi-ideologi lainnya.
Tetapi persoalanya bukan itu, persoalanya adalah kita tidak ingin Pancasila dalam kedudukannya
ini hanyalah sebagai sekumpulan nilai semata atau hanya sebagai selogan semata, tetapi
bagaimana Pancasila itu adalah sebagai IDIOLOGI jati diri bangsa dan Negara Indonesia yang
tercermin dalam pengetahuan, pemahaman, sikap serta prilaku bangsa Indonesia dalam
kehidupan dan dapat mempengaruhi melekat pada bangsa ini sehingga ideologi-ideologi lain
takkan dapat menancapkan kuku kekuasaannya di bumi tercinta ini; Sayidiman Suryohadiprojo
(2010) menyebutnya “Pancasila sebagai kenyataan hidup dalam masyarakat Indonesia” Kelan
(2003) menyebut Pancasila adalah hakikat hidup manusia Indonesia. Penjajahan fisik memang
menyakitkan tetapi lebih menyakitkan apabila ideologi kita yang terjajah dan didite oleh idiologi
lain, hal ini akan menimbulkan penderitaan lahir dan batin karena kita terkungkung dalam
genggaman ideologi yang tidak sesuai dengan kepribadian bangsa.
Di dalam pergolakan kehidupan moderen dengan semakin sempitnya batas-batas
kewilayahan yang pasih diistilahkan dengan ‘The Globalism’ bangsa kita sering terjerumus
kedalam lubang-lubang kehancuran yang pernah kita alami dimasa lalu. Kita sering tidak bisa
belajar dari pengalaman sejarah di masa lampau yang telah berlalu, masa kini yang sedang
berlangsung dan antisipasi terhadap hari esok yang akan datang. Bung Karno menegaskan
kepada kita “jangan sekali-kali melupakan dan meninggalkan sejarah jika kita ingin menjadi
bangsa yang besar (Kaelan, 2003; Djoko Pitono, 2009). Sejarah telah mengisyaratkan kepada
kita bahwa “ketika bangsa Indosesia merangkul dan mengimplementasikan Pancasila dengan
baik maka disaat itu pula bangsa Indonesia mengalami jaman keemasannya, namun kapanpun
bangsa ini meninggalkan Pancasila seketika itu pulalah bangsa ini akan mengalami kemunduran
bahkan mengalami kehancuran. Inilah seklumit pengalaman sejarah bangsa kita di dalam
mengimplementasikan jati dirinya dalam setiap dimensi kehidupan dan hakekat hidupnya. Tentu
saja kita sebagai bangsa yang besar tak ingin menjadi salah satu contoh dari kehancuran-
kehacuran dimasa lalu, seperti kehancuran dinasti kutai, dinasti sriwijaya, majapahit dan yang
lainya. Kita masih menginginkan Indonesia itu ada dan tetap eksis dan bukan hanya menjadi
sesuatu yang hanya tinggal ceritanya saja.
Tetapi sesungguhnya indikasi bahkan tanda-tanda atau kecendrungan kehancuran
Indonesia semakin terlihat jika kita dan segenap lapisan masyarakat serta negara ini tidak segera
mengantisipasinya dengan baik. Kita ambil beberapa contoh yang dapat kita asumsikan sebagai
tindakan pengingkaran dan penyelewengan terhadap nilai-nilai kepribadian bangsa; seperti KKN,
gerakan sparatis, pengaruh ideologi liberal-kapitalis, sosialis-kumunis, serta ancaman ideologi
teroris, retaknya nilai-nilai persatuan dan kesatuan, munculnya gelombang primordial, hegemoni
penguasa, kemudian penyakit-penyakit sertaan dari hal-hal yang desebabkan oleh perang
ideologi dan keserakahan di negeri ini yang menyangkut kehidupan bermasyarakat, berbangsa
dan bernegara dalam aspek Ideologi, Politik, Hukum, Moral, Pemerintahan, Pendidikan, Sosial,
Budaya, Ekonomi, serta Pertahanan dan Keamanan. Sekarang pertanyaan mendasar kita adalah
dari mana kita akan mengurai benang kusut ini? Seakan-akan kita terheran-heran dengan
segudang persoalan yang kita hadapi di Indonesia, sehingga kita tampak seperti takkan mampu
berbuat apa-apa menghadapi persoalan ini. Sehingga penulis berusaha mengobati kegundahan
serta kewas-wasan kita dan tidak pernah putus asa dalam menghadapi segudang persoalan ini
‘obatnya hanya satu kata yakni PANCASILA’. Ibaratnya seorang anak yang sedang mencari jati
dirinya, kian kesana-kemari mencoba dan mencari jati dirinya tetapi pada akhirnya akan kembali
kerumanya di mana dia dilahirkan dengan kasih sayang, yakni kembali ke PANCASILA sebagai
rumah asalnya dan sebagai jati diri bangsa yaitu sebagai IDIOLOGI BANGSA DAN NEGARA.
Tetapi yang kita waspadai adalah keterlambatan kita untuk menyadari bahwa PANCASILA itu
adalah rumah jati diri kita dan sebagai IDIOLOGI BANGSA DAN NEGARA. Jangan biarkan
bangsa ini tidak menyadari kesalahannya karna telah meninggalkan IDIOLOGI PANCASILA.

PEMBAHASAN

1. Pengertian Idiologi

Kata ideologi berasal dari bahasa Yunani “idea” dan “logos”. idea mengandung arti mengetahui
pikiran, melihat dengan budi. Adapun kata logos mengandung arti gagasan, pengertian, kata, dan
ilmu. jadi, ideologi berarti kumpulan ide atau gagasan, pemahaman-pemahaman, pendapat-
pendapat, atau pengalaman-pengalaman.

Istilah ideologi dicetuskan oleh Antoine Destutt Tracy (1757b-1836), seorang ahli filsafat
prancis. menurutnya, ideologi merupakan cabang filsafat yang disebut science de ideas ( sains
tentang ide ). Pada tahun 1796, ia mendefinisikan ideologi sebagai ilmu tentang pikiran manusia,
yang mampu menunjukkan jalan yang benar menuju masa depan. Dengan begitu, pada awal
kemunculannya, ideologi berarti ilmu tentang terjadinya cita-cita, gagasan, dan buah pikiran.

Dalam perkembangannya, ideologi didefinisikan sebagai berikut.

1. Menurut Descartes, ideologi adalah inti dari semua pikiran manusia

2. Menurut Machiavelli, ideologi adalah sistem perlindungan kekuasaan yang dimiliki oleh
penguasa.
3. Menurut Thomas Hobbes, Ideologi adalah seluruh cara untuk melindungi kekuasaan
pemerintah agar dapat bertahan dan mengatur rakyatnya.

4. Menurut Francis Bacon, ideologi adalah paduan atau gabungan pemikiran mendasar dari suatu
konsep

5. Menurut Karl Marx, ideologi adalah alat untuk mencapai kesetaraan dan kesejahteraan
bersama dalam masyarakat.

6. Menurut Napoleon, ideologi adaah keseluruhan pemikiran politik dari musuh-musuhnya

Berdasarkan uraian tersebut, ideologi dapat disimpulkan sebagai berikut.

1. Nilai yang menentukan seluruh hidup manusia

2. Gagasan yang diatur dengan baik tentang manusia dan kehidupannya

3. kesepakatan bersama yang membuat nilai dasar masyarakat dalam suatu negara

4. Pembangkit kesadaran masyarakat akan kemerdekaan melawan penjajah

5. Gabungan antara pandangan hidup yang merupakan nilai-nilai dari suatu bangsa serta dasar
negara yang memiliki nilai-nilai falsafah yang menjadi pedoman hidup suatu bangsa.

Mengapa ideologi perlu dimiliki setiap negara? karena ideologi digunakan negara sebagai
landasan untuk memahami dan menafsirkan dunia dan kejadian-kejadiannya dalam alam
sekitarnya. Ideologi membantu suatu negara dalam membuka wawasan yang memberikan makna
dan menunjukkan tujuan dalam kehidupan bernegara. Selain itu, ideologi juga berguna sebagai
bekal dan jalan suatu negara untuk menemukan identitasnya. Ideologi merupakan sebuah
kekuatan yang mampu menyemangati dan mendorong negara untuk melakukan kegiatannya dan
mencapai tujuan negara.

2. Pancasila sebagai Idiologi Bangsa dan Negara

Pengertian ideologi, yaitu keseluruhan pandangan cita-cita, nilai dan keyakinan yang
ingin diwujudkan dalam kenyataan hidup yang konkrit (Soerjanto Poespowardojo, 1991:44).
Dengan demikian ideologi diyakini mampu memberikan semangat dan arahan yang positif, bagi
kehidupan masyarakat untuk berjuang melawan berbagai penderitaan, kemiskinan dan
kebodohan. Dengan pemahaman yang baik mengenai ideologi, maka seseorang dapat
menangkap apa yang dilihat benar dan tidak benar, serta apa yang dinilai baik dan tidak baik.
Misalnya, dalam ideologi Pancasila nilai kekeluargaan atau kebersamaan yang
diutamakan, maka seorang yang memahami dengan baik nilai kekeluargaan akan menolak nilai
individualisme karena nilai ini melahirkan liberalisme, kapitalisme, kolonialisme, imperilaisme,
monopoli,otoriterianisme dan totaliterisme. Dalam kaitan ini Bung Hatta dalam “Kearah
Indonesia Merdeka” menyatakan bahwa “Kedaulatan Rakyat Barat” didasarkan pada pendapat
J.J.Rousseau yaitu individualisme, sedangkan Kedaulatan Indonesia adalah “rasa bersama”,
kolektiviteit. Dengan memahami ideologi Pancasila juga dapat untuk menilai misalnya, bahwa
kejujuran sesuatu yang baik karena sesuai dengan nilai kemanusiaan dan sebaliknya berbuat
curang, menipu sesuatu yang tidak baik, karena bertentangan dengan nilai kemanusiaan.

Ideologi negara merupakan perkembangan dari ideologi bangsa. Abdurrahman Wahid


(Gus Dur) (1991:163), menyatakan Pancasila sebagai ideologi bangsa artinya setiap warga
negara Republik Indonesia terikat oleh ketentuan-ketentuan yang sangat mendasar yang tertuang
dalam sila yang lima. Kadang-kadang kedua istilah tersebut, disatukan menjadi Pancasila sebagai
Ideologi Bangsa dan Negara Indonesia (Kaelan, 2010: 30-31). Pancasila sebagai Ideologi Bangsa
dan Negara Indonesia dimaksdukan bahwa Pancasila pada hakikatnya bukan hanya merupakan
suatu hasil perenungan atau pemikiran seseorang atau kelompok orang sebagaimana ideologi –
ideologi lain di dunia, namun Pancasila diangkat dari nilai-nilai adat-istiadat, nilai-nilai
kebudayaan serta nilai-nilai relegius yang terdapat dalam pandangan hidup masyarakat Indonesia
sebelum membentuk negara. Dengan perkataan lain unsur-unsur yang merupakan materi (bahan)
Pancasila tidak lain diangkat dari pandangan hidup masyarakat Indonesia sendiri, sehingga
bangsa ini merupakan kausa materialis (asala bahan) Pancasila. Unsur-unsur Pancasila tersebut
kemudian diangkat dan dirumuskan oleh para pendiri negara. Sehingga Pancasila berkedudukan
sebagai dasar negara dan ideologi bangsa dan negara Indoensia.

Pembukaan UUD 1945, menyatakan bahwa Pancasila adalah dasar negara. Dengan
demikian Pancasila merupakan nilai dasar yang normatif terhadap seluruh penyelengaraan
negara Republik Indonesia. Dengan kata lain Pancasila merupakan Dasar Falsafah Negara atau
Ideologi Negara, karena memuat norma-norma yang paling mendasar untuk mengukur dan
menentukan keabsahan bentuk-bentuk penyelenggaraan negara serta kebijaksanaan
kebijaksanaan penting yang diambil dalam proses pemerintahan (Soerjanto Poespowardojo,
1991:44). Pancasila sebagai ideologi negara berarti Pancasila merupakan ajaran, doktrin, teori
dan/atau ilmu tentang cita-cita (ide) bangsa Indonesia yang diyakini kebenarannya, disusun
secara sistematis serta diberi petunjuk dengan pelaksanaan yang jelas.

3. Mengenal Idiologi Lainnya

Era imperalisme dan kolonialsme sudah usang ditelan jaman, perang dunia I dan perang
dunia II sudah lama dihentikan, episode perang dingin antara blok sekutu dengan blok sentral
atau blok timur dengan barat telah lama tak terdengar, tetapi kita masih tetap harus waspada
terhadap serpihan-serpihan dan sisa-sisa tragedi dunia ini. Apa yang mesti kita waspadai? Adalah
paham dan ideologi yang dianut pada masanya itu hingga saat ini yang terkadang secara kasat
mata bermetamorfosis yang dapat mengaburkan pandangan serta pemahaman kita yang
mengarah pada mendominasinya suatu ideologi tertentu di atas ideologi bangsa. Perubahan
bentuk inilah yang mesti kita waspadai terus menerus, di balik perubahan bentuk dan wujud ini
ada satu yang tidak akan bisa ditinggalkan dari suatu ideologi yakni prisif dasar dan tujuannya.
Mari kita telusuri perubahan-perubahan besar paham serta idiologi yang sedang menguasai dunia
ini;

1. Individualisme_Libralisme_Kapitalis_Neoliberalisame

Dalam ajaran liberalisme-kapitalisme manusia didefinisikan dan bertindak sebagai homo


economicus yang berarti hidupnya itu hanya mengejar keuntungan sebesar-besarnya erat dengan
kehidupan hedonis-sekularisme-materialisme, menciptakan manusia sebagai makhluk tamak,
serakah dan melupakan sisi lain dari dirinya yaitu sebagai homo socius (makhluk sosial), homo
religius (mahluk Tuhan). Tindakan-tindakan amoral dan asosial peradaban liberalisme-
kapitalisme terus berlangsung hingga sekarang ini. Sebagai bentuk terkini dari paham
liberalisme-kapitalisme adalah apa yang dikenal sekarang sebagai The Globalism dan pasar
bebas atau istilah barunya dan metamorphosisnya adalah Neo-Liberalism yang sekarang
diinternalisasikan ke seantero dunia yang tujuannya adalah sebagai alat imperialisme baru yang
masuk dan membonceng melalui isu-isu HAM, demokrasi, dan dalam bentuk "bantuan-bantuan"
(Budiman Sudjatmiko, 2008; Sri-Edi Swasono, 2010).

Kapitalisme adalah sebuah nama yang diberikan terhadap sistem sosial dimana alat-alat
produksi, tanah, pabrik-pabrik dan lain-lain dikuasai oleh segelintir orang yakni kelas kapitalis
(pemilik modal). Jadi kelas ini hidup dari kepemilikkannya atas alat-alat produksi, sementara
kelas lain (buruh) yang tidak menguasai alat produksi, hidup dengan bekerja (menjual tenaga
kerjanya) kepada kelas kapitalis untuk mendapatkan upah. Locke mengatakan bahwa suatu
konsentrasi kekuatan ekonomis yang terlalu besar akan menghindarkan berjalannya kehidupan
bebas individu-individu. Akibat pandangan ini dalam masyarakat jaman itu kekuatan-kekuatan
ekonomis berjalan menurut dinamikanya sendiri dan sama sekali tidak dikendalikan. Semangat
jaman itu terungkap dalam semboyan sekolah Manchester: laissez faire, laissez aller (biarlah
berbuat, biarlah berjalan). Jalan berpikir ini untuk bidang sosial ekonomi disebut libieralisme.
Adam Smith (17-23-1790) dipandang sebagai pengasas sistem ekonomi tersebut (Kumara Ari
Yuana, 2010).

Liberalisme bermuara pada kapitalisme. Sesuai dengan semangat liberalisme tiap-tiap


orang mendapat kebebasan untuk mendirikan pabrik dan membeli mesin-mesin yang dibutuhkan.
Dengan demikian alat-alat produksi menjadi milik pribadi orang-orang tertentu. Inilah kapital.
Kapital ini semakin bertambah oleh sebab tenaga para buruh digunakan untuk mendapat
keuntungan bagi orang-orang yang sudah menanamkan modal sebelumnya. Tenaga kerja para
buruh penting juga dalam proses produksi, namun mereka tidak maju, oleh karena para kapitalis
berkuasa secara mutlak atas karyawan. Menurut Karl Mark, sistuasi semacam ini tidak
mengijinkan manusia lagi untuk hidup sebagai manusia otentik. Ia hidup dalam keterasingan.
Sebagai pencetus Materialisme Historis, Karl Mark melihat bahwa sistem ekonomi kapitalis
benar-benar menyedot “darah” para buruh (proletariat), sehingga hal ini dapat memicu adanya
sistem kelas dalam kehidupan bermasyarakat (Peter Beilharrz, 2005; Kumara Ari Yuana, 2010).

2. Sosialis_Komunis

Frans Magnis Suseno dalam bukunya Pemikiran Karl Mark: dari utopis ke perselisihan
revisionisme, mengatakan bahwa kata “sosialisme: sendiri muncul di Perancis sekitar tahun
1830, begitu juga kata “komunisme”. Dua kata ini semula sama artinya, tetapi segera
“komunisme” dipakai untuk aliran sosialis yang lebih radikal, yang menuntut penghapusan total
hak milik pribadi dan kesamaan konsumsi serta mengharapkan keadaan komunis itu bukan dari
kebaikan pemerintah melainkan semata-mata dari perjuangan kaum terhisap sendiri (Peter
Beilharrz, 2005; Kumara Ari Yuana, 2010).

Orang pertama yang menyuarakan cita-cita sosialisme dan yang akan menjadi acuan
kaum sosialis aliran keras adalah Francois-Noel Babeuf (1760-1797 ), Babeuf mengatakan
semoga rakyat menyatakan bahwa rakyat menuntut agar segala apa yang dicuri dikembalikan,
segala apa yang secara memalukan dirampas oleh kaum kaya dari kaum miskin ---- kami akan
membuktikan bahwa tanah dan bumi bukan milik pribadi melainkan milik semua. Kami akan
membuktikan bahwa apa yang diambil darinya oleh seseorang melebihi kebutuhan makannya
merupakan pencurian terhadap masyarakat”(Peter Beilharrz, 2005; Kumara Ari Yuana, 2010;
Sri-Edi Swasono, 2010).

Adapun ciri pokok komunisme: pertama ajaran komunisme adalah sifatnya yang ateis,
tidak mengimani Tuhan. Orang komunis menganggap Tuhan tidak ada, keberadaan Tuhan
terserah kepada manusia. Ciri pokok kedua adalah sifatnya yang kurang menghargai manusia
sebagai individu dan HAM. Manusia itu seperti mesin, kalau sudah tua rusak, jadilah ia
rongsokan tidak berguna seperti rongsokan mesin. Komunisme kurang menghargai individu,
terbukti dari ajarannya yang tidak memperbolehkan ia menguasai alat-alat produksi. Komunisme
mengajarkan teori perjuangan (pertentangan) kelas, misalnya proletariat melawan tuan tanah dan
kapitalis. Pemerintah komunis di Rusia pada zaman Lenin pernah mengadakan pembersihan
kaum kapitalis (1919-1921). Stalin pada tahun 1927, mengadakan pembersihan kaum feodal atau
tuan tanah. Salah satu doktrin komunis adalah the permanent atau continuous revolution
(revolusi terus-menerus). Revolusi itu menjalar ke seluruh dunia. Maka, komunisme sering
disebut go international (Peter Beilharrz, 2005; Rahmatullah, 2008; Kumara Ari Yuana, 2010).

Komunisme memang memprogramkan tercapainya masyarakat yang makmur,


masyarakat komunis tanpa kelas, semua orang sama. Namun, untuk menuju ke sana, ada fase
diktator proletariat yang bertentangan dengan demokrasi. Salah satu pekerjaan diktator
proletariat adalah membersihkan kelas-kelas lawan komunisme, khususnya tuan-tuan tanah dan
kapitalis. Dalam dunia politik, komunisme menganut sistem politik satu partai, yaitu partai
komunis. Maka, ada Partai Komunis Uni Soviet, Partai Komunis Cina, PKI, dan Partai Komunis
Vietnam, yang merupakan satu-satunya partai di negara bersangkutan. Jadi, di negara komunis
tidak ada partai oposisi. (Peter Beilharrz, 2005; Rahmatullah, 2008; Kumara Ari Yuana, 2010).

3. Fudamentalisme

Istilah fundamentalisme mulanya digunakan untuk penganut agama Kristen di Amerika


Serikat untuk menamai aliran pemikiran keagamaan yang cenderung menafsirkan teks-teks
keagamaan secara rigit (kaku) dan literalis (harfiyah). Fundamentalisme pada umumnya
dianggap sebagai respon dan reaksi terhadap modernisme dan post-modernisme. Reaksi ini
bermula dari anggapan bahwa modernisme cenderung menafsirkan teks-teks keagamaan secara
elastis dan fleksibel agar sesuai dengan kemajuan zaman modern, yang akhirnya membawa
agama ke posisi yang semakin terisolir. Kaum fundamentalis menuduh kaum modernis sebagai
pihak yang bertanggungjawab terhadap terjadinya proses sekularisasi secara besar-besaran, di
mana peran agama akhirnya semakin cenderung terkesampingkan dan digantikan oleh peran
sains dan teknologi modern.

Hrair Dekmejian menyatakan fundamentalisme adalah suatu bentuk “ideologi protes”,


fundamentalisme adalah “ideologi kaum oposisi”. Ia muncul sebagai senjata ideologis untuk
melawan kelas penguasa yang dianggap zalim dan menyimpang dari ajaran Islam “yang benar”.
Fenomena fundamentalisme sebagai “ideologi protes” dan “ideologi oposisi” itu, menurut
Dekmejian, telah bermula dengan munculnya kelompok Khawarij yang menentang kebijakan
Khalifah Ali bin Abi Thalib. Tetapi pengikut-pengikut Ali sendiri, kemudian mengorganisir diri
mereka menjadi kelompok Syi’ah sebagai kelompok oposisi yang menentang Khalifah
Muawiyah dan keturunannya (Ahmad Zahro, 2010).

Terkait dengan fundamentalisme Islam, Judith Miller menulis dalam salah satu
artikelnya, bahwa gelombang “fundamentalisme” Islam sekarang muncul di bawah tanah,
berskala massal, hingga tidak bisa diabaikan begitu saja oleh pemerintah manapun. Tidak bisa
dipungkiri sebagian negara Barat memandang negatif pada dunia Islam selama masih lekat
dengan Islamnya, selama muslim ini tidak mau menjadikan Barat sebagai “thaghut”nya, maka
apapun yang dilakukan bisa diganjal. Sehingga tidak aneh ketika negeri muslim ada yang mau
mempelajari nuklirpun sudah dicurigai dan dipersulit dengan berbagai cara (Ahmad Zahro,
2010).

Inilah kepentingan Barat pada umat Islam yang kommit agar tidak menjadi bahaya yang
mengancamnya. Akhirnya berita dan informasi yang sesuai dengan kepentingannya dikeluarkan
untuk menahan umat Islam dan melanggengkan kepentingan Barat. Memang benar apa yang
dikatakan Edward W. Said (intelektual Palestina yang beragama Kristen) bahwa pemberitaan
yang disajikan Barat dan Amerika pada umat Islam disajikan sesuai dengan kepentingannya.
Noam Chomsky (seorang Yahudi “pembelot”) lebih tegas mengatakan, bahwa penggunaan
istilah-istilah seperti “terorisme” disesuaikan dengan kepentingan Barat. Sehingga jika menyebut
istilah terorisme----juga fundamentalisme, radikalisme, ekstremisme, anti pluralisme dan
militanisme----maka yang terbayang adalah kelompok seperti di Iran, Sudan, HAMAS dan
gerakan Islam lainnya (Ahmad Zahro, 2010).

Menyikapi fakta posisi muslim dan Barat seperti di atas, sudah bisa diraba bahwa kaum
fundamentalis dalam kacamata Barat yang kapitalis-sekularis adalah berbahaya dan harus hilang
dari peredaran dunia. Lebih lanjut yang patut disayangkan ada sebagian kaum muslimin ---
bahkan termasuk cendekiawannya juga termakan isu fundamental-isme serta isu-isu negatif
lainnya, akhirnya setiap muslim yang mau memperjuangkan Islam dan komitmen dengan
Islamnya digeneralisir sebagai fundamentalis, sekaligus diciptakan terma dan konsep pemikiran
fundamentalisme yang menyudutkan dan mengkambinghitamkan mereka. Lebih lanjut dicap
sebagai orang yang radikal, ekstrem, menakutkan, anti kemapanan, anti pluralisme, eksklusif,
ahistoris, utopis, romantisme sejarah, sempit pandangan dan sebagainya yang kesemuanya
berkonotasi negatif dan pejoratif, tanpa ada sharing dan klarifikasi (Ahmad Zahro, 2010).

Dari uraian di atas bisa ditarik kesimpulan tentang fundamentalisme. Satu sisi
fundamentalisme adalah gerakan yang timbul di Barat dan dilakukan oleh umat Kristen masa
lalu. Pada sisi lain, fundamentalisme juga dilabelkan pada kelompok muslim tertentu. Pelabelan
fundamentalisme pada kelompok muslim ini cenderung ke arah negatif. Kesan negatif ini bisa
dirunut karena beberapa alasan, semisal mereka dicap sebagai kelompok keras, oposisi, tanpa
kenal kompromi. Dan alasan yang paling menonjol adalah kaum fundamentalis dikatakan tidak
rasional, tidak logis, tertutup dalam memahami al-Qur’an dan Hadits. Hal seperti ini bisa dilihat
dari keterangan Dawam Rahardjo, bahwa fundamentalisme itu merefleksikan sikap tidak percaya
kepada kemampuan penalaran dan lebih menekankan aspek emosional atau perasaan (Ahmad
Zahro, 2010).

Sedang Yusril Ihza Mahendra menjelaskan bahwa fundamentalisme tidak membangun


suatu kerangka intelektual yang canggih seperti dilakukan oleh kaum modernis dan neo-
modernis. Kaum fundamentalis sebaliknya menafsirkan bahwa seluruh doktrin adalah universal
dan berlaku tanpa dibatasi oleh ruang dan waktu. Proses intelektualisasi seperti dilakukan kaum
modernis menjadi tidak penting, sebab yang penting bagi kaum fundamentalis adalah ketaatan
mutlak kepada Tuhan, dan keyakinan bahwa Tuhan memang telah mewahyukan kehendak-
kehendak-Nya secara universal kepada manusia. Dengan kata lain, fundamentalisme lebih
menekankan ketaatan dan kesediaan untuk menundukkan diri kepada kehendak-kehendak Tuhan
dan bukan perbincangan intelektual untuk mengerti. Karena itu seringkali kaum fundamentalis
berhujjah bahwa bagi mereka yang lebih penting adalah iman dan bukan diskusi. Iman justeru
membuat orang mengerti, dan bukan mengerti yang membuat orang beriman. Rasionalitas,
menurut pandangan kaum fundamentalis pada umumnya, cenderung hanya menjadi alat untuk
melegitimasi kehendak hawa nafsu dalam “mempermudah-mudahkan” agama. Apa yang penting
bagi mereka adalah memelihara sikap “militan” dalam menegakkan agama, dan bukan
memelihara semangat intelektual yang cenderung membuat orang tidak berbuat apa-apa. Sikap
seperti ini memang membuka peluang ke arah sikap doktriner dalam memahami agama (Ahmad
Zahro, 2010).

4. Idiologi Sekuler

Sekularisme atau sekulerisme dalam penggunaan masa kini secara garis besar adalah
sebuah ideologi yang menyatakan bahwa sebuah institusi atau badan negara harus berdiri
terpisah dari agama atau kepercayaan. Sekularisme dapat menunjang kebebasan beragama dan
kebebasan dari pemaksaan kepercayaan dengan menyediakan sebuah rangka yang netral dalam
masalah kepercayaan serta tidak menganakemaskan sebuah agama tertentu. Sekularisme juga
merujuk ke pada anggapan bahwa aktivitas dan penentuan manusia, terutamanya yang politis,
harus didasarkan pada apa yang dianggap sebagai bukti konkret dan fakta, dan bukan
berdasarkan pengaruh keagamaan.

Dalam istilah politik, sekularisme adalah pergerakan menuju pemisahan antara agama
dan pemerintahan. Hal ini dapat berupa hal seperti mengurangi keterikatan antara pemerintahan
dan agama negara, menggantikan hukum keagamaan dengan hukum sipil, dan menghilangkan
pembedaan yang tidak adil dengan dasar agama. Hal ini dikatakan menunjang demokrasi dengan
melindungi hak-hak kalangan beragama minoritas. Sekularisme, seringkali dikaitkan dengan Era
Pencerahan di Eropa, dan memainkan peranan utama dalam perdaban barat. Prinsip utama
Pemisahan gereja dan negara di Amerika Serikat, dan Laisisme di Perancis, didasarkan dari
sekularisme. Kebanyakan agama menerima hukum-hukum utama dari masyarakat yang
demokratis namun mungkin masih akan mencoba untuk memengaruhi keputusan politik, meraih
sebuah keistimewaan khusus atau. Aliran agama yang lebih fundamentalis menentang
sekularisme. Penentangan yang paling kentara muncul dari Kristen Fundamentalis dan juga
Islam Fundamentalis. Pada saat yang sama dukungan akan sekularisme datang dari minoritas
keagamaan yang memandang sekularisme politik dalam pemerintahan sebagai hal yang penting
untuk menjaga persamaan hak. Negara-negara yang umumnya dikenal sebagai sekuler di
antaranya adalah Kanada, India, Perancis, Turki, dan Korea Selatan, walaupun tidak ada dari
negara ini yang bentuk pemerintahannya sama satu dengan yang lainnya.

Fakta Sekulerisme

 Pemisahan institusi keagamaan dengan pemerintahan


 Kegamaan bergerak di luar pemerintahan
 Tidak adanya kementerian agama
 Tidak adanya agama resmi yang diakui oleh negara, semua orang bebas dengan
kepercayaan dan agama masing-masing
 Seorang pejabat disumpah atas nama rakyat, bukan atas sumpah agama
 Institusi agama tetap mendapatkan perlindungan dari pemerintaha dalam
menjalankan kegiatannya dan persoalan anggaran.
 Penghapusan hak istimewa yang diberikan kepada organisasi keagamaan.
 Penghapusan perlindungan khusus yang diberikan kepada kelompok agama.
 Pembatasan sekolah keagamaan atau mengkonversikan sekolah agama ke sekolah
umum yang menjamin pemenuhan pendidikan bagi setiap anak yang berbeda
agama.
 Pendidikan agama harus bersifat non-denominasional dan multi-agama.
 Tidak ada agama yang harus diajarkan sebagai fakta dan tidak ada agama yang
digambarkan lebih tinggi daripada yang lain.
 Pendidikan juga harus mencakup cara-cara non-religius untuk melihat dunia
 Ini tidak akan mengecualikan referensi agama di mata pelajaran lain seperti
sejarah, seni dll.
 Penghapusan hukum penghujatan atau penodaan agama.
 Sekularisme mendukung perlindungan orang yang menganut suatu kepercayaan,
namun tidak melindungi kepercayaannya.
 Kelompok sekuler sepenuhnya menentang diskriminasi terhadap orang karena
kepercayaan agama mereka.
 Sekularisme percaya bahwa hukum seharusnya tidak membatasi kritik agama
yang masuk akal dan kuat.
 Sekularisme percaya bahwa hukum seharusnya tidak mencegah kritik yang
menyakitkan perasaan religius.
 Sekularisme percaya bahwa hukum seharusnya tidak membiarkan hasutan untuk
membenci agama.
 Sekularisme mendukung undang-undang untuk melarang diskriminasi dalam
pekerjaan dengan alasan agama (atau kekurangannya).

PANCASILA SEBAGAI IDIOLOGI TERBUKA DAN TERTUTUP

ksistensi suatu negara tidak dapat tercapai kecuali setelah memenuhi unsur-unsur pokok
pembentuknya, yang salah satunya adalah ideologi. Di dalam ideologi terkandung nilai-nilai
yang membimbing dan mengarahkan pemerintah dan masyarakat untuk mencapai tujuan
berbangsa dan bernegara. Oleh sebab itu suatu ideologi harus bersifat praktis dan realistis agar
dapat dipedomani dalam kehidupan nyata, bukan sekadar sekumpulan gagasan yang terlalu ideal
sehingga mustahil diwujudkan. Di situlah peran ideologi sebagai sumber motivasi yang mampu
menyemangati seluruh aspek kehidupan di suatu negara.

Para ahli berbeda pendapat dalam merumuskan pengertian tentang ideologi. Namun
secara umum, ideologi dapat dikatakan sebagai seperangkat gagasan, ide, nilai, norma, atau
keyakinan yang bersifat pokok dan mendasar tentang tata cara yang paling ideal dalam mencapai
tujuan hidup. Sedangkan hakikat ideologi negara adalah pedoman atau pandangan hidup yang
bersifat pokok dan mendasar dalam penyelenggaraan bermasyarakat dan bernegara di suatu
negara. Ideologi merupakan asas kerokhanian yang diperjuangkan dan dipertahankan oleh
masyarakat pendukungnya dengan kesediaan berkorban. Beberapa ideologi yang banyak dianut
oleh negara-negara di dunia antara lain komunisme, liberalisme, kapitalisme, sosialisme, dan
sebagainya.

Ideologi Terbuka

Suatu ideologi terbuka lahir dari nilai-nilai luhur yang digali dari budaya, adat istiadat,
religiusitas, dan norma-norma asli lainnya yang telah tumbuh, berkembang, dpelihara dan
diwarisi sejak zaman dahulu. Ideologi terbuka adalah keyakinan terhadap nilai-nilai ideal yang
telah mendarah daging dengan semua individu di dalam masyarakat, sehingga bukanlah sesuatu
yang harus dipaksakan oleh rezim untuk diterima oleh rakyat. Oleh karena ideologi terbuka telah
diterima dan hidup dalam waktu yang sangat panjang di sebuah masyarakat, maka ideologi
tersebut telah teruji dan mampu bertahan menghadapi setiap perubahan zaman, baik yang
disebabkan oleh perkembangan teknologi maupun perubahan cara berfikir manusia. Dengan
demikian, maka ideologi terbuka bersifat dinamis atau bisa menyesuaikan diri dengan
perubahan-perubahan yang terjadi di suatu masyarakat.

Ciri utama ideologi terbuka adalah nilai-nilainya yang tetap sebagai pedoman pokok
dalam mencapai tujuan bersama. Nilai-nilai di dalam ideologi tidak ikut berubah dengan
perubahan aspirasi dan akselerasi yang tumbuh di dalam masyarakat dari masa ke masa. Nilai-
nilai itu justru dipertahankan sebagai harkat, martabat, dan identitas bersama suatu bangsa.

Melihat ciri-ciri pokok di atas tadi maka Pancasila termasuk dalam kategori ideologi
terbuka. Berikut ini adalah beberapa poin penting Pancasila sebagai ideologi nasional yang
terbuka, yaitu:

 Pancasila adalah ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia yang nilai-


nilainya digali dari akar budaya, adat istiadat, moralitas, dan religiusitas yang
telah lama diwarisi dan dilestarikan oleh bangsa Indonesia.
 Sila-sila di dalam Pancasila adalah inti sari ajaran nenek moyang bangsa
Indonesia yang bersifat umum dan filsafati yang memiliki nilai-nilai tetap dan
saling berkaitan, sehingga penafsirannya dapat berkembang sesuai dengan
perubahan zaman.
 Pancasila adalah landasan rokhani bangsa Indonesia yang menghargai
kebhinnekaan, keberagaman, dan pluralitas sebagai karunia dari Tuhan Yang
Maha Esa untuk umat manusia dalam kerangka kesederajatan, kebebasan yang
berasaskan norma, serta keselarasan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
 Pancasila merupakan ideologi yang menyentuh seluruh aspek kehidupan
berbangsa dan bernegara di Republik Indonesia serta menjadi nilai pemersatu
terhadap seluruh kebhinnekaan yang merupakan kekhasan bangsa Indonesia.
Bangsa Indonesia telah banyak belajar dari sejarah bangsa-bangsa lain yang tidak
harmonis dan menjadi runtuh karena menerapkan ideologi tertutup. Kita juga pernah hidup di
tengah rezim yang memaksakan ideologi tertutup karena fungsi Pancasila ditafsirkan secara kaku
untuk kepentingan rezim penguasa. Sudah seharusya bangsa kita tetap mempertahankan
kedudukan Pancasila sebagai dasar negara sekaligus sebagai pandangan hidup seluruh bangsa
Indonesia demi terwujudnya kesejahteraan, kedamaian, dan persatuan yang menjadi pokok cita-
cita the founding fathers mendirikan negara Republik Indonesia.

Ideologi Tertutup

Ideologi seperti ini umumnya diterapkan oleh negara-negara yang bersifat otoriter dan
dijadikan sebagai alat legitmasi untuk melanggengkan kekuasaan pemerintah. Pengaruh-
pengaruh yang datang dari luar selalu dianggap berbahaya sehingga pemerintah melakukan
kontrol yang sangat ketat kepada masyarakat. Tidak jarang, pemerintah yang menganut ideologi
tertutup bertindak sewenang-wenang terhadap siapapun warga negara yang dicap berseberangan
dengan paham negaranya itu. Mereka dijatuhi hukuman dan dilarang menyebarluaskan
pengaruhnya kepada orang lain. Kepala negara menjadi pucuk pimpinan yang bersifat diktator
yang juga menjadi penerjemah tunggal dari paham atau ideologi negara. Penggunaan alat-alat
kekuasaan sangat terasa dalam pengawasan terhadap masyarakat. Kepolisian, intelijen, dan
militer dikerahkan hingga ke lapisan masyarakat yang paling bawah. Aparat diberikan hak penuh
untuk menangkap dan memenjarakan seseorang tanpa perlu mengantongi bukti-bukti terlebih
dulu, cukup dengan alasan “mencurigai” atau “preventif”. Artinya bahwa hukum bisa diabaikan
demi kepentingan keselamatan ideologi.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, Zahro. 2010. Fundamentalisme Antara Barat Dan Dunia Islam (Telaah Fiqih Politik).
http://lareosing.org/ archive/index.php/t-2185.html).

Ari Yuana, Kumara. 2010. The Greatest Philosophers “ 100 Tokoh Filsuf Barat dari Abad 6 SM
s/d 21 yang Menginfirasi Dunia Bisnis”. Yogyakarta; Penerbit ANDI
Yogyakarta.

Beilharrz, Peter. 2005. Teori-Teori Sosial “Observasi Kritis terhadap Para Filosof Terkemuka.
Yogyakarta; Pustaka Pelajar.

Budiman, Sudjatmiko, 2008. Ajaran Bung Karno Vs Neo Liberalisme.


http://www.michelleadershipcentre.com.
Kansil, dkk. 2005. Pancasila dan Undang-Undang Dasar !945 (Pendidikan Pancasila Di
Perguruan Tinggi). Jakarta; PT Pradnya Paramita.

Kaelan, H. (2003). Pendidikan Pancasila. Yogyakarta; Paradigma.

Pitono, Djoko. 2009. Soekarno Obor yang Tak Pernah Padam. Surabaya; Selasar Publishing.

Rahmatullah. 2008; Pendidikan Pancasila. Laporan Modul Pembelajaran Program


Transformasi dari Teaching ke Learning. Universitas Hasanuddin.

Suryohadiprojo, Sayidiman. 2010. Pancasila sebagai Kenyataan Hidup dalam Masyarakat


Indonesia”

Sri-Edi Swasono, 2010. Kembali Ke Ekonomi Konstitusi Menolak Neoliberalisme. Fakultas


Ekonomi UI 2010.

..............................Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945

Yudi Latif. 2011. Negara Paripurna Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Anda mungkin juga menyukai