Anda di halaman 1dari 8

3.

Agen infektif mengakibatkan infeksi dan kerusakan jaringan melalui tiga


mekanisme:

 Dapat terjadi kontak atau masuk sel pejamu dan langsung mengakibatkan
kematian sel.

 Mengeluarkan toksin yang dapat mematikan sel pada jarak tertentu,


mengeluarkan enzim yang mendegradasi komponen jaringan, atau merusak
pembuluh darah dan menyebabkan nekrosis iskemik.

 Menyebabkan respons imun pejamu yang walaupun ditujukan pada


penyerang, menyebabkan juga kerusakan jaringan. Respons defensif pejamu
mempunyai pengaruh campuran. Dibutuhkan untuk melawan infeksi tetapi
pada saat yang sama dapat mengakibatkan kerusakan jaringan.1

A. Mekanisme Terjadinya Cedera Akibat Virus

Virus dapat langsung merusak sel pejamu dengan memasukinya dan


melakukan replikasi atas beban pejamu. Manifestasi infeksi virus terutama ditentukan
oleh tropisme virus spesifisitas jaringan dan tipe sel.

 Determinan utama untuk tropisme jaringan ialah adanya reseptor virus pada
sel pejamu. Virus mempunyai protein spesifik permukaan selnya yang
mengikat protein permukaaan sel pejamu tertentu. Banyak virus memakai
reseptor sel normal pada pejamu untuk masuk ke dalam sel pejamu. Contoh,
HIV glycoprotein gp120 mengikat CD4 pada sel T dan pada reseptor kemokin
CXCR4 (terutama pada sel T) dan CCR5 (terutama makrofag). Pada beberapa
kasus, protease pejamu dibutuhkan untuk memungkinkan ikatan virus dengan
sel pejamu; misalnya, protease pejamu melepaskan dan mengaktifkan
hemaglutinin virus influenza.

 Kemampuan virus untuk bereplikasi di dalam beberapa sel tertentu dan bukan
di sel yang lain bergantung pada adanya faktor transkripsi spesifik sel yang
mengenali elemen enhancer dan promoter virus. Contoh virus JC yang
menyebabkan leukoencephalopathy akan melakukan replikasi spesifik untuk
oligodendroglia di sistem saraf pusat, karena promotor dan enhancer sekuens
DNA pengatur ekspresi gen aktif dalam sel glia tetapi tidak pada neuron atau
sel endotel.

 Lingkungan fisis, misalnya zat kimia dan suhu, berkontribusi pada tropisme
jaringan. Contoh, enterovirus melakukan replikasi di usus, karena dapat tahan
terhadap inaktivasi oleh asam, empedu dan enzim pencernaan. Rhinovirus
menginfeksi sel hanya pada saluran napas atas karena dapat melakukan
replikasi optimal pada suhu rendah yang karakteristik dijumpai di tempat ini.

Sekali virus berada dalam sel pejamu, mereka akan dapat merusak atau
mematikan sel dengan sejumlah mekanisme:

 Efek sitopatik langsung. Virus dapat membunuh sel dengan mencegah sintesa
makromolekul penting dari pejamu, dengan menghasilkan enzim perusak dan
protein toksik, atau menginduksi apoptosis. Contoh, virus polio mencegah
sintesa protein pejamu dengan menginaktifkan protein penghubung
utama/cap-binding protein, yang penting bagi translasi RNA
pesuruh/messenger (mRNA) sel pejamu, tetapi tidak mengganggu translasi
mRNA virus polio. HSV menghasilkan protein yang menahan sintesa DNA
sel dan mRNA serta protein lain yang mendegradasi DNA pejamu.

 Beberapa virus dapat merangsang apoptosis dengan memproduksi protein


yang bersifat proapoptotik (misalnya, protein HIV vpr). Replikasi virus juga
akan memicu apoptosis sel pejamu melalui mekanisme sel sendiri, seperti
menghambat retikulum endoplasmic selama pembentukan virus, yang akan
mengaktifkan protease yang melakukan mediasi apoptosis (kaspase).

 Respons imun anti virus. Protein virus pada permukaan sel pejamu dapat
dikenal oleh sistem imun pejamu sehingga limfosit dapat menyerang sel yang
terinfeksi virus. Sel limfosit T sitotoksik (CTLs) yang penting untuk
mekanisme pertahanan terhadap infeksi virus, tetapi CTLs juga berperan pada
merusak jaringan. Gagal hati akut selama infeksi hepatitis B dapat dipercepat
oleh CTL yang membantu merusak hepatosit yang telah terinfeksi (respons
normal untuk menghilangkan infeksi).

 Transformasi sel yang telah terinfeksi menjadi sel tumor jinak atau ganas.
Virus onkogenik yang berbeda dapat menstimulasi pertumbuhan sel dan
ketahanan sel melalui berbagai mekanisme, termasuk ekspresi onkogen yang
disandi virus, strategi antiapoptosis, dan mutagenesis insertional (insersi DNA
virus ke dalam genom pejamu akan mengubah ekspresi gen pejamu).

Gambar …Mekanisme virus mengakibatkan kerusakan pada sel1


Mekanisme Jejas Oleh Bakteri

a. Virulensi Bakteri

Kerusakan jaringan pejamu oleh bakteri tegantung pada kemampuan bakteri


untuk melekat pada sel pejamu, menginvasi sel dan jaringan atau mengeluarkan
toksin. Bakteri patogen mempunyai gen virulen yang menyandi protein yang
mempunyai kemampuan tersebut. Gen virulen biasanya dijumpai berkelompok
disebut pathogenicity islands. Sejumlah kecil gen virulen akan menentukan apakah
sebuah bakteri berbahaya. Strain Salmonella yang menginfeksi manusia amat
berdekatan sifatnya, sehingga seperti satu spesies, tetapi sejumlah kecil gen virulen
memastikan apakah sebuah Salmonella mengakibatkan demam tifus yang
membahayakan nyawa atau gastroenteritis yang terbatas (self-limited).

Plasmid dan bacteriofag (virus) merupakan elemen genetik yang tersebar di


antara bakteri dan dapat menyandi faktor virulen, termasuk toksin, atau enzim yang
meningkatkan kekebalan terhadap antibiotik. Bakteriofag atau plasmid dapat
mengubah bakteri yang non-patogen menjadi yang virulen. Perubahan elemen antar
bakteri dapat menyebabkan penerima menambah ketahanan hidupnya dan/ atau
kapasitasnya untuk menyebabkan penyakit. Plasmid atau transposons penyandi
resistensi antibiotik dapat mengubah bakteri yang peka antibiotik menjadi resisten
terhadap antibiotik, sehingga menyulitkan terapi.

Populasi bakteri dapat bekerjasama untuk meningkatkan virulensinya.

 Banyak spesies bakteri mengatur bersama ekspresi gennya dalam populasi


yang besar dengan quorum sensing, di mana gen spesifik, seperti gen virulen,
akan terekspresi apabila konsentrasi bakteri mencapai konsentrasi tinggi. Hal
ini memungkinkan bakteri tumbuh pada tempat tertentu pada pejamu,
misalnya abses atau pneumonia yang terkonsolidasi, untuk melawan
pertahanan pejamu. S. aureus mengatur faktor virulensi dengan mensekresi
autoinducer peptides. Ketika bakteri berkembang sehingga konsentrasinya
meningkat, kadar autoinducer peptide meningkat, yang menstimulasi produksi
eksotoksin.

 Kelompok bakteri dapat membentuk biofilms di mana organism hidup dalam


lapisan kental polisakarida ekstrasel yang melekat pada jaringan pejamu atau
alat-alat seperti kateter intravascular dan sendi artifisial. Biofilms
menyebabkan bakteri tidak dapat terkena mekanisme efektor imun dan
resistensinya terhadap obat antimikroba meningkat. Pembentukan biofilm
merupakan hal penting pada menetapnya dan kekambuhan berbagai infeksi
seperti endokarditis bakterialis, infeksi sendi artifisial, dan infeksi jalan napas
pada penderita fibrosis sistika.

b. Melekatnya Bakteri pada Sel Pejamu

Molekul permukaan bakteri yang terikat pada sel pejamu atau pada matriks
ekstrasel disebut adhesins. Berbagai struktur pada permukaan terlibat dalam
perlekatan bermacam bakteri. Streptococcus pyogenes mempunyai protein F dan
asam teichoic yang menonjol dari dinding sel yang mengikat fibronektin pada
permukaan sel pejamu dan di dalam matriks ekstrasel. Bakteri lain mempunyai
protein berupa filamen disebut pili pada permukaannya. Tangkai pili dikonservasi
secara struktural, sedangkan asam amino pada ujung pili bervariasi dan menentukan
spesifisitas ikatan dari bakteri. Strains E.coli yang menyebabkan infeksi saluran
kemih adalah unik mengekspresi suatu P pilus spesifik, yang berikatan dengan (α1-4)
gagal moiety yang terekspresi pada sel urotelium. Pili pada bakteri N. gonorrhoeae
mengatur perlekatan bakteri dengan sel pejamu dan juga menjadi target respons
antibodi pejamu. Variasi dari tipe pili yang diekspresikan merupakan mekanisme
penting di mana bakteri N. gonorrhoeae menghindari respons imun.

C.Virulensi Bakteri Intrasel

Bakteri intrasel fakultatif biasanya menginfeksi sel epitel (Shigella dan


enteroinvasive E. coli), makrofag (M. tuberculosis, M. leprae), atau keduanya (S.
typhi). Pertumbuhan bakteri dalam sel memungkinkan bakteri tersebut menghindar
dari mekanisme efektor imun tertentu, seperti antibodi dan komplemen, atau
memfasilitasi penyebaran bakteri dalam tubuh, seperti saat makrofag membawa M.
tuberculosis dari paru menuju tempat lain. Bakteri mempunyai berbagai mekanisme
untuk memasuki sel pejamu. Beberapa bakteri memakai respons imun pejamu untuk
memasuki makrofag. Adanya antibodi atau komplemen C3b (opsonisasi) yang
melapisi bakteri menyebabkan terjadinya fagositosis bakteri oleh makrofag. Seperti
banyak bakteri lain, M. tuberculosis mengaktifkan jalur komplemen alternatif,
menghasilkan opsonisasi dengan C3b dan uptake oleh makrofag pejamu di mana
mikobakteri hidup. Beberapa bakteri gram negatif memakai sistem sekresi tipe III
untuk memasuki sel epitel. Sistem ini terdiri atas proyeksi struktur mirip jarum dari
permukaan bakteri yang mengikat dan membentuk pori pada membran sel pejamu
melalui protein yang akan memulai pengaturan kembali skeleton sel dan
memfasilitasi masuknya bakteri. Akhirnya, bakteri seperti Listeria monocytogenes
dapat melakukan manipulasi sitoskeleton sel agar dapat menyebar langsung dari sel
ke sel lain, yang mungkin mengizinkan bakteri untuk menghindari pertahanan imun.

Bakteri intrasel mempunyai strategi berbeda untuk sintesa protein pejamu,


bereplikasi dengan cepat, dan melarutkan sel pejamu dalam hitungan jam. Walaupun
hampir semua bakteri di dalam makrofag dimatikan ketika fagosom melakukan fusi
dengan lisosom yang bersifat asam untuk membentuk fagolisosom, namun beberapa
bakteri menghindar dari pertahanan pejamu ini. Contoh, M. tuberculosis memblok
fusi lisosom dengan fagosom, sehingga bakteri dapat berproliferasi tanpa kendali di
dalam makrofag. Bakteri lain tidak mengalami destruksi dalam makrofag dengan
menghindari fagosom. L. monocytogenes memproduksi protein yang membuat pori
disebut listeriolysin O dan dua fosfolipase yang mendegradasi membran fagosom,
sehingga memungkinkan bakteri melepaskan diri ke dalam sitoplasma.1
D. Toksin Bakteri

Semua substansi bakteri yang mengakibatkan penyakit dapat dianggap


sebagai toksin. Toksin diklasifikasi sebagai endotoksin, yang merupakan koniponen
sel bakteri, dan eksotoksin, yang merupakan protein yang disekresi oleh bakteri.
Endotoksin bakteri adalah lipopolisakarida (LPS) yang merupakan komponen dari
membran luar bakteri gram-negatif. LPS terdiri atas jangkar asam lemak rantai
panjang, disebut lipid A, berhubungan dengan inti rantai gula, keduanya sangat mirip
pada semua bakteri gram-negatif. Terlekat dengan inti gula adalah beberapa rantai
karbohidrat (antigen O), yang dipakai untuk menentukan serotype strain bakteri.
Lipid A mengikat CD14 pada permukaan leukosit pejamu dan kompleks tersebut
akan berikatan dengan Toll-like receptor 4 (TLR4), suatu reseptor dari sistem imun
bawaan yang berperan sebagai pengenal pola dan mengirim sinyal untuk
meningkatkan aktivitas sel dan respons radang. Respons terhadap LPS dapat
menguntungkan dan dapat juga merugikan bagi pejamu. Respons yang
menguntungkan ialah LPS akan mengaktifkan imunitas untuk proteksi dengan
beberapa cara termasuk induksi dari sitokin penting dan kemokin dari system imun,
juga terjadi peningkatan ekspresi molekul kostimulator yang meningkatkan
pengaktifan limfosit T. Namun, kadar LPS yang tinggi mempunyai peran penting
dalam syok septik, koagulasi intravascular diseminata (DIC), dan sindrom distres
respirasi akut, terutama melalui induksi dari kadar sitokin yang berlebihan seperti
TNF.

Eksotoksin merupakan protein yang disekresi yang mengakibatkan jejas sel


dan penyakit. Mereka dapat diklasifikasi dalam kategori umum menurut mekanisme
dan lokasi kerjanya.

 Enzim. Bakteri mensekresi sejumlah enzim (protease, hyaluronidase,


koagulase, fibrinolisin) yang bekerja sesuai dengan substratnya in vitro, tetapi
perannya pada penyakit hanya diketahui pada beberapa kasus saja. Contoh,
toksin eksofoliativa merupakan protease yang dibuat oleh S. aureus, yang
membelah protein yang diketahui mengikat keratinosit, menyebabkan
epidermis terlepas dari kulit yang lebih dalam.

 Toksin yang meningkatkan sinyal intrasel atau jalur regulasi. Sebagian besar
toksin mempunyai komponen aktif (A) dengan aktivitas enzimatik dan
komponen (B) yang bersifat mengikat reseptor permukaan sel dan
mengirimkan protein A ke dalam sitoplasma sel. Efek dari toksin ini
tergantung pada kemampuan mengikat yang spesifik dari domain B dan jalur
sel yang dipengaruhi oleh domain A. Toksin A-B dibuat oleh banyak bakteri
termasuk Bacillus anthracis, V. cholerae, dan Corynebacterium diphtheriae.
Mekanisme kerja toksin antraks A-B telah diketahui. Toksin antraks
mempunyai dua komponen alternative A, faktor edema (EF) dan faktor letal
(LF), yang akan memasuki sel setelah terjadinya ikatan dengan komponen B
dan akan memulai beberapa efek patologis yang berbeda.

 Superantigen menstimulasi sejumlah besar limfosit T dengan mengikat sisa


dari reseptor sel T, dan mengakibatkan proliferasi limfosit T yang masive
serta pengeluaran sitokin. Kadar sitokin yang tinggi akan mengakibatkan
kebocoran kapiler dan diikuti syok. Superantigen yang dibentuk oleh S.
aureus dan S. pyogenes menyebabkan sindrom syok toksik/ toxic shock
syndrome (TSS).

 Neurotoksin diproduksi oleh Clostridium botulinum dan Clostridium tetapi


akan mencegah pengeluaran neurotransmiter, dan mengakibatkan
kelumpuhan. Toksin ini tidak mematikan neuron; tetapi; domain A
menghasilkan protein yang terlibat dalam sekresi neurotransmitter pada
perbatasan sinapsis. Tetanus dan botulisme dapat berakibat kematian karena
kegagalan pernapasan disebabkan kelumpuhan otot dada dan diafragma.

 Enterotoksin mempengaruhi saluran cerna dengan berbagai cara dan


menyebabkan beragam efek, termasuk mual dan muntah (S. aureus), diare
encer berlebihan (V. cholerae), atau diare dengan darah (C. difficile).

Anda mungkin juga menyukai