Anda di halaman 1dari 12

JURNAL AWAL PRAKTIKUM

TEKNOLOGI FORMULASI SEDIAAN NON-STERIL


PRAKTIKUM II SUPOSITORIA

Hari, Tanggal Praktikum : Selasa, 29 September 2019

Kelas A2A Farmasi Klinis

Kelompok VI

Putu Rista Melina Ayu Sangging

171200157

Dosen Pengampu

Ni Putu wintarini S.Farm., M.Farm., Apt

PROGRAM STUDI FARMASI KLINIS


INTITUT ILMU KESEHATAN MEDIKA PERSADA BALI
DENPASAR
2019
PRAKTIKUM II
SUPOSITORIA

I. TUJUAN
Memberikan pengalaman kepada Mahasiswa dalam memformulasikan sediaan
supositoria dan evaluasi kontrol kualitasnya seperti uji kekrasan, uji waktu larut dan uji
disolusinya.

II. DASAR TEORI


2.1. Definisi Suppositoria
Suppositoria merupakan sediaan padat yang digunakan melalui dubur, umumnya
berbentuk torpedo, dapat melarut, melunak, atau meleleh pada suhu tubuh. Bahan dasar
yang digunakan harus dapat larut dalam air atau meleleh pada suhu tubuh. Sebagai bahan
dasar digunakan lemak coklat, polietilen glikol berbobot molekul tinggi, lemak atau
bahan lain yang cocok. Kecuali dinyatakan lain, digunakan lemak coklat (Depkes RI,
1979). Bobot suppositoria jika tidak dinyatakan lain adalah 3 g untuk orang dewasa dan
2 g untuk anak-anak. Suppositoria harus disimpan dalam wadah tertutup baik dan di
tempat sejuk (Anief, 2010). Suppositoria dapat bertindak sebagai pelindung jaringan
setempat, sebagai pembawa zat terapetik yang bersifat lokal atau sistemik (Depkes RI,
1995).
Tujuan penggunaan obat bentuk supositoria, yaitu:
1. Supositoria dipakai untuk pengobatan lokal, baik di dalam rektum, vagina, atau
uretra, seperti pada penyakit haemorroid/wasir/ambeien, dan infeksi lainnya.
2. Cara rektal juga digunakan untuk distribusi sistemik, karena dapat diserap oleh
membran mukosa dalam rektum.
3. Jika penggunaan obat secara oral tidak memungkinkan, misalnya pada pasien yang
mudah muntah atau tidak sadarkan diri.
4. Aksi kerja awal akan cepat diperoleh, karena obat diabsorpsi melalui mukosa rektum
dan langsung masuk ke dalam sirkulasi darah.
5. Agar terhindar dari perusakan obat oleh enzim di dalam saluran gastrointestinal dan
perubahan obat secara biokimia di dalam hati (Syamsuni, 2007)
Macam – macam suppositoria berdasarkan tempat penggunaanya, yaitu:
1. Suppositoria rektal, sering disebut sebagai suppositoria saja, berbentuk peluru,
digunakan lewat rektum atau anus. Menurut FI III bobotnya antara 2-3 g, yaitu untuk
dewasa 3 g dan anak 2 g, sedangkan menurut FI IV kurang lebih 2 g. Suppositoria
rektal berbentuk torpedo mempunyai keunggulan, yaitujika bagian yang besar masuk
melalui jaringan otot penutup dubur, suppositoria akan masuk dengan sendirinya.
2. Suppositoria vagina (ovula), berbentuk bola lonjong seperti kerucut, digunakan
lewat vagina, berat antara 3-5 g, menurut FI III 3-6 g, umumnya 5 g.Suppositoria
kempa atau suppositoria sisipan adalah suppositoria vaginal yang dibuat dengan cara
mengempa massa serbuk menjadi bentuk yang sesuai, atau dengan cara
pengkapsulan dalam gelatin lunak.Menurut FI IV, suppositoria vaginal dengan
bahan dasar yang dapat larut atau dapat bercampur dalam air seperti PEG atau
gelatin tergliserinasi memiliki bobot 5 g. Suppositoria dengan bahan dasar gelatin
tergliserinasi (70 bagian gliserin, 20 bagian gelatin dan 10 bagian air) harus
disimpan dalam wadah tertutup rapat, sebaiknya pada suhu di bawah 35˚C.
(Syamsuni, 1996)
3. Suppositoria uretra (bacilla, bougies) digunakan lewat uretra, berbentuk batang
dengan panjang antara 7-14 cm. (Syamsuni, 1996)
2.2. Persyaratan Suppositoria
Kecepatan pelepasan obat dari supositoria dipengaruhi oleh laju obat kepermukaan
supositoria, ukuran partikel obat yang tersuspensi, dan adanya zat aktif permukaan. Zat
aktif akan terlepas dari bahan dasar supositoria secara perlahan-lahan, diabsorbsi dari
membran mukosa rektum melalui pembuluh vena hemoroid tengah dan bawah langsung
menuju sirkulasi sistemik, dengan demikian absorbsi zat aktif secara rectal tidak
mengalami first pass effect di hati dan jumlah zat aktif dalam plasma yang tersedia akan
lebih tinggi (Sriwidodo, 2010).
Pemeriksaan pemerian secara organoleptis kelima formula supositoria selama masa
penyimpanan 56 hari. Dari basis lemak coklat mempunyai bentuk seperti peluru, warna
putih kekuningan dengan permukaan halus, mempunyai bau khas, dan tidak berlubang.
Supositoria basis polietilen glikol mempunyai bentuk seperti peluru, warna putih bening
dengan permukaan halus, tidak berbau, dan tidak berlubang. Sedangkan supositoria
dengan basis suposir mempunyai bentuk seperti peluru, warna putih, dengan permukaan
halus, tidak berbau, dan rata tidak berlubang (Sriwidodo, 2010).
Pengujian kisaran leleh menunjukkan bahwa sediaan supositoria dengan basis
lemak coklat dan basis suposir memenuhi persyaratan sediaan supositoria yang harus
dapat memenuhi syarat sediaan supositoria yang harus meleleh pada suhu tubuh (37 +
0,5 oC) dan tidak meleleh pada suhu kamar (25 + 0,5 oC). Sedangkan sediaan supositoria
dengan basis polietilen glikol tidak memenuhi persyaratan kisaran leleh karena
suhumeleleh yang terlalu tinggi (Sriwidodo, 2010).
2.3. Dasar Suppositoria
Bahan dasar supositoria yang digunakan dipilih agar meleleh pada suhu tubuh atau
dapat larut dalam cairan rektum. Obat diusahakan agar larut dalam bahan dasar, jika
perlu dipanaskan. Jika obat sukar larut dalam bahan dasar, harus dibuat serbuk halus.
Setelah campuran obat dan bahan dasar meleleh atau mencair, dituangkan ke dalam
cetakan supositoria kemudian didinginkan. Cetakan tersebut terbuat dari besi yang
dilapisi nikel atau logam lain, namun ada juga yang terbuat dari plastik. Cetakan ini
mudah dibuka secara longitudinal untuk mengeluarkan supositoria. Untuk mencetak
bacilla dapat digunakan tabung gelas atau gulungan kertas. Untuk mengatasi massa yang
hilang karena melekat pada cetakan, supositoria harus dibuat berlebih (+_ 10 %), dan
sebelum digunakan, cetakan harus dibasahi lebih dahulu dengan parafin cair atau minyak
lemak, atau spiritus saponatus (Soft Soap liniment). Namun, spiritus saponatus tidak
boleh digunakan untuk supositoria yang mengandung garam logam karena akan bereaksi
dengan sabunnya dan sebagai pengganti digunakan oleum ricini dalam etanol. Khusus
untuk supositoria dengan bahan dasar PEG dan Tween bahan pelicin cetakan tidak
diperlukan, karena bahan dasar tersebut dapat mengerut sehingga mudah dilepas dari
cetakan pada proses pendinginan (Syamsuni, 2006).
Suppositoria, Ovula dan basil merupakan sediaan padat pada suhu kamar dan
melumer pada suhu tubuh. Pemberian dengan cara menyisipkan sediaan melalaui rektum,
dengan tujuan local dan sistemik, sedangkan melalu vagina dan uretra hanya untuk tujuan
lokal saja (Ansel, 2008).
2.4. Peraturan Pembuatan Suppositoria
Metode Pembuatan Supositoria :
1. Dengan mortir dan stamfer atau lumpang dan alu
Pembuatan dengan tangan hanya dapat dikerjakan untuk supositoria yang
menggunakan bahan dasar oleum cacao berskala kecil, dan jika bahan obat tidak
tahan terhadap pemanasan. Metode ini kurang cocok untuk iklim panas.
(Syamsuni, 2007).
2. Dengan mencetak hasil leburan
Cetakan harus dibasahi lebih dahulu dengan parafin cair bagi yang
memakai bahan dasar gliserin-gelatin, tetapi untuk oleum cacao dan PEG tidak
dibasahi karena akan mengerut pada proses pendinginan dan mudah dilepas dari
cetakan (Syamsuni, 2007).
3. Dengan kompres
Pada metode ini, proses penuangan, pendinginan dan pelepasan
supositoria dilakukan dengan mesin secara otomatis. Kapasitas bisa sampai
3500-6000 supositoria/jam (Syamsuni,2007).
Satu persyaratan bagi suatu basis supositoria adalah basis selalu padat
dalam suhu ruangan tetapi akan melunak, melebur atau melarut dengan mudah
pada suhu tubuh. Basis supositoria diklasifikasikan menurut sifatnya yaitu basis
hidrofilik, basis lipofilik, dan basis amfifilik (Sriwidodo, 2010 ).
2.5. Cara Absorbsi Suppositoria
1. Aksi Lokal
Begitu dimasukkan basis supositorium meleleh, melunak atau melarut
menyebarkan bahan obat yang dibawanya ke jaringan jaringan di daerah tersebut.
obat ini bisa dimasukkan untuk di tahan dalam ruangan tersebut untuk efek kerja
lokal, atau bisa juga dimasukkan agar absorbsi untuk mendapatkan efek sistemik.
supositoria rektal dimaksudkan untuk kerja lokal dan paling sering digunakan
untuk menghilangkan kkonstipasi dan rasa sakit, iritasi, dan rasa gatal, dan radang
sehubungan dengan wasir atau kondisi anorektal lainnya. Supositoria antiwasir
serign kali mengandung sejumlah zat, termasuk anestetik lokal, vasokonstikor,
astrigen, analgesik, pelunak yang menyejukkan dan zat. supositoria laksatif yang
terkenal adalah supositoria gliserin, yang menyababkan laksasi (mencahar) karena
iritasi lokal dari membran mukosa, kemungkinan besar dengan efek dehidrasi
gliserin pada membran itu. supositoria vaginal yang dimasukkan untuk efek lokal
digunakan terutama sebagai antiseptik pada hygiene wanita dan sebagai zat khusus
untuk memerangi dan menyerang penyebab penyakit (bakteri patogen). Obat obat
yang umum digunakan adalah trikomonasida untuk memerangi vaginitis yang
disebabkan oleh Trichomonas vaginalis, Candida (Monolia) albicans, dan
mikroorganisme lainnya. Supositoria uretral bisa digunakan sebagai antibakteri dan
sebagai sediaan anestetik lokal untuk pengujian uretral (Ansel, 2008).
2. Aksi Sistemik
Untuk efek sistemik, membran mukosa rektum dan vagina memungkinkan
absorpsi dari kebanyakan obat yang dapat larut. Walaupun rektum sering
digunakan sebagai tempat absorpsi secara sistemik, vagina tidak sering digunakan
untuk tujuan ini (Ansel, 2008).
Untuk mendapat efek sistemik, cara pemakaian melalui rektum mempunyai
beberapa kelebihan dari pada pemakaian secara oral yaitu :
a) obat yang rusak atau dibuat tidak aktif oleh pH atau aktivitas senzim dari
lambung atau usus tidak perlu dibawa atau masuk ke dalam lingkungan yang
merusak ini.
b) obat yang merangsang lambung dapat diberikan tanpa menimbulkan ransangan.
c) obat yang rusak di dalam sirkulasi portal, dapat tidak melewati hati setelah
absorpsi pada rektum (obat memasuki sirkulasi portal setelah absorpsi pada
penggunaan secara oral.
d) cara ini lebih sesuai untuk digunakan oleh pasien dewasa dan anak-anak yang
tidak dapat atau tidak mau menelan obat.
e) merupakan cara yang efektif dalam perawatan pasien yang suka muntah. (Ansel,
2008).
Obat yang di gunakan melalui rektum dalam bentuk supositoria untuk mendapat
efek sistemiknya terdiri antara lain :
a) aminofilin dan teofilin dipakai untuk menghilangkan asma.
b) proklorperazin dan klorpromazin untuk menghilangkan rasa mual dan muntah,
dipakai juga sebagai obat penenang.
c) kloralhidrat sebagai hipnotik sedative.
d) oksimorfon untuk analgesik narkotik.
e) belladona dan opium untuk efek antipasmodik dan analgesic.
f) ergotamin tartrat, untuk meringankan gejala migrain dan.
g) aspirin untuk aktifitas antipiretik dan analgesik (Ansel, 2008).
Faktor - faktor yang mempengaruhi absorpsi obat dalam rektum pada pemberian
obat dalam bentuk supositoria dapat di bagi ke dalam dua kelompok besar, yaitu:
1. Faktor Fisiologi
Rektum manusia panjangnya kurang lebih 15 – 20 cm. Pada waktu isi kolon
kosong, rektum hanya berisi 2-3mL cairan mukosayang inert. dalam keadaan
istirahat, rektum tidak ada gerakan, tidak ada villi dan mikrovilli pada mukosa
rektum. Akan tetapi terdapat vaskularisasi yang berlebihan dari bagian submukosa
dinding rektum dengan darah dan kelenjar limfe.
Diantara faktor fisiologi yang mempengaruhi absorpsi obat dari rektum adalah
kandungan kolon jalur sirkulasi, dan pH serta tidak adanya kemampuan mendapar
dari cairan rectum (Ansel, 2008).
- Kandungan kolon
Apabila diinginkan efek sistemik dari supositoria yang mengandung obat ,
absorpsi yang lebih besar lebih banyak terjadi pada rektum yang kosong dari pada
rektum yang di gelembungkan oleh feses. Ternyata obat lebih mungkin berhubungan
dengan permukaaan rektum dan kolon yang mengabsorpsi dima tidak ada feces .
oleh karena itunila diinginkan suatu enema untuk pengosongan dapat digunakan dan
dimungkinkan pemberiannya sebelum penggunaan supositoria dengan oabt yang
diabsorpsi . Keadaan lainnya seperti diare , gangguan kolon akibat pertumbuhan
tumor dan dehidrasi jaringan , semua dapat mempengaruhi kadar dan tingkat
absorpsi obat dari rectum(Ansel, 2008).
- Jalur sirkulasi
obat yang diabsorpsi melalui rektum , tidak seperti yang diabsorbsi setelah
pemberian secara oral , tidak melalui sirkulasi portal sewaktu perjalanan pertamanya
dan sirkulasi yang lazim , dengan cara demikian obat di mungkinkan untuk tidak
dihancurkan dalam hati untuk memperoleh efek sistemik . Pembuluh hemoroid bagian
bawah yang mengelilingi kolon menerima obat yang di absorbsilau mulai
mengedarkannya ke seluruh tubuh tanpa melalui hati . Sirkulasi melalui getah bening
juga membantu pengedaran obat yang digunakan melalui rektum (Ansel, 2008).
- PH dan tidak adanya kemampuan mendapar dari cairan rektum
Karena cairan rektum pada dasarnya netral pada pH (7-8) dan kemampuan
mendapar tidak ada , maka bentuk obat yang digunakan lazimnya secara kimia tidak
berubah oleh lngkingan rectum (Ansel, 2008).
Basis supositoria yang digunakan memberikan pengaruh pada pelepasan zat
aktif yang terdapat di dalamnya . Sedangkan oleum cacao dengan mencair pada suhu
tubuh. Oleh karena tidak bercampur dengan cairan , ia tidak dapat secara langsung
melepaskan obat yang larut dalam lemak. Untuk obat dengan efek sistemik lebih baik
menggunakan obat dengan bentuk terionisasi dari pada tidak terionisasi supaya
mencapai biovailabilitas yang maksimum . Walapun obat yang tidak terionisasi lebih
cepat terpisah dari basis yang bercampur dengan air seperti misalnya gelatin gliserin
(gelatin yang di gliserinkan ) dam polietilen glikol , basisnya sendiri cenderung untuk
melarut secara perlahan lahan dan dengan cara demikian menghambat penglepasan
obatnya (Ansel, 2008)
2. Faktor fisika kimia dari obat dan bahan dasarnya
Faktor fisika kimia mencakup sifat sifatnya seperti kelarutan relatif obat dalam
lemak dan air serta ukuran partikel dari obat yang menyebar, yaitu:
- Kelarutan lemak-air.
Koefisien partisi lemak –air dari suatu obat merupakan pertimbangan yang penting
pada pemilihan basis supositoria dan dalam antispasi penglepasan obat dari basis
tersebut . Suatu obat lipofilik yang terdapat dalam suatu basis supositoria berlemak
dengan kosentrasi rendah memiliki kecenderungan yang kurang untuk melepaskan
diri ke dalam cairan sekelilingnya , dibandingkan bila ada bahan hidofilik pada basis
berlemak , dalam batas batas mendekati titik jenuhnya , basisnya yang larut dalam air
– misalnya polietilen glikol yang melarut pada cairan dalam rektum , melepaskan
untuk diabsorbsi baik obat yang larut dalam air maupun yang larut dalam lemak .
nyatanya semakin banyak obat yang terkandung dalam basis semakin banyak pula
obat yang mungkin dilepas untuk di absorpsi yang potensial . Tetapi jika konsentrasi
obat pada lumen usus halus berada di ata jumlah tertentu yang berbeda dengan obat
tersebut , maka kadar yang diabsorbsi tidak di ubah oleh penambahan kosentrasi obat
(Ansel, 2008)
- Ukuran partikel,
Untuk obat dalam supositoria yang tidak larut ma ukuran partikelnya akan
mempengaruhi jumlah obat yang di lepas dan melarut untuk di absorbsi .
Sebagaimana sering terlihat sebelum ini , semakin kecil ukuran partikel semakin
mudah melarut dan lebih besar kemungkinan untuk dapat lebih cepat diabsorpsi
.Penelitian saat ini menunjukkan bahwa aspirin yang dibuat dalam basis oleum
cacao,melarut dalam sirkulasi rektum lebih cepat dan diabsorbsi serta diekskresi
lebih cepat bila dalam ukuran partikel kecil dibandingkan dengan bila dalam
keadaan partikel lebih besar (Ansel, 2008).
Supositoria harus terlindung dari panas, sehingga lebih baik disimpan dalam
lemari pendingin. Supositoria polietilen glikol dan supositoria yang ditutup dalam
suatu lapisan padat merupakan supositoria yang tidak cenderung mendapatkan
distorsi pada temperatur yang sedikit di atas temperatur tubuh. Supositoria gelatin
yang mengandung gliserin harus terlindung dari panas, lembap, dan udara kering,
yaitu dengan melakukan pengemasan dalam wadah-wadah yang ditutup dengan
baik dan menaruhnya dalam tempat dingin (Liebermen, 1994).
2.6. Kelebihan Suppositoria
Penggunaan obat dalam supositoria ada keuntungannya dibanding dengan
penggunaan obat lain, yaitu:
1. dapat menghindari terjadinya iritasi pada lambung
2. dapat menghindari kerusakan obat oleh enzim pancernaan
3. langsung dapat masuk saluran darah berakibat akan memberi efek lebih cepat dari
pada penggunaan obat per oral.
4. bagi pasien yang mudah muntah atau tidak sadar (Anief, 1997).
2.7. Kekurangan Suppositoria
Keburukan oleum cacao sebagai bahan dasar suppositoria :
1. Meleleh pada udara yang panas.
2. Dapat menjadi tengik pada penyimpanan yang lama.
3. Titik leburnya dapat turun atau naik jika ditambahkan bahan tertentu.
4. Adanya sifat polimorfisme.
5. Sering bocor ( keluar dari rektum karena mencair) selama pemakaian.
6. Tidak dapat bercampur dengan cairan sekresi (Syamsuni, 2007).

III. ALAT DAN BAHAN


3.1. Alat
a. Alat Penentuan Kekerasan Supositoria
b. Alat Penentuan Waktu Leleh (Erweka)
c. Labu Takar 100 Ml
d. Termometer
e. Stopwatch
f. Tabung Reaksi
g. Pipet Volume 1 Ml
h. Pipet Tetes
i. Beker Glas
3.2.Bahan
a. Aminofilin
b. Oleumm cacao
c. Cera allba
d. Sediaan supositoria jadi
IV. PEMERIAN BAHAN
4.1. Aminofilin
Pemerian : butir atau serbuk putih atau agak kekuningan, bau ammonia lemah, rasa
pahit. Jika dibiarkan di udara terbuka, perlahan-lahan kehilangan etilenadiamina
dan menyerap karbon dioksida dengan melepaskan teofilin. Larutan bersifat basa
terhadap kertas lakmus.
(FI ed. III Halaman 90)
4.2. Oleumm cacao (lemak coklat)
Pemerian : Lemak padat, putih kekuningan; bau khas aromatik; rasa khas lemak;
agak rapuh.
(FI ed. III Halaman 453)

4.3. Cera allba


Pemerian: Zat padat, lapisan tipis bening, putih kekuningan;bau khas lemah.
(FI ed. III Halaman 140)

V. CARA KERJA
Disiapkan alat dan bahan

Dilakukan perhitungan bahan yang diperlukan untuk membuat 8 supositoria

Dilakukan penimbangan semua bahan yang dibutuhkan

Dilelehkan oleun cacao dan cera alba

Ditambahakan zat aktif kedalam basis yang telah melebur

Diaduk sampai basis dan zat aktif tercampur homogeny


Dimasukkan kedalam cetakan suppo, Didinginkan dalam lemari pendingin

Dikemas suppositoria yang telah jadi dengan menggunakan aluminium foil

Dibandingkan suppo yang dibuat dengan yang ada dipasaran


DAFTAR PUSTAKA

Anief, M. 2010. Ilmu Meracik Obat. Yogyakarta: UGM Press.


Ansel, H.C., 1989, Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi, diterjemahkan oleh Farida Ibrahim,
Asmanizar, Iis Aisyah, Edisi keempat, 255-271, 607-608, 700, Jakarta, UI
Press

Coben, L. J., dan Lieberman, H. A., 1994, Supositoria, Teori dan Praktek Farmasi Industri II
diterjemahkan oleh Siti Suyatmi, Hal 1147-1194, Universitas Indonesia
Press, Jakarta

Depkes RI. 1995. Farmakope Indonesia Edisi IV. Jakarta : Departemen Kesehatan Republik
Indonesia

Depkes RI. 1979. Farmakope Indonesia Edisi III. Jakarta : Departemen Kesehatan Republik
Indonesia
Syamsuni.2007. Ilmu Resep. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran: EGC

Voigt, R., 1971, Buku Pelajaran Teknologi Farmasi diterjemahkan oleh Soedani Noeroen,
Edisi kelima, Hal 281-285, 301, 304, Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta

Anda mungkin juga menyukai