Referat Xerophtalmia Kathleen

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 24

1

SMF Bagian Ilmu Penyakit Mata REFERAT


RSUD Prof.DR. W. Z. Johannes Kupang OKTOBER 2019
Fakultas Kedokteran
Universitas Nusa Cendana

XEROFTALMIA

Disusun Oleh
Kathleen Get Matheus, S.Ked (1308011015)

Pembimbing :

dr. Eunike Cahyaningsih, Sp.M, MARS

dr. Komang Dian Lestari, Sp.M

DIBAWAKAN DALAM RANGKA KEPANITERAAN KLINIK

SMF/ BAGIAN ILMU PENYAKIT MATA

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS NUSA CENDANA

RSUD PROF. DR. W. Z. JOHANNES

KUPANG

2019
2

HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING


Referat dengan judul : Xeroftalmia atas Nama : Kathleen Get Matheus,S.Ked
NIM 1308011015 pada Program Studi Profesi Dokter Fakultas Kedokteran
Universitas Nusa Cendana telah disajikan dalam kegiatan kepaniteraan klinik
bagian Mata RSUD Prof. Dr. W. Z. Johannes Kupang pada tanggal Oktober 2019

Mengetahui Pembimbing :

dr Eunike Cahyaningsih, Sp.M, MARS 1. ...............................................

dr Komang Dian Lestari, Sp.M, 2. ...............................................


3

KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
berkat, perlindungan, dan rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan Referat
dengan judul Uveitis anterior di Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Mata RSUD
Prof. W. Z. Johannes / Fakultas Kedokteran Universitas Nusa Cendana. Penulisan
Referat ini tidak lepas dari bantuan, dukungan, dan bimbingan dari berbagai
pihak, oleh karena itu penulis menyampaikan terima kasih kepada :

1. dr. Eunike Cahyaningsih, Sp.SM, MARS selaku kepala SMF bagian Ilmu
Penyakit Mata RSUD Prof. W. Z. Johannes
2. dr. Eunike Cahyaningsih, Sp.M, MARS selaku pembimbing dalam
penyusunan referat ini
3. dr. Komang Dian Lestari, Sp.M, selaku pembimbing dalam penyusunan
referat ini
4. Seluruh staf SMF Ilmu Penyakit Mata RSUD Prof. W. Z. Johannes –
Fakultas Kedokteran Universitas Nusa Cendana.
Penulis menyadari bahwa penulisan laporan kasus ini jauh dari sempurna
maka penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun. Semoga referat
ini memberi manfaat bagi banyak orang.

Kupang, Oktober 2019

Penulis
4

BAB 1

PENDAHULUAN

Vitamin A merupakan suatu vitamin larut lemak yang dapat diperoleh

dalam dua bentuk; (1) retinol yang dapat diperoleh dari sumber hewani seperti

susu daging, ikan dan telur dan; (2) provitamin karoten yang dapat diperoleh dari

tumbuhan seperti sayuran hijau dan buah-buahan yang berwarna kuning.(1)

Vitamin A sangat dibutuhkan untuk mempertahankan permukaan epitel, fungsi

imunitas dan juga sintesis dari protein fotoreseptor pada retina. Gangguan pada

mata yang ditemukan pada defisiensi vitamin A adalah tanda-tanda sistemik yang

berkaitan derat dengan peningkatan yang signifikan terhadap risiko kematian dan

kebutaan, khususnya pada anak usia sebelum sekolah.(2)

Mata kering adalah suatu gangguan tear film pada mata yang diakibatkan

oleh defisiensi tear film atau kelebihan evaporasi tear film yang akan

mengakibatkan kerusakan pada permukaan dalam okuli.(3) Contoh-contoh

penyakit dengan gejala mata kering adalah defisiensi komponen lemak air mata,

defisiensi kelenjar air mata, defisiensi kelenjar musin dan hilangnya mikrovili

pada kornea.(4) Xerophtalmia merupakan spektrum dari penyakit pada mata yang

diakibatkan oleh asupan vitamin A yang tidak adekuat, dan biasanya

bermanifestasi setelah defisiensi vitamin A berat jangka panjang, dengan salah

satu gejala utama pada mata yaitu mata kering. Kurangnya asupan vitamin

disebabkan oleh malnutrisi, malabsrobsi dan juga konsumsi alkohol kronik atau

karena diet selektif pada kelompok orang tertentu.(5)


5

Defisiensi vitamin A merupakan salah satu penyebab utama kebutaan di

negara-negara berkembang, dan merupakan masalah pada lebih dari 118 negara

berkembang dengan daerah Asia Tenggara memegang angka kejadian kasus

tertinggi. Risiko defisiensi vitamin A pada anak-anak meningkat jika ibu

menderita malnutrisi atau jika terdapat penyakit diare atau campak, pneumonia,

malabsorbsi, gangguan hati dan pankreas.(1,5) Selain itu, kondisi sosioekonomi

yang rendah dan juga tempat tinggal pada daerah yang endemis juga

meningkatkan risiko dari kejadian defisiensi vitamin A.(2) Selain menyebabkan

gangguan pada mata, defisiensi vitaimin A juga akan menyebabkan penurunan

kekebalan tubuh dari penderita yang berakibat kepada peningkatan angka kejadian

infeksi, anemia, gangguan pertumbuhan dan bahkan kematian.(1)


6

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Xeroftalmia adalah istilah yang menerangkan gangguan kekurangan

vitamin A pada mata, termasuk terjadinya kelainan anatomi bola mata dan

gangguan fungsi sel retina yang berakibat kebutaan. Kata Xeroftalmia (bahasa

Latin) berarti “mata kering”, karena terjadi kekeringan pada selaput lender

(konjungtiva) dan selaput bening (kornea) mata(12)

2.2 Epidemologi

Xerophthalmia dapat menyerang semua kelompok usia, tetapi angka

kejadian buta paling tinggi terjadi pada anak berusia 6 bulan sampai dengan 3

tahun. Diperkirakan bahwa sebanyak lebih dari 127 juta balita di dunia menderita

defisiensi vitamin A dan 4,4 juta di antaranya menderita xerophthalmia. Selain itu

diperkirakan terdapat sebanyak 7,2 juta wanita hamil yang menderita defisiensi

vitamin A (serum retinol < 0,7 µmol/L) di dunia, diantara wanita-wanita ini

diperkirakan sebanyak 6 juta diantaranya mengalami buta malam, suatu keadaan

yang diakibatkan oleh defisiensi vitamin A. Pada anak usia sekolah, angka

kejadian defisiensi vitamin A adalah sebesar 23,4%.(1) Setiap tahun, sebanyak

lima 5 sampai 10 juta anak menderita xerophthalmia dan sebanyak 500.000

diantaranya akan berkembang menjadi kebutaan.(2) Data mengenai daerah risiko

tinggi pada beberapa negara di Asia dapat dilihat pada tabel 1:


7

Negara Jumlah populasi yang berisiko


Bangladesh 12.725.000
Bhutan 208.000
India 86.920.000
Indonesia 14.119.000

Myanmar 3.905.000
Nepal 2.582.000
Thailand 1.394.000
Sri Lanka 717.000
Tabel 1. Prevalensi defisiensi vitamin A di beberapa negara di Asia (Sumber,
American Academy of Ophthalmology, 2013)

2.2 Etiologi & Patofisiologi

Pada zaman sekarang, defisiensi vitamin A dapat disebabkan oleh berbagai

faktor seperti dapat dilihat pada gambar 1.(6) Vitamin A merupakan vitamin larut

lemak yang diabsorbsi di usus halus. Di dalam usus halus, karoten di konversi

menjadi retinol. Sebagian retinol diabsrobsi secara langsung dan sebagian lainnya

mengalami esterifikasi menjadi asam palmitat. Asam palmitat kemudian berjalan

di dalam sistem limfatik dan memasuki hepar untuk disimpan di hepar. Jika

dibutuhkan, retinyl palmitate terhidrolisis dan dibawa melalui pembuluh darah

dan kemudian berikatan dengan retinol-binding protein (RBP) di jaringan yang

membutuhkan vitamin A. Cadangan kadar zinc dan protein dalam tubuh sangat

penting dalam pembentukan RBP, tanpa RBP, vitamin A tidak dapat di

transportasikan ke jaringan target. Di mata, vitamin A memiliki peranan penting

dalam menjalankan fungsi retina dan konjungtiva.(1)


8

Gambar 1. Faktor-faktor penyebab defisiensi vitamin A (Sumber: Arquivos


Brasileiros de Oftalmologia, 2016)

Retina memiliki 2 reseptor cahaya, yaitu sel batang dan sel kerucut. Sel

batang bertanggung jawab dalam penglihatan dalam kondisi redup dengan

intensitas cahaya yang rendah dan sel kerucut bertanggung jawab untuk melihat

warna dan juga penglihatan dengan intensitas cahaya yang tinggi. Dalam sel

batang, bentuk aldehid dari vitamin A (retinol) bergabung dengan protein opsin

membentuk rhodopsin yang merupakan suatu pigmen sensitif cahaya. Ketika

cahaya mengenai sel batang, pigmen ini mengalami isomerisasi yang

mengakibatkan terjadinya suatu impuls saraf. Pigmen ini kemudian dipecah

menjadi opsin dan stereoisomer retinal (all-trans configuration). Untuk

membentuk ulang pigmen ini diperlukan bentuk yang spesifik dari retinal, tetapi

dalam proses ini, sebagian dari retinal akan selalu hilang sehingga dibutuhkan

kadar vitamin A yang cukup agar dapat mencapai kadar yang adekuat dari

rhodopsin dan fungsi optimal dari sel batang.(1)

Keadaan defisiensi vitamin A dapat disebabkan oleh penyebab primer dan

sekunder. Penyebab primer berupa kekurangan vitamin A dalam diet, sedangkan


9

penyebab primer paling sering disebabkan oleh gangguan absorbsi saluran

cerna.(4) Pada konjungtiva, vitamin A memegang peranan penting dalam

mempertahankan epitel permukaan. Kurangnya kadar vitamin A akan

menyebabkan perubahan atropik dari permukaan mukosa dan juga kehilangan sel

goblet, dan juga pergantian epitel normal oleh epitel skuamosa bersusun yang

terkeratinisasi yang tidak sesuai, yang mengakibatkan keratomalasia.(1) Sebagian

besar fungsi membasahi mata dilakukan oleh kelenjar air mata dan sedikit oleh

konjungtiva, kemudian sel goblet pada konjungtiva berperan memproduksi musin

untuk mengurangi evaporasi, penurunan jumlah yang signifikan dari sel goblet

akan mengakibatkan kondisi mata kering yang disebut dengan xerosis.(3,4,7)

2.3 Tanda dan gejala

Defisiensi vitamin A akan menyebabkan gangguan pada retina,

konjungtiva dan kornea. Karena pentingnya fungsi vitamin A sebagai reseptor

cahaya, maka gejala awal yang paling sering muncul adalah kesulitan dalam

beradaptasi terhadap keadaan gelap, yang akan berakhir kepada kebutaan pada

malam hari (niktalopia) gejala ini merupakan gejala yang paling sering ditemukan

pada perjalanan awal penyakit.(1,5)

Pada konjungtiva, serosis ditandai dengan kekeringan pada konjungtiva

pada daerah intrapalpebra disertai dengan berkurangnya sel goblet, metaplasia sel

skuamous menurunnya ekspresi selaput glikocalyx dan keratinisasi.(1,5,7) keadaan

basah pada mata dipertahankan oleh musin yang melekat pada membran yang

terdapat pada glycocalyx pada permukaan sel epitel permukaan dan 2 komponen
10

glycocalyx yaitu MUC16 dan galactin-3.(7) Konjungtiva akan menjadi kering dan

tebal, kehilangan kejernihannya dan dapat tampil berkabut, pada keadaan ini akan

terlihat ketidakmampuan air mata membasahi mata walaupun pada uji schirmer

terlihat jumlah air mata cukup(1,4) Sering juga ditemukan bercak berbentuk

segitiga yang terbentuk dari epitel busa yang terkeratinisasi di daerah

intrapalpebral berwarna seperti mutiara berbentuk segitiga dengan pangkal di

daerah limbus dengan gambaran busa diatasnya, yang disebut dengan bintik Bitot.

Bintik Bitot dicurigai disebabkan oleh Corynebacterium xerosis dan disebabkan

oleh bertambah tebalnya konjungtiva pada beberapa daerah di konjungtiva.

Bercak ini tidak terhapus dengan air mata dan akan muncul kembali setelah

dilakukan debridemen. Gejala ini biasanya berkurang setelah pasien menerima

pemberian vitamin A.(1,4,5)

Gambar 2. Bintik Bitot, (Sumber: Elsevier,2016)

Pada kornea gejala yang sering ditimbulkan adalah kekaburan yang

disebabkan oleh xerosis sekunder, defek epitel, keratinisasi, nekrosis likuefaksi

yang disebabkan oleh melelehnya kornea, yang dapat berakibat kepada perforasi
11

yang hampir selalu terjadi secara bilateral.(1,5) Xerosis yang terjadi pada defisiensi

vitamin A merupakan xerosis epitel yang khas yang terjadi pada konjungtiva bulbi

pada celah kelopak mata kantus eksternus.(4) Dapat dijumpai tanda-tanda

retinopati yang ditandai dengan bintik kekuningan pada daerah perifer, dapat

timbul pada kasus-kasus lanjut dan berkaitan dengan rendahnya amplitudo pada

elektroretinogram. Jika keadaan ini segera ditangani maka keadaan pasien akan

membaik dalam kurun waktu 1 minggu, tetapi jika xerophthalmia tidak ditangani

untuk waktu yang lama maka akan berkembang menjadi keratomalasia yang dapat

diperparah oleh infeksi sekunder.(5)

Gambar 3. Xerosis Kornea (kiri) dan Ulkus kornea (kanan) (Sumber: Community
Eye Health Journal, 2016)

keratomalasia adalah gejala paling berat dari xerophthalmia. Pada keadaan

ini lebih dari 1/3 bagian dari kornea terkena, kornea dapat tampak edematosa dan
12

menebal, lalu kemudian dapat meleleh. Hal ini terjadi karena nekrosis yang dapat

menghancurkan kornea dalam beberapa hari. Keratomalasia pada umumnya

terjadi pada anak-anak dengan gangguan gizi, tetapi anak-anak yang sebelumnya

tampak sehat juga dapat mengalami keratomalasia setelah terinfeksi campak atau

diare. Hasil akhir dari ulkus kornea dan keratomalasia adalah terbentuknya

jaringan parut pada kornea dan juga staphyloma.(8)

Gambar 4. Keratomalasia (kiri) dan pembentukan jaringan parut pada kornea


(kanan) (Sumber: Community Eye Health Journal, 2016)
Pada beberapa kasus yang ditemui pada anak-anak, gejala yang timbul

tidak selalu harus berurutan, pada beberapa kasus anak dapat datang dengan

keluhan berat seperti ulkus kornea, tanpa adanya keluhan buta pada malam hari

atau keluhan-keluhan awal lainnya.(8)

Pada beberapa kasus langka, dapat terjadi xerophthalmus fundus. Hal ini

menunjukan bahwa telah terjadi kerusakan struktural terhadap fundus yang

muncul sebagai suatu bintik kuning dan putih oada daerah perifer dari retina.

Pasien juga dapat mengalami skotoma pada daerah yang berhubungan dengan

retina. Perubahan ini akan memberikan respons yang baik dengan pemberian

vitamin A yang dapat dilihat dari menghilangnya skotoma dalam 1-2 minggu dan
13

hilangnya lesi retinal dalam 1-4 bulan.(1)

2.4 Diagnosis

Penegakkan diagnosis dilakukan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik dan

pemeriksaan penunjang. Anamnesis dan pemeriksaan fisik sesuai dengan gejala-

gejala pada kornea dan juga konjungtiva yang telah disebutkan diatas. Kebutaan

pada malam hari dan juga serosis merupakan gejala awal dari defisiensi vitamin

A, yang sering diikuti dengan terbentuknya bintik Bitot.(1)

World Health Organization (WHO) mengklasifikasikan xerophthalmia

berdasarkan gambaran klinis seperti pada tabel dibawah. Berdasarkan penelitian

sebelumnya, angka kejadian dari gejala-gejala yang timbul ini adalah X1A 30,9%,

X1B 39,1 %, X2 18,5%, X3A 10,7%, X3B 6,2%, XN 48,3%, XS 4,7% dan XF

0,5%.(9)

XN Buta pada malam hari


X1 Serosis konjungtiva (X1A) dengan bintik Bitot (X1B)
X2 Serosis kornea
X3 Ulkus kornea, kurang dari 1/3 (X3A); lebih dari 1/3 (X3B)
XS Jaringan parut pada kornea
XF Xerophtalmus fundus
Tabel 2. Klasifikasi Xerophthalmia oleh WHO (Sumber: Springer, 2015)

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah kadar serum vitamin

A. Kadar retinol serum juga dapat diperiksa untuk menentukan defisiensi vitamin

A. Defisiensi vitamin A dinyatakan dengan kadar serum retinol < 20µg/dL atau

0,7 µmol/L sedangkan defisiensi berat retinol dinyatakan dengan kadar serum
14

retinol < 10µg/dL atau 0,35 µmol/L.(1) Selain pemeriksaan kadar serum vitamin

A, dapat juga dilakukan tes adaptasi gelap.(4) Pemeriksaan uji schirmer juga dapat

dilakukan untuk memeriksa sekresi total air mata. Pada pemeriksaan ini

digunakan kertas filter Whatman no. 41 lebar 5 mm dan panjang 30 mm yang

diselipkan pada forniks konjungtiva bulbi bawah, bila sesudah 5 menit kertas

tidak basah menunjukan bahwa air mata kurang, bila bagian yang basah kurang

dari 10 mm maka terdapat gangguan fungsi sekresi, bila lebih dari 10 mm berarti

terjadi hipersekresi atau pseudoepifora.(7,10)

Gambar 5. Uji schirmer (Sumber: Springer 2015)


Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan adalah conjunctival impression

cytology (CIC). Pemeriksaan impression cytology merupakan pemeriksaan yang

invasif yang dilakukan dengan mengambil sel pada daerah superficial dengan cara

mengaplikasikan suatu membran ke permukaan konjungtiva yang berguna untuk

menegakkan diagnosa pada sindroma mata kering.(1,3) Pemeriksaan CIC memiliki

sensitivitas sebesar 95%. Pada pemeriksaan yang umum dilakukan seperti uji

Schirmer’s, TBUT dan juga lissamine green, yang dapat dinilai adalah keadaan

defisiensi cairan atau defisiensi musin, tetapi pada pemeriksaan CIC dapat juga
15

dinilai keratinisasi, metaplasia sel skuamosa yang diakibatkan oleh keratinisasi

dan juga kepadatan sel goblet.(3)

Gambar 6. Pemeriksaan CIC dengan hasil normal. Tampak epitel normal dengan
intervensi sel goblet (PAS, x100) (Sumber: Nigerian Journal of Ophthalmology,
2016)

Gambar 7. Nelson grade 1. Penurunan ringan rasio N:C (1:3) (PAS, x400) (Sumber:
Nigerian Journal of Ophthalmology, 2016)
16

Gambar 8. Nelson Grade 2: Disosisasi ringan dengan penurunan rasio N:C sedang
(1:4), tampak beberapa sel goblet tersebar (PAS, x400) (Sumber: Nigerian Journal
of Ophthalmology, 2016)

Gambar 9. Nelson grade III. Disosiasi sel yang signifikan dengan penurunan rasio
N:C (1:5) yang bermakna, tampak penurunan sel goblet yang bermakna (PAS,
x100) (Sumber: Nigerian Journal of Ophthalmology, 2016)

Pada kornea dan juga konjungtiva terjadi metaplasia dan keratinisiasi

karena keadaan defisiensi vitamin A. Kelainan histologi pada konjungtiva bulbar

yang dapat ditemukan adalah pemisahan dan distorsi sel epitel dan hilangnya sel
17

goblet. Pemeriksaan CIC didasarkan dengan melihat perubahan histopatologi

ini.(1)

2.5 Diagnosis banding

Diagnosis banding dari xerophthalmia adalah konjungtivitis alergi,

konjungtivitas viral, sindroma mata kering, retinitis pigmentosa, distropi dan

koroid.(2) Konjungtivitis alergi dibagi menjadi seasonal allergic conjunctivitis

(SAC), konjungtivitis vernal (VKC) dan konjungtivitis atopik. Pada keadaan

konjungtivitis dapat ditemukan mediator inflammasi seperti IgE, sel mast, Th2,

stimulasi sel goblet dan hilangnya permukaan membran musin. Dapat juga

tampak bentuk ireguler pada kornea dan konjungtiva.(7) pada konjungtivitis viral

akan ditemukan tanda-tanda peradangan lokal maupun sistemik seperti demam,

faringitis, hiperemia konjungtiva, sekret serous, fotofobia, dan kelopak bengkak

dengan pseudomembrane. Konjungtivitis viral juga sangat menular.(4) Retinitis

pigmentosa merupakan salah satu jenis kebutaan yang diakibatkan oleh kelainan

pada sel-sel reseptor cahaya. Pada kasus ini, tidak didapatkan kelainan mata pada

segmen anterior. Penegakkan diagnosa dilakukan dengan elektroretinogram dan

funduskopi. Pada funduskopi akan tampak proliferasi epitel retina yang disebut

bone spicule yang dapat dilihat pada bagian tengah perifer retina.(11)
18

Gambar 10. Konjungtivitis alergi (Sumber: American Academy of Ophthalmology,


2013)

Gambar 11. Konjungtivitis virus (Sumber: American Academy of Ophthalmology,


2013)

Gambar 12. Sindroma mata kering dengan punctum keratitis (Sumber: American
Academy of Ophthalmology, 2013)
19

Gambar 13. Retinitis Pigmentosa, tampak gambaran Bone Spicule (Sumber:


American Academy of Ophthalmology, 2013)

Gambar 14. Disrtofi korioretina (Sumber: American Academy of Ophthalmology,


2013)

2.6 Penatalaksanaan

Terapi dilakukan dengan memberikan vitamin A dosis tinggi dengan

cepat.(4) Menurut panduan terapi WHO, tujuan terapi adalah untuk

mengembalikan kadar vitamin A mencapai nilai normal.

2.6.1 Terapi oral

Regimen terapi yang dapat diberikan adalah vitamin A berbahan dasar

minyak dengan dosis 200.000 IU pada hari pertama dan kedua dan dilanjutkan
20

dengan pemberian berikutnya 2-4 minggu kemudian. Anak-anak dengan usia

dibawah 1 tahun atau berat badan kurang dari 8 kg diberikan setengah dari dosis

diatas. Pemberian ulangan dengan dosis 200.000 IU dilakukan tiap 6 bulan sampai

dengan usia 6 tahun untuk mencegah kekambuhan.(1,5) Untuk wanita dengan usia

kehamilan atau kebutaan pada malam hari atau adanya bintik Bitot, diberikan

dosis 10.000 IU per hari selama 2 minggu atau 25.000 IU per minggu selama 4

minggu. Pada keadaan dengan ditemukannya lesi kornea, diberikan 200.000 IU

pada hari pertama, hari kedua dan juga pada minggu ke 2-4. Terapi ini cukup

murah, dengan biaya terapi kurang untuk 1 regimen pengobatan yang terdiri dari 3

pil vitamin A dosis tinggi berharga kurang dari $ 0.10.(2)

2.6.2 Terapi parenteral

Jika pasien datang dengan keluhan yang berat atau pemberian secara oral

tidak memungkinkan, atau menderita gangguan absorbsi, maka dosis yang dapat

diberikan adalah vitamin A dengan bahan dasar air dengan dosis 100.000 IU

secara intramuskuler.(1,5) Keadaan lain yang dapat memperburuk gejala juga perlu

untuk ditangani. Pasien juga perlu dikonsulkan ke bagian gizi.(1)

Penatalaksanaan lokal melibatkan lubrikasi intens, pemberian asam

retinoic lokal dan juga penanganan perforasi, jika ada.(5) Keratomalasia

merupakan tanda adanya defisiensi vitamin A yang berat dan harus dianggap

sebagai suatu kasus kegawat daruratan karena tingginya risiko kematian,

khususnya pada anak-anak. Anak-anak dengan semua stadium xerophthalmia

membutuhkan pemberian vitamin A.(1,5)


21

2.7 Pencegahan

Terdapat 3 cara pencegahan yaitu(1):

1. Diet yang bervariasi: Meningkatkan asupan vitamin A melalui

makanan yang ada disekitar tempat tinggal pasien.

2. Fortifikasi: Menambahkan makanan yang mengandung vitamin A

kedalam makanan yang telah ada.

3. Suplementasi: Diberikan kepada kelompok dengan risiko tinggi,

khususnya anak dibawah usia sekolah, pemberian dilakukan secara

periodik setiap 6-8 minggu setelah lahir dan diberikan juga kepada

ibu pasien.

Pemberian profilaksis vitamin A telah terbukti mengurangi angka

kematian dan angka kebutaan. Untuk terapi profilaksis, neonatus dapat diberikan

vitamin A 50.000 IU, anak usia dibawah 1 tahun dapat diberikan vitamin A

100.000 IU setiap 4-6 bulan, orang dewasa dan anak dengan usia diatas 1 tahun

diberikan vitamin A 200.000 IU setiap 4-6 bulan.(1) Perlu diingat bahwa anak-

anak yang menderita defisiensi vitamin A dengan keluhan hanyalah ujung dari

gunung es, sehingga dalam pencegahannya perlu pendekatan ke dalam komunitas

untuk mencari dan menangani kasus-kasus yang tidak terlaporkan.(8)

2.8 Prognosis

Anak-anak yang datang dengan keluhan xerophthalmia memiliki

prognosis yang buruk. Anak dengan keluhan buta pada malam hari memiliki

angka mortalitas 3 kali lebih besar dibandingkan dengan anak yang tidak memiliki

gejala tersebut, anak dengan buta pada malam hari dan bintik Bitot memiliki
22

angka mortalitas 9 kali lebih besar. Pada kasus dengan gejala berat seperti

keratomalacia, angka kematian dalam beberapa bulan meningkat menjadi 2/3.(8)

Kejadian buta dan kematian dapat diprediksi berdasarkan gejala yang

nampak seperti pada tabel 3:

Derajat xerophthalmia Usia dengan Jenis defisiensi Risiko


prevalensi tertinggi kematian
XN Buta pada malam hari 2-6; wanita dewasa Jangka panjang. +
Risiko buta rendah
X1A Xerosis konjungtiva 3-6 Jangka panjang. +
Risiko buta rendah
X1B Bintik Bitot 3-6 Jangka panjang. +
Risiko buta rendah
X2 Xerosis kornea 1-4 Akut. Risiko buta ++
tinggi
X3A Ulkus kornea < 1/3 kornea 1-4 Akut berat. Buta. +++
X3B Ulkus kornea/keratomalasia ≥ 1-4 Akut berat. Buta. ++++
1/3 kornea
XS Jaringan parut pada kornea >2 Akibat dari ulkus +/-
kornea
XF Xerophthalmia fundus dewasa Janga panjang. Risiko -
buta rendah. Jarang.
Tabel 3. Klasifikasi defisiensi Vitamin A dan kelompok usia yang paling sering
terkena dan risiko kebutaan dan kematian (Sumber: Community Eye Health
Journal, 2016)
23

BAB 3

KESIMPULAN

Vitamin A merupakan suatu vitamin larut lemak yang sangat dibutuhkan

untuk mempertahankan permukaan epitel, fungsi imunitas dan juga sintesis

protein pada fotoreseptor pada retina. Xerophthalmia merupakan suatu spektrum

dari penyakit mata yang diakibatkan oleh defisiensi vitamin A berat dalam jangka

panjang dengan gejala yang paling sering ditimbulkan adalah mata kering,

niktalopia, gambaran bintik Bitot, xerosis kornea, ulkus dan sampai dengan

keratomalasia. Komplikasi terberat dari keadaan xerophthalmia adalah kebutaan

dan bahkan kematian.

Penegakkan diagnosis pada xerophthalmia dilakukan berdasarkan

anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan

penunjang yang umum dilakukan adalah pemeriksaan kadar serum vitamin A, uji

Schirmer, dan pemeriksaan CIC. Diagnosis banding untuk xerophthalmia adalah

konjungtivitis alergi, konjungtivitis viral, sindroma mata kering, retinitis

pigmentosa, distropi dan koroid. Penatalaksanaan dilakukan dengan memberikan

vitamin A dosis tinggi dengan dosis cepat dengan tujuan untuk mengembalikan

kadar vitamin A. Pencegahan dilakukan dengan memperbaiki asupan vitamin A,

dan memberikan terapi profilaksis vitamin A pada anak-anak dengan

xeropohthalmia, angka mortilitas dan kebutaan akan meningkat dalam beberapa

bulan, sehingga pencegahan terhadap defisiensi vitamin A menjadi sangat

penting.
24

DAFTAR PUSTAKA

1. Chander A, Chopra R, Batra N. Vitamin A deficiency : An eye sore. J Med


Nutr Nutraceuticals. 2013;2(1):41–5.
2. American Academy of Ophthalmology. Vitamin A Deficiency - Asia
Pacific. Am Acad Ophthalmol. 2013;
3. Al Wadani F, Nambiar R, Abdul Wahhab K, Al Asbali T, Nambiar A,
Rahaman A. Reliability and utility of impression cytology in the diagnosis
of dry eye. Niger J Ophthalmol [Internet]. 2016;24(2):51. Available from:
http://www.nigerianjournalofophthalmology.com/text.asp?2016/24/2/51/19
5194
4. Ilyas HS, Yulianti SR. Ilmu Penyakit Mata. 4th ed. Jakarta: Badan Penerbit
FK UI; 2013.
5. Bowling B. Kanski’s Clinical Ophthalmology. 8th ed. Sydney: Elsevier;
2016.
6. Faustino JF, Ribeiro-Silva A, Dalto RF, De Souza MM, Furtado JMF,
Rocha G de M, et al. Vitamin A and the eye: An old tale for modern times.
Arq Bras Oftalmol. 2016;79(1):56–61.
7. Chan C. Dry Eye a Practical Approach. Singh AD, editor. Sydney:
Springer; 2015.
8. Gilbert C. The Eye Signs of Vitamin A Deficiency. Community Eye Heal
J. 2013;26(84):1–2.
9. Mishra D, Gulati M, Bhushan P. Prospective Clinical Study to Find out
Epidemiology of Xerophthalmia in Children in a Tertiary Care Centre in.
Int J Clin Exp Ophthalmol. 2017;66–70.
10. Khumaedi AI, Gani RA, Hasan I. Pencegahan Transmisi Vertikal Hepatitis
B: Fokus pada Penggunaan Antivirus Antenatal. J Penyakit Dalam Indones.
2016;3:225–31.
11. Octavia SA, Himayani R. Diagnosis dan Tatalaksana Retinitis Pigmentosa :
Studi Kasus Diagnosis and Management of Retinitis Pigmentosa : A Case
Study. Majority. 2017;6:75–80.
12. Febrito A. Xeroftalmia. FK Maranatha Bandung. 2011

Anda mungkin juga menyukai